Thursday, September 24, 2009

KAJIAN MENGENAI LAFADZ AL-NAHY

A. PENDAHULUAN

Dalam memahami lafdz-lafadz yang terdapat dalam nash atau ungkapan-ungkapan, tentunya pemahaman bahasa merupakan suatu hal yang signifikan sehingga dalam ilmu ushul fiqih dijelaskan tentang kaidah ushul fiqih dari aspek bahasa[1]. Dan yang akan dijelaskan dalam makalah ini adalah mengenai bagian dari kaidah Al-khaas dan petunjuknya yaitu bentuk lafadz al-nahy yang sering dijumpai dalam beberapa nash

B. PENGERTIAN LAFADZ AL-NAHY

Jika berbicara mengenai pengertian lafadz al-nahy, dapat diawali dengan pengertian lafadz al-amru, karena menurut sebagian ulama ushul kedua lafadz ini merupakan lafadz yang mengandung antonym satu sama lain. Jadi dalam pembahasan pengertian Al-nahy secara etimologi bisa dikatakan lawan dari Al-amru, Jika Al-amru mempunyai arti perintah maka al-nahy berarti larangan atau cegahan.

Sedangkan menurut istilah, terdapat beberapa pendapat dari para ulama dalam menjelaskan lafadz al-nahy. Di antaranya:

* Zaky al-Din Sya’ban[2]

النهى هومادل على طلب الإمتناع عن الفعل

Al-nahy adalah sesuatu tuntutan yang menunjukkan (mengandung) larangan untuk berbuat”

* Imam Abu Zahrah[3]

النهى هوطلب الكف عن فعل

Al-Nahy adalah tuntutan yang berisi larangan atau cegahan untuk melakukan perbuatan”

Sebenarnya masih banyak pendapat lain dari para ulama pakar ushul fiqih, akan tetapi pada dasarnya semua pendapat yang dikemukakan mempunyai maksud yang sama. Perbedaan hanya terdapat dalam redaksinya.

Maka dapat ditarik kesimpulan bahwa pada intinya al-nahy adalah tuntutan dalam bentuk larangan atau mencegah agar tidak melakukan perbuatan dan larangan yang syar’i yang terdapat dalam Al-Qur’an dan Al-Sunnah. Artinya al-nahy merupakan larangan yang wajib ditinggalkan.

C. PENGGUNAAN SHIGHAT AL-NAHY

Karena terdapat beberapa persoalan yang muncul mengenai penggunaan shighat al-nahy mengenai larangan atau yang selainnya maka Musthafa Said al-Kahin menyatakan kesepakatan para ulama mengenai penggunaan arti shighat al-nahy yaitu:

1. للتحريم

Untuk menyatakan haramnya suatu perbuatan, Misalkan dalam firman Allah SWT

ولاتنكحواالمشركات حتي يؤمن {البقرة:221}

Dan janganlah kamu nikahi wanita-wanita musyrik sebelum mereka beriman”

Ayat di atas tetap bermakna haram karena tidak ada qorinah yang ditemukan selain hukum haram.

2. للكراهه

Untuk menyatakan suatu perbuatan yang dilarang, tetapi jika dikerjakan tidak

berdosa, dan lebih baik tidak dikerjakan.Nabi Muhammad SAW bersabda:

ولاتصلوافى أعطان الإبل

Dan janganlah kalian sholat di kandang unta”

Hadits di atas menunjukkan hukum makruh karena terdapat qorinah bahwa orang yang sholat disitu dikawatirkan akan terganggu oleh unta-unta situ.

3. للدعاء

Untuk menyatakan do’a atau permohonan. Misalkan dalam firman Allah:

ربنا لاتزغ قلوبنا

“Waha i Tuhan kami janganlah Engkau jadikan hati kami condong kepada kejahatan”

Lafadz tersebut tidak menunjukkan keharaman dengan qorinah bahwa yang melarang, tingkatannya lebih rendah daripada yang dilarang

4. للإرشاد

Untuk menyatakan dan menunjukkan bimbingan dan pengarahan.Misalkan dalam firman Allah:

لاتسألواعن أشياءإن تبدلكم تسؤكم{المائدة:101ْ}

“Janganlah kamu menanyakan ( kepada nabimu ) hal-hal yang jika diterangkan kepada kamu niscaya akan menyusahkan kamu”

Larangan hanyalah pengarahan bahwa pertanyaan yang jawabannya justru menyulitkan maka tidak perlu ditanyakan

5. للتهديد

Untuk menyatakan ancaman, yang dimaksudkan untuk menakuti agar tidak berbuat. Misalkan dalam perkataan:

”Jangan patuhi perintahku” تطع أمري لا

6. للتحقير

Untuk menyatakan hinaan atau merendahkan.Dalam firman Allah

ولاتمدن عينيك مامتعنابه أزواجامنهم زهرةالحياةالدنيا

“ Dan janganlah kamu tunjukkan mata kamu kepada apa yang telah kami berikan kepada golongan-golongan dari mereka sebagai bunga kehidupan dunia”

Maksudnya merendahkan kesenangan dunia yang pahalanya lebih baik di sisi Allah

7. لبيان العاقبة

Untuk menjelaskan akibat dari suatu perbuatan.Firman Allah:

ولاتحسبن الذين قتلوافى سبيل الله أمواتابل أحياء{ّال عمران:169}

janganlah kamu mengira bahwa orang-orang yang gugur di jalan Allah itu mati, bahkan mereka hidup…….”

Maksudnya menjelaskan akibat orang yang gugur di jalan Allah

8. للتأييس

Untuk menyatakan keputusasaan. Misalkan dalam firman Allah:

ياأيهاالذين كفروالاتعذروااليوم{التحريم:7}

“ Wahai orang-orang kafir, janganlah kamu menyatakan udzur pada hari ini

Maksudnya menjadikan orang-orang kafir putus asa dari rahmat Allah.

Dan masih terdapat lagi beberapa penggunaan sighat al-nahy yang artinya disesuaikan dengan qarinah-qarinah yang menjelaskannya.

D. PERATURAN DALAM BENTUK LARANGAN DAN PEMBAGIANNYA

Mengenai peraturan yang berhubungan dalam bentuk larangan, sebenarnya ada sedikit persamaan dengan penggunaan shighat al-nahy akan tetapi peraturan ini bersifat lebih umum yaitu :

  1. Untuk larangan, dalam hal ini terdapat beberapa shighat yang bagian-bagiannya sudah dituliskan dalam penggunaan shighat al-nahy

b. Larangan sesuatu adalah suruhan bagi lawannya

c. Larangan yang mutlak

Dalam hal ini dikategorikan menjadi dua:

· Mengandung tuntutan meninggalkan perbuatan yang yang dilarang secara terus menerus

الأصل فىالنهىالمطلق يقتضى التكرار فى جميع الأزمنة

Ashl suatu laranganyang mutlaq adalah terus menerus meninggalkan di setiap zaman

· Mengandung tuntutan segera meninggalkan perbuatan yang dilarang

الأصل فى النهى يقتضى الفور

Ashl suatu larangan menghendaki adanya kesegeraan meninggalkannya

Dua kategori di atas menuntut untuk harus ditinggalkan selama-lamanya dan segera karena al-nahy menunjukkan larangan sejak mulainya dilanggar, kalau seandainya larangan memang benar-benar dilanggar, berarti menentang shighat al-nahy. Demikian juga dengan kata segera, karena larangan berbuat pada dasarnya adalah keharaman perbuatan itu sebab adanya bahaya.

d. Dalam urusan ibadat

e. Dalam urusan muamalat

Dari dua peraturan yang terhir ini, jika dipandang dari sudut rusak atau tidaknya suatu larangan, maka terjadi beberapa perbedaan pendapat yaitu

Jumhur Ulama' menyatakan bahwa nahy mengakibatkan batalnya suatu perbuatan yang dilarang secara mutlaq baik amal ibadah maupun mu'amalah dengan alasan penetapan sahnya perbuatan didasarkan pada syara' dan apabila syara' melarangnya berarti perbuatan tersebut tidak sesuai dengan ketentuan syara'

Hanafiyah berpendapat bahwa Nahi tidak mengakibatkan rusaknya perbuatan yang dilarang baik dalam urusan ibadah ataupun mua'amalah.

Abu Husain Al-Ghazali, dan al- Razy berpendapat bahwa kerusakan hanya sebatas hukum ibadat karena sebenarnya ibadah bertujuan untuk mengabdi kepada Allah dan Allah tidak mungkin dapat didekati dengan perbuatan yang di larangan-Nya. Contoh Larangan berpuasa pada hari raya dan hari tasyrik

Sedangkan dalam Muamalah, seperti dalam jual beli maka tidak membatalkan aqad dan tidak akan menimbulkan bekas menurut syara’

إذابطل العقدلم يترتب أثره

“Jika suatu aqad batal, maka tidak akan menimbulkan bekas”

contoh: Larangan jual beli pada saat adzan sholat jum’at

Ketentuan tersebut menurut jumhur berlaku pada objek (perbuatan yang dilarang). Jika larangan tidak ditujukan pada objek perbuatan, maka larangan tersebut tidak membatalkan amal. Contoh Sholat akan tetap sah meskipun memakai mukena hasil curian (perbuatannya tetap dilarang)

Larangan dapat dibagi :

  1. Larangan yang ditujukan kepada perbuatan itu sendiri baik secara syar’i (contoh : larangan sholat bagi orang yang haid) ataupun panca indra (contoh: min minuman keras)
  2. Larangan yang ditujukan kepada sesuatu perbuatan ( contoh: menjual barang yang tidak diketahui ( masih dalam kandungan ))
  3. Larangan yang ditujukan kepada hal-hal yang tidak dapat dipisahkan dari suatu perbuatan ( Contoh : larangan puasa pada hari raya iedul fitri dan iedul adha dan yang tidak dapat ditinggalkan adalah makan, minum dan seterusnya
  4. Larangan yang ditujukan kepada hal-hal yang tidak selalu berhubungan dengan suatu perbuatan ( contoh larangan berjualan setelah datangnya adzan sholat jum’at)

C. KESIMPULAN

Dari pembahasan panjang lebar yang dikutip dari beberapa buku dapat ditarik sebuah kesimpulan yang merupakan inti pembahasan lafadz al-nahy. Al-nahy adalah suatu larangan atau tuntutan untuk meninggalkan suatu perbuatan, dan jika al-nahy disertai qarinah maka arti al-nahy bisa mengandung makna yang berbeda-beda sesuai dengan konteks yang menyertainya. Dan secara mutlak bentuk larangan berarti segera dan berulang-ulang,

DAFTAR PUSTAKA

· Drs. Romli SA, M. Ag, Muqaranah Mazahib fil Ushul,Gaya Media Pratama, Jakarta, 1999

· Prof. Dr. Abdul Wahhab Khallaf, Ilmu Ushul Fiqih (Kaidah Hukum Islam), Pustaka amani, Jakarta, Apil 2003

· Abdul Hamid Hakim, Al-bayan fi ilmi ushul al-fiqih, Darussalam press

· Drs. Nazar Bakri, Fiqih dan ushul fiqih, Rajawali Pers, Jakarta, April 1996

· Drs. H. Muchlis Usman MA., Kaidah-kaidah Ushuliyah dan Fiqhiyah, Rajawali pers, Jakarta, November 1999

· Drs. H. A. Syafi,I Karim, Fiqih-Ushul fiqih, Pustaka Setia, Bandung, 1997

· Prof. Muhammad Abu Zahrah, Ushul Fiqih, Pustaka Firdaus, Jakarta, 2005



[1] . Prof. Dr. Abd Wahhab Khalaf, Ilmu ushul fiqih, Pustaka Amani, Jkt 2003, hal 199

[2] . Zaky al-Din Sya’ban, Ushul al-fqh al-islami, Mesir, Mathba’ah Dar al-ta’lif 196, hal 314

[3] . Imam Abu Zahrah, Ushul al-fiqh, Kairo, Dar al-fikr al-arabi 1958, hal 181

0 komentar :

Post a Comment

Terima kasih atas commentnya, Comment anda sangat bermanfaat bagi saya... Semoga bermanfaat.