Wednesday, December 16, 2009

Bila Penat Mengguncang Semangat untuk Taat

Siang menjelang sore itu aku terduduk kelelahan di ruang makan. Bersandar ke dinding sambil menghela nafas panjang. Suamiku datang melihatku terkulai lemah. Ia pun bertanya, “Kenapa, Ti?” katanya sambil mengambil kursi dan duduk di depanku. Mataku menerawang jauh, teringat hadits-hadits tentang “istri sholehah yang menyenangkan bila dipandang”, sungguh ketika itu aku jauh dari itu.

Aku tersenyum dan berkata pelan, “Bang, apa ya hikmahnya… istri itu kan sudah capek gitu seharian kerja. Bangun tidur siapin sarapan, nyuci piring, nyuci baju, anaknya bangun, mandiin, bikinin makan, nemenin main, pas anaknya tidur baru bisa nyapu dan ngepel, bikin makan siang, angkat jemuran, nggak berhenti-berhenti rasanya kerjaan tuh. Tapi kenapa ya bang istri itu masih harus tetap nurut gitu sama suami, sampai-sampai nggak boleh menolak untuk melayani suaminya walaupun capeknya dah minta ampun? Kalau nolak bisa-bisa dilaknat malaikat…[1] Apa ya bang hikmahnya?”

Suamiku terdiam, ada kesan yang tidak mengenakkan memang dari pertanyaanku, tapi bukan maksudku untuk membuatnya merasa tidak nyaman, hanya tiba-tiba saja teringat tentang ciri-ciri istri sholehah “yang menyenangkan jika dipandang” itu tadi, yang nurut sama suami walaupun capeknya dah minta ampun, bahkan kalau diminta mengambilkan air putih sekalipun…

Jadi ingat kisah seorang istri, yang lagi baringan saking capeknya… Si istri pun berkisah, “Heran deh ma suami tuh, udah tahu kita dah seharian kerja ngurusin rumah, masih juga disuruh ngambilin air putih, padahal gelasnya tuh lebih deket ke dia. Kalo dibilang, “ya elah say, gelasnya kan deket banget tuh, tinggal ngambil.” Eee, dia nyahutnya, “pahala yang, pahala…”” Hehehe… ngambil air putih kan cuma hal yang kecil, tapi malesnya dah minta ampun, gimana hal yang besar ya… ngambil air setermos, misalnya, Suamiku menjawab, “Barokah insya Allah… kata Nabi kan begitu…”

Jawaban yang terlalu sederhana dan terlalu umum, pikirku. Aku menganggapnya angin lalu, karena kupikir suamiku hanya ingin membesarkan hatiku.

Tapi suamiku pun melanjutkan, “Ummu Sulaim -radhiyallahuánha- waktu anaknya meninggal dunia, dia masih tetap melayani suaminya, persis di malam waktu anaknya meninggal dunia… Coba bayangin, pas anaknya meninggal nih, malemnya dia layani suaminya. Karena suaminya baru pulang, nggak pingin dia menyusahkan suaminya, masa’ udah capek dikasih kabar buruk. Padahal sedihnya kayak apa coba anaknya meninggal… Trus apa kata Nabi, barokah!”. Aku pun teringat kisahnya…

Anas bin Malik Radhiyallahu ‘anhu meriwayatkan bahwa seorang anak dari Abu Thalhah sakit. Ketika Abu Thalhah keluar, anak itu meninggal. Ketika Abu Thalhah kembali, dia bertanya, “Bagaimana anakku?” Ummu Sulaim menjawab, “Ia dalam kondisi sangat tenang,” seraya menghidangkan makan malam kepadanya, dan dia pun makan. Dalam sebuah riwayat disebutkan bahwa Ummu Sulaim berkata, “Jangan beritahukan kepada Abu Thalhah tentang kematian anaknya.” Kemudian ia melakukan tugasnya sebagai isteri kepada suaminya, lalu suaminya berhubungan intim dengannya. Ketika akhir malam, ia berkata kepada suaminya, “Wahai Abu Thalhah, bagaimana pendapatmu bila keluarga si fulan meminjam suatu pinjaman, lalu memanfaatkannya, kemudian ketika pinjaman itu diminta, mereka tidak suka?” Ia menjawab, “Mereka tidak adil.” Ummu Sulaim berkata, “Sesungguhnya anakmu, fulan, adalah pinjaman dari Allah dan Dia telah mengambilnya.” Abu Thalhah beristirja’ (mengucapkan: Innaa lillaahi wa innaaa ilaih raaji’uun) dan memuji Allah seraya mengatakan, “Demi Allah, aku tidak membiarkanmu mengalahkanku dalam kesabaran.” Pada pagi harinya, dia datang kepada Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Tatkala beliau melihatnya, beliau bersabda, “Semoga Allah memberkahi kalian berdua di malam hari kalian”.[2]

Subhanallah, indah sekali kisah ini. Merontokkan segala kelelahanku… Sambil mengangguk-angguk, kukatakan pada suamiku, “Makasih ya bang…” Semoga aku selalu ingat, bila penat mengguncang semangat untuk taat… yang menyadari, curhat terbaik memang kepada suami…



[1] Hadits shahih: Diriwayatkan oleh al-Bukhari (no. 3237, 5193, 5194), Muslim (no. 1436), Ahmad (II/255, 348, 386, 439, 468, 480, 519, 538), Abu Dawud (no. 2141) an-Nasa-i dalam ‘Isyratun Nisaa’ (no. 84), ad-Darimi (II/149-150) dan al-Baihaqi (VII/292), dari Shahabat Abu Hurairah radhiyallaahu ‘anhu, “Artinya : Apabila seorang suami mengajak isterinya ke tempat tidur (untuk jima’/bersetubuh) dan si isteri menolaknya [sehingga (membuat) suaminya murka], maka si isteri akan dilaknat oleh Malaikat hingga (waktu) Shubuh.” Dalam riwayat lain (Muslim) disebutkan: “sehingga ia kembali”. Dan dalam riwayat lain (Ahmad dan Muslim) disebutkan: “sehingga suaminya ridha kepadanya”. Yang dimaksud “hingga kembali” yaitu hingga ia bertaubat dari perbuatan itu. [Fat-hul Baari (IX/294-295)] Lihat artikel tentang hak suami atas istri, dan juga hak istri atas suami

[2]Diriwayatkan oleh al-Bukhari (no. 5470) kitab al-‘Aqiiqah, Muslim (no. 2144), kitab Fadhaa-ilush Shahaabah, Ahmad (no. 11617). Lihat kisah teladan Ummu Sulaim

Berkah Semangkok Nasi Putih

Seorang pemuda yang kelihatannya seperti seorang mahasiswa berjalan mondar mandir didepan sebuah warung makan di kota metropolitan, menunggu sampai tamu di restoran sudah agak sepi. Warung makan ini kecil dan sederhana namun cukup bersih.

Setelah agak sepi, dengan segan dan malu-malu dia masuk ke dalam warung tersebut. "Tolong sajikan saya semangkuk nasi putih."Kepala pemuda ini menunduk . Dia tidak berani menatap pemilik rumah makan karena malu. Sepasang suami istri muda pemilik rumah makan, memperhatikan pemuda ini hanya meminta semangkuk nasi putih dan tidak memesan lauk apapun.

Mereka lalu menghidangkan semangkuk penuh nasi putih untuknya. Pemuda ini berkata dengan pelan :" bolehkah menyiram sedikit kuah sayur diatas nasi saya."Istri pemilik rumah berkata sambil tersenyum : " Ambil saja apa yang engkau suka, tidak perlu bayar !"

Sebelum habis makan, pemuda ini berpikir : "kuah sayur gratis." Lalu dia memesan semangkuk lagi nasi putih. "Jika Semangkuk nasi itu tidak cukup ,tidak apa-apa akan saya berikan lebih banyak lagi nasinya." Kata pemilik rumah makan berkata kepada pemuda ini. "Bukan mau saya makan sekarang Pak , saya akan membawa pulang, besok akan membawa ke sekolah sebagai makan siang saya !"

Pemilik rumah makan berpikir pemuda ini tentu dari keluarga pas-pasan diluar kota , demi menuntut ilmu datang ke kota, mencari uang sendiri untuk sekolah, kesulitan dalam keuangan itu sudah pasti. Kemudian pemilik rumah makan menaruh sepotong daging dan sebutir telur disembunyikan dibawah nasi, kemudian membungkus nasi tersebut sepintas terlihat hanya sebungkus nasi putih saja dan memberikan kepada pemuda ini.

Melihat perbuatannya, istrinya mengetahui suaminya sedang membantu pemuda ini, hanya dia tidak mengerti, kenapa daging dan telur sembunyikan di bawah nasi ? Suaminya kemudian membisik kepadanya : "Jika pemuda ini melihat kita menaruh lauk di nasinya dia tentu akan merasa bahwa kita bersedekah kepadanya, harga dirinya pasti akan tersinggung lain kali dia tidak akan datang lagi, jika dia ke tempat lain hanya membeli semangkuk nasi putih, mana ada gizi untuk bersekolah". "Engkau sungguh baik hati, sudah menolong orang masih menjaga harga dirinya."

"Jika saya tidak baik, pasti engkau tidak mau menjadi istriku ?" Kata Suaminya tertawa. Sepasang suami istri muda ini merasa gembira dapat membantu orang lain. "Terima kasih, saya sudah selesai makan." Pemuda ini pamit kepada mereka. Ketika dia mengambil bungkusan nasinya, dia membalikan badan melihat dengan pandangan mata berterima kasih kepada mereka. "Besok silahkan mampir lagi. Jangan sungkan, Dan engkau harus tetap bersemangat...!" katanya sambil melambaikan tangan, dalam perkataannya bermaksud mengundang pemuda ini besok jangan segan-segan datang lagi
Sepasang mata pemuda ini berkaca-kaca terharu, mulai saat itu setiap sore pemuda ini singgah kerumah makan mereka, sama seperti biasa setiap hari hanya memakan semangkuk nasi putih dan membawa pulang sebungkus untuk bekal keesokan hari. Pemuda ini terpaksa menghilangkan rasa malunya dan menerima kebaikan suami istri ini karena kondisi ekonominya yang memang sangat memprihatinkan. Nasi yang dibawa pulang setiap hari terdapat lauk berbeda yang tersembunyi setiap hari selama bertahun-tahun, sampai pemuda ini tamat. Setelah itu selama 20 tahun pemuda ini tidak pernah muncul lagi. Dan pemilik warung ini sudah melupakannya.

Sampai suatu ketika, ketika suami ini sudah berumur 50 tahun lebih, pemerintah melayangkan sebuah surat bahwa warung makan mereka harus digusur. Sehingga membuat mereka kehilangan mata pencaharian.Padahal mereka masih harus membiayai kuliah anaknya di kota lain. Biasanya mereka mengirim uang setiap bulannya. Suami istri ini berpelukan menangis dengan panik.

Beberapa hari kemudian seorang Laki-laki yang memakai pakaian yang sangat rapi mendatangi meraka . "Apa kabar?, saya ……. , dari sebuah perusahaan ……. , saya diperintah oleh Direktur kami untuk meminta kalian membuka kantin diperusahaan kami, perusahaan kami telah menyediakan semuanya .Kalian hanya perlu membawa koki dan keahlian kalian kesana". "Siapakah direktur diperusahaan kamu ?, mengapa begitu baik terhadap kami? " sepasang suami istri ini berkata dengan terheran. " Kebetulan Direktur Kami kemarin pernah melewati jalan ini dan berniat untuk mampir. Beliau tidak melihat warung kalian. Setelah bertanya dengan orang disekitar warung. tahulah beliau bahwa warung kalian dibongkar oleh Pemerintah.

Kata beliau, Kalian adalah kawan baik direktur kami, direktur kami
paling suka makan telur dan dendeng buatan kalian, hanya itu yang saya tahu, silahkan besok kalian bertemu langsung dengan beliau". Akhirnya, pemuda yang hanya memakan semangkuk nasi putih ini muncul, setelah bersusah payah selama 20 tahun , akhirnya dia dapat membangun Perusahaan yang cukup besar. Sekarang ia menjadi salah satu orang terpandang di kota itu.

Dia merasa kesuksesan pada saat ini juga berkat kontribusi sepasang
suami istri ini, Mereka adalah orang-orang tulus membantunya ketika susah. Setelah berbincang-bincang, suami istri ini pamit hendak meninggalkan kantornya. Pemuda yang sudah menjadi laki-laki sukses ini ini berdiri dari kursi direkturnya dan dengan membungkuk penuh hormat berkata kepada mereka: " Bapak dan Ibu harus tetap semangat !...sampai bertemu besok !"

Al-Quran sebagai Obat Hati

Dibalik kemajuan materi yang dicapai oleh peradaban manusia modern, tersimpan penderita-penderita penyakit batin yang dilanda perasaan nelangsa dan gersang di dalam jiwanya. Sebagian dari mereka yang menderita sakit ini berpaling ke dunia tasawuf, meditasi, dan filsafat guna mencari penawar atas rasa sakit yang ada di relung dada itu.

Bagi orang-orang yang beriman, sesungguhnya Allah telah menurunkan peringatanNya berupa kitab al-Qur’an sebagai obat untuk menenteramkan hati.

Wahai manusia, sesungguhnya telah datang kepada kamu satu peringatan dari Rabb kamu, dan satu penyembuhan bagi apa yang di dalam dada, dan satu petunjuk, dan satu rahmat, bagi orang-orang mukmin.” (Q.S. 10:57)

Dan Kami menurunkan dari al-Qur'an, satu penyembuhan, dan satu rahmat bagi orang-orang mukmin...” (Q.S. 17:82)

Orang-orang yang beriman, hati mereka tenteram dengan peringatan Allah - dengan peringatan Allah, hati tenteram”. (Q.S. 13:28)

Al-Qur’an tidak bisa dilepaskan dari sifatnya sebagai kitab petunjuk. Untuk itu penggunaan al-Qur’an sebagai obat adalah dengan cara menyelami maknanya, bukan dengan misalnya meminum air yang telah dicelupi beberapa ayatnya.

Diantara waktu untuk menelaah al-Qur’an adalah pada malam hari. Sisihkanlah sebagian dari waktu malam kita untuk amalan yang akan memperkaya jiwa ini.

Sesungguhnya Pemeliharamu mengetahui bahwa kamu berjaga-jaga hampir dua per tiga malam, atau separuhnya, atau satu per tiganya, dan segolongan dari orang-orang yang bersama kamu. Dan Allah menentukan malam dan siang. Dia mengetahui bahwa kamu tidak akan menjumlahkannya, dan Dia menerima taubat kamu. Maka pahamilah (faqra’u) dari al-Qur’an semudah yang dapat. Dia mengetahui bahwa antara kamu ada yang sakit, dan yang lain antara kamu berpergian di bumi, mencari pemberian Allah, dan yang lain berperang di jalan Allah. Maka pahamilah (faqra’u) darinya semudah yang dapat...” (Q.S. 73:20)

Selain malam, waktu yang juga digunakan untuk mendalami al-Qur’an adalah fajar. Jadi ketika fajar kita tidak saja melakukan amalan shalat, tetapi juga membuka al-Qur’an dan memahami pesan-pesan di dalamnya.

Lakukanlah shalat dari terbenam matahari hingga kegelapan malam, dan bacaan (qur'an) fajar; sesungguhnya bacaan fajar disaksikan.” (Q.S. 17:78)

Saat mengawali penelaahan al-Qur’an kita mohon kepada Allah agar melindungi kita dari pengaruh syaitan yang mungkin ingin mengintervensi.

Apabila kamu memahami al-Qur'an, mohonlah perlindungan kepada Allah dari syaitan yang dirajam.” (Q.S. 16:98)

Kemudian kita mulai membaca al-Qur’an dengan penuh pemahaman. Hayati setiap kata dari ayat yang sedang kita baca tanpa tergesa-gesa ingin segera beralih ke ayat berikutnya ataupun ingin segera menamatkan pembacaan al-Qur’an.

Dan janganlah kamu tergesa-gesa dengan al-Qur’an sebelum wahyunya disempurnakan kepadamu. Dan katakanlah: ‘Wahai Pemeliharaku, tambahkanlah kepadaku ilmu pengetahuan.” (Q.S. 20:114)

Sebagaimana pesan pada Surat 73:20, al-Qur’an dibaca/dipahami semudah yang dapat. Tidak ada batasan ataupun target harus berapa ayat yang diselesaikan setiap kali menelaah al-Qur’an.

Pada saat berinteraksi dengan al-Qur’an, cobalah “mendengarkan” apa yang sedang disampaikan Allah melalui ayat-ayat yang sedang kita baca. Mungkin Allah menceritakan kisah orang-orang terdahulu yang dapat menjadi cermin dari apa yang baru kita alami. Atau Dia uraikan rahasia/hikmah di balik kejadian yang sedang kita hadapi. Bisa juga Allah mencerahkan kita dengan mengungkapkan hakikat keberadaan kita di dunia ini.

Apapun yang disampaikan Allah, sadarilah bahwa kita sedang terhubung dengan Sang Tabib yang setiap patah perkataan-Nya adalah obat.


Ø KONTRA

Indikasi Al-Qur’an adalah obat penawar yang dikhususkan bagi orang-orang yang beriman. Sebaliknya bagi orang-orang yang tidak beriman, al-Qur’an hanya menambah kisruh hati mereka yang keruh.

Tetapi bagi orang-orang yang di dalam hati mereka ada penyakit, bagi mereka, ia menambah kekotoran mereka, dan mereka mati sedang mereka orang-orang yang tidak percaya (kafir).” (Q.S. 9:125)

Monday, December 14, 2009

HIKMAH SHALAWAT

Shalawat Nabi SAW dipercaya telah menjadi syafaat, rahmat, berkah, dan obat yang orisinil untuk menyelamatkan kehidupan seseorang baik di dunia maupun di akhirat. Bahkan kerap kali shalawat ini memutarbalikkan sebuah fakta inderawi.Berikut beberpa buah kisah yang bertutur tentang keajaiban shalawat. “SUFYAN ATS-TSAURI DAN KISAH ANAK SI TUKANG RIBA”.

Sufyan ats-Tsauri menuturkan, “ Aku pergi haji. Manakala Tawaf di Ka’bah, aku melihat seoerang pemuda yang tak berdoa apapun selain hanya bershalawat kepada Nabi SAW. Baik ketika di Ka’bah, di Padang Arafah, di mudzdalifah dan Mina, atau ketika tawaf di Baytullah, doanya hanyalah shalawat kepada Baginda Nabi SAW”.

Saat kesempatan yang tepat datang, aku berkata kepadanya dengan hati-hati, “Sahabatku, ada doa khusus untuk setiap tempat. Jikalau engkau tidak mengetahuinya, perkenankanlah aku mengajarimu.” Namun, dia berkata, “Aku tahu semuanya. Izinkan aku menceritakan apa yang terjadi padaku agar engkau mengerti tindakanku yang aneh ini”. “Aku berasal dari Khurasan. Ketika para jamaah haji mulai berangkat meninggalkan daerah kami, ayahku dan aku mengikuti mereka untuk menunaikan kewajiban agama kami naik turun gunung, lembah, dan gurun. Kami akhirnya memasuki kota Kufah. Disana ayahku jatuh sakit, dan pada tengah malam dia meninggal dunia. Dan aku mengkafani jenazahnya. Agar tidak mengganggu jemaah lain, aku duduk menangis dalam batin dan memasrahkan segala urusan pada Allah SWT. Sejenak kemudian, aku merasa ingin sekali menatap wajah ayahku, yang meninggalkanku seorang diri di daerah asing itu. Akan tetapi, kala aku membuka kafan penutup wajahnya, aku melihat kepala ayahku berubah jadi kepala keledai. Terhenyak oleh pemandangan ini, aku tak tahu apa yang mesti kulakukan. Aku tidak dapat menceritakan hal ini pada orang lain. Sewaktu duduk merenung, aku seperti tertidur. Lalu, pintu tenda kami terbuka, dan tampaklah sesosok orang bercadar. Seraya membuka penutup wajahnya, dia berkata, “Alangkah tampak sedih engkau! Ada apakah gerangan?” Aku pun berkata, “Tuan, yang menimpaku memang bukan sukacita. Tapi, aku tak boleh meratap supaya orang lain tak bersedih”.

Lalu orang asing itu mendekati jenazah ayahku, membuka kain kafannya, dan mengusap wajahnya. Aku berdiri dan melihat wajah ayahku lebih berseri-seri ketimbang wajah tuanya. Wajahnya bersinar seperti bulan purnama. Melihat keajaiban ini, aku mendekati orang itu dan bertanya, “Siapakah Anda, wahai kekasih kebaikan?” Dia menjawab, “Aku Muhammad al Musthafa” (semoga Allah melimpahkan kemuliaan dan kedamaian kepada Rasul pilihanNya). Mendengar perkataan ini, aku pun langsung berlutut di kakinya, menangis dan berkata, “Masya Allah, ada apa ini? Demi Allah, mohon engkau menjelaskannya ya Rasulullah”.

Kemudian dengan lembut beliau berkata, “ayahmu dulunya tukang riba. Baik di dunia ini maupun di akhirat nanti. Wajah mereka berubah menjadi wajah keledai, tetapi disini Allah Yang Mahaagung mengubah lagi wajah ayahmu. Ayahmu dulu mempunyai sifat dan kebiasaan yang baik. Setiap malam sebelum tidur, dia melafalkan shalawat seratus kali untukku. Saat diberitahu perihal nasib ayahmu, aku segera memohon izin Allah untuk memberinya syafaat karena shalawatnya kepadaku. Setelah diizinkan, aku datang dan menyelamatkan ayahmu dengan syafaatku”.

Sufyan menuturkan, “Anak muda itu berkata, “Sejak saat itulah aku bersumpah untuk tidak berdoa selain shalawat kepada Rasulullah, sebab aku tahu hanya shalawatlah yang dibutuhkan manusia di dunia dan di akhirat”.

Dalam sebuah riwayat, Rasulullah SAW telah bersabda bahwa, “Malaikat Jibril, Mikail, Israfil, dan Izrail Alaihumus Salam telah berkata kepadaku. Jibril As. berkata, “Wahai Rasulullah, siapa yang membaca shalawat atasmu tiap-tiap hari sebanyak sepuluh kali, maka akan kubimbing tangannya dan akan ku bawa dia melintasi titian seperti kilat menyambar”. Berkata pula Mikail As., “Mereka yang bershalawat atasmu akan aku beri mereka itu minum dari telagamu”. Dan Israfil As berkata pula, “Mereka yang bershalawat kepadamu, maka aku akan bersujud kepada Allah SWT dan aku tidak akan mengangkat kepalaku sehingga Allah SWT mengampuni orang itu”. Kemudian Malaikat Izrail As. pun berkata, ”Bagi mereka yang bershalawat atasmu, akan aku cabut ruh mereka itu dengan selembut-lembutnya seperti aku mencabut ruh para nabi.” Bagaimana kita tidak cinta kepada Rasulullah SAW? Sementara para malaikat memberikan jaminan masing-masing untuk orang-orang yang bershalawat atas Rasulullah SAW.

Dengan kisah yang dikemukakan ini, semoga kita tidak akan melepaskan peluang untuk selalu bershalawat kepada pemimpin kita, cahaya dan pemberi syafaat kita, Nabi Muhammad SAW. Mudah-mudahan kita menjadi orang-orang kesayangan Allah SWT, Rasul, dan para MalaikatNya. Semoga shalawat, salam, serta berkah senantiasa tercurah ke hadirat Nabi kita, Rasul kita, cahaya kita, dan imam kita, Muhammad al Musthafa SAW beserta seluruh keluarga, keturunan, dan sahabat-sahabat beliau, dan seluruh kaum mukmin yang senantiasa untuk melazimkan bershalawat kepada beliau. Amin.

Dalil vs Dalih

Kitab suci bisa digunakan sebagai dalil, bisa juga digunakan sebagai dalih. Apa bedanya?... Kalau dijadikan dalil, artinya aturan-aturan di dalamnya kita gunakan sebagai rujukan, sebagai pegangan. ringan kita laksanakan, berat pun kita laksanakan.

Sebaliknya kalau dijadikan dalih, maka aturan di dalamnya hanya kita jadikan rujukan saat sesuai dengan kemauan kita. Artinya, yang ringan kita jalankan, yang susah kita abaikan. Itulah beda dalil dengan dalih. Beda satu huruf yang berarti perbedaan bumi langit.

Alasan-alasan yang kita gunakan sehari-hari ternyata juga ada yang dalil, ada yang hanya dalih. Kapan kita mengetahui suatu alasan itu dalil, dan kapan dalih? Anda akan tahu bahwa sesuatu itu dalil (prinsip hidup) ketika Anda menjalaninya secara konsisten. Seringkali dalil akan berbenturan dengan keinginan nafsu kita. Misalnya, teman-teman kita pada bagi-bagi uang sisa proyek tanpa aturan pembagian yang jelas. Kalau Anda punya dalil bahwa itu haram, dan Anda mengimaninya, mungkin Anda menolak untuk ikut mendapatkan pembagian.

Tentu saja ada dilema yang serius akan Anda hadapi. Yang paling sulit adalah menghadapi sikap tak suka dari kalangan kolega sendiri. Nah, kalau bisa bertahan terhadap situasi sulit itu, berarti prinsip tersebut adalah dalil bagi yang bersangkutan. Sebaliknya, jika kemudian dia mencari-cari aturan lain yang bisa membenarkan perilaku yang hati nurani kita menganggap salah, maka jelaslah aturan itu kita gunakan sebagai dalih.

Jadi, ketika suatu aturan kita gunakan sebagai referensi, maka ia digunakan sebagai dalil. Sedangkan ketika suatu aturan digunakan sebagai alibi pembenaran, maka dia menjadi dalih. Materi aturan itu sama saja, motivasi penggunaannya yang berbeda.

Cirinya sederhana: dalil mendahului sikap, sedangkan dalih mengikuti sikap. Mari kita ambil contoh populer, menikah lagi. Kalau ayat kitab suci dijadikan dalil, maka bisa terjadi seseorang mengimani pentingnya menikah lagi (mungkin untuk menyelamatkan kehormatan janda, menyantuni yatim, memberikan pengajaran jalan mulia di tengah kemaksiatan perzinahan, dsb) mendahului pernikahan itu sendiri. Jadi, dia menikah atas dasar agama untuk menyelesaikan persoalan pelik di masyarakat. Mungkin dia pribadi merasa berat dengan tanggung jawab pernikahan baru (dan memang tanggung jawab berkeluarga itu cukup berat), hal tersebut tidak nyaman dilakukan (bukankah lebih enak berzina diam-diam? misalnya), tapi lalu dia lakukan dengan niat karena Allah. Nah, ini artinya rujukan tersebut digunakan sebagai dalil. Tapi sebaliknya, bila karena dorongan nafsu kemudian seseorang menikah lagi, dan menunjukkan ciri-ciri kurangnya tanggung jawab dalam membina keluarga (baik keluarga yang lama maupun yang baru), maka rujukan yang dipakai sebenarnya dijadikan dalih belaka.

Hal yang sama juga terjadi pada alasan-alasan kita sehari-hari. Misalnya, alasan datang terlambat, pekerjaan tak selesai tepat waktu, membatasi pengeluaran, boros pengeluaran, dll. Ada sebagian alasan tersebut yang bersifat dalil/berdasarkan prinsip (misalnya boros untuk keperluan yang penting), atau sekedar dalih/berdasarkan pembenaran (misalnya boros karena keinginan sesaat).

Masak sih kita tak boleh berdalih? Ya, boleh-boleh saja. Yang penting kita itu jujur dengan diri sendiri, kapan kita itu berdalil atau berdalih. Kalau sedang cari-cari alasan, ya kita akui saja kalau kita sedang berdalih, bukan sedang berdalil. Sedangkan kalau kita berdalil, maka kita harus sampaikan dengan jujur dan tegas, walaupun pahit akibatnya.


Refleksi Hari Ibu

IBU ATAU BUNDA?


Menurut pengertian baku yang disepakati oleh forum ahli Bahasa Indonesia, kata ibu memiliki makna wanita yang telah melahirkan seseorang. Dengan itu, seorang istri dapat secara otomatis menjadi seorang ibu manakala telah mampu melahirkan seorang bayi. Jadi setiap wanita yang sehat organ reproduksinya akan bisa menjadi seorang ibu, tentunya.

Ibu adalah peran logis dari seorang wanita yang mampu melahirkan bayi. Tugas ibu adalah melahirkan bayi. Hal-hal lain terkait kebutuhan primer bayi seperti memberikan susu, memandikan, menyuapi, memakai baju, bermain, dan lain-lain, dapat sepenuhnya ditangani oleh seorang baby sitter.

Dulu, sebelum teknologi kedokteran mampu mengenali dan mempersiapkan kelahiran bayi dengan baik, prosesi melahirkan adalah benar-benar gerbang antara dua alam (dunia dan kubur). Tingkat meninggal ibu-ibu akibat melahirkan demikian tinggi. Beruntungnya, pelan-pelan teknologi telah mampu mengantisipasi banyak hal seputar kelahiran sehingga pada masyarakat yang terlayani medis dengan baik, prosesi kelahiran bisa menjadi momentum perayaan yang direncanakan. Masih ingat tanggal 09-09-09? Banyak sekali ibu-ibu yang memilih tanggal tersebut untuk kelahiran bayinya, tentu saja dengan cara bedah Caesar.

Bagaimana dengan kata bunda? Menurut proses pembentukan kata, kata bunda berasal dari kata ibunda. Entah apa latar belakang sejarahnya, tapi makna terasa dari kata ibunda atau bunda adalah adanya keterkaitan antara ibu dengan anak. Mungkinkah ibunda merupakan paduan dari kata ibu + ananda? Entahlah. Yang pasti, seseorang menggunakan kata ibunda untuk merujuk sebuah penghormatan yang besar antara hubungan anak dan ibu. Seseorang dapat tetap mengklaim sebagai ibu seorang anak asalkan dapat membuktikan anak itu terlahir dari rahimnya. Sedangkan untuk mengklaim seorang bunda, tentu tidak semudah itu kan?

Menjadi seorang bunda tidak dapat diraih hanya dalam waktu setahun. Menjadi seorang bunda membutuhkan kebijakan, kematangan emosi, kedalaman maaf, pengetahuan yang cukup, wawasan yang memadai, kesabaran yang tak berbatas, keringat tak pupus dikeringkan, tatapan penuh kasih sepanjang waktu, belaian tangan tulus (bukan lembut karena tidak semua tangan penuh kasih itu berkulit halus), serta tegur empati sapa bersahabat. Menjadi bunda adalah aktualisasi kasih sepanjang hayat. Menjadi bunda adalah pilihan, bukan keniscayaan logis kehamilan. Sebagai ibu, Anda dapat memutuskan jadi bunda atau hanya menjadi ibu, seperti yang telah dipertontonkan oleh banyak ibu yang meninggalkan bayi begitu saja.

Menjadi bunda membutuhkan persiapan, latihan, dan pengetahuan, terutama terkait keberhasilan proses pengasuhan (pendidikan + perawatan). Pendidikan untuk membangun mental dan perilaku baik manusia baru yang dititipkan melalui rahim ibu. Perawatan untuk memastikan hak-hak fisiknya terpenuhi sehingga secara fisik memiliki badan sehat dan kuat. Dengan demikian, insan (mental, perilaku, tubuh) paripurna menjadi kewajiban hukum sebab-akibat untuk melahirkannya.

Sahabat-sahabat wanita yang budiman, apakah yang selama ini Anda persiapkan? Menjadi ibu ataukah menjadi bunda? Persiapan untuk apakah jadwal rutin ke salon (pedicure, medicure, hair care, skin care), ke fitness center, atau ke cafe? Sudah seimbangkah antara besaran anggaran persiapan ibu dan bunda?

Seperti yang disampaikan dengan tegas oleh Bunda Neno Warisman dalam buku Semua Ayah Adalah Bintang, "Belah jiwa ayah, kaum ibu ini, dengan semua pemberdayaannya ... termehek-mehek sudah...! Itu bahasa yang paling jujur. Kaum ibu yang sudah pontang-panting, baik yang setengah mati maupun satu mati, atau 3 mati sekalipun, tetap tidak akan optimal mewujudkan generasi yang berkwalitas dan seimbang tanpa kehadiran ayah, baik secara fisik, psikologis maupun rohani." Benar. Benar sekali apa yang dikatakan Bunda Neno. Peran pengasuhan adalah peran ayah dan bunda. Anak adalah hasil upaya dan harapan bersama, maka keberhasilan pengembangannya menjadi tanggung jawab bersama. Terus, kenapa sekarang menjadi kewajiban monopoli bunda!

Menjelang hari Ibu (saya lebih menyukai dengan istilah hari Bunda) ini, saya ingin mengajak kaum lelaki untuk menjadi ayah (bukan bapak). Ayah adalah bapak yang memainkan peran dirinya dengan optimal bagi terbangunnya karakter keluarga (anak dan istri) yang baik. Juga bagi para calon bapak, adalah sangat penting dan sangat menentukan segala persiapan atau abai Anda dalam menyongsong hari jadi bapak. Saya menyaksikan, banyaknya kegagalan dalam mewujudkan visi keluarga yang bahagia adalah karena abainya banyak pasangan dalam mempersiapkan diri menjadi ayah-bunda. Bukankah gagal mempersiapkan berarti mempersiapkan kegagalan?

Kegagalan menciptakan keluarga memiliki dampak pada lemahnya fondasi masyarakat. Dan itu berarti kita sedang membangun bangsa ini pada fondasi yang rapuh tak berkarakter.

“SELAMAT HARI BUNDA”

Dari Ayah yang merindukan adanya hari Ayah