Friday, September 25, 2009

KEKUASAAN KEHAKIMAN

BAB I

PENDAHULUAN

a. Latar Belakang

Kekuasaan Kehakiman, dalam konteks negara Republik Indonesia, adalah kekuasaan negara yang merdeka untuk menyelenggarakan peradilan guna menegakkan hukum dan keadilan berdasarkan Pancasila, demi terselenggaranya Negara Hukum Republik Indonesia.

Perubahan (Amandemen) Undang-Undang Dasar 1945 telah membawa perubahan alam kehidupan ketatanegaraan dalam pelaksanaan kekuasaan kehakiman. Berdasarkan perubahan tersebut ditegaskan bahwa kekuasaan kehakiman dilaksanakan oleh:

Mahkamah Agung dan badan peradilan yang ada di bawahnya dalam lingkungan peradilan umum, lingkungan peradilan agama, lingkungan peradilan militer, dan lingkungan peradilan tata usaha negara.

Selain itu terdapat pula Peradilan Syariah Islam di Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam, yang merupakan pengadilan khusus dalam Lingkungan Peradilan Agama (sepanjang kewenangannya menyangkut kewenangan peradilan agama) dan lingkungan Peradilan Umum (sepanjang kewenangannya menyangkut kewenangan peradilan umum).

Disamping perubahan mengenai penyelenggaraan kekuasaan kehakiman, UUD 1945 juga mengintroduksi suatu lembaga baru yang berkaitan dengan penyelenggaraan kekuasaan kehakiman yaitu Komisi Yudisial.

Komisi Yudisial bersifat mandiri yang berwenang mengusulkan pengangkatan hakim agung dan mempunyai wewenang lain dalam rangka menjaga dan menegakkan kehormatan, keluhuran martabat serta perilaku hakim

Bicara tentang reformasi kekuasaan kehakiman, kita tidak lepas dari reformasi pembentukan undang-undang (legislatif). Reformasi kekuasaan kehakiman tidak dapat dipisahkan dari reformasi dalam pembentukan undang-undang. Hakim selaku pelaku kekuasaan kehakiman harus tunduk pada undang-undang. Dalam memeriksa dan menjatuhkan putusannya hakim harus mengadili menurut undang-undang, tidak boleh melanggar undang-undang. Hakim harus tunduk pada undang-undang. Pembentukan undang-undang atau undang-undang itu sendiri besar pengaruhnya terhadap perilaku hakim, karena hakim harus mengadili menurut undang-undang dan tidak boleh melanggar undang-undang. Hakim terikat pada undang-undang.

Kalau kita memperhatikan perkembangan pembentukan undang-undang dewasa ini, saya mendapat kesan bahwa pembentukan undang-undang dewasa ini didorong oleh kepentingan sesaat, karena leinginan besar untuk mengubah berkat euphoria, karena merasa tertekan selama ini dan kepentingan kelompok.Betapa tidak. Suatu undang-undang seyogyanya bersifat futuristic, yang berarti berlaku dalam kurun waktu yang (seberapa dapat) lama. Dewasa ini tidak sedikit undang-undang yang belum berumur satu tahun sudah direvisi atau diganti.Banyak undang-undang dibentuk tanpa mengingat bahwa hukum itu merupakan satu sistem. Dalam mengadakan amandemen atau revisi undang-undang seringkali sistematik dilupakan. Duplikasi istilah atau terminologi menunjukan bahwa undang-undang tidak dilihat sebagai satu sistem.

Kekuasaan kehakiman diatur dalam UU no.4 tahun 2004 yang menggantikan UU no.14 tahun 1970. Pasal 1 UU no.4 tahun 2006 menentukan bahwa kekuasaan kehakiman adalah kekuasaan Negara yang merdeka untuk menyelenggarakan peradilan guna menegakan hukum dan keadilan berdasarkan Pancasila demi terselenggarannya Negara Hukum RI. Ini berarti bahwa hakim itu bebas dari pihak ekstra yudisiil dan bebas menemukan hukum dan keadilannnya. Akan tetapi kebebasannya tidak mutlak , tidak ada batas, melainkan dibatasi dari segi makro dan mikro. Dari segi makro dibatasi oleh sistem pemerintahan, sistem politik, sistem ekonomi dan sebagainya, sedangkan dari segi mikro kebebasaan hakim dibatasi atau diawasi oleh Pancasila, UUD, UU, kesusilaan dan ketertiban umum. Dibatasinya kebebasan hakim tidaklah tanpa alasan, karena hakim adalah manusia yang yang tidak luput dari kekhilafan. Untuk mengurangi kekeliruan dalam menjatuhkan putusan maka kebebasan hakim perlu dibatasi dan putusannya perlu dikoreksi. Oleh karena itu asas peradilan yang baik (principle of good judicature) antara lain ialah adanya pengawasan dalam bentuk upaya hukum.

Pasal 2 UU no.4 tahun 2006 berbunyi bahwa kekuasaan kehakiman oleh Mahkamah Agung dan Mahkamah Kostitusi. Pasal 11 UU no.4 tahun 2006 mengatakan bahwa MA merupakan pengadilan tertinggi dari keempat lingkungan peradilan, sedangkan pasal 12 berbunyi bahwa MK mengadili pada tingkat pertama dan terakhir. Dengan demikian sesudah tahun 2006 kita tidak lagi mempunyai pengadilan yang tertinggi. Bagaimanakah kedudukan MA & MK? Sebelum tahun 2006 kita mengenal apa yang dinamakan kesatuan (unifikasi) peradilan (eenheid van rechspraak). Dengan tidak adanyan pengadilan tinggi di NKRI ini maka tidak ada lagi kesatuan peradilan.

Kecuali oleh karena MK mengadili pada tingkat pertama dan terakhir maka tidak ada upaya hukum sama sekali. Semua lingkungan peradilan dibawah MA tersedia upaya hukum, sehingga putusan pengadilan di tingkat pertama dan kedua dilingkungan di bawah MA dimungkinkan untuk dikoreksi oleh pengadilan yang lebih tinggi, Dengan tidak adanya pengawasan maka kekuasaan MK adalah mutlak. Sistem ini tidak memenuhi “principle of good judicature”.

Pasal 19 UU no.4 tahun 2004 ayat 3 mengatakan bahwa rapat musyawarah hakim adalah bersifat rahasia, yang berarti bahwa tidak boleh diketahui oleh umum atau diluar yang ikut musyawarah, sedang ayat 5 mengatakan bahwa dalam sidang permusyawaratan tidak dapat dicapai mufakat bulat, pendapat hakim yang berbeda wajib dimuat dalam putusan (dissenting opinion).

Pendapat majelis hakim di dalam sidang musyawarah tidak mungkin selalu sama, perbedaan selalu mungkin terjadi. Diwaktu yang lampau maka perbedaan pendapat itu dilaporkan kepada Ketua Pengadilan Negeri. Putusannya merupakan mufakat bulat, jadi keluar putusan itu tidak meragukan atau membingungkan.Kalau musyawarah itu bersifat rahasia dan putusan pada waktu diucapkan /dijatuhkan dilampiri pendapat yang berbeda, yang dibicarakan dalam musyawarah yang rahasia itu, dimana sifat rahasiannya mufakat tersebut. Disamping itu dilampirkannya putusan dari hakim yang berbeda dengan putusan yang mempunyai kekuatan hukum (sah?) apakah tidak membingungkan ? Satu putusan (yudikatif) mengandung dua pendapat yang berbeda. Putusan yang mengandung dua “Dictum” akan mengundang reaksi pihak yang dikalahkan atau pihak terhukum untuk menggunakan upaya hukum, walaupun dewasa tanpa adanya dissenting opinion itu boleh dikatakan yang dikalahkan atau yang dihukum selalu menggunakan upaya hukum, hanya alasannya disini adalah untuk mengulur waktu saja.

Apakah “berbeda” dan “tidak berbeda” dapat dianalogikan dengan yang “salah” dan “benar”, sebab yang “berbeda” yang harus dilampirkan pada yang “tidak berbeda” jadi dapat disimpulkan yang berlaku atau putusan yang dianggap benar atau sah adalah yang “tidak berbeda”.Perubahan UUD NKRI merupakan pelaksanaan amanat reformasi yang dilakukan oleh MPR. Menurut pengetahuan saya UUD itu harus memuat hal-hal yang pokok atau mendasar. Apakah Komisi Yustisial itu merupakan sesuatu yang mendasar yang perlu dimuat dalam UUD? Komisi Yustisial bukan pelaku kekuasaan kehakiman. Apakah hanya karena fungsinya “berkaitan” dengan kekuasaan kehakiman? Maka itu merupakan egisla untuk dimuat dalam UUD. Apakah yang namanya “komisi” itu layak dimuat dalam UUD? Meskipun pembuktiannya sukar, tetapi dapat dipastikan bahwa perilaku hakim yang berkaitan dengan moral masih mengecewakan.

Untuk meningkatkan reformasi pada umumnya dan kekuasaan kehakiman pada khususnya guna meningkatkan supermasi tidaklah cukup dengan memperbaiki hukumnya dengan mengubah atau merevisinya, tetapi yang lebih penting adalah meningkatkan SDMnya dari eksekutif dan yudikatif, dari segi intelektual dan moral.

b. Rumusan Masalah

Adapun beberapa rumusan tentang masalah yang akan dibahas pada makalah ini adalah mengenaiu masalah-msalah sebagai berikut:

a. Bagaimana proses pembentukan dan apa peran Komisi Yudisial?

b. Bagaimana tatacara dan mekanisme pengusulan seorang Hakim Agung?

c. Cara apa yang ditempuh oleh Komisi Yudisial untuk mengawasi peran seorang Hakim?

c. Tujuan Pembahasan

Tujuan diajukan dan disusunnya makalah tentang kekuasaan kehkiman kali ini antara lain adalah:

Ø Sebagai media pengembangan sarana berlatih dalam menyusun suatu karya tulis berupa makalah.

Ø Sebagai pemenuhan tugas akhir semester 2 mta kuliah Hukum Tatanegara (HTN).

Ø Sebagai media menambah wawasan tentang kekuasaan kehakiman.


BAB II

PEMBAHASAN


1. Pembentukan Komisi Yudisial

Sebagai salah satu buah dari agenda reformasi nasional tahun 1998, Undang-undang Dasar Negara Republik Indonesia telah mengalami perubahan dalam satu rangkaian empat tahap, yaitu pada tahun 1999, 2000, 2001, dan 2002 (UUD RI 1945). Salah satu perubahan dari UUD 1945 yaitu adanya organ negara yang baru. Dalam Pasal 24B hasil Perubahan Ketiga UUD RI Tahun 1945, adanya ide pembentukan Komisi Yudisial diadopsi ke dalam konstitusi negara kita sebagai organ konstitusional baru yang sederajat kedudukannya dengan organ konstitusi lainnya. Fungsi Komisi Yudisial telah dilembagakan berdasarkan UU Nomor 22 tahun 2004 tentang Komisi Yudisial sejak tanggal 13 Agustus 2004 (UU No. 22, 2004), yaitu dengan ketentuan Pasal 39 yang menyatakan: "Selama keanggotaan Komisi Yudisial belum terbentuk berdasarkan Undang-undang ini, pencalonan Hakim Agung dilaksanakan berdasarkan Undang- undang Nomor 14 tahun 1985 tentang Mahkamah Agung sebagaimana diubah dengan Undang-undang Nomor 5 Tahun 2004 tentang Perubahan atas Undang-undang Nomor 14 tahun 1985 tentang Mahkamah Agung."

Pembentukan Komisi Yudisial haruslah dilakukan dengan pengangkatan para anggota Komisi Yudisial menurut tata cara yang diatur dalam Pasal 24B ayat (3) UUD RI Tahun 1945 yang berbunyi "Anggota Komisi Yudisial diangkat dan diberhentikan oleh Presiden dengan persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat." Dalam rangka melaksanakan ketentuan dalam UUD RI Tahun 1945 maka ditetapkanlah UU Nomor 22 Tahun 2004 tentang Komisi Yudisial. Sebelum Komisi Yudisial dibentuk, maka perlu dibentuk terlebih dahulu tim seleksi Komisi Yudisial. Untuk itu Presiden Republik Indonesia pada tanggal 17 Januari 2005 menandatangani Keputusan Presiden Nomor 3 Tahun 2005 tentang Pembentukan Panitia Seleksi Pemilihan Calon Anggota Komisi Yudisial. Atas dasar Keputusan Presiden inilah panitia akan melakukan proses seleksi dan menjaring calon anggota Komisi Yudisial yang berkualitas, energik, potensial dan mengerti hukum. Pada tanggal 8 Juni 2005, komisi III DPR menetapkan tujuh anggota Komisi Yudisial (KY) melalui voting tertutup dalam rapat pleno khusus.

2. Peranan Komisi Yudisial

Dalam menjalankan peranannya sebagai penjaga kekuasaan kehakiman, pertama, komisi Yudisial diberikan kewenangan untuk melakukan proses seleksi dan menjaring calon anggota Hakim Agung berkualitas, potensial, mengerti hukum dan profesional. Kedua, Komisi Yudisial diberi kewenangan menjaga dan menegakkan integritas hakim dan kepercayaan masyarakat terhadap sistem peradilan di Indonesia dan menjaga agar hakim dapat menjaga hak mereka untuk memutus perkara secara mandiri. Pasal 24B ayat (1) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 menjamin Komisi Yudisal untuk bersifat mandiri yang berwenang mengusulkan pengangkatan Hakim Agung dan mempunyai wewenang lain dalam rangka menjaga dan menegakkan kehormatan, keluhuran martabat, serta prilaku hakim.

Kewenangan tersebut di atas sungguh sangat terbatas untuk itu diuraikan lagi dalam Undang-undang No 22 tahun 2004 yang mengatakan bahwa dalam rangka melaksanakan wewenangnya mengusulkan pengangkatan Hakim Agung, Komisi Yudisal diberi tugas yaitu (Pasal 14 UU No. 22, 2004): melakukan pendaftaran calon Hakim Agung; melakukan seleksi terhadap calon Hakim Agung; menetapkan calon Hakim Agung; dan mengajukan calon Hakim Agung ke Dewan Perwakilan Rakyat.

Selanjutnya untuk melaksanakan peranannya menegakkan kehormatan dan keluhuran martabat serta menjaga perilaku hakim, Komisi Yudisial diberi tugas melakukan pengawasan terhadap perilaku hakim dalam rangka menegakkan kehormatan dan keluhuran martabat serta menjaga perilaku hakim (Pasal 20 UU No 22, 2004). Disamping itu Komisi yudisial dalam menjalankan peranannya diberi tugas lain yaitu mengajukan usul penjatuhan sanksi terhadap hakim kepada pimpinan Mahkamah Agung dan/ atau Mahkamah Konstitusi (Pasal 21 UU No 22, 2004).

Sebaliknya Komisi Yudisial di dalam menjalankan peranannya diberi kewenangan untuk dapat mengusulkan kepada Mahakamah Agung dan/ atau Mahkamah Konstitusi untuk memberikan penghargaan kepada hakim atas prestasi dan jasanya dalam rangka menegakkan kehormatan dan keluhuran matabat serta menjaga perilaku hakim (Pasal 24 UU No 22, 2004). Jadi untuk menegakkan kehormatan dan keluhuran martabat serta menjaga perilaku hakim Komisi diberi beberapa kewenangan antara lain yaitu: pengawasan terhadap perilaku hakim; pengajuan usulan penjatuhan sanksi terhadap hakim; pengusulan penghargaan kepada hakim atas prestasi dan jasanya.

Dari beberapa peranannya tersebut di atas khususnya kewenangan untuk mengusulkan pengangkatan Hakim Agung diperkirakan sangat banyak berkaitan dengan proses seleksi dimana penyeleksian dilembagakan dalam suatu lembaga negara. Sudah barang tentu akan berdampak positif terhadap hasil kerja yang diinginkan. Anggota Komisi Yudisial dapat bekerja maksimal dan bersifat mandiri dalam rangka memilih Hakim Agung berkualitas, potensial, menerti hukum dan profesional. Karena anggota Komisi Yudisial lebih mapan dan terjamin, sebab dibentuk berdasarkan undang-undang dasar dan pelaksanaan tugasnya dipayungi oleh suatu undang-undang.

Selanjutnya peranan Komisi Yudisial melakukan pengawasan perilaku hakim dapat dilakukan secara mandiri, karena tidak mempunyai hubungan administrasi, struktural, kolega maupun secara psikologis yang selama ini menjadi hambatan di dalam dalam melaksanakan pengawasan di dalam instansi atau lembaga sendiri. Hal ini tidak hanya dialami di Indonesia tetapi di negara-negara asing seperti Amerika dan Australia. Sebaliknya peranan menegakkan kehormatan dan keluhuran martabat serta menjaga perilaku hakim terlihat dari usul penjatuhan sanksi seperti teguran tertulis, pemberhentian sementara atau pemberhentian yang dilakukan oleh Komisi Yudisial bersifat mengikat (Pasal 23 (2) UU No 22, 2004). Selanjutnya usul penjatuhan sanksi tersebut diserahkan oleh Komisi Yudisial kepada Mahkamah Agung dan/atau Mahkamah Konstitusi. Namun, usulan tersebut masih dapat dianulir oleh ketentuan yang berbunyi bahwa hakim yang akan dijatuhi sanksi diberi kesempatan secukupnya untuk membela diri di hadapan Majelis Kehormatan Hakim (Pasal 23 (4) UU No 22, 2004). Di satu pihak apa yang direkomendasikan Komisi Yudisial belum ada kekuatan mengikat, hal ini terlihat dari diberinya kesempatan lagi kepada hakim yang diusulkan diberi sanksi untuk memberikan pembelaan secukupnya di depan Majelis Kehormatan Hakim. Dilain pihak usulan tersebut belum bersifat final. Timbul beberapa hal yang kurang jelas, apa yang dimaksud dengan Majelis Kehormatan Hakim, karena tidak dijelaskan dalam ketentuan umum Undang-undang No 22 tentang Komisi Yudisial. Disamping itu, apabila pembelaan hakim yang diusulkan diberikan sanksi di depan Majelis Kehormatan Hakim diterima, bagaimana pula dampaknya terhadap usulan Komisi Yudisial? Jadi dapat disimpulkan bahwa rekomendasi Komisi Yudisial belum bersifat final dan belum mengikat. Selanjutnya usulan Komisi Yudisial untuk dapat mengikat dan bersifat final harus melalui tahapan pemeriksaan di depan Majelis Kehormatan Hakim dan Keputusan usul pemberhentian diajukan oleh Mahkamah Agung dan/atau Mahkamah Konstitusi kepada Presiden. Sedangkan sanksi teguran tertulis dan pemberhentian sementara dilakukan oleh siapa ini yang belum jelas diatur oleh Undang-undang Nomor 22 Tahun 2004.

3. Tata Cara Pengusulan Hakim Agung

Mekanisme pengusulan pengangkatan Hakim Agung kepada DPR merupakan salah satu wewenang yang dimiliki oleh Komisi Yudisial (Pasal 13 (a) UU No 22, 2004). Untuk itu Komisi Yudisial mempunyai tugas melakukan pendaftaran calon, seleksi, menetapkan dan mengajukan calon Hakim Agung ke Dewan Perwakilan Rakyat. Timbul beberapa pertanyaan antara lain: Siapa yang dapat mengajukan menjadi calon Hakim Agung? Apa yang menjadi persyaratan untuk menjadi calon Hakim Agung? Kapan Komisi Yudisal melakukan pendaftaran, seleksi dan penetapan calon Hakim Agung?

Didalam Pasal 15 ayat (2) Undang-undang Nomor 22 tahun 2004 jelas diatur bahwa yang dapat mengajukan calon Hakim Agung kepada Komisi Yudisial antara lain: Mahkamah Agung; Pemerintah; dan Masyarakat. Dari ketentuan tersebut dapat kita simpulkan bahwa calon Hakim Agung dapat diklasifikasikan menjadi dua kelompok yaitu: Karir; dan Non karir. Ini membuka kesempatan bahwa bilamana dibutuhkan maka dapat dicalonkan menjadi Hakim Agung tidak berdasarkan sistem karir kepada Komisi Yudisial (Pasal 7(2) UU No 5, 2004).

Komisi Yudisial dalam melaksanakan peranannya tersebut di atas, paling lama 6 (enam) bulan sejak menerima pemberitahuan dari Mahkamah Agung mengenai lowongan Hakim Agung (Pasal 14 (3) UU No.22, 2004). Komisi Yudisial hanya mempunyai waktu 15 (lima belas) hari semenjak menerima pemberitahuan mengenai lowongan Hakim Agung harus mengumumkan pendaftaran penerimaan calon Hakim Agung (Pasal 15 (1) UU No.22, 2004). Pengumuman pendaftaran tersebut dilakukan 15 (lima belas) hari berturut-turut. Sebaliknya Mahkamah Agung, Pemerintah dan masyarakat dapat mengajukan calon Hakim Agung dalam jangka waktu paling lama 15 (lim belas) hari, sejak pengumuman pendaftaran penerimaan calon Hakim Agung.

Setelah 15 (lima belas) hari berakhirnya masa pengajuan calon, Komisi Yudisial melakukan seleksi persyaratan administrasi calon Hakim Agung. Paling lama dalam jangka waktu 15 (lima belasa) hari, Komisi Yudisial sudah harus mengumumkan daftar calon yang memenuhi persyaratan administrasi. Kemudian masyarakat diberikan hak seluas-luasnya untuk memberikan informasi atau pendapatnya dalam jangka waktu paling lambat 30 (tiga puluh) hari sejak diumumkanya daftar nama calon Hakim Agung yang memenuhi persyaratan administrasi. Dalam jangka waktu paling lambat 30 (tiga puluh) hari semenjak informasi atau pendapat diterima dari masyarakat luas berakhir, Komisi Yudisial melakukan penelitian tentang kesahihan informasi tersebut.

Proses penseleksian terhadap calon Hakim Agung yang telah memenuhi persyaratan administrasi difokuskan kepada kualitas, dan kepribadian calon berdasarkan standar yang telah ditetapkan. Disamping itu calon hakim Agung wajib membuat /menyusun karya ilmiah dengan topik yang telah ditentukan. Karya ilmiah tersebut sudah diterima Komisi Yudisial dalam jangka waktu paling lambat 10 (sepuluh) hari sebelum seleksi dilaksanakan. Seleksi dilaksanakan secara terbuka dalam jangka waktu paling lama 20 (dua puluh) hari. Kemudian dalam jangka waktu paling lama 15 (lima belas) hari terhitung sejak seleksi berakhir, Komisi yudisial menetapkan dan mengajukan 3 (tiga) orang nama calon Hakim Agung kepada Dewan Perwakilan Rakyat untuk setiap 1 (satu) lowongan Hakim Agung, dengan tembusan disampaikan kepada presiden.

4. Tata Cara Pengawasan Hakim

Untuk melaksanakan peranannya mengawasi hakim, Komisi Yudisial dapat melakukan beberapa hal antara lain untuk (Pasal 22 UU No.22, 2004): menerima laporan dari masyarakat tentang perilaku hakim; meminta laporan secara berkala kepada badan peradilan berkaitan dengan perilaku hakim; melakukan pemeriksaan dugaan pelanggaran perilaku hakim; memanggil dan meminta keterangan dari hakim yang diduga melanggar kode etik perilaku hakim; dan membuat hasil pemeriksaan yang berupa rekomendasi dan disampaikan kepada Mahkamah Agung dan/ atau Mahkamah Konstitusi, serta tindasannya disampaikan kepada Presiden dan DPR.

Komisi Yudisial dalam melaksanakan perannya sebagai pengawas hakim tidak boleh sewenang-wenang. Komisi Yudisial wajib mentaati norma, hukum, dan ketentuan peraturan perundang-undangan, dan wajib menjaga kerahasiaan keterangan yang karena sifatnya merupakan rahasia Komisi Yudisial yang diperoleh berdasarkan kedudukannya sebagai anggota. Perlu diperhatikan bahwa pelaksaanaan tugas pengawasan tidak boleh mengurangi kebebasan hakim dalam memeriksa dan memutus perkara (Pasal 22 UU No.22, 2004).

Dalam hal menerima laporan dari masyarakat tentang perilaku hakim, meminta laporan dari badan peradilan dan hakim, melakukan pemeriksaan, Komisi Yudisial setelah dilantik dan diambil sumpahnya diharapkan secepatnya membuat Tata Cara Pengajuan Laporan Terhadap Perilaku Hakim. Hal ini sangat penting sebagai pedoman kerja Komisi Yudisial. Disarankan bahwa yang dimaksud menerima laporan dari masyarakat dapat diperluas antara lain: perorangan; hakim; advokat; staf pengadilan; badan hukum publik atau prifat; lembaga negara; anggota Komisi Yudisial dan atau staff.

Untuk melaksanakan pemanggilan dan meminta keterangan dari hakim yang diduga melanggar kode etik perilaku hakim, Komisi Yudisial harus membuat kode etik perilaku hakim secepatnya. Karena belum ada ukuran yang jelas yang dimaksud perilaku hakim yang berhormat dan bermartabat. Barangkali sebagai wacana bahwa perilaku dapat dibagai menjadi beberapa kategori antara lain: perilaku hakim didalam ruang sidang;perilaku hakim diluar ruang sidang;perilaku hakim yang berkaitan dengan aktivitasnya sehari-hari; dan ketidak mampuan phisik dan mental.Perilaku hakim didalam ruang sidang atau memimpin sidang meliputi perilaku yang tidak pada tempat di dalam ruang sidang. Termasuk perlakuan dan pertimbangan hakim terhadap pembela, saksi dan yang terlibat dalam persidangan dalam mendengarkan kesaksian, maupun pembelaan. Perilaku secara phisik yang tidak pada tempatnya atau tidak dapat memimpin sidang dengan baik. Sebagai contoh perilaku hakim yang tidak pada tempatnya adalah mengutarakan komentar yang bersifat rasial terhadap ras, suku, agama dan jenis kelamin serta tidur dalam persidangan atau mabuk. Bisa juga hakim dikenakan teguran berperilaku yang tidak berhormat dan bermartabat bilamana membutuhkan waktu yang sangat dalam membuat keputusan.

Hakim harus mandiri dari semua pengaruh yang berkemungkinan mempengaruhi kemampuan mereka untuk memutus perkara secara adil dan tidak memihak. Untuk itu para hakim tidak diperbolehkan membiarkan anggota keluarganya, masyarakat sekitar dan hubungan politik memperngaruhi keputusan pengadilan. Sebagai contoh hakim tidak boleh memberi atau menerima hadiah, sogok, kredit atau bantuan. Untuk itu para hakim harus membuat laporan keuangan baik kepada pengadilan maupun Komisi Yudisial.

Mengenai perilaku hakim diluar ruang sidang, sudah barang tentu hakim sebagai anggota masyarakat hidup dilingkungan kerja maupun masyarakat pada umumnya. Oleh karena itu menjadi tugas Komisi Yudisial untuk mengawasi kegiatan hakim diluar ruang sidang. Pengawasan ini meliputi: penyalahgunaan pegawai negeri, barang milik negara atau keuangan negara; perkataan atau pergaulan yang tidak pada tempatnya; mempengaruhi jalannya proses pengadilan; melakukan korupsi; menggunakan kedudukan untuk mengumpulkan dana. Jadi perilaku hakim yang tidak berhormat dan bermartabat sangat luas dari tindakan yang tidak pada tempatnya hingga tindakan yang bersifat kriminal.

Sedangkan perilaku hakim yang berkaitan dengan aktivitasnya sehari-hari yang tidak berhormat dan bermartabat meliputi: melakukan persidangan dan berdiskusi hanya melibatkan salah satu pihak saja; mengintervensi hubungan pembela dengan yang dibela; bias; melakukan kampanye tidak pada tempatnya; penghinaan tehadap wibawa peradilan; melecehkan keadilan; dan tindakan yang bersifat kriminal.

Terakhir, mengenai keadaan hakim, Komisi Yudisial juga berwenang dan bertanggung jawab untuk mengawasi ketidakmampuan fisik dan mental para hakim. Ketidak-mampuan fisik dan mental meliputi: ketergantungan terhadap alkohol dan obat; faktor ketuaan; mempunyai penyakit yang serius; atau penyakit mental.
Untuk itu Komisi Yudisial dapat meminta pemeriksaan kesehatan sebagai bagian dari investigasinya dan bisa menyarankan untuk terapi atau konselling bilamana dianggap perlu.

BAB III

PENUTUP

Kesimpulan

Munculnya perseteruan lembaga MA dan KY secara mendasar memberikan sebuah indikasi bahwa telah terjadi benturan kepentingan, dalam hal ini terutama mengenai pengawasan hakim, termasuk juga Hakim Agung dan Hakim Konstitusi. Konflik KY terhadap MK memang tidak mencuat ke permukaan, namun dapat tercermin dari putusan MK yang menganulir semua bagian yang terkait dengan MK. UUD 1945 Amandemen, baik MA, MK dan KY sama-sama berada dalam satu lingkup kekuasaan, dalam hal ini Kekuasaan Kehakiman. Pasal 24 UUD 1945 Amandemen menyatakan bahwa Kekuasaan Kehakiman merupakan kekuasaan yang merdeka untuk menyelenggarakan peradilan guna menegakkan hukum dan keadilan. Selanjutnya ditegaskan bahwa kekuasaan kehakiman dilakukan oleh MA dan oleh MK. Dari sini, terlihat jelas bahwa yang dimaksudkan dengan hakim adalah semua hakim-hakim yang berada di bawah naungan MA dan MK. Pendapat bahwa Hakim Agung bukan merupakan hakim “biasa” adalah keliru. Apalagi, dalam Pedoman Perilaku Hakim yang dibentuk oleh MA sendiri, dengan tegas menyatakan bahwa batasan Hakim mencakup seluruh hakim, termasuk Hakim ad-Hoc sekalipun di semua lingkungan peradilan dan semua tingkatan peradilan, dalam hal ini termasuk juga Hakim Agung.

Memang, pengadilan yang mandiri dan netral merupakan salah satu unsur penting dalam sebuah negara yang berdasarkan hukum. Demikian juga dengan posisi dan peran hakim. Dalam Pedoman Etika Perilaku Hakim yang dibentuk oleh MA dan KY, sama-sama menyebutkan bahwa posisi dan peran hakim menjadi sangat penting, terutama karena kewenangan yang dimilikinya. Disebutkan bahwa seorang hakim dapat mengalihkan hak kepemilikan, mencabut kebebasan warga negara atau bahkan memerintahkan penghilangan hak hidup seseorang. Di sinilah pentingnya peranan pengawasan yang dimiliki oleh KY. KY dalam hal ini juga berfungsi sebagai wakil masyarakat dalam mengawasi perilaku hakim. Kekuasaan kehakiman yang mandiri pada dasarnya bertujuan untuk memberikan pelayanan umum yang sebaik-baiknya bagi masyarakat dalam bidang peradilan. Dalam hal ini, adanya suatu pertanggungjawaban sosial terhadap masyarakat merupakan pengimbang dari kebebasan dan kemandirian kekuasaan kehakiman tersebut. Nilai inilah menjadi jiwa dari lembaga KY seperti yang ditetapkan oleh UUD. Tanpa fungsi pengawasan, maka KY sama sekali tidak berfungsi seperti yang diinginkan oleh UUD 1945. Dihapusnya kewenangan KY, otomatis jiwa dari UU KY itu sendiri

Dalam menjalankan tugasnya, hakim terikat dengan etika. Sebuah etika profesi berperan sebagai alat pengatur yang cukup efisien karena etika profesi mengontrol perilaku anggotanya agar tetap bekerja menurut etika yang sepakatinya. Salah satu pertimbangan MK dalam putusannya, menekankan bahwa pentingnya fungsi pengawasan serta pembinaan etika profesi hakim. Bebas dari pengaruh siapapun juga merupakan salah satu etika dari profesi hakim. Kebebasan ini harus dijamin, bahkan oleh lembaga profesi itu sendiri. Oleh sebab itu, seharusnya pengawasan kode etik yang dibentuk oleh lembaga profesi dilakukan oleh lembaga di luar profesi sendiri, dalam kasus ini hanya oleh KY. Sebuah pengawasan tidaklah dapat disebut sebagai sebuah campur tangan internal yang membatasi kebebasan hakim. Hal ini juga sesuai dengan Pasal 22 ayat (1) huruf e UU KY bahwa hasil pemeriksaan KY diberikan dalam bentuk rekomendasi kepada MA atau MK. Untuk selanjutnya, sanksi dapat diberikan oleh lembaga itu sendiri. Jadi, sangat tidak beralasan mengatakan bahwa KY dapat campur tangan terhadap masalah internal MA.

Dalam putusannya, MK menghapus semua kewenangan KY dalam hal pengawasan hakim, namun didasari dengan pertimbangan yang berbeda dari alasan yang diberikan oleh para pemohon (Hakim Agung). Dalam Pasal 56 ayat (2) UU No. 24 Tahun 2003 tentang MK menyebutkan bahwa dalam hal Mahkamah Konstitusi berpendapat bahwa permohonan beralasan, amar putusan menyatakan permohonan dikabulkan. Dari pernyataan pasal, jelas dimengerti bahwa permohonan yang dikabulkan adalah bila didasari dengan alasan yang tepat. Sementara, MK sendiri memiliki alasan yang benar-benar berbeda dari alasan pemohon. Alasan MK adalah adanya ketidakjelasan rumusan karena pertukaran posisi kata “menegakkan” dan “menjaga”. Memang, salah satu petunjuk untuk menguji apakah sebuah muatan UU sudah sesuai dengan UUD adalah dengan melihat ketentuan yang dirumuskan dalam Batang Tubuh UUD 1945. Di sini, perlu dilakukan perbandingan-perbandingan, terutama dalam hal gramatikal. Namun, bukan berarti MK dapat begitu saja menghapus kewenangan ini. Dalam hal ini, ketentuan dalam UU KY sama sekali tidak bertentangan, seperti yang disebutkan oleh MK, melainkan lebih tepatnya tidak harmonis dengan ketentuan pada UUD 1945 Amandemen. Hal ini tercermin dari pendapat MK bahwa kewenangan KY dianggap kurang rinci sehingga menimbulkan lebih banyak ketidakpastian hukum. Selain itu, bila disimak kembali, pendapat MK bahwa kewenangan KY kurang rinci adalah bertentangan dengan alasan MK yang semula. Kewenangan yang tidak rinci, bukanlah dengan kewenangan yang bertentangan. Dalam kasus ini, dasar yang dijadikan MK pun tidak saling mendukung.

Peranan Komisi Yudisial dalam menjaga kekuasaan kehakiman meliputi pengusulan dan pengangkatan Hakim Agung, dan menegakkan kehormatan dan keluhuran martabat serta menjaga perilaku hakim. Peranan pengusulan dan pengangkatan Hakim Agung meliputi pendaftaran, penseleksian, penetapan dan pengajuan calon Hakim Agung ke Dewan Perwakilan Rakyat. Sedangkan peranan menegakkan kehormatan dan keluhuran martabat serta menjaga perilaku hakim adalah pengawasan terhadap perilaku hakim dimana akan menghasilkan dua hal yang berbeda yaitu hal yang negatip berupa pengusulan penjatuhan sanksi, sebaliknya yang positip adalah pengusulan pemberian penghargaan terhadap hakim atas prestasi dan jasanya menegakkan kerhormatan dan keluhuran martabat serta menjaga perilaku hakim.
Mengingat begitu singkatnya waktu, besarnya beban, dan luasnya cakupan yang diberikan untuk melakukan perannya tersebut diatas diharapkan anggota Komisi Yudisal terdiri dari anggota yang potensial, berkualitas, energik dan berpengalaman. Sehingga anggota Komisi Yudisial dapat menjalankan perannya menjaga kekuasaan kehakiman seperti yang diamanatkan dalam Undang-undang Dasar 1945 dan UU nomor 22 tahun 2004 tentang Komisi Yudisial.


DAFTAR PUSTAKA

Ø Undang-Undang Dasar Republik Indonesia Tahun 1945

Ø Undang-undang Nomor 4 Tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman.

Ø Undang-undang Nomor 5 Tahun 2004 tentang Perubahana Atas undang-undang Nomor 14 Tahun 1985 Tentang Mahkamah Agung.

Ø Undang-undang Nomor 22 Tahun 2004 tentang Komisi Yudisial. Solusi Kewenangan Pengawasan Hakim oleh MA dan KY”, dalam Pledoi, no. 05, vol. 1 tahun 2006, hlm. 8.

Ø Agust Riewanto, “Putusan MK dan Tirani Profesi Hakim”, dalam Seputar Indonesia, 2 September 2006, hlm. 9, kol.2 “Kekuasaan Kehakiman”, dalam Kompas, 12 Oktober 2006, hlm. 3, kol. 5. Termuat dalam bagian Pengertian Pedoman Perilaku Hakim, Mahkamah Agung Republik Indonesia, 2006.

Ø Paulus Effendi Lotulung, Kemandirian Kekuasaan Kehakiman dalam Konteks Pembagian Kekuasaan dan Pertanggungjawaban Politik, makalah dalam Seminar Hukum Nasional ke-VII, diselenggarakan oleh Badan Pembinaan Hukum Nasional, Departemen Kehakiman R.I, Jakarta, 12 –15 Oktober 1999.

Ø Ridwan Widyadharma, Ignatius. 1996. Etika Profesi Hukum. Badan Penerbit Universitas Diponegoro : Semarang.

Ø Abdul kadir, Muhammad. 2001 Etika Profesi Hukum,: PT. Citra Aditya Bakti : Bandung.

Ø Soeprapto, Maria Farida Indrati. 2006. Ilmu Perundang-Undangan. Dasar-Dasar dan Pembentukannya, cet. 11 : Yogyakarta.

DASAR ISTIHSAN SEBAGAI SUATU SUMBER HUKUM


Pendahuluan

Sebuah cara untuk mengecualikan sesuatu masalah dari nash yang telah ada karena dikehendaki maslahat umat, ialah menggunakan istihsan. Walaupun cara itu baru terkenal di masa para mujtahidin, sedang ta’rif yang konkrit lahir sesudah berlalu imam empat. Maka dalam makalah ini kita membicarakan istihsan itu agar lebih jelas gambarannya, walaupun hal ini bukan masalah yang baru.

Istihsan pada lughat bermakna :

عـدّى الشيئ حسـنا

“Menganggap baik (memandang baik) sesuatu”

Kebalikannya dinamakan istiqhah.

Dapat juga dinamakan istihsan :

طلب الأحسـن للإتبــــاع

“Mencari yang lebih baik untuk diikuti”

Seperi makna istihsan dalam ayat 17 QS. al-Zumar.

Menurut istilah para ahli hukum, istihsan diartikan dengan dua makna, yaitu :

a. Mempergunakan ijtihad dan segala daya pikir dalam menentukan sesuatu yang urusannya oleh syara’ diserahkan kepada pendapat-pendapat kita sendiri.

Seperti mut’ah yang tersebut dala firman Allah :

مـتــاعا بالـمعــروف حــقـا على المحســنـين

“Pemberian mut’ah menurut makruf adalah hak atas segala orang yang berbuat ihsan”. (QS. Al-Baqarah : 236)


Mut’ah dalam ayat ini diukur menurut keadaan si suami, kaya atau miskin, menurut makruf.

b. Dalil yang menyaingi qias atau meninggalkan qias dan menetapkan apa yang lebih bermanfaat bagi manusia

Istihsan dengan makna yang pertama tak ada seorangpun yang meno-laknya.

Asy-Syafi’i yang menolak sumber istihsan berkata :

أســتحســن فى المتعة ثــلا ثـــين درهـمــــا

“Saya memandang sebaiknya mut’ah itu tiga puluh dirham”.

Mengenai istihsan dalam arti pengertian yang kedua, yang diperselisihkan tentang boleh tidaknya kita mempergunakannya, sebagaimana para ulama berbeda-beda pendapat pula dalam menentukan definisinya.

Mereka yang menolaknya mengatakan bahwa istihsan itu ialah menetapkan suatu hukum berdasarkan hawa nafsu (syari’u bil-hawa).

Maka pihak yang mempergunakan sumber istihsan tidak langsung menge-mukakan dalil-dalil yang membuktikan bahwasannya istihsan itu adalah suatu hujjah, tetapi mereka berusaha menerangkan hakikat istihsan, yang menyebabkan golongan yang menolaknya mengakui bahwa tak ada istihsan yang diperselisih-kan itu terkecuali pada beberapa macam masalah.

B. Sejarah Perkembangan Sumber Istihsan

Sebelum Abu Hanifah mempergunakan istihsan, lebih dahulu istilah tersebut dipergunakan oleh ulama-ulama sebelumnya. Iyas ibn Mu’awiyah, seorang hakim dalam pemerintahan Amawiyah pernah berkata :

قيسوا القضاء ما صلح الناس فإذا فسدوا فاستحسنوا ما وجدت الـقضاء إلا يستحسن الناس

“Tidaklah saya menemukan qadhi, melainkan apa yang dipandang baik manusia”

Abu Hanifah memang terkenal sebagai seorang ahli hukum yang amat pandai mempergunakan sumber istihsan dan banyak masalah-masalahnya yang didasarkan kepada sumber itu, hingga hampir-hampirlah orang menamakannya imam istihsan sebagaimana orang-orang telah menamakannya imam ahlul ra’yi.

Muhammad Ibnul Hasan seorang murid Abu Hanifah berkata :

كان أبو حنيفة يناظر أصحابه فى المقاييس فينتصفون منه ويعـارضونه حتى إذا قـال : إستحسن لــم يلحق أحـد منهـم بكــثرة مـا يـورد فى الإستحسان فى مسائـل

“Adalah Abu Hanifah berdiskusi dengan sahabat-sahabatnya tentang qias. Mereka dapat membantahnya. Tetapi apabila Abu Hanifah mengatakan: “Saya beristihsan”, tidak ada lagi orang yang menandinginya, karena banyak dalil-dalil yang dikemukakan tentang istihsan dalam berbagai masalah”.

Kemudian murid-muridnya yang mencapai derajat ijtihad mengikuti jejaknya dan banyaklah masalah-masalah timbul dari mereka yang berdasarkan istihsan hingga memberi pengertian bahwa istihsan itu merupakan suatu dalil hukum dan menjadilah masalah-masalah yang berdasarkan istihsan merupakan suatu macam pengetahuan yang harus diketahui oleh para mujtahid.

Abu Hanifah sendiri tidak menegaskan definisi istihsan itu, hanya dipahamkan dari pendapatnya bahwa istihsan sebagai dalil-dalil hukum yang digunakan untuk menentang qias dan menguatkannya bila bertentangan dengan qias. Tetapi apakah yang dimaksud dengan istihsan ? Tidak kurang, terkecuali pada beberapa masalah yang merupakan hadis atau atsar.

Dia sering berkata :

لــولا الأ ثـر لــقـلت بـالقياس ، ولــولا الروايــة لــقـلت بـالقياس

“Andaikata tak ada atsar tentulah saya berpegang pada qias. Andaikata tak ada riwayat, tentulah saya berpegang kepada qias”.

Apa yang dinukilkan oleh Abu Hanifah, dinukilkan juga dari Imam Malik dan murid-muridnya. Imam Malik pernah berkata :

الإستحسان تسعة أعشار العلـــم

“Istihsan ialah sembilan persepuluh ilmu”

Asbagh, seorang murid Imam Malik berkata :

الإستحسان فى الـعلــم قـد يكـون أغلب من الـقـياس

“Istihsan dalam bidang ilmu terkadang-kadang lebih menang dari qias”.

Dalam kitab Ibthalul Istihsan, Asy-Syafi’i menerangkan dalil-dalil yang menegaskan bahwa para mufti tidak boleh berfatwa dengan istihsan, karena kalau dia berfatwa dengan istihsan berarti dia menyimpang dari Al-Qur'an, As-Sunnah, Al-Ijma; dan Qias, dan berarti dia mengikuti pendapatnya sendiri.

Dalam masalah ini Daud ibn Ali menyetujui pendapat Asy-Syafi’i, sebagaimana ulama-ulama Hanbaliyah menyetujui faham Abu Hanifah dan Malik.

Dalam kitab Risalah Al-Ushul, Daud berkata :

إن الحكم بالقياس لايجب والقول بالإستحسان لايجــوز

“Sesungguhnya menetapkan sesuatu dengan qias tidak wajib, dan memper-gunakan istihsan, tidak boleh”.


Shafiyuddin al-Baghdadi dalam kitabnya Qawa’idul Ushul dan Ibnu Qudamah al-Maqdisi dalam kitabnya Raudhatun Nazhir, menandaskan bahwa Ahmad ibn Hanbal menyetujui paham Hanifah dalam masalah ini.

Demikianlah perkembangan dalam fase pertama tentang kedudukan istihsan. Satu pihak mempergunakan istihsan untuk sesuatu dalil yang mereka kehendaki sedang mereka belum dapat menerangkan hakekatnya dan pihak yang lain menolaknya dengan alasan bahwasannya istihsan semata-mata menurut pikiran saja.

C. Pentingnya Sumber Istihsan

Istihsan ini walaupun tidak merupakan suatu dalil yang berdiri sendiri, namun dia menyingkapkan jalan yang ditempuh sebagian mujtahidin dalam menerapkan dalil-dalil syara’ dan kaidah-kaidahnya di ketika dalil-dalil itu bertentangan dengan kenyataan yang berkembang di dalam masyarakat. Hal ini untuk menghilangkan kesulitan dan kemudaratan serta menghasilkan kemanfaatan dengan jalan menerapkan dasar-dasar syariat dan sumber-sumbernya.

Istihsan adalah suatu dalil yang terkuat menunjukkan bahwa hukum Islam adalah suatu hukum yang berkembang dalam masyarakat yang diistilahkan dengan fiqh waq’i bukan suatu fiqh khayali yang merupakan fiqh bayangan sebagai yang digambarkan oleh sebagian orang yang tidak mengetahui hakekat fiqh Islam aau ingin menjauhkan manusia dari padanya.

Mudah-mudahan kita akan dapat mewujudkan ahli-ahli hukum yang pandai mempergunakan dasar istihsan dalam menghadapi perkembagan masyarakat Islam di Indonesia ini.


DAFTAR PUSTAKA

Teungku Muhammad Hasbi Ash-Shiddieqy, Falsafah Hukum Islam, diedit oleh: H.Z. Fuad Hasbi Ash-Shiddieqy, PT. Pustaka Rizki Putra.

Dr. Sobhi Mahmassani, Filsafat Hukum dalam Islam, alih bahasa : Ahmad Sudjono, SH.

Thursday, September 24, 2009

RADHA’AH DAN HADHANAH

1. AYAT PERTAMA (AL-BAQOROH AYAT : 233)

والوالدات يرضعن اولادهنّ حولين كاملين لمن ازاد ان يتمّ الرّضاعه وعلى المولود له رزقهنّ وكسوتهنّ بالمعروف لاتكلّف نفس الاّ وسعها لا تضارّ والدة بولدها ولا مولود له بولده وعلى الوارث مثل ذلك فان اراد فصالا عن تراض منهما وتشاور فلا جناح عليهما وان اردتم ان تسترضعوا اولادكم فلا جناح عليكم اذا سلّمتم ما اتيتم بالمعروف واتّقوا الله واعلموا انّ الله بما تعملون بصير (البقرة : 233)

Para ibu hendaklah menyusukan anak-anaknya selama dua tahun penuh yaitu bagi yang ingin menyempurnakan penyusuan. Dan kewajiban ayah memberi makan dan pakaian kepada para ibu dengan cara yang ma’ruf. Seseorang tidak dibebani melainkan menurut kadar kesanggupannya. Janganlah seorang ibu menderita kesengsaraan karena anaknya, dan seorang ayah karena anaknya, dan warispun berkewajiban demikian. Apabila keduanya ingin menyapih (sebelum dua tahun) dengan kerelaan keduanya dan permusyawaratan, maka tidak ada dosa atas keduanya. Dan jika kamu ingin anakmu disusukan oleh orang lain, maka tidak ada dosa bagimu apabila kamu memberikan pembayaran menurut yang patut. Bertaqwalah kamu kepada Allah dan ketahuilah bahwa Allah maha melihat apa yang kamu kerjakan” (Al-Baqarah 233)

A. MAKNA AL-MUFRADAT

الوالدات : Bentuk jamak dari kata al-walidatu (orang tua perempuan)

الوالد : Orang tua laki-laki

حولين : Dua tahun

فصالا : Menyapih

تشاور : Musyawarah

تسترضعوا : Mencari orang untuk menyusui anak

بالمعروف : Yang patut dan dipandang baik menurut syari’at

بصير : Zat yang maha melihat segala bentuk perbuatan

B. URGENSI I’RAB

Ketika menafsirkan ayat ini (al-baqoroh (2): 233) Rasyid Rida menjelaskan, perintah menyusui anak pada ayat tersebut menggunakan bentuk khobariyyah (berita) bertujuan untuk mubalagah (penekanan ) dalam menetapkan kewajiban. Gaya bahasa seperti itu banyak terdapat dalam al-qur’an, seperti dalam menetapkan kewajiban menunggu masa ‘iddah .bagi perempuan yang ditalak menggunakan bentuk khabariyyah juga, yaitu : wal-mutallaqatu yatarobbasna (dan perempuan-perempuan yang ditalak wajib menunggu masa ‘iddah).

Sebagian ulama berpendapat bahwa ayat tersebut hanya bersifat pemberitaan bahwa menyusui anak adalah sudah menjadi kebiasaan para ibu. Jika maksutnya demikian , maka tidak ada faidahnya jika dikaitkan dangan penetapan hukum. Mungkin ulama’tersebut hanya ingin memperkuat pendapat ahli fiqh yang berpendapat bahwa para ibu tidak wajib menyusui anak-anaknya, kecuali apabila anaknya tidak mau menerima susu orang lain, atau bapaknya tidak mampu membayar ongkos jika disusukan pada orang lain, atau tidak menemukan orang lain yang dapat menyusuinya. Sebab para ahli fiqh berpendapat bahwa bentuk khabar (berita) tidak menunjukkan pada wujub,maka mereka berpendapat bahwa hukum menyusui anak bagi ibu adalah sunnah. (Makalah: Prof. Drs. H. Sa’ad Abdul Wahid, manfaat air susu ibu “II”)

C. RAGAM QIRA’AT

ان يتمّ الرّضاعة : Menurut Jumhur Qurra’

ان تتمّ الرّضاعة : Menurut Mujahid

الرّضاعة : Menurut Abu Raja’ dan Ibnu Ublah

لا تضارّ : Lafadz la berfungsi sebagai kata “cegah

لا تضارّ : Lafadz la berfungsi sebagai kata “tidak” menurut Ibn Kasir

dari Abu Amr

اذا سلّمتم ما اتيتم: Menurut Jumhur Qurra’ (dengan alif panjang “ا ”)

اذا سلّمتم ما اتيتم: Menurut Ibn Kasir (dengan alif Pendek “ا1)

D. MUNASABAH ANTAR AYAT

Hubungan ayat ini dengan ayat-ayat sebelumnya ialah bahwa setelah Allah swt. dalam ayat-ayat sebelumnya menyebutkan sejumlah pokok hukum yang berkaitan dengan masalah-masalah nikah (perkawinan), talaq, ‘iddah, rujuk dan larangan menghalangi wanita yang ditalaq untuk kawin lagi, maka Allah swt. menerangkan dalam ayat ini pokok hukum penyusuan, sebab talaq membawa sebagai akibat perceraian dan perpisahan antara suami istri.

Adakalahnya seorang laki-laki menceraikan istrinya dengan meninggalkan seorang anak yang masih menyusu pada ibunya. Mungkin saja wanita yang ditalaq menyia-nyiakan anak itu, bahkan mungkin tidak menyusuinya, sebagai tindakan balas dendam dan sakit hati terhadap suami yang menceraikannya. Oleh sebab itu ayat ini diturunkan untuk menyeruhkan kepada para ibu yang ditalak agar mereka memelihara dan memperhatikan keadaan anak-anaknya yang ada dalam asuhan mereka.

E. TAFSIR GLOBAL

Allah SWT menyuruh agar ibu-ibu yang di talak oleh suaminya agar menyusui anaknya selama dua tahun penuh, jika ibu bapak ingin meyempurnakan penyusuan, dan agar ayah anak itu memikul kewajiban mencukupi penyusu yang bertugas menyusukan anaknya. Ia berkewajiban juga memberikan nafkah kepada orang yang menyusukan anaknya itu supaya ia dapat menjalankan tugas asuhannya dengan sebaik-baiknya dan dapat memelihara anak itu serta menjaga dari segala kesulitan yang di timbulkan oleh keadaan sekelilingnya. Nafkah yang dibayarkannya itu harus dengan cara yang patut dan menurut kekuatan dan kemampuan, sebab Allah tidak membebani seseorang melainkan menurut kadar kemampuannya.

Selanjutnya Allah mengingatkan kedua orang tua anak agar yang satu jangan menyebabkan kesengsaraan yang lain karena si anak. Jadi todaklah boleh bagi ibu menolak menyusukan anaknya, hanya untyuk menyusahkan ayah anak itu, umpamanya dengan mengatakan kepada ayah anak itu : “Carikanlah untuknya seorang penyusu selain aku.” Sebaliknya ayah anak itu tijuga tidak diperbolehkan mencabut anaknya dari ibunya padahal si ibu suka menyusukannya, perbuatan-perbuatan itu sama dilakukan hanya untuk saling menyusahkan karena anak.

Kemudian Allah SWT menerangkam bahwa apabila kedua orang tua itu berkehendak menyapih anak mereka setelah keduanya berunding untuk itu dan dengan kerelaan dari keduanya, sebelum dua tahun dari penyusuan, maka hal itu tidak menimbulkan dosa, jika keduanya memandang bahwa bagi anak itu air susu ibunya sudah dapat diganti dengan mekenen lain. Ketentuan ini di tujukkan bagi kebaikan si anak dan untuk menolak kemudharatan terhadapnya. Dalam hal ini kedua orang tua itu adalah orang-orang yang paling mengetahui tentang kemaslahatan anaknya dan orang-orang yang paling sayang kepadanya.

Apabila kamu hai para ayah ingin mengambil seorang penyusu lain bagi anakmu, karena ibunya menolak menyusukan, atau karena tidak dapat menyusukan, atau karena hendak kawin lagi, maka tiada dosa bagimu untuk berbuat demikian itu dengan syarat bahwa kamu akan membayarkan kepada penyusu tersebut upah yang kamu telah setujui untuk membayarkannya dan janganlah kamu mengurangi haknya, sebab seorang penyusu kalau tidak di rumahi, ia tidak akan memperdulikan anak yang di susui itu dan tidak pula akan memperhatikan penyusuannya, ataupun segala keperluan dan urusannya. Karena itu berikhsanlah kepada penyusu itu supaya mereka mengurusi dengan baik keperluan anak-anakmu. Bertakwalah kepada Allah hai orang-orang yang beriman dan ketahuilah bahwa Allah selalu melihatmu, tidak ada sesuatu yang tersembunyi bagi Allah dari segala perkaramu dan bahwa Allah akan membalasmu mengenai amalan dan perbuatanmu nanti pada hari pembalasan yaitu hari di mana seseorang tidak berdaya sedikitpun untuk menolong orang lain, dan segala urusan pada hari itu dalam kekuasaan Allah.

F. SEGI-SEGI HUKUM

1. Hukum Pertama : Apakah yang dimaksud dengan kata الوا لدات dalam ayat, al-Baqarah : 233 ?

a. Sebagian orang menafsirkan bahwa kata الوا لدات dalam ayat tersebut sebagaiu khusus kata “para ibu yang di talak.” Ini adalah pendapat mujahid, Adh-dhahhah dan As-sadi. Mereka berhujjah bahwa ayat-ayat yang mendahului ayat tersebut membicarakan pokok hukum yang menyangkut wanita-wanita yang di talak. Ayat الوالدات datangnya setelah ayat-ayat tersebut sebagai pelengkap daripadanya. Mereka berhujjah pula bahwasanya Allah swt mewajibkan kepada seorang ayah memberi makan dan pakaian kepada para ibu itu. Sekiranya mereka itu istri-istri yang tidak di talak maka tiad alasan untuk mewajibkan hal itu karena memang sudah menjadi kewajiban atas seorang suami memberi nafkah kepada istrinya. Selanjutnya mereka mempergunakan sebagai dalil adanya hukum yang melarang mendatangkan kemudharatan karena anak, hal mana menunjukkan bahwa yang di maksud dengan الوالدات iddah ibu-ibu yang ditalak, sebab seorang ibu yang masih serumah tangga dengan suaminya tidak akan menderita kesengsaraan karena anaknya.

b. Segolongan lain berpendapat bahwa yang di maksud dengan الوالدات ialah ibu-ibu yang masih menjadi istri, yakin masih dalam ikatan perkawinan. Pendapat ini di pilih oleh Alwahadi, sebagai mana dinukil oleh Sl-razi dan Alqurthubi. Hujag dalam hal ini ialah bahwa wanita yang ditalak tidak berhak atas pakaian, melainkan berhak hanya atas upah.

c. Golongan lain lagi mengatakan bahwa yang dimaksud dengan الوالدات ialah semua ibu secara umum baik yang masih dalam ikatan perkawinan (dengan suaminya) maupun yang tidak, sesuai dengan zhahir lafazh yang bersifat umum dan itdak ada petunjuk akan adanya arti khusus baginya. Pendapat ini menjadi pilihan Abu Ya’la, Abu Sulaiman Addamsyiqi serta ulama-ulama yang lain. Kiranya pendapat inilah yang paling rajih (termantap). Abu Hayan mengambil pendapat ini dalam tafsirnya “Al-Bahrul Muhith”.

2. Hukum kedua : Apakah wajib seorang ibu menyusukan anaknya?

Sebagian ulama berpendapat bahwa seorang ibu berkewajiban menyusukan anaknya, yaitu sesuai dengan bunyi ayat والوالدات يرضعن اولادهنّ merupakan suatu perintah yang dituangkan dalam bentuk berita. Maknanya “ibu-ibu hendaklah menyusukan anak-anaknya.”

Menurut mazhab Imam Malik menyusukan anak adalah suatu yang wajib bagi seorang ibu yang masih berstatus istri, menyusui seorang anak adalah kewajiban seorang ibu yang masih menjadi istri ayah anaknya , atau kalau anak menolak tetek orang lain, atau ayahnya sudah tiada lagi. Adapun ibu yang sudah ditalak ba’in tidaklah berkewajiban menyusukan anaknya, sebab kewajiban tersebut dipikulkan kepada ayah anak, kecuali apabila ibunya suka menyusukannya maka ia lebih berhak melakukannya daripada orang lain.2

Jumhur ulama fiqh Berpendapat bahwa perintah menyusui di sini adalah sebagai anjuran dan bahwa tiada kewajiban bagi seorang ibu menyusui anaknya, kecuali bila diyakini bahwa anaknya tidak menerima selain sus ibunya, atau bila ayah anak itu tidak mampu mengambil seorang penyusu untuk menyusukan anaknya, atau ayah mampu tapi tidak dapat menemukan seorang penyusu. Para ulama tersebut berhujjah dengan firman Allah SWT : وان تعاسرتم فسترضع له اخرى“Jika kamu menemukan kesulitan maka perempuan lain akan dapat menyusukannya”.

Sekiranya meyusui anak itu wajib bagi ibu tersebut maka agama akan mentaklifkannya dengan kewajiban tersebut. Namun syariat hanya menganjurkan kepadanya sebab air susu ibu adalah yang paling cocok bagi anaknya, sedang kasih sayang ibu lebih besar daripada kasih sayang orang lain.

3. Hukum Ketiga : Berapakah Lama penyusuan yang mengakibatkan berlakunya hukum untuk di kawini?

Jumhur ulama fiqh (Malik, Syafi’I dan Ahmad) Berpendapat bahwa penyusuan yang berkaitan dengan haram di kawini, dan yang padanya di lakukan hukum yang sama dengan hukum muhrim karena keturunan, sebagaimana sabda Nabi saw :

يحرم من ا لرضاع ما يحرم من ا لنسب

“Haram dari susuan apa yang haram dari keturunan,” adalah penyusuan yang dilakukan dalam masa dua tahun. Mereka berhujjah dengan firman Allah :

والوالدات يرضعن اولادهن حولين كا ملين

Para ibu hendaknya menyusukan anak-anaknya selama dua tahun penuh” serta berdasarkan hadits yang diriwayatkan oleh Ibnu ‘Abbas ra. Bahwasanya Rasulullah saw bersabda :

لارضاع الا ما كا ن في الحولين

“Tiada susuan kecuali yang terjadi dalam masa dua tahun.”3

Abu Hanifah berpendapat bahwa susuan yang menyebabkan berlakunya hukum haram di kawini adalah susuan dalam jarak masa dua setengah tahun berdasarkan firman Allah :

وحمله وفصا له ثلاثون شهرا

“Mengandungnya sampai menyampihnya adalah tiga puluh bulan.”4

Al-‘allamah Al-qurtubhi berkata : “Yang benar adalah pendapat yang pertama berdasarkan firman Allah : حولين كا ملين (dua tahun penuh). Ketetapan ini menunjukkan bahwasanya tiada terdapat hukum bagi yang menyusukan seorang anak selewat usia dua tahun. Hal ini sesuai pula dengan sabda Nabi saw :

لارضاع الا ما كا ن في الحولين

“Tiada susuan kecuali yang terjadi dalam masa dua tahun.”

Hadits ini di tambah dengan firman Allah serta makna yang di kandung oleh keduanya meniadakan penyusuan anak/orang yang sudah besar, dan bahwasanya tiada terdapat hukum mengenai haramnya perkawinan dalam hubungan itu. Diriwayatkan bahwasanya Aisyah ra. memberikan pendapat tentang berlakunya hukum penyusuan bagi orang dewasa. Pendapat ini dianut pula oleh Lits bin Sa’d. abu Musa Antara lain Asy’ari diriwayatkan bahwa ia berpendapat yang demikian pula mengenai penyusuan terhadap orang dewasa, tetapi diriwayatkan bahwa ia menarik kembali pendapatnya itu.

4. Hukum Keempat : Bagaimanakah cara menilai kadar nafkah yang harus di berikan kepada seorang penyusu?

Firman Allah:

وعلى المولود له رزقهنّ وكسوتهنّ بالمعروف.

Menunjuk kepada kewajiban suami memberikan nafkah kepada seorang penyusu anaknya, sedang kadar nafkah itu disesuaikan dengan keadaan mampu atau tidak mampu ayah anak yang bersangkutan, sesuai dengan firman Allah: “Seseorang tidak dibebani kecuali sesuai dengan kesanggupannya.” Hal ini di buktikan pula oleh firman Allah swt :

لينفق ذوسعة من سعته ومن قدرعليه رزقه فلينفق مما اته الله

“Hendaklah orang yang mampu memberi nafkah menurut kemampuannya dan orang yang di sempitkan rizkinya hendaklah memberi nafkah dari harta yang diberikan Allah kepadanya.”

Aljash-shah menerangkan dalam tafsirnya “Ahksmul Qura’n” sebagai berikut; Ayat tersebut mengandung dua pengertian:

a. Ibu paling berhak menyusukan anaknya dalam masa dua tahun, dan bahwasanya bagi ayah anak tidak ada hak untuk menyusukan anaknya pada orang lain, selama ibunya setuju untuk menyusuinya sendiri.

b. Kewajiban ayah memberi nafkah penyusuan itu hanya sampai dua tahun saja.

5. Hukum Kelima : Apakah yang di maksud dengan firman Allah وعلىالوارث مثل دالك (Dan warispun berkewajiban demikian)?

Mufassirin berikhtilaf mengenai maksud kata الوارث dalam ayat tersebut menjadi beberapa pendapat antara lain :

a. Segolongan mengatakan bahwa yang di maksud dengan الوارث disini ialah waris anak bayi itu seandainya dia mati. Yang demikian ini adalah pendapat Atha’, Mujahid dan sa’id bin Abi Jubair. Selanjutnya penganut-penganut pendapat ini berikhtilaf pula (mengenai waris itu), sebagian dari mereka mengatakan bahwa para waris dari kalangan laki-laki sajalah yang diwajibkan untuk memberikan nafkah itu. Golongan lain mengatakan waris dari kalangan laki-laki maupun perempuan, ini adalah pendapat Ahmad dan Ishaq. Ada golongan lain lagi yang mengatakan bahwa yang dimaksud dengan waris anak itu ialah semua kerabat yang muhrim (yang berhak atas warisan) dari sanak saudara bayi itu, ini adalah pendapat Abu Hanifah dan kedua orang kawannya.

b. Sebagian lain dari kaum mufassirin bahwa yang di maksud dengan waris di sini ialah waris ayah anak itu, pendapat ini diriwayatkan oleh Alhasan dan Assuday.

c. Sebagian lain mengatakan bahwa yang di maksud dengan waris ialah salah seorang yang masih hidup dari kedua orang tua anak itu setelah di tinggal mati oleh yang lain, yang demikian ini adalah pendapat Sufyan Ats-tsauri.

d. Yang lain lagi mengatakan bahwa yang di maksud dengan waris adalah anak itu sendiri, maka nafkah untuk dirinya dikeluarkan dari hartanya jika ia mempunyai harta pusaka. Ath-thabari mentarjihkan pendapat yang akhir ini dan dipilihnya di antara pendapat-pendapat yang lain.5

G. HIKMAH PENSYARI’ATAN

Allah SWT. menggalakan para ibu agar menyusukan anak-anaknya dengan menetapkan masa penyusuan selama dua tahun penuh, sebab selewat waktu tersebut seorang anak bayi sudah dapat meninggalkan air susu Ibu dan dia dapat mulai membantu dengan diberikan kepadanya makanan dan minuman. Tiada yang lebih baik untuk seorang anak bayi dari air susu Ibu. Susu Ibu adalah sebaik-baik makanan, menurut kesepakatan para ahli medis, sebab anak itu terbentuk dari darah ibu ketika masih dalam rahimnya, setelah anak itu lahir, maka darah itu berubah keadaannya menjadi air susu, yang dengan darahnya si bayi memperoleh makanannya, maka air susu Ibu itulah yang cocok dan sesuai bagi si Bayi, sebab ia sudah berpisah dari badan ibunya. Dalam hal ini hikmah Illahi menetapkan menjadikan susu ibu sebagai makanan bagi bayi, cocok bagi pertumbuhan anak menurut tingkatan yang wajar.

Selanjutnya apabila seorang anak oleh satu dan lain hal harus disusukan oleh seorang penyusu karena suatu keadaan darurat, maka perlulah diteliti kesehatan penyusu dan diketahui akhlak dan tabiatnya, sebab air susunya mempunyai pengaruh terhadap jasmani, akhlak dan sopan santun anak itu, sebab air susu itu keluar dari darah penyusu, lalu dihisap oleh anak, air susu itu menjadi darah dalam tubuhnya untuk membentuk daging dan menyusun tulang. Maka air susu Ibu itu mempunyai pengaruh terhadap anak itu baik fisik maupun moral. Dalam hubungan ini telah dikonstatir bahwa pengaruh perasaan-perasaan psikologis dan mentalnya terhadap anak yang disusui itu lebih besar daripada pengaruh sifat-sifat jasmaninya. Maka dapatlah dibayangkan betapa besar pengaruh-pengaruh akal pikirannya, perasaannya dan bakat-bakatnya yang tumbuh dalam diri anak itu.

Seorang ibu, kalau ia menysukan anaknya, ia tidak menyusui anaknya itu dengan air susunya melainkan ia menyusui anaknya dengan belas kasihan, kesayangan dan kehalusan budi seorang ibu, maka anak itu akan tumbuh berwatak suka mengasihani dan mencintai kebaikan. Sebaiknya anak-anak yang tidak memperoleh kasih sayang ibu-ibunya, mereka tumbuh menjadi anak-anak dengan komplikasi mental, yang membentuk dalam jiwa mereka dorongan-dorongan kekejaman kejahatan dan balas dendam. Para ahli Pedagogi dan pendidikan dikalangan bangsa-bangsa yang maju telah menyadari akan hal ini sehingga permaisuri-permaisuri kaisa-kaisar, menyusukan sendiri anak-anak mereka dan mereka tidak rela menyerahkan anak-anaknya kepada penyusu-penyusu.

Alangkah jauhnya hal tersebut diatas dari keteledoran yang kita saksikan pada masa kini mengenai penyusuan anak dan pengurusan hal ihwalnya. Sampai-sampai para ibu yang difitrahkan Allah SWT. untuk merasakan kenikmatan menyusui anak dan memperoleh kepuasan dgnnya yaitu yang kaya-kaya diantara mereka pada zaman sekarang menolak menyusui anak-anaknya karena keangkuhan dan keinginan memelihara kemontokan dan keindahan tubuh. Apa yang mereka lakukan itu bertentangan dengan fitrah, lagipula merusak pendidikan anak. Kami tidak mendapati suatu agama yang menyinggung kebaikan-kebaikan mendidik remaja seperti yang dilakukan oleh agama Islam.

2. AYAT KEDUA SURAT AN-NISA AYAT : 2,5,6 dan 10

واتوا اليتمى اموالهم ولا تتبدّلوا الخبيث بالطيّب ولا تأكلواموالهم الى اموالكم انّه كان حوبا كبيرا (2) ولا تو توا السّفهاء اموالكم التي جعل الله لكم قياما وارزقوهم فيها واكسوهم وقولوا لهم قولا معروفا (5) وابتلوا اليتمى حتى اذا بلغوا النكاح ط فان انستم منهم رشدا فادفعوا اليهم اموالهم خ ولاتاءكلو هااسرافا وبدارا يكبرواط ومن كان غنياّ فليستعفف ومن كان فقيرا فلياءكل بالمعروف خ فاذا دفعتم اليهم اموالهم فاءشهدوا عليهم وكفى بالله حسيبا (6) انّ الذي ياءكلون اموال اليتمى ظلما انما يأ كلون في بطونهم نارا وسيصلون سعيرا(10)

“Dan berikanlah kepada anak-anak yatim (yang sudah baligh) harta-harta mereka, jangan kamu menukar yang baik dengan yang buruk dan jangan kamu makan harta mereka (dengan jalan mencampur adukkannya) kepada hartamu, sesungguhnya tindakan-tindakan (menukar dan memakan) itu, adalah dosa yang besar.”(2)

“Dan janganlah kamu serahkan pada orang yang sempurna akalnya, harta (mereka yang ada dalam kekuasaanmu) yang kamu sendiri dijadikan Allah sebagai pemeliharanya. Berilah mereka belanja dan pakaian (dari hasil harta itu) dan berkatalah pada mereka dangan kata-kata yang baik.”(5)

“Dan ujilah anak yatim itu sampai merekacukup umur untuk kawin. Kemudian jika menurut pendapatmu mereka telah cerdas (pandai memelihara harta) maka serahkanlah kepada mereka harta-hartanya. Dan janganlah kamu makan harta anak yatim lebih dari batas kepatutan dan (janganlah kamu) tergesas-gesa (membelanjakan) sebelum mereka dewasa. Barang siapa (diantara pemelihara itu) mampu, maka hendaklah ia menahan diri (dari memakan harta anak yatim itu) dan barang siapa miskin, maka bolehlah ia makan harta itu menurut sepatutnya, kemudian apabila kamu menyerahkan harta kepada mereka, hendaklah kamu adakan saksi-saksi (tentang penyerahan itu) bagi mereka. Dan cukuplah Allah sebagai pengawas (atas persaksian itu).”(6)

“Sesungguhnya orang-orang yang memakan harta anak yatim secara zalim, sebenarnya mereka itu menelan api sepenuh perutnya dan mereka akan masuk kedalam api yang menyala-nyala.” (10)

A. MAKNA A­L­-MUFRADAT

اليتمى : bentuk jamak dari يتيم yaitu anak yatim (anak yang bapaknya

meninggal dunia)

Di dalam kamus “Lisanul ‘Arabi” di sebutkan :

- اليتيم : Anak yang bapaknya meninggal

- والعجي : Anak yang di tinggal mati ibunya

- واللطيم : Anak yang tidak beribu bapak

حوبا : Dosa

السّفهاء : orang-orang yang tidak dapat mengetahui harta bendanya,

atau memboroskan hartanya di jalan yang tidak semestinya.

قياما : Yang dengan sebabnya kamu memperoleh sarana

penghidupan dan yang menjadi sandaran kehidupanmu.

وابتلوا : Ujilah kemampuan berfikir dan kecakapan mereka dalam

mengurus harta benda yang mereka miliki.

انستم : Kamu mengetahui atau kamu berpendapat.

رشدا : Memperoleh petunjuk ke jalan yang membawa kepada

kebaikan /mempunyai kecerdasan untuk mengurus dan memelihara hartanya.

فليستعفف : Menahan diri dari sesuatu

يصلون سعيرا : Mereka akan masuk ke dalam api neraka dan merasakan

sengatan api yang sangat panas lagi menyala-nyala, dimana orang akan terbakar karena panas dan gejolak api tersebut.

B. QIRA’AT

1. Jumhur qura’ membaca التي جعل الله لكم قياما

2. Nafi’ dan ahli Madinah membaca التي جعل الله لكم قيما

3. Jumhur qura’ membaca فاءن انستم منهم رشدا

4. Assalami membacanya فان انستم منهم رشدا

5. Jumhur qura’ membaca وسيصلون سعي

6. Ibnu Amir dan Aslim membaca وسيصلون سعيرا

C. I’RAB

1. اسرافا وبدارا disebut مفعول لاجله

Diterjemahkan yaitu : Secara melebihi batas yang patut dengan cara tergesa-gesa. Adapula yang mengi’rabkan اسرافا وبدارا di sebut حل

Terjemahannya menjadi : dalam keadaan kamu hendak melebihi batas yang patut dan dalam keadaan hendak mempercepat habisnya sebelum anak-anak yatim itu menjadi dewasa.

2. وكفا بالله حسيبا adalah : Belebihan dan karenanya tidak di terjemahkan.

3. نصيبا معروضا ialah keterangan kesesuaian yang artinya : sesuai dengan bagian yang di tetapkan.

D. ASBAB AN-NUZUL

1. Semasa zaman jahiliah orang tidak mewariskan hartanya kepada kerabat perempuan dan anak-anak, harta peninggalan hanya diwariskan kepada para karib yang dewasa. Maka Allah menurunkan ayat :

للرجال نصيبا مما ترك الوالدان والاءقربونا وللنساء نصسب مما ترك الوالدان والاءقربون

2. Diriwayatkan bahwasanya seorang laki-laki dari kabilah ghathafan setelah anak itu mencapai dewasa ia meminta hartanya tetapi sang paman menolak permintaan itu, lalu anak itu mengadukan perkara tersebut kepada Nabi saw, maka turunlah ayat :

...واتوااليتامى اموا لهم dan seterusnya, yang artinya “Dan berilah kepada anak-anak yatim (yang sudah baligh harta mereka…dan seterusnya), demikianlah menurut Sa’id bin Jubair.6

E. TAFSIR GLOBAL

1. An-Nisa’ ayat dua

Pendapat ini dari Abu Su’ud, beliau berkata: Terhadap harta anak-anak yatim yang sudah baliqtesebut baru saja meninggalkan masa kekanak-kanakannya dan sebagai isyarat akan kehausan, oleh karena itu bersegerah menyerahkan kepada mereka harta tersebut. Para ulama sependapat dengan pendapat ini.

2. An-Nisa’ ayat lima

Ayat diatas merupakan peringatan akan keharusan adanya gotong royong diantara anggota-anggota masyarakat dalam suatu umat, serta merupakan anjuran agar supaya dilakukan pemeliharanterhadap harta dan dan larangan membuang-buang harta, sebab pemborosan harta oleh orang yang bodoh dan tak pandai dalam pemeliharaan harta merupakan suata kemadlorotan bagi masyarakat.

Al-Fakhurrazi berkata : ” harta adalah sesuatu yang dapat di ambil manfa’atnya serta di butuhkan oleh setiap jenis manusia. Disebabkan kesatuan jenis ini maka baik sekali penasaban harta orang-orang yang tak pandai memelihara hartanya kepada para walinya ( seolah-olah milik para wali itu ).7

Lafadl قياما yakni kekuasaan atas harta yang menjadi sebab bagi wujudnya sarana. Pengibaratan ini hanya sekedar sebagai penekanan akan pentingnya fungsi harta. Kaum salaf : harta adalah senjata bagi orang mukmin. Lebih baik aku meninggalkan harta yang akan dimintai pertanggung jawabannya oleh Allah kepadaku, dari pada bertanggung jawab kepada belas kasih manusia.8

Tafsir lafadl An-nisa’ Ayat 6 : فان انستم منهم رشدا yakni; kecerdasan dalam memelihara harta dan melakukan perdagangan .atau sekedar mempunyai kecerdasan yang tampak akan adanya sehingga tidak perlu menanti sampai adanya kecerdasan perlu.

Tafsir lafadl يأ كلو بالمعروف memakan menurut yang patut menunjukkan bahwa bagi seorang wali (kurator) ada hak mengambil uang mungkin tugasnya mengurus harta anak yatim (anak yang berada dibawah perwaliannya). Telah diriwayatkan bahwa seorang datang kepada Rosululloh Saw.dan berkata kepada beliau;”Saya mempunyai seorang anak yatim di bawah pemeliharaanku.bolehkah saya bersamanya ?”Rosululloh menjawab: “Boleh,menurut yang patut,tanpa menyalah gunakan hartanya untuk mencari keuntungan dan tanpa upaya memperbaiki keuanganmu dengan menggunakan uangnya.9

F. Tafsir lafadl :

Al- qurthubi berkata :harta anak yatimyang dimakan secara dholim ada yang berpendapat lafadl : ialah barang haram, karena barng yang haram akan membawa kepada siksaan api neraka,karena harta anak yatim yang dimakan secara haram itu di sebut dalam bahasa Al- qur’an 10:

G. Kesimpulan

Kuwajiban melakukan penguasaan (kekuratoran) terhadap orang-orang yang belum sempurna akalnya sampai memperoleh kecerdasan dan kebiasaan mengurus harta.

Menafkahkan untuk keperluan orang yang terhadapnya dikenakan kekuratoran, berupa sandang pangan dan keperluan lain-lain.

Menguji kecedasan anak-anak yatim ketika sudah baligh sebelum harta mereka di serahkan kepada mereka,untuk mendapatkan indikasi tentang parameter kecerdasan mereka.

Keharusaan mengadakan saksi-saksi ketika akan menyerahkan kepada anak-anak yatim harta mereka untuk menhilangkan kekhawatiran adanya pengingkaran dari fihak mereka mengenai penyerahan harta itu.

3. AYAT KETIGA SURAT AL- AHZAB: 4 – 5

ما جعل الله لرجل مّن قلبين في جوفه ج وما جعل أزوجكم الّئ تظهرون منهنّ امّهتكم ج وما جعل ادعيا ءكم ابناءكم قلي ذ لكم قولكم بافواهكم قلي والله يقول الحقّ وهو يهدى السّبيل (4) ادعوهم لابا ئهم هو اقسط عند الله ج فان ّلم تعلموا اباءهم فاخوانكم في الدّين ومواليكم قلي وليس عليكم جناح فيما اخطأتم به ولكن مّا تعمّدت قلوب كم قلي وكان الله غفورارّحيما (5)

“Allah sekali-kali tidak menjadikan bagi seseorang dua buah hati dalam rongganya dan Dia tidak menjadikan istri-istrimu yang kamu dzihar itu sebagai ibumu. Dan dia tidak menjadikan anak-anak angkatmu sebagai anak angkatmu (sendiri). Yang demikian itu hanyalah perkataanmu dimulutnya saja. Dan Allah mengatakan yang sebenarnya dan Dia menunjukkan jalan (yang benar).”

“panggillah mereka (anak-anak angkat itu) dengan memakai nama bapak-bapak mereka, itulah yang lebih adil di sisi Allah. Dan kalau kamu tidak mengetahui bapak-bapak mereka, maka (panggillah mereka sebagai) saudaramu seagama dan maula-maulamu. Dan tidak ada dosa bagimu jika kamu khilaf dalam hal itu, tetapi (yang ada dosanya) apa yang disengaja oleh hatimu. Dan adalah Allah maha pengampun lagi maha penyayang.”

A. URAIAN KATA-KATA

تظهرون : Berdzihar. Orang-orang Arabdi zaman jahiliah dahulu menceraikan istri-istri mereka dengan kalimat tersebut. Dzihar bagi mereka adalah talak, setelah Islam datang mereka di larang berdzihar dan mewajibkan membayar kafarat terhadap mereka yang mendzihar istrinya.

أدعيا ءكم : Bentuk jamak dari kata دعيّ yaitu orang yang di panggil “anak” yaitu “adopsi” atau pengangkatan anak.

موا لكم : Kawan-kawanmu seagama.

B. QIRAAT

Jumhur qura’ membaca تظا هرون dengan ta’ dhommah. Abu Amr membaca تظّا هرون dengan ta’ fathah dan zha ditasydidkan, sedang Harun membacanya تظهرون dengan ta’ fathah dan zha saknah menurut Abu Hayyan dalam tafsirnya “al-Bahrul Muhith”.

Jumhur qura’ membaca وهو يهد السّبيل dengan ya’ fathah dan ha saknah. Qatada membacanya يهدّي dengan ya dhommah, ya fathah dan dhal di di tasydidkan.

C. GRAMATIKAL KATA

1. جعل - خلق. من قلبين, kata “min” di sini berfungsi sekedar sebagai perangkai. قلبين obyek dari kata kerja جعل. Sebaliknya dalam kalimat وما جعل أدعيا ءكم أبنا ءكم kata kerja جعل bemakna صيّر : menjadikan dan berpelengkap dua obyek, yakni أدعيا ءكم dan أبنا ءكم.

2. ولله يقول الحقّ, ada dua kemungkinan bagi uraian kata الحق, yakni الحقّ menjadi obyek dari kata يقول dan الحقّ sebagai kata sifat dari suatu kata benda yang tidak di cantumkan dan yang perkiraannya القول (perkataan) sehingga di perkirakan ولله يقول القول الحق.

3. ولكن من تعمّدت قلو بكم.

- ما disini berangkai dengan فيما pada perktaan فيما أفطأ تم به.

- ما sebagai pokok kalimat sehingga ولكن من تعمّدت قلو بكم “tetapi apa yang disengaja oleh hatimu itulah yang dosa.”

D. Asbabun Nuzul

Diriwayatkan bahwasanya seorang laki-laki dari suku Quraisy bernama Jamil bin Ma'mar Alfihri adalah seorang yang cerdas cepat menangkap dan hafal apa yang ia dengar. Orang-orang quraisy berkata : “ia tidak akan menangkap dengan cepat (hafal) segala sesuatu itu kecuali bahwa ia mempunyai dua buah hati dalam rongganya”. Jamil itu sering berkata : “aku mempunyai dua buah hati dan dengan masing-masing dari keduanya aku dapat mengerti lebih baik dari akal yang di punyai Muhammad. Maka ketika terjadi perang Badar dan kaum mustrikin Quraisy kalah. Sedang Jamil dalam peperangan itu termasuk di antara tentara Quraisy, Abu Sufyan menyebutnya dan melihatnya menjinjing sebelah sendal, sedang yang sebelahg lagi masih melekat di kakinya, Abu Sufyan bertanya : “Bagaimana Keadaan orang-orang kita?” Jamil menjawab, “mereka kalah”, Abu Sufyan bertanya lagi, “dan mengapa sebelah sandalmu di tanganmu dan yang satu lagi di kakimu?” tapi Jamil merasa kedua sandalnya berada di kakinya.” Sejak saat itu orang-orang Quraisy mengetahui bahwa seandainya ia mempunyai dua buah hati, ia takkan lupa bahwa sebelah sandalnya ada di tangannya. Lalu turunlah syrat al-Ahzab ayat 4 :

As-Suyuti meriwayatkan dari Mujahid r.a bahwa Nabi mengambil Zaid bin Haritsah sebagai anak angkatnya dan memerdekakannya. Peristiwa ini terjadi sebelum wahyu turun kepada beliau (sebelum kerasulan beliau). Ketika Nabi saw mengawini Zainab binti Jahsy (bekas istri Zaid), orang-orang yahudi dengan orang-orang munafik berkata : “Muhammad kawin dengan istri anaknya padahal ia melarang manusia berbuat yang demikian itu”. Maka turunlah firman وما جعل أدعيا ءكم أبنا ءكم, Bukhori meriwayatkan dalam shahihnya dari Aabdullah ibnu Umar r.a bahwa ia berkata : “Semula kami tidak memanggil Zaid bin Haritsah selain dengan sebutan Zaid bin Muhammad,” sampai turun ayat أدعو هم لأياء هم هو أقسط عند الله.

E. Munasabah

Allah menjelaskan tentang dzihar dan adopsi anak dalam ayat tersebut terdapat hubungan dengan ayat sebelumnya yang menyebutkan tentang perkara yang bathil yang diada-adakan oleh orang jahiliyah.

F. Hukum yang terkandung

1. Apakah dzihar haram menurut hukum syari’at Islam?

Islam telah menghapuskan tradisi dzihar itu dan memandangnya sebagai suatu kedustaan dan kesesatan, Islam mengharamkan dzihar tetapi menjadikan keharamannya itu mempunyai bats waktu yaitu sampai si suami membayar kafarat atas dzihar yang diucapkannya.

2. Apakah adopsi di perbolehkan dalam Islam?

Islam juga mengharamkan adopsi, karena terkandung penasaban seorang anak kepada seorang yang bukan bapak kandungnya sendiri.

3. Apakah hukum “afiliasi” atau penerimaan seseorang sebagai anak sendiri menurut syariat Islam?

Afiliasi atau penerimaan seseorang sebagai anak sendiri yang di perkenankan oleh Islam tidak ada hubungannya sama sekali dengan adopsi yang di haramkan Islam, sebab syarat bagi halalnya afilasi yang sah ialah bahwa orang yang menerima anak itu mengetahui bahwasanya yang di terima sebagai anaknya itu adalah anaknya. Adapun adopsi yang di larang ialah dengan pengetahuan seseorang bernasab kepada orang yang bukan ayahnya dengan pengetahuan penuh bahwa ia bukan anaknya.

G. Kesimpulan

1. Anggapan bahwa orang yang cerdik pandai mempunyai dua hati dalam rongganya adalah dugaan yang bathil yang bertentangan dengan agama dan akal sehat.

2. Kepercayaan bahwa istri yang di dzihar menjadi menjadi sebagai ibu kandung tidak lain hanya dugaan buatan jahiliyah yang bodoh.

3. Di haramkannya adopsi dalam Islam dan kewajiban memanggil anak-anak ngkatnya dengan menasabkan mereka kepada bapak kandungnya.

REFRENSI

٭ Al-Mahalli, Jalaluddin Muhammad dan Al-Suyuti, Jalaluddin Abdurrahman, Tafsir Al-Qur’an Al-‘Adhim, Cetakan I, Dar Al-Fikr, Beirut, 1991.

٭ Al-Rozi, Fahruddin, Tafsir Fhar Al-Rozi, Dar Al-Fikr, Beirut, 1985.

٭ Al-Shobuny, Muhammad Ali, Rowa’iul Bayan Fi Tafsiri Ayat Al-Ahkam, Jilid I, Dar Al-Fikr, Beirut, 1987.

٭ Al-Zuhailiy, Wahab, Tafsir Munir, Juz II, Dar Al-Fikr, Beirut, 1991.

٭ Dahlan, Abdul Aziz, Hukum Islam-Ensiklopedi, Cetakan I, Jilid II. Jakarta: Ikhtiyar Baru Van Hoeve, 1997.

٭ Ibnu katsir, Abi Al-Fida’ Al-Dimasqy, Tafsir Al-Qur’an Al-‘Adhim, Juz I, Dar Al-Qutub Al-Ilmiyah, Beirut, 1994.



1 Lihat Zadul-masir, jilid I halaman 273. Tafsir Arrazi, jilid 6 halaman 133. Tafsir Alqurthubi, jilid III

halaman 173. Tafsir Alkasysyaf, jilid I halaman 213 dan Albahrul-muhith, jilid II halaman 218.

2 Lihat Ahkamul-Qur’an oleh Ibnu Arabi, jilid I halaman 204. Tafsir Aqurthubi, jilid III halaman 161

dan Kitab-kitab fiqh.

3 Diriwayatkan oleh Addarquthni dan mengatakan tidak ada yang mensanadkannya dari Uyainah

selain Alhaitsan bin Jamil, seorang ahli hadits yang berpredikat tsiqah (amanat) dan hafidz.

4 Lihat pembahasan secara terperinci mengenai masalah ini serta hujjah imam Abu Hanifah dalam

tafsir Aljash-shash, jilid I Halaman 448. Lihat pula jilid II kitab ini dan tarjih di antara pendapat-

pendapat.

5 Lihat Tafsir Ath-thabari, jilid II halaman 504-505.

6 Diriwayatkan oleh Ibnu Abi Hatim “tersebut dalam addurul-mansur, jilid II halaman 117”, lihat

Zabul Masir, jilid II halaman 4.

7 Tafsir ar-Rozi jilid 9 hal. 184

8 Tafsir al-Kasysyaf jilid 1 hal. 363

9 Addurrul-Mansur jilid II hal.122

10 Tafsir Al-qurthubi,jilid 5 hal 53