Sunday, January 31, 2010

Hukum Thalaq

I. PENDAHULUAN

Suatu perkawinan dimaksudkan untuk membina hubungan yang harmonis antara suami istri, namun kenyataan membuktikan, bahwa untuk memelihara keharmonisan dan kelestarian bersama suami istri bukanlah perkara yang mudah dilaksanakan bahkan dalam hal perkara yang mudah dilaksanakan bahkan dalam hal kasih sayang pun sulit untuk diwujudkan dikarenakan faktor-faktor psikologis, biologis, ekonomis, perbedaan kecenderungan pandangan hidup tersebut.[1]

Pada dasarnya pergaulan suami istri merupakan persenyawaan jiwa raga dan cipta rasa, maka antara suami istri diwajibkan bergaul dengan sebaik-baiknya. Firman Allah :

وَعَاشِرُوهُنَّ بِالْمَعْرُوفِ فَإِن كَرِهْتُمُوهُنَّ فَعَسَى أَن تَكْرَهُواْ شَيْئاً وَيَجْعَلَ اللهُ فِيهِ خَيْراً كَثِيراً {النساء : 19}

“Dan bergaullah dengan mereka secara patut. Kemudian bila kamu tidak menyukai mereka, (maka bersabarlah) karena mungkin kamu tidak menyukai sesuatu, padahal Allah menjadikan padanya kebaikan yang banyak.”

Oleh karena itu, apabila adanya suatu perselisihan yang terjadi antara suami istri wajib diusahakan dengan cara musyawarah dan mufakat. Apabila perselisihan / krisis rumah tangga tersebut sedemikian memuncak dan tidak mungkin untuk dapat diselesaikan maka cara yang harus ditempuh dengan cerai / diceraikan dan suatu perkawinan dapat berakhir karena terjadinya thalaq yang dijatuhkan oleh suami terhadap istri.

II. PEMBAHASAN

a. Pengertian Thalaq

Kata “thalaq” dalam bahasa Arab berasal dari kata thalaqa-yathalaqu-thalaqa yang bermakna melepas/mengurai tali pengikat, baik tali itu bersifat kongkrit maupun abstrak, kata thalaq merupakan isim masdar dari kata thalaqa-yathaliqu-thathqar yang bermakna “irsai” dan “tarku” yaitu melepaskan dan meninggalkan.[2]

Al-Jaziri dalam kitabnya al-fiqh alal madzahibil arba’ah memberikan definisinya :

اَطَّلاَ قُ اِزْ لَةُ النِّكَاحِ اَوْ نُقْصَانِ حَلِّهِ بِلَفْظٍ مَخْصُوْصٍ.

Thalaq ialah menghilangkan ikatan perkawinan / mengurangi pelepasan ikatannya

dengan mempergunakan kata-kata tertentu”.

Dalam istilah agama, “thalaq” artinya melepaskan ikatan perkawinan / bubarnya hubungan perkawinan.[3]

حُلُّ رَابِطَةٍ الزَّاوَاجِ وَاِنْهَاءُ الْعَلاَ قَةِ الزَّوْجِيَّةِ

“Thalaq ialah melepas tali perkawinan dan mengakhiri hubungan suami istri”.

b. Syarat-syarat Thalaq

1. Suami

Syarat laki-laki yang menjatuhkan thalaq kepada istrinya adalah berakal, baligh serta atas kemauan sendiri, karena bila atas kehendak orang lain tidak sah. Rasulullah bersabda :

اِنَّ اللهَ وَضَحَ عَنْ اُمَّتِىالْخَطَاءَ وَالنِّسْيَانَ وَمَااسْتُكْرِ هُوَاعَلَيْهِ

Sesungguhnya Allah melepaskan dari umatku tanggung jawab dosa silap, lupa dan suatu yang dipaksakan kepadanya

2. Istri

Adapun hal yang disyaratkan bagi wanita yang dithalaq oleh suaminya antara lain istri tersebut masih dalam lindungan suami dan thalaq tersebut berdasarkan atas akad perkawinan yang sah.[4]

c. Hukum-hukum Thalaq

Dalam kehidupan suami istri tidak sepantasnya mereka berusaha memutuskan / merusak tali perkawinan. Meskipun suami diberi hak menjatuhkan thalaq tanpa alasan / sebab termasuk perbuatan tercela dan benci Allah. Rasulullah bersabda:

اَبْغَضُ الْحَـلاَلِ اِلَى اللهِ الطَّلاَقُ

“Perkara halal yang paling dibenci Allah ialah menjatuhkan thalaq”

Dan seseorang yang berusaha merusak tali hubungan suami istri dipandang keluar dari rel kebijaksanaan hukum Islam dan tidak sepantasnya ia menanamkan seorang muslim.

لَيْسَ مِنَّا مَنْ خَبَّبَ امْرَأَةً عَلَى زَوْجِهَا

Bukanlah termasuk golonganku orang merongrong hubungan seorang suami istri

Dalam hukum thalaq, para fuqaha berbeda-beda pendapat mengenai hukum asalnya, yaitu pendapat yang menetapkan bahwa suami diharamkan menjatuhkan thalaq kecuali karena darurat (terpaksa). Adapun sebab-sebab dan alasan-alasan untuk jatuhnya thalaq yang menyebabkan kedudukannya menjadi wajib, haram, sunnah dan makruh.

1) Thalaq menjadi wajib bagi suami atas permintaan istri, dalam hal ini suami tidak mampu menunaikan hak-hak istri, serta menunaikan kewajibannya sebagai suami.

Menurut H. Sulaiman Rasyid bahwa thalaq menjadi wajib apabila terjadi perselisihan antara suami istri dengan 2 hakam yang mengutus perkara keduanya sudah memandang perlu supaya keduanya cerai.

2) Thalaq menjadi sunnah jika suami istri tidak sanggup membayar kewajiban (nafkah) dengan cukup / si istri rusak moralnya (tidak menjaga kehormatan dirinya), seperti berbuat zina, melanggar larangan agama / meninggalkan kewajiban agama seperti shalat, puasa.

3) Haram (bid’ah) jika istri dalam keadaan haid dan suami berlaku serong, baik dengan bekas istrinya ataupun dengan wanita lain.

Sayyid Sabiq mengemukakan bahwa thalaq diharamkan bila tidak ada keperluan untuk itu dikarenakan thalaq yang demikian dapat menimbulkan mudharat.

4) Mubah, hukum ini dibolehkan ketika ada keperluan seperti jeleknya perilaku istri, buruknya sikap istri terhadap suami, suami menderita karena tingkah laku istri dan suami tidak mencapai tujuan perkawinan karena istri.

5) Makruh, dikarenakan thalaq itu menghilangkan perkawinan yang di dalamnya terkandung kemaslahatan-kemaslahatan yang sunnahkan dan makruh merupakan hukum asal dari thalaq tersebut.[5]

d. Macam-macam Thalaq

Berikut adalah macam-macam Thalaq, antara lain sebagai berikut:

1. Ta’liq thalaq

Menta’liqkan thalaq sama hukumnya dengan thalaq tunai, yaitu makruh. Tetapi kalau adanya ta’liq itu akan membawa kepada kerusakan sudah tentu hukumnya menjadi terlarang.

2. Khulu’ (thalaq tebus)

Khulu’ adalah thalaq yang diucapkan oleh suami dengan pembayaran dari pihak istri kepada suami, thalaq ini biasanya dilakukan atas kehendak istri dan dapat dilakukan sewaktu suci maupun haid. Khulu’ dapat mengakibatkan bekas suami tidak dapat rujuk kembali dan tidak boleh menambah thalaq sewaktu iddah, hanya diperbolehkan kawin kembali melalui aqad baru.

Beberapa hukum khulu’ diantaranya wajib apabila atas permintaan istri bahwa suami tidak mau memberi nafkah batin terhadap istri, haram jika hanya untuk menyengsarakan istri dan anak-anaknya. Mubah ketika istri ada keperluan yang membolehkan istri menempuh jalan lain, makruh hukumnya jika tidak ada keperluan untuk itu dan dapat menjadi sunnah bila dimaksudkan untuk mencapai kemaslahatan yang lebih memadai bagi keduanya.

Menurut Imam Syafi’i asal hukum khulu’ adalah makruh dan menjadi sunnah hukumnya bila istri tidak baik dalam bergaul menurut si suami.[6]

3. Fasakh

Dalam putusnya perkawinan sebab fasakh bahwa hukum Islam mewajibkan suami untuk menunaikan hak-hak istri dan memelihara istri dengan sebaik-baiknya, tidak boleh menganiaya istri dan menimbulkan kemudlaratan terhadapnya.

Pada fuqaha menetapkan jika dalam kehidupan suami istri menimbulkan sikap kemudlaratan pada salah satu pihak, maka pihak yang menderita dapat memutuskan perkawinan melalui hakim untuk menfasahkan perkawinan atas dasar pengaduan pihak yang menderita.

Beberapa alasan fasakh[7] yaitu :

a) Tidak adanya nafkah bagi istri

b) Terjadinya cacat / penyakit pada salah satu pihak

c) Penderitaan yang menimpa istri

4. Syiqaq

Syiqaq adalah krisis memuncak antara suami istri dengan adanya pertentangan pendapat dan pertengkaran yang tidak mungkin bisa untuk dipertemukan dan kedua belah pihak tidak dapat mengatasinya. Firman Allah SWT

وَإِنْ خِفْتُمْ شِقَاقَ بَيْنِهِمَا فَابْعَثُواْ حَكَماً مِّنْ أَهْلِهِ وَحَكَماً مِّنْ أَهْلِهَا إِن يُرِيدَا إِصْلاَحاً يُوَفِّقِ اللهُ بَيْنَهُمَا إِنَّ اللهَ كَانَ عَلِيما خَبِيراً {النساء : 35}

Dan jika kamu khawatirkan ada persengketaan antara keduanya, maka kirimlah seorang hakam dari keluarga laki-laki dan seorang hakam dari keluarga perempuan. Jika kedua orang hakam itu bermaksud mengadakan perbaikan, niscaya Allah memberi taufik kepada suami-isteri itu. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Maha Mengenal”.

Kedudukan cerai karena syiqaq bersifat ba’in (bekas suami istri hanya dapat kembali dengan akad baru).

5. Li’an

Kata li’an adalah masdar dari kata laa’ana-yulaa’inu-li’aana dari kata al-la’nu yang bermakna jauh, laknat / kutukan, sedangkan menurut istilah ialah sumpah yang diucapkan oleh suami ketika ia menuduh istrinya berbuat zina dengan 4 kali kesaksian bahwa ia termasuk orang yang benar dalam tuduhannya, kemudian pada sumpah kesaksian ke lima disertai pernyataan ia bersedia menerima laknat Allah jika ia berdusta dalam tuduhannya itu.

Dengan terjadinya sumpah li’an terjadilah perceraian antara suami istri dan tidak boleh terjadi perkawinan kembali untuk selamanya. Hadits Nabi

اَلْمُتَلاَ عِنَانِ اِذَا تَضَرَّقَا لاَ يَجْتَمِعَانِ اَبَدًا

Suami istri yang telah saling berli’an itu setelah bercerai tidak boleh berkumpul untuk selamanya”.

III. KESIMPULAN

Dalam suatu perkawinan apabila ada permasalahan / perselisihan wajib diusahakan dengan cara musyawarah dan mufakat, bila masih bertambah memuncak maka cara yang harus ditempuh melalui cerai / thalaq.

Thalaq adalah melepas tali perkawinan / mengakhiri hubungan suami istri hukum-hukumnya yaitu wajib, sunnah, haram, mubah dan yang terakhir makruh yang merupakan hukum asal thalaq. Sebab-sebabnya seperti ta’liq thalaq, khulu’, fasakh, syiqoq dan li’an.

DAFTAR PUSTAKA

Djamal, Murni. MA., Ilmu Fiqh II. Proyek Pembinaan Perguruan Tinggi : Jakarta.

Sabiq, Sayyid.1983. Fiqh Sunnah VIII. PT. al-Ma’arif : Bandung.

Daradjat, Zakiah.1995. Ilmu Fiqh II. PT. Dana Bhakti Wakaf : Jogja.

Rasyid, Sulaiman. 1981. Fiqh Islam. Sinar Baru : Bandung.



[1] Drs. Urni Jamal, MA. Ilmu Fiqh II, Jakarta : Proyek Pembinaan Perguruan Tinggi, hal 221

[2] Ibid., hal. 226

[3] Sayyid Sabiq, Fiqh Sunnah VIII, Bandung : PT. Al-Ma’arif, 1983, hal. 9

[4] Zakiah Daradjat, Ilmu Fiqh II, Jogja : PT. Dhana Bhakti Wakaf, 1995.

[5] Sulaiman Rasyid, Fiqh Islam, Bandung : Sinar Baru, 1981, hal. 373

[6] Zakiah Daradjat, op.cit., hal.196

[7] Ibid., hal. 208

Mahkum Fih Dan Mahkum Alaih

BAB I

PENDAHULUAN


A. Latar Belakang

Allah SWT meletakkan peraturan terhadap makhluk-Nya tidaklah sembarangan tanpa melihat latar belakang dan dasar-dasar makhluk-Nya. Setiap perintah dan larangan Allah SWT pastilah didasari dengan sebuah filsafat atau hikmat yang sangat kuat.

Seperti contoh keharaman meminum khamr tidaklah terjadi dengan tanpa alasan, melainkan karena khamr dapat membuat akal manusia terganggu atau malah hilang dan rusak. Dengan efek seperti ini, manusia tidak dapat berfikir secara normal sehingga dapat mengakibatkan kecelakaan terhadap dirinya sendiri maupun orang lain tanpa disengaja dan jelas tidak diingini. Begitu juga dengan konsep hukum Islam yang meletakkan predikat taklif sebagai batasan dalam peletakkan hukum. Seseorang yang belum mukallaf tidaklah terbebani oleh hukum-hukum yang taklifi. Tentu dasar hukum ini memiliki filsafat dibaliknya.


B. Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang tersebut, dapat dirumuskan beberapa masalah sebagai berikut:

1. Apakah taklif itu serta objeknya?

2. Apakah mukallaf itu serta bagaimana gambarannya?

3. Apakah filsafat dibalik wujudnya taklif dan predikat mukallaf di dalam Islam?


C. Tujuan Pembahasan

Tujuan dalam pembahasan pada makalah ini antara lain:

ü Sebagai tambahan wawasan dalam materi tentang mukallaf dan perbuatannya

ü Sebagai nilai tambahan dalam pemenuhan tugas mata kuliah Ushul Fiqh

ü Sebagai media dalam berlatih menyusun karya tulis berupa makalah


BAB II

PEMBAHASAN


1. Taklif

Menurut Abdul Wahab Khallaf, hukum taklifi adalah hukum yang menghendaki dilakukannya suatu pekerjaan oleh mukallaf, atau melarang mengerjakannya, atau melakukan pilihan antara melakukan dan meninggalkannya.

Dalam Islam orang yang terkena taklif adalah mereka yang sudah dianggap mampu untuk mengerjakan tindakan hukum. Sebagian besar ulama ushul fiqh berpendapat bahwa dasar pembebanan hukum bagi seorang mukallaf adalah akal dan pemahaman.

Sebagimana sabda Rasulullah SAW.

Artinya: “Diangkat pembebanan hukum dari tiga jenis orang: orang itu sampai ia bangun, anak kecil sampai baligh, dan orang gila sampai ia sembuh” (HR. Bukhori, Turmudzi, Nasa’i, Ibn Majjah, dan Daru Quthni).

Berikut adalah beberapa syarat-syarat Taklif, yaitu:

v Orang itu telah mampu memahami kitab syar’i yang terkandung dalam Al Qur’an dan sunnah, baik secara langsung atau melalui orang lain.

v Seseorang harus mampu dalam bertindak hukum, dalam ushul fiqh disebut ahliyah syafe’i, 2007: 336-338).


2. Mahkum Fiih (Obyek Hukum)

a. Pengertian

Yang dimaksud dengan Mahkum Fih ialah perbuatan mukallaf yang menjadi obyek hukum syara’ (Syukur, 1990: 132). Mahkum fih ialah pekerjaan yang harus dilaksanakan mukallaf yang dinilai hukumnya (Sutrisno, 1999: 120). Sedangkan menurut ulama ushul fiqh yang dimaksud mahkum fih adalah objek hukum, yaitu perbuatan seorang mukallaf yang terkait dengan perintah syar’i baik yang bersifat tuntutan mengerjakan, tuntutan meninggalkan, memilih suatu pekerjaan, dan yang bersifat syarat, sebab, halangan, azimah, rukhsah, sah serta batal (Bardisi dalam Syafe’I, 2007: 317). Jadi, secara singkatnya dapat disimpulkan bahwa yang dimaksud dengan mahkum fih adalah perbuatan mukallaf yang berkaitan atau dibebani dengan hukum syar’i.

Syarat-Syarat Mahkum Fih

1. Mukallaf mengetahui perbuatan yang akan dilakukan, sehingga tujuannya jelas dan dapat dilaksanakan.

2. Mukallaf harus mengetahui sumber taklif, supaya mengetahui bahwa tuntutan itu dari Allah SWT, sehingga melaksanakannya berdasarkan ketaatan dengan tujuan melaksanakannya karena Allah semata.

3. Perbuatan harus mungkin untuk dilaksanakan atau ditinggalkan.dengan catatan:

a) Tidak sah suatu tuntutan yang dinyatakan musthil untuk dikerjakan atau ditinggalkan baik berdasarkan zatnya ataupun tidak.

b) Tidak sah hukumnya seseorang melakukan perbuatan yang ditaklifkan untuk dan atas nama orang lain.

c) Tidak sah tuntutanyang berhubungan dengan perkara yang berhubungan dengan fitrah manusia.

d) Tercapainya syarat taklif tersebut (Syafe’I, 2007: 320)

Disamping syarat-syarat yang penting diatas bercabanglah berbagai masalah yang lain sebagaimana berikut:

ü Sanggup mengerjakan, tidak boleh diberatkan sesuatu yang tidak sanggup dikerjakan oleh mukallaf.

ü Pekerjaan yang tidak akan terjadi, karena telah dijelaskan oleh Allah bahwa pekerjaan itu tidak akan terjadi, seperti jauhnya Abu Lahab terhadap rasa iman

ü Pekerjaan yang sukar sekali dilaksanakan, yaitu yang kesukarannya luar biasa, dalam arti sangat memberatkan bila perbuatan itu dilaksanakan; dan yang tingkatannya tidak sampai pada tingkat yang sangat memberatkan atau terasa lebih berat daripada yang biasa.

ü Pekerjaan-pekerjaan yang diijinkan karena menjadi sebab timbulnya kesukaran yang luar biasa (Sutrisno, 1999: 121-123).

b. Macam-Macam Mahkum Fih

Ditinjau dari keberadaannya secara material dan syara’:

i. Perbuatan yang secara material ada, tetapi tidak termasuk perbuatan yang terkait dengan syara’. Seperti makan dan minum.

ii. Perbuatan yang secara material ada dan menjadi sebab adanya hukum syara’, seperti perzinaan, pencurian, dan pembunuhan.

iii. Perbuatan yang secara material ada dan diakui syara’ serta mengakibatkan hukum syara’ yang lain, seperti nikah, jual beli, dan sewa-menyewa.

Sedangkan dilihat dari segi hak yang teerdapat dalam perbuatan itu, mahkum fih dibagi dalam empat bentuk, yaitu:

i. Semata-mata hak allah, yaitu segala sesuatu yang menyangkut kepentingan dan kemaslahatan umum tanpa kecuali.

ii. Hak hamba yang tetrkait dengan kepentingan pribadi seseorang, seperti ganti rugi harta seseorang yang dirusak.

iii. Kompromi antara hak allah dan hak hamba, tetapi hak Allah didalamnya lebih dominan, seperti hukuman untuk tindak pidana qadzaf (menuduh orang lain berbuat zina.

iv. Kompromi antara hak Allah dan hak hamba, tatapi hak hamba didalamnya lebih dominan, seperti dalam masalah qishas (Syafe’i: 2007: 331)


3. Mahkum ‘Alaih (Subyek Hukum)

a. Pengertian

Yang dimaksud dengan Mahkum Alaih adalah mukallaf yang menjadi obyek tuntunan hukum syara’ (Syukur, 1990: 138). Menurut ulama’ ushul fiqh telah sepakat bahwa mahkum Alaih adalah seseorang yang perbuatannya dikenai kitab Allah, yang disebut mukallaf (Syafe’I, 2007: 334). Sedangkan keterangan lain menyebutkan bahwa Mahkum Alaih ialah orang-orang yang dituntut oleh Allah untuk berbuat, dan segala tingkah lakunya telah diperhitungkan berdasakan tuntutan Allah itu (Sutrisno, 1999: 103).

Jadi, secara singkat dapat disimpulkan bahwa Mahkum Alaih adalah orang mukallaf yang perbuatannya menjadinya tempat berlakunya hukum Allah.

b. Syarat-syarat Mahkum Alaih

Ø Orang tersebut mampu memahami dalil-dalil taklif itu dengan sendirinya, atau dengan perantara orang lain

Ø Orang tersebut ahli bagi apa yang ditaklifkan kepadanya.


4. Ahliyyah

a. Pengertian Ahliyyah

Secara harfiah (etimologi) ahliyah berarti kecakapan menangani suatu urusan, misalnya orang yang memiliki kemampuan dalam suatu bidang maka ia dianggap ahli untuk menangani bidang tersebut. Adapun secara terminologi menurut para ahli ushul fiqh ahliyah adalah suatu sifat yang dimiliki seseorang yang dijadikan ukuran oleh syara’ untuk menentukan seseorang telah cakap dikenai tuntutan syara’.

Dari definisi tersebut dapat dipahami bahwa ahliyah adalah sifat yang menunjukkan bahwa seseorang telah sempurna jasmani dan akalnya, sehingga seluruh tindakannya dapat dinilai oleh syara’ (Syafe’i, 2007: 339).

b. Pembagian Ahliyah

Menurut para ulama’ ushul fiqh, ahliyah (kepantasan) itu ada dua macam yaitu:

Ø Ahliyatul Wujub (kecakapan untuk dikenai hukum) yaitu kepantasan seorang untuk menerima hak-hak dan dikenai kewajiban. Kecakapan dalam bentuk ini berlaku bagi setiap manusia, semenjak ia lahir sampai meninggal dalam segala sifat, kondisi, dan keadaannya.

Ø Ahliatul Ada’ (kecakapan untuk menjalankan hukum) yaitu kepantasan seseorang untuk diperhitungkan segala tindakannya menurut hukum. Hal ini berarti bahwa segala tindakannya, baik dalam bentuk ucapan atau perbuatan telah mempunyai akibat hukum (Sutrisno, 1999: 106-109)

c. Halangan Ahliyah

Ulama ushul fiqh menyatakan bahwa kecakapan bertindak hukum seseorang bias berubah berubah disebabkan hal-hal berikut:

a) Awaridh as-samawiyah, yaitu halangan yang datangnya Allah disebabkan perbuatan manusia.

b) Awaridh al-muktasabah, maksudnya halangan yang disebabkan perbuatan manusia. (Syafe’i, 2007: 340)


BAB III

PENUTUP


Kesimpulan

Kesimpulan yang dapat diambil dari keterangan pada bab-bab sebelumnya bahwa tuntutan taklif adalah mutlak bagi setiap manusia yang bernyawa, tetapi adakalanya taklif tersebut adalah bersifat humanistic atau bersifat fleksibel. Yakni, hukum taklif tersebut menuntut mukallaf adalah berdasar pada kemampuan yang ada padanya, artinya tuntutan taklif pada tiap manusia tidaklah sama yaitu tergantung pada tiap indifidunya.


Daftar Pustaka

Ø Koto, Alaiddin. 2006. Ilmu Fiqih dan Ushul Fiqih. PT. Raja Grafindo Persada: Jakarta

Ø Syafe’i, Rachmat. 2007. Ilmu Ushul Fiqih. Pustaka Setia: Bandung

Ø Sutrisno. 1999. Ushul Fiqh. STAIN Press. Jember

Ø Syukur, Asywaedie. 1990. Ilmu Fiqih dan Ushul Fiqih. PT. Bina Ilmu: Surabaya

Ø Khalaf, Abdul Wahab. 1997. Ilmu Ushulul Fiqh, ter. Masdar Helmy. Gema Risalah Press : Bandung.