Monday, December 14, 2009

Dalil vs Dalih

Kitab suci bisa digunakan sebagai dalil, bisa juga digunakan sebagai dalih. Apa bedanya?... Kalau dijadikan dalil, artinya aturan-aturan di dalamnya kita gunakan sebagai rujukan, sebagai pegangan. ringan kita laksanakan, berat pun kita laksanakan.

Sebaliknya kalau dijadikan dalih, maka aturan di dalamnya hanya kita jadikan rujukan saat sesuai dengan kemauan kita. Artinya, yang ringan kita jalankan, yang susah kita abaikan. Itulah beda dalil dengan dalih. Beda satu huruf yang berarti perbedaan bumi langit.

Alasan-alasan yang kita gunakan sehari-hari ternyata juga ada yang dalil, ada yang hanya dalih. Kapan kita mengetahui suatu alasan itu dalil, dan kapan dalih? Anda akan tahu bahwa sesuatu itu dalil (prinsip hidup) ketika Anda menjalaninya secara konsisten. Seringkali dalil akan berbenturan dengan keinginan nafsu kita. Misalnya, teman-teman kita pada bagi-bagi uang sisa proyek tanpa aturan pembagian yang jelas. Kalau Anda punya dalil bahwa itu haram, dan Anda mengimaninya, mungkin Anda menolak untuk ikut mendapatkan pembagian.

Tentu saja ada dilema yang serius akan Anda hadapi. Yang paling sulit adalah menghadapi sikap tak suka dari kalangan kolega sendiri. Nah, kalau bisa bertahan terhadap situasi sulit itu, berarti prinsip tersebut adalah dalil bagi yang bersangkutan. Sebaliknya, jika kemudian dia mencari-cari aturan lain yang bisa membenarkan perilaku yang hati nurani kita menganggap salah, maka jelaslah aturan itu kita gunakan sebagai dalih.

Jadi, ketika suatu aturan kita gunakan sebagai referensi, maka ia digunakan sebagai dalil. Sedangkan ketika suatu aturan digunakan sebagai alibi pembenaran, maka dia menjadi dalih. Materi aturan itu sama saja, motivasi penggunaannya yang berbeda.

Cirinya sederhana: dalil mendahului sikap, sedangkan dalih mengikuti sikap. Mari kita ambil contoh populer, menikah lagi. Kalau ayat kitab suci dijadikan dalil, maka bisa terjadi seseorang mengimani pentingnya menikah lagi (mungkin untuk menyelamatkan kehormatan janda, menyantuni yatim, memberikan pengajaran jalan mulia di tengah kemaksiatan perzinahan, dsb) mendahului pernikahan itu sendiri. Jadi, dia menikah atas dasar agama untuk menyelesaikan persoalan pelik di masyarakat. Mungkin dia pribadi merasa berat dengan tanggung jawab pernikahan baru (dan memang tanggung jawab berkeluarga itu cukup berat), hal tersebut tidak nyaman dilakukan (bukankah lebih enak berzina diam-diam? misalnya), tapi lalu dia lakukan dengan niat karena Allah. Nah, ini artinya rujukan tersebut digunakan sebagai dalil. Tapi sebaliknya, bila karena dorongan nafsu kemudian seseorang menikah lagi, dan menunjukkan ciri-ciri kurangnya tanggung jawab dalam membina keluarga (baik keluarga yang lama maupun yang baru), maka rujukan yang dipakai sebenarnya dijadikan dalih belaka.

Hal yang sama juga terjadi pada alasan-alasan kita sehari-hari. Misalnya, alasan datang terlambat, pekerjaan tak selesai tepat waktu, membatasi pengeluaran, boros pengeluaran, dll. Ada sebagian alasan tersebut yang bersifat dalil/berdasarkan prinsip (misalnya boros untuk keperluan yang penting), atau sekedar dalih/berdasarkan pembenaran (misalnya boros karena keinginan sesaat).

Masak sih kita tak boleh berdalih? Ya, boleh-boleh saja. Yang penting kita itu jujur dengan diri sendiri, kapan kita itu berdalil atau berdalih. Kalau sedang cari-cari alasan, ya kita akui saja kalau kita sedang berdalih, bukan sedang berdalil. Sedangkan kalau kita berdalil, maka kita harus sampaikan dengan jujur dan tegas, walaupun pahit akibatnya.


0 komentar :

Post a Comment

Terima kasih atas commentnya, Comment anda sangat bermanfaat bagi saya... Semoga bermanfaat.