Friday, September 25, 2009

KEKUASAAN KEHAKIMAN

BAB I

PENDAHULUAN

a. Latar Belakang

Kekuasaan Kehakiman, dalam konteks negara Republik Indonesia, adalah kekuasaan negara yang merdeka untuk menyelenggarakan peradilan guna menegakkan hukum dan keadilan berdasarkan Pancasila, demi terselenggaranya Negara Hukum Republik Indonesia.

Perubahan (Amandemen) Undang-Undang Dasar 1945 telah membawa perubahan alam kehidupan ketatanegaraan dalam pelaksanaan kekuasaan kehakiman. Berdasarkan perubahan tersebut ditegaskan bahwa kekuasaan kehakiman dilaksanakan oleh:

Mahkamah Agung dan badan peradilan yang ada di bawahnya dalam lingkungan peradilan umum, lingkungan peradilan agama, lingkungan peradilan militer, dan lingkungan peradilan tata usaha negara.

Selain itu terdapat pula Peradilan Syariah Islam di Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam, yang merupakan pengadilan khusus dalam Lingkungan Peradilan Agama (sepanjang kewenangannya menyangkut kewenangan peradilan agama) dan lingkungan Peradilan Umum (sepanjang kewenangannya menyangkut kewenangan peradilan umum).

Disamping perubahan mengenai penyelenggaraan kekuasaan kehakiman, UUD 1945 juga mengintroduksi suatu lembaga baru yang berkaitan dengan penyelenggaraan kekuasaan kehakiman yaitu Komisi Yudisial.

Komisi Yudisial bersifat mandiri yang berwenang mengusulkan pengangkatan hakim agung dan mempunyai wewenang lain dalam rangka menjaga dan menegakkan kehormatan, keluhuran martabat serta perilaku hakim

Bicara tentang reformasi kekuasaan kehakiman, kita tidak lepas dari reformasi pembentukan undang-undang (legislatif). Reformasi kekuasaan kehakiman tidak dapat dipisahkan dari reformasi dalam pembentukan undang-undang. Hakim selaku pelaku kekuasaan kehakiman harus tunduk pada undang-undang. Dalam memeriksa dan menjatuhkan putusannya hakim harus mengadili menurut undang-undang, tidak boleh melanggar undang-undang. Hakim harus tunduk pada undang-undang. Pembentukan undang-undang atau undang-undang itu sendiri besar pengaruhnya terhadap perilaku hakim, karena hakim harus mengadili menurut undang-undang dan tidak boleh melanggar undang-undang. Hakim terikat pada undang-undang.

Kalau kita memperhatikan perkembangan pembentukan undang-undang dewasa ini, saya mendapat kesan bahwa pembentukan undang-undang dewasa ini didorong oleh kepentingan sesaat, karena leinginan besar untuk mengubah berkat euphoria, karena merasa tertekan selama ini dan kepentingan kelompok.Betapa tidak. Suatu undang-undang seyogyanya bersifat futuristic, yang berarti berlaku dalam kurun waktu yang (seberapa dapat) lama. Dewasa ini tidak sedikit undang-undang yang belum berumur satu tahun sudah direvisi atau diganti.Banyak undang-undang dibentuk tanpa mengingat bahwa hukum itu merupakan satu sistem. Dalam mengadakan amandemen atau revisi undang-undang seringkali sistematik dilupakan. Duplikasi istilah atau terminologi menunjukan bahwa undang-undang tidak dilihat sebagai satu sistem.

Kekuasaan kehakiman diatur dalam UU no.4 tahun 2004 yang menggantikan UU no.14 tahun 1970. Pasal 1 UU no.4 tahun 2006 menentukan bahwa kekuasaan kehakiman adalah kekuasaan Negara yang merdeka untuk menyelenggarakan peradilan guna menegakan hukum dan keadilan berdasarkan Pancasila demi terselenggarannya Negara Hukum RI. Ini berarti bahwa hakim itu bebas dari pihak ekstra yudisiil dan bebas menemukan hukum dan keadilannnya. Akan tetapi kebebasannya tidak mutlak , tidak ada batas, melainkan dibatasi dari segi makro dan mikro. Dari segi makro dibatasi oleh sistem pemerintahan, sistem politik, sistem ekonomi dan sebagainya, sedangkan dari segi mikro kebebasaan hakim dibatasi atau diawasi oleh Pancasila, UUD, UU, kesusilaan dan ketertiban umum. Dibatasinya kebebasan hakim tidaklah tanpa alasan, karena hakim adalah manusia yang yang tidak luput dari kekhilafan. Untuk mengurangi kekeliruan dalam menjatuhkan putusan maka kebebasan hakim perlu dibatasi dan putusannya perlu dikoreksi. Oleh karena itu asas peradilan yang baik (principle of good judicature) antara lain ialah adanya pengawasan dalam bentuk upaya hukum.

Pasal 2 UU no.4 tahun 2006 berbunyi bahwa kekuasaan kehakiman oleh Mahkamah Agung dan Mahkamah Kostitusi. Pasal 11 UU no.4 tahun 2006 mengatakan bahwa MA merupakan pengadilan tertinggi dari keempat lingkungan peradilan, sedangkan pasal 12 berbunyi bahwa MK mengadili pada tingkat pertama dan terakhir. Dengan demikian sesudah tahun 2006 kita tidak lagi mempunyai pengadilan yang tertinggi. Bagaimanakah kedudukan MA & MK? Sebelum tahun 2006 kita mengenal apa yang dinamakan kesatuan (unifikasi) peradilan (eenheid van rechspraak). Dengan tidak adanyan pengadilan tinggi di NKRI ini maka tidak ada lagi kesatuan peradilan.

Kecuali oleh karena MK mengadili pada tingkat pertama dan terakhir maka tidak ada upaya hukum sama sekali. Semua lingkungan peradilan dibawah MA tersedia upaya hukum, sehingga putusan pengadilan di tingkat pertama dan kedua dilingkungan di bawah MA dimungkinkan untuk dikoreksi oleh pengadilan yang lebih tinggi, Dengan tidak adanya pengawasan maka kekuasaan MK adalah mutlak. Sistem ini tidak memenuhi “principle of good judicature”.

Pasal 19 UU no.4 tahun 2004 ayat 3 mengatakan bahwa rapat musyawarah hakim adalah bersifat rahasia, yang berarti bahwa tidak boleh diketahui oleh umum atau diluar yang ikut musyawarah, sedang ayat 5 mengatakan bahwa dalam sidang permusyawaratan tidak dapat dicapai mufakat bulat, pendapat hakim yang berbeda wajib dimuat dalam putusan (dissenting opinion).

Pendapat majelis hakim di dalam sidang musyawarah tidak mungkin selalu sama, perbedaan selalu mungkin terjadi. Diwaktu yang lampau maka perbedaan pendapat itu dilaporkan kepada Ketua Pengadilan Negeri. Putusannya merupakan mufakat bulat, jadi keluar putusan itu tidak meragukan atau membingungkan.Kalau musyawarah itu bersifat rahasia dan putusan pada waktu diucapkan /dijatuhkan dilampiri pendapat yang berbeda, yang dibicarakan dalam musyawarah yang rahasia itu, dimana sifat rahasiannya mufakat tersebut. Disamping itu dilampirkannya putusan dari hakim yang berbeda dengan putusan yang mempunyai kekuatan hukum (sah?) apakah tidak membingungkan ? Satu putusan (yudikatif) mengandung dua pendapat yang berbeda. Putusan yang mengandung dua “Dictum” akan mengundang reaksi pihak yang dikalahkan atau pihak terhukum untuk menggunakan upaya hukum, walaupun dewasa tanpa adanya dissenting opinion itu boleh dikatakan yang dikalahkan atau yang dihukum selalu menggunakan upaya hukum, hanya alasannya disini adalah untuk mengulur waktu saja.

Apakah “berbeda” dan “tidak berbeda” dapat dianalogikan dengan yang “salah” dan “benar”, sebab yang “berbeda” yang harus dilampirkan pada yang “tidak berbeda” jadi dapat disimpulkan yang berlaku atau putusan yang dianggap benar atau sah adalah yang “tidak berbeda”.Perubahan UUD NKRI merupakan pelaksanaan amanat reformasi yang dilakukan oleh MPR. Menurut pengetahuan saya UUD itu harus memuat hal-hal yang pokok atau mendasar. Apakah Komisi Yustisial itu merupakan sesuatu yang mendasar yang perlu dimuat dalam UUD? Komisi Yustisial bukan pelaku kekuasaan kehakiman. Apakah hanya karena fungsinya “berkaitan” dengan kekuasaan kehakiman? Maka itu merupakan egisla untuk dimuat dalam UUD. Apakah yang namanya “komisi” itu layak dimuat dalam UUD? Meskipun pembuktiannya sukar, tetapi dapat dipastikan bahwa perilaku hakim yang berkaitan dengan moral masih mengecewakan.

Untuk meningkatkan reformasi pada umumnya dan kekuasaan kehakiman pada khususnya guna meningkatkan supermasi tidaklah cukup dengan memperbaiki hukumnya dengan mengubah atau merevisinya, tetapi yang lebih penting adalah meningkatkan SDMnya dari eksekutif dan yudikatif, dari segi intelektual dan moral.

b. Rumusan Masalah

Adapun beberapa rumusan tentang masalah yang akan dibahas pada makalah ini adalah mengenaiu masalah-msalah sebagai berikut:

a. Bagaimana proses pembentukan dan apa peran Komisi Yudisial?

b. Bagaimana tatacara dan mekanisme pengusulan seorang Hakim Agung?

c. Cara apa yang ditempuh oleh Komisi Yudisial untuk mengawasi peran seorang Hakim?

c. Tujuan Pembahasan

Tujuan diajukan dan disusunnya makalah tentang kekuasaan kehkiman kali ini antara lain adalah:

Ø Sebagai media pengembangan sarana berlatih dalam menyusun suatu karya tulis berupa makalah.

Ø Sebagai pemenuhan tugas akhir semester 2 mta kuliah Hukum Tatanegara (HTN).

Ø Sebagai media menambah wawasan tentang kekuasaan kehakiman.


BAB II

PEMBAHASAN


1. Pembentukan Komisi Yudisial

Sebagai salah satu buah dari agenda reformasi nasional tahun 1998, Undang-undang Dasar Negara Republik Indonesia telah mengalami perubahan dalam satu rangkaian empat tahap, yaitu pada tahun 1999, 2000, 2001, dan 2002 (UUD RI 1945). Salah satu perubahan dari UUD 1945 yaitu adanya organ negara yang baru. Dalam Pasal 24B hasil Perubahan Ketiga UUD RI Tahun 1945, adanya ide pembentukan Komisi Yudisial diadopsi ke dalam konstitusi negara kita sebagai organ konstitusional baru yang sederajat kedudukannya dengan organ konstitusi lainnya. Fungsi Komisi Yudisial telah dilembagakan berdasarkan UU Nomor 22 tahun 2004 tentang Komisi Yudisial sejak tanggal 13 Agustus 2004 (UU No. 22, 2004), yaitu dengan ketentuan Pasal 39 yang menyatakan: "Selama keanggotaan Komisi Yudisial belum terbentuk berdasarkan Undang-undang ini, pencalonan Hakim Agung dilaksanakan berdasarkan Undang- undang Nomor 14 tahun 1985 tentang Mahkamah Agung sebagaimana diubah dengan Undang-undang Nomor 5 Tahun 2004 tentang Perubahan atas Undang-undang Nomor 14 tahun 1985 tentang Mahkamah Agung."

Pembentukan Komisi Yudisial haruslah dilakukan dengan pengangkatan para anggota Komisi Yudisial menurut tata cara yang diatur dalam Pasal 24B ayat (3) UUD RI Tahun 1945 yang berbunyi "Anggota Komisi Yudisial diangkat dan diberhentikan oleh Presiden dengan persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat." Dalam rangka melaksanakan ketentuan dalam UUD RI Tahun 1945 maka ditetapkanlah UU Nomor 22 Tahun 2004 tentang Komisi Yudisial. Sebelum Komisi Yudisial dibentuk, maka perlu dibentuk terlebih dahulu tim seleksi Komisi Yudisial. Untuk itu Presiden Republik Indonesia pada tanggal 17 Januari 2005 menandatangani Keputusan Presiden Nomor 3 Tahun 2005 tentang Pembentukan Panitia Seleksi Pemilihan Calon Anggota Komisi Yudisial. Atas dasar Keputusan Presiden inilah panitia akan melakukan proses seleksi dan menjaring calon anggota Komisi Yudisial yang berkualitas, energik, potensial dan mengerti hukum. Pada tanggal 8 Juni 2005, komisi III DPR menetapkan tujuh anggota Komisi Yudisial (KY) melalui voting tertutup dalam rapat pleno khusus.

2. Peranan Komisi Yudisial

Dalam menjalankan peranannya sebagai penjaga kekuasaan kehakiman, pertama, komisi Yudisial diberikan kewenangan untuk melakukan proses seleksi dan menjaring calon anggota Hakim Agung berkualitas, potensial, mengerti hukum dan profesional. Kedua, Komisi Yudisial diberi kewenangan menjaga dan menegakkan integritas hakim dan kepercayaan masyarakat terhadap sistem peradilan di Indonesia dan menjaga agar hakim dapat menjaga hak mereka untuk memutus perkara secara mandiri. Pasal 24B ayat (1) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 menjamin Komisi Yudisal untuk bersifat mandiri yang berwenang mengusulkan pengangkatan Hakim Agung dan mempunyai wewenang lain dalam rangka menjaga dan menegakkan kehormatan, keluhuran martabat, serta prilaku hakim.

Kewenangan tersebut di atas sungguh sangat terbatas untuk itu diuraikan lagi dalam Undang-undang No 22 tahun 2004 yang mengatakan bahwa dalam rangka melaksanakan wewenangnya mengusulkan pengangkatan Hakim Agung, Komisi Yudisal diberi tugas yaitu (Pasal 14 UU No. 22, 2004): melakukan pendaftaran calon Hakim Agung; melakukan seleksi terhadap calon Hakim Agung; menetapkan calon Hakim Agung; dan mengajukan calon Hakim Agung ke Dewan Perwakilan Rakyat.

Selanjutnya untuk melaksanakan peranannya menegakkan kehormatan dan keluhuran martabat serta menjaga perilaku hakim, Komisi Yudisial diberi tugas melakukan pengawasan terhadap perilaku hakim dalam rangka menegakkan kehormatan dan keluhuran martabat serta menjaga perilaku hakim (Pasal 20 UU No 22, 2004). Disamping itu Komisi yudisial dalam menjalankan peranannya diberi tugas lain yaitu mengajukan usul penjatuhan sanksi terhadap hakim kepada pimpinan Mahkamah Agung dan/ atau Mahkamah Konstitusi (Pasal 21 UU No 22, 2004).

Sebaliknya Komisi Yudisial di dalam menjalankan peranannya diberi kewenangan untuk dapat mengusulkan kepada Mahakamah Agung dan/ atau Mahkamah Konstitusi untuk memberikan penghargaan kepada hakim atas prestasi dan jasanya dalam rangka menegakkan kehormatan dan keluhuran matabat serta menjaga perilaku hakim (Pasal 24 UU No 22, 2004). Jadi untuk menegakkan kehormatan dan keluhuran martabat serta menjaga perilaku hakim Komisi diberi beberapa kewenangan antara lain yaitu: pengawasan terhadap perilaku hakim; pengajuan usulan penjatuhan sanksi terhadap hakim; pengusulan penghargaan kepada hakim atas prestasi dan jasanya.

Dari beberapa peranannya tersebut di atas khususnya kewenangan untuk mengusulkan pengangkatan Hakim Agung diperkirakan sangat banyak berkaitan dengan proses seleksi dimana penyeleksian dilembagakan dalam suatu lembaga negara. Sudah barang tentu akan berdampak positif terhadap hasil kerja yang diinginkan. Anggota Komisi Yudisial dapat bekerja maksimal dan bersifat mandiri dalam rangka memilih Hakim Agung berkualitas, potensial, menerti hukum dan profesional. Karena anggota Komisi Yudisial lebih mapan dan terjamin, sebab dibentuk berdasarkan undang-undang dasar dan pelaksanaan tugasnya dipayungi oleh suatu undang-undang.

Selanjutnya peranan Komisi Yudisial melakukan pengawasan perilaku hakim dapat dilakukan secara mandiri, karena tidak mempunyai hubungan administrasi, struktural, kolega maupun secara psikologis yang selama ini menjadi hambatan di dalam dalam melaksanakan pengawasan di dalam instansi atau lembaga sendiri. Hal ini tidak hanya dialami di Indonesia tetapi di negara-negara asing seperti Amerika dan Australia. Sebaliknya peranan menegakkan kehormatan dan keluhuran martabat serta menjaga perilaku hakim terlihat dari usul penjatuhan sanksi seperti teguran tertulis, pemberhentian sementara atau pemberhentian yang dilakukan oleh Komisi Yudisial bersifat mengikat (Pasal 23 (2) UU No 22, 2004). Selanjutnya usul penjatuhan sanksi tersebut diserahkan oleh Komisi Yudisial kepada Mahkamah Agung dan/atau Mahkamah Konstitusi. Namun, usulan tersebut masih dapat dianulir oleh ketentuan yang berbunyi bahwa hakim yang akan dijatuhi sanksi diberi kesempatan secukupnya untuk membela diri di hadapan Majelis Kehormatan Hakim (Pasal 23 (4) UU No 22, 2004). Di satu pihak apa yang direkomendasikan Komisi Yudisial belum ada kekuatan mengikat, hal ini terlihat dari diberinya kesempatan lagi kepada hakim yang diusulkan diberi sanksi untuk memberikan pembelaan secukupnya di depan Majelis Kehormatan Hakim. Dilain pihak usulan tersebut belum bersifat final. Timbul beberapa hal yang kurang jelas, apa yang dimaksud dengan Majelis Kehormatan Hakim, karena tidak dijelaskan dalam ketentuan umum Undang-undang No 22 tentang Komisi Yudisial. Disamping itu, apabila pembelaan hakim yang diusulkan diberikan sanksi di depan Majelis Kehormatan Hakim diterima, bagaimana pula dampaknya terhadap usulan Komisi Yudisial? Jadi dapat disimpulkan bahwa rekomendasi Komisi Yudisial belum bersifat final dan belum mengikat. Selanjutnya usulan Komisi Yudisial untuk dapat mengikat dan bersifat final harus melalui tahapan pemeriksaan di depan Majelis Kehormatan Hakim dan Keputusan usul pemberhentian diajukan oleh Mahkamah Agung dan/atau Mahkamah Konstitusi kepada Presiden. Sedangkan sanksi teguran tertulis dan pemberhentian sementara dilakukan oleh siapa ini yang belum jelas diatur oleh Undang-undang Nomor 22 Tahun 2004.

3. Tata Cara Pengusulan Hakim Agung

Mekanisme pengusulan pengangkatan Hakim Agung kepada DPR merupakan salah satu wewenang yang dimiliki oleh Komisi Yudisial (Pasal 13 (a) UU No 22, 2004). Untuk itu Komisi Yudisial mempunyai tugas melakukan pendaftaran calon, seleksi, menetapkan dan mengajukan calon Hakim Agung ke Dewan Perwakilan Rakyat. Timbul beberapa pertanyaan antara lain: Siapa yang dapat mengajukan menjadi calon Hakim Agung? Apa yang menjadi persyaratan untuk menjadi calon Hakim Agung? Kapan Komisi Yudisal melakukan pendaftaran, seleksi dan penetapan calon Hakim Agung?

Didalam Pasal 15 ayat (2) Undang-undang Nomor 22 tahun 2004 jelas diatur bahwa yang dapat mengajukan calon Hakim Agung kepada Komisi Yudisial antara lain: Mahkamah Agung; Pemerintah; dan Masyarakat. Dari ketentuan tersebut dapat kita simpulkan bahwa calon Hakim Agung dapat diklasifikasikan menjadi dua kelompok yaitu: Karir; dan Non karir. Ini membuka kesempatan bahwa bilamana dibutuhkan maka dapat dicalonkan menjadi Hakim Agung tidak berdasarkan sistem karir kepada Komisi Yudisial (Pasal 7(2) UU No 5, 2004).

Komisi Yudisial dalam melaksanakan peranannya tersebut di atas, paling lama 6 (enam) bulan sejak menerima pemberitahuan dari Mahkamah Agung mengenai lowongan Hakim Agung (Pasal 14 (3) UU No.22, 2004). Komisi Yudisial hanya mempunyai waktu 15 (lima belas) hari semenjak menerima pemberitahuan mengenai lowongan Hakim Agung harus mengumumkan pendaftaran penerimaan calon Hakim Agung (Pasal 15 (1) UU No.22, 2004). Pengumuman pendaftaran tersebut dilakukan 15 (lima belas) hari berturut-turut. Sebaliknya Mahkamah Agung, Pemerintah dan masyarakat dapat mengajukan calon Hakim Agung dalam jangka waktu paling lama 15 (lim belas) hari, sejak pengumuman pendaftaran penerimaan calon Hakim Agung.

Setelah 15 (lima belas) hari berakhirnya masa pengajuan calon, Komisi Yudisial melakukan seleksi persyaratan administrasi calon Hakim Agung. Paling lama dalam jangka waktu 15 (lima belasa) hari, Komisi Yudisial sudah harus mengumumkan daftar calon yang memenuhi persyaratan administrasi. Kemudian masyarakat diberikan hak seluas-luasnya untuk memberikan informasi atau pendapatnya dalam jangka waktu paling lambat 30 (tiga puluh) hari sejak diumumkanya daftar nama calon Hakim Agung yang memenuhi persyaratan administrasi. Dalam jangka waktu paling lambat 30 (tiga puluh) hari semenjak informasi atau pendapat diterima dari masyarakat luas berakhir, Komisi Yudisial melakukan penelitian tentang kesahihan informasi tersebut.

Proses penseleksian terhadap calon Hakim Agung yang telah memenuhi persyaratan administrasi difokuskan kepada kualitas, dan kepribadian calon berdasarkan standar yang telah ditetapkan. Disamping itu calon hakim Agung wajib membuat /menyusun karya ilmiah dengan topik yang telah ditentukan. Karya ilmiah tersebut sudah diterima Komisi Yudisial dalam jangka waktu paling lambat 10 (sepuluh) hari sebelum seleksi dilaksanakan. Seleksi dilaksanakan secara terbuka dalam jangka waktu paling lama 20 (dua puluh) hari. Kemudian dalam jangka waktu paling lama 15 (lima belas) hari terhitung sejak seleksi berakhir, Komisi yudisial menetapkan dan mengajukan 3 (tiga) orang nama calon Hakim Agung kepada Dewan Perwakilan Rakyat untuk setiap 1 (satu) lowongan Hakim Agung, dengan tembusan disampaikan kepada presiden.

4. Tata Cara Pengawasan Hakim

Untuk melaksanakan peranannya mengawasi hakim, Komisi Yudisial dapat melakukan beberapa hal antara lain untuk (Pasal 22 UU No.22, 2004): menerima laporan dari masyarakat tentang perilaku hakim; meminta laporan secara berkala kepada badan peradilan berkaitan dengan perilaku hakim; melakukan pemeriksaan dugaan pelanggaran perilaku hakim; memanggil dan meminta keterangan dari hakim yang diduga melanggar kode etik perilaku hakim; dan membuat hasil pemeriksaan yang berupa rekomendasi dan disampaikan kepada Mahkamah Agung dan/ atau Mahkamah Konstitusi, serta tindasannya disampaikan kepada Presiden dan DPR.

Komisi Yudisial dalam melaksanakan perannya sebagai pengawas hakim tidak boleh sewenang-wenang. Komisi Yudisial wajib mentaati norma, hukum, dan ketentuan peraturan perundang-undangan, dan wajib menjaga kerahasiaan keterangan yang karena sifatnya merupakan rahasia Komisi Yudisial yang diperoleh berdasarkan kedudukannya sebagai anggota. Perlu diperhatikan bahwa pelaksaanaan tugas pengawasan tidak boleh mengurangi kebebasan hakim dalam memeriksa dan memutus perkara (Pasal 22 UU No.22, 2004).

Dalam hal menerima laporan dari masyarakat tentang perilaku hakim, meminta laporan dari badan peradilan dan hakim, melakukan pemeriksaan, Komisi Yudisial setelah dilantik dan diambil sumpahnya diharapkan secepatnya membuat Tata Cara Pengajuan Laporan Terhadap Perilaku Hakim. Hal ini sangat penting sebagai pedoman kerja Komisi Yudisial. Disarankan bahwa yang dimaksud menerima laporan dari masyarakat dapat diperluas antara lain: perorangan; hakim; advokat; staf pengadilan; badan hukum publik atau prifat; lembaga negara; anggota Komisi Yudisial dan atau staff.

Untuk melaksanakan pemanggilan dan meminta keterangan dari hakim yang diduga melanggar kode etik perilaku hakim, Komisi Yudisial harus membuat kode etik perilaku hakim secepatnya. Karena belum ada ukuran yang jelas yang dimaksud perilaku hakim yang berhormat dan bermartabat. Barangkali sebagai wacana bahwa perilaku dapat dibagai menjadi beberapa kategori antara lain: perilaku hakim didalam ruang sidang;perilaku hakim diluar ruang sidang;perilaku hakim yang berkaitan dengan aktivitasnya sehari-hari; dan ketidak mampuan phisik dan mental.Perilaku hakim didalam ruang sidang atau memimpin sidang meliputi perilaku yang tidak pada tempat di dalam ruang sidang. Termasuk perlakuan dan pertimbangan hakim terhadap pembela, saksi dan yang terlibat dalam persidangan dalam mendengarkan kesaksian, maupun pembelaan. Perilaku secara phisik yang tidak pada tempatnya atau tidak dapat memimpin sidang dengan baik. Sebagai contoh perilaku hakim yang tidak pada tempatnya adalah mengutarakan komentar yang bersifat rasial terhadap ras, suku, agama dan jenis kelamin serta tidur dalam persidangan atau mabuk. Bisa juga hakim dikenakan teguran berperilaku yang tidak berhormat dan bermartabat bilamana membutuhkan waktu yang sangat dalam membuat keputusan.

Hakim harus mandiri dari semua pengaruh yang berkemungkinan mempengaruhi kemampuan mereka untuk memutus perkara secara adil dan tidak memihak. Untuk itu para hakim tidak diperbolehkan membiarkan anggota keluarganya, masyarakat sekitar dan hubungan politik memperngaruhi keputusan pengadilan. Sebagai contoh hakim tidak boleh memberi atau menerima hadiah, sogok, kredit atau bantuan. Untuk itu para hakim harus membuat laporan keuangan baik kepada pengadilan maupun Komisi Yudisial.

Mengenai perilaku hakim diluar ruang sidang, sudah barang tentu hakim sebagai anggota masyarakat hidup dilingkungan kerja maupun masyarakat pada umumnya. Oleh karena itu menjadi tugas Komisi Yudisial untuk mengawasi kegiatan hakim diluar ruang sidang. Pengawasan ini meliputi: penyalahgunaan pegawai negeri, barang milik negara atau keuangan negara; perkataan atau pergaulan yang tidak pada tempatnya; mempengaruhi jalannya proses pengadilan; melakukan korupsi; menggunakan kedudukan untuk mengumpulkan dana. Jadi perilaku hakim yang tidak berhormat dan bermartabat sangat luas dari tindakan yang tidak pada tempatnya hingga tindakan yang bersifat kriminal.

Sedangkan perilaku hakim yang berkaitan dengan aktivitasnya sehari-hari yang tidak berhormat dan bermartabat meliputi: melakukan persidangan dan berdiskusi hanya melibatkan salah satu pihak saja; mengintervensi hubungan pembela dengan yang dibela; bias; melakukan kampanye tidak pada tempatnya; penghinaan tehadap wibawa peradilan; melecehkan keadilan; dan tindakan yang bersifat kriminal.

Terakhir, mengenai keadaan hakim, Komisi Yudisial juga berwenang dan bertanggung jawab untuk mengawasi ketidakmampuan fisik dan mental para hakim. Ketidak-mampuan fisik dan mental meliputi: ketergantungan terhadap alkohol dan obat; faktor ketuaan; mempunyai penyakit yang serius; atau penyakit mental.
Untuk itu Komisi Yudisial dapat meminta pemeriksaan kesehatan sebagai bagian dari investigasinya dan bisa menyarankan untuk terapi atau konselling bilamana dianggap perlu.

BAB III

PENUTUP

Kesimpulan

Munculnya perseteruan lembaga MA dan KY secara mendasar memberikan sebuah indikasi bahwa telah terjadi benturan kepentingan, dalam hal ini terutama mengenai pengawasan hakim, termasuk juga Hakim Agung dan Hakim Konstitusi. Konflik KY terhadap MK memang tidak mencuat ke permukaan, namun dapat tercermin dari putusan MK yang menganulir semua bagian yang terkait dengan MK. UUD 1945 Amandemen, baik MA, MK dan KY sama-sama berada dalam satu lingkup kekuasaan, dalam hal ini Kekuasaan Kehakiman. Pasal 24 UUD 1945 Amandemen menyatakan bahwa Kekuasaan Kehakiman merupakan kekuasaan yang merdeka untuk menyelenggarakan peradilan guna menegakkan hukum dan keadilan. Selanjutnya ditegaskan bahwa kekuasaan kehakiman dilakukan oleh MA dan oleh MK. Dari sini, terlihat jelas bahwa yang dimaksudkan dengan hakim adalah semua hakim-hakim yang berada di bawah naungan MA dan MK. Pendapat bahwa Hakim Agung bukan merupakan hakim “biasa” adalah keliru. Apalagi, dalam Pedoman Perilaku Hakim yang dibentuk oleh MA sendiri, dengan tegas menyatakan bahwa batasan Hakim mencakup seluruh hakim, termasuk Hakim ad-Hoc sekalipun di semua lingkungan peradilan dan semua tingkatan peradilan, dalam hal ini termasuk juga Hakim Agung.

Memang, pengadilan yang mandiri dan netral merupakan salah satu unsur penting dalam sebuah negara yang berdasarkan hukum. Demikian juga dengan posisi dan peran hakim. Dalam Pedoman Etika Perilaku Hakim yang dibentuk oleh MA dan KY, sama-sama menyebutkan bahwa posisi dan peran hakim menjadi sangat penting, terutama karena kewenangan yang dimilikinya. Disebutkan bahwa seorang hakim dapat mengalihkan hak kepemilikan, mencabut kebebasan warga negara atau bahkan memerintahkan penghilangan hak hidup seseorang. Di sinilah pentingnya peranan pengawasan yang dimiliki oleh KY. KY dalam hal ini juga berfungsi sebagai wakil masyarakat dalam mengawasi perilaku hakim. Kekuasaan kehakiman yang mandiri pada dasarnya bertujuan untuk memberikan pelayanan umum yang sebaik-baiknya bagi masyarakat dalam bidang peradilan. Dalam hal ini, adanya suatu pertanggungjawaban sosial terhadap masyarakat merupakan pengimbang dari kebebasan dan kemandirian kekuasaan kehakiman tersebut. Nilai inilah menjadi jiwa dari lembaga KY seperti yang ditetapkan oleh UUD. Tanpa fungsi pengawasan, maka KY sama sekali tidak berfungsi seperti yang diinginkan oleh UUD 1945. Dihapusnya kewenangan KY, otomatis jiwa dari UU KY itu sendiri

Dalam menjalankan tugasnya, hakim terikat dengan etika. Sebuah etika profesi berperan sebagai alat pengatur yang cukup efisien karena etika profesi mengontrol perilaku anggotanya agar tetap bekerja menurut etika yang sepakatinya. Salah satu pertimbangan MK dalam putusannya, menekankan bahwa pentingnya fungsi pengawasan serta pembinaan etika profesi hakim. Bebas dari pengaruh siapapun juga merupakan salah satu etika dari profesi hakim. Kebebasan ini harus dijamin, bahkan oleh lembaga profesi itu sendiri. Oleh sebab itu, seharusnya pengawasan kode etik yang dibentuk oleh lembaga profesi dilakukan oleh lembaga di luar profesi sendiri, dalam kasus ini hanya oleh KY. Sebuah pengawasan tidaklah dapat disebut sebagai sebuah campur tangan internal yang membatasi kebebasan hakim. Hal ini juga sesuai dengan Pasal 22 ayat (1) huruf e UU KY bahwa hasil pemeriksaan KY diberikan dalam bentuk rekomendasi kepada MA atau MK. Untuk selanjutnya, sanksi dapat diberikan oleh lembaga itu sendiri. Jadi, sangat tidak beralasan mengatakan bahwa KY dapat campur tangan terhadap masalah internal MA.

Dalam putusannya, MK menghapus semua kewenangan KY dalam hal pengawasan hakim, namun didasari dengan pertimbangan yang berbeda dari alasan yang diberikan oleh para pemohon (Hakim Agung). Dalam Pasal 56 ayat (2) UU No. 24 Tahun 2003 tentang MK menyebutkan bahwa dalam hal Mahkamah Konstitusi berpendapat bahwa permohonan beralasan, amar putusan menyatakan permohonan dikabulkan. Dari pernyataan pasal, jelas dimengerti bahwa permohonan yang dikabulkan adalah bila didasari dengan alasan yang tepat. Sementara, MK sendiri memiliki alasan yang benar-benar berbeda dari alasan pemohon. Alasan MK adalah adanya ketidakjelasan rumusan karena pertukaran posisi kata “menegakkan” dan “menjaga”. Memang, salah satu petunjuk untuk menguji apakah sebuah muatan UU sudah sesuai dengan UUD adalah dengan melihat ketentuan yang dirumuskan dalam Batang Tubuh UUD 1945. Di sini, perlu dilakukan perbandingan-perbandingan, terutama dalam hal gramatikal. Namun, bukan berarti MK dapat begitu saja menghapus kewenangan ini. Dalam hal ini, ketentuan dalam UU KY sama sekali tidak bertentangan, seperti yang disebutkan oleh MK, melainkan lebih tepatnya tidak harmonis dengan ketentuan pada UUD 1945 Amandemen. Hal ini tercermin dari pendapat MK bahwa kewenangan KY dianggap kurang rinci sehingga menimbulkan lebih banyak ketidakpastian hukum. Selain itu, bila disimak kembali, pendapat MK bahwa kewenangan KY kurang rinci adalah bertentangan dengan alasan MK yang semula. Kewenangan yang tidak rinci, bukanlah dengan kewenangan yang bertentangan. Dalam kasus ini, dasar yang dijadikan MK pun tidak saling mendukung.

Peranan Komisi Yudisial dalam menjaga kekuasaan kehakiman meliputi pengusulan dan pengangkatan Hakim Agung, dan menegakkan kehormatan dan keluhuran martabat serta menjaga perilaku hakim. Peranan pengusulan dan pengangkatan Hakim Agung meliputi pendaftaran, penseleksian, penetapan dan pengajuan calon Hakim Agung ke Dewan Perwakilan Rakyat. Sedangkan peranan menegakkan kehormatan dan keluhuran martabat serta menjaga perilaku hakim adalah pengawasan terhadap perilaku hakim dimana akan menghasilkan dua hal yang berbeda yaitu hal yang negatip berupa pengusulan penjatuhan sanksi, sebaliknya yang positip adalah pengusulan pemberian penghargaan terhadap hakim atas prestasi dan jasanya menegakkan kerhormatan dan keluhuran martabat serta menjaga perilaku hakim.
Mengingat begitu singkatnya waktu, besarnya beban, dan luasnya cakupan yang diberikan untuk melakukan perannya tersebut diatas diharapkan anggota Komisi Yudisal terdiri dari anggota yang potensial, berkualitas, energik dan berpengalaman. Sehingga anggota Komisi Yudisial dapat menjalankan perannya menjaga kekuasaan kehakiman seperti yang diamanatkan dalam Undang-undang Dasar 1945 dan UU nomor 22 tahun 2004 tentang Komisi Yudisial.


DAFTAR PUSTAKA

Ø Undang-Undang Dasar Republik Indonesia Tahun 1945

Ø Undang-undang Nomor 4 Tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman.

Ø Undang-undang Nomor 5 Tahun 2004 tentang Perubahana Atas undang-undang Nomor 14 Tahun 1985 Tentang Mahkamah Agung.

Ø Undang-undang Nomor 22 Tahun 2004 tentang Komisi Yudisial. Solusi Kewenangan Pengawasan Hakim oleh MA dan KY”, dalam Pledoi, no. 05, vol. 1 tahun 2006, hlm. 8.

Ø Agust Riewanto, “Putusan MK dan Tirani Profesi Hakim”, dalam Seputar Indonesia, 2 September 2006, hlm. 9, kol.2 “Kekuasaan Kehakiman”, dalam Kompas, 12 Oktober 2006, hlm. 3, kol. 5. Termuat dalam bagian Pengertian Pedoman Perilaku Hakim, Mahkamah Agung Republik Indonesia, 2006.

Ø Paulus Effendi Lotulung, Kemandirian Kekuasaan Kehakiman dalam Konteks Pembagian Kekuasaan dan Pertanggungjawaban Politik, makalah dalam Seminar Hukum Nasional ke-VII, diselenggarakan oleh Badan Pembinaan Hukum Nasional, Departemen Kehakiman R.I, Jakarta, 12 –15 Oktober 1999.

Ø Ridwan Widyadharma, Ignatius. 1996. Etika Profesi Hukum. Badan Penerbit Universitas Diponegoro : Semarang.

Ø Abdul kadir, Muhammad. 2001 Etika Profesi Hukum,: PT. Citra Aditya Bakti : Bandung.

Ø Soeprapto, Maria Farida Indrati. 2006. Ilmu Perundang-Undangan. Dasar-Dasar dan Pembentukannya, cet. 11 : Yogyakarta.

0 komentar :

Post a Comment

Terima kasih atas commentnya, Comment anda sangat bermanfaat bagi saya... Semoga bermanfaat.