Monday, January 25, 2010

EKSISTENSI HUKUM TANAH DALAM MEWUJUDKAN TERTIB HUKUM AGRARIA


BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Dalam kehidupan manusia bahwa tanah tidak akan terlepas dari segala tindak-tanduk manusia itu sendiri sebab tanah merupakan tempat bagi manusia untuk menjalani dan kelanjutan kehidupannya. Oleh itu tanah sangat dibutuhkan oleh setiap anggota masyarakat, sehingga. sering terjadi sengketa diantara sesamanya, terutama yang menyangkut tanah. Untuk itulah diperlukan kaedah–kaedah yang mengatur hubungan antara manusia dengan tanah.

Di dalam Hukum Adat, tanah ini merupakan masalah yang sangat penting. Hubungan antara manusia dengan tanah sangat erat, seperti yang telah dijelaskan diatas, bahwa tanah sebagai tempat manusia untuk menjalani dan melanjutkan kehidupannya.

Tanah sebagai tempat mereka berdiam, tanah yang memberi makan mereka, tanah dimana mereka dimakamkan dan menjadi tempat kediaman orang–orang halus pelindungnya beserta arwah leluhurnya, tanah dimana meresap daya–daya hidup, termasuk juga hidupnya umat dan karenanya tergantung dari padanya. Tanah adat merupakan milik dari masyarakat hukum adat yang telah dikuasai sejak dulu. Kita juga bahwa telah memegang peran vital dalam kehidupan dan penghidupan bangsa pendukung negara yang bersangkutan, lebih–lebih yang corak agrarisnya berdominasi. Dinegara yang rakyatnya berhasrat melaksanakan demokrasi yang berkeadilan sosial, pemanfaatan tanah untuk sebesar–besar kemakmuran rakyat merupakan suatu conditio sine qua non.

Untuk mencapat tujuan itu, diperlukan campur tangan penguasa yang berkompeten dalam urusan tanah, khususnya mengenai lahirnya, berpindah dan berakhirnya hak milik atas tanah. Di lingkungan hukum adat, campur tangan itu dilakukan oleh kepala berbagai persekutu hukum, seperti kepala atau pengurus desa. Jadi, jika timbul permasalahan yang berkaitan dengan tanah adat ini, maka pengurus-pengurus yang telah ada itulah yang akan menyelesaikannya. Dalam hukum tanah adat ini terdapat kaedah–kaedah hukum. Keseluruhan kaedah hukum yang timbuh dan berkembang didalam pergaulan hidup antar sesama manusia adalah sangat berhubungan erat tentang pemamfaatan antar sesama manusia adalah sangat berhubungan erat tentang pemamfaatan sekaligus menghindarkan perselisihan dan pemamfaatan tanah sebaik–baiknya. Hal inilah yang diatur di dalam hukum tanah adat. Dari ketentuan–ketentuan hukum tanah ini akan timbul hak dan kewajiban yang berkaitan erat dengan hak–hak yang ada diatas tanah.

Hukum tanah di Indonesia dari zaman penjajahan terkenal bersifat “dualisme”, yang dapat diartikan bahwa status hukum atas tanah ada yang dikuasai oleh hokum Eropa di satu pihak, dan yang dikuasai oleh hukum adat, di pihak lain.[1]

Keadaan seperti ini tidak lepas sebagai peninggalan atau warisan dari politik

agraria Pemerintah Hindia Belanda, yang pada dasarnya juga mempunyai alasan untuk pemisahan antara kepentingan rakyat pribumi dan kepentingan modal asing. Hal ini dapat terlihat dari komenta Prof. Ter Haar Bzn yang menyebutkan bahwa dengan usaha bersama dicoba memberikan jaminan tentang nikmat ekonomi atas tanah: syarat hidup bagi penduduk pribumi, syarat berdiri bagi pengusaha-pengusaha perkebunan Eropa.

Terlepas dari itu, diseluruh Indonesia kita melihat adanya hubungan–hubungan antara persekutuan hukum dengan tanah dalam wilayahnya, atau dengan kata lain, persekutuan hukum itu mempunyai hak atas tanah–tanah itu, yang dinamakan Beschikkingsrecht. Untuk istilah ini, beberapa sarjana memiliki beberapa perbedaan penggunaan istilah, misalnya “hak pertuanan” (Prof. Dr. Soepomo), “hak ulayat” (Dr.Soekanto dan Prof Mr.Mahadi). Hal ini membawa kita kepada suatu pemahaman bahwa tanah adat atau hukum tanah adat di Indonesia mempunyai pengaruh yang sangat besar dalam pola hidup dalam persekutuan masyarakat hukum adat. Tetapi masalah hukum tanah adat tidaklah mudah adanya. Karena masih di bawah pengaruh dualisme hukum tanah yang ada selama masa Pemerintah Hindia Belanda.

BAB II

PERMASALAHAN

Bertitik tolak dari penjelasan tersebut diatas, maka kita dapat melihat adanya dualisme hukum adat di Indonesia. Sifat seperti ini adalah hal yang perlu dihindari dalam lapangan hukum, sebab sifat dualisme dapat menimbulkan ketidakpastian hukum, suatu keadaan yang bertentangan dengan falsafah dan tujuan hukum itu sendiri.

Lebih lanjut, di Indonesia belakangan dibuatlah suatu peraturan perundang-undangan yang mengatur tentang pertanahan, yaitu Undang–Undang Nomor 5 tahun 1960 tentang Pokok Pertanahan (UUPA 1960). Undang–Undang diciptakan untuk mengadakan unifikasi hukum pertanahan nasional.

Sehingga, muncul beberapa pertanyaan, antara lain adalah :

  1. Bagaimana pengaturan hukum tanah adat yang da di Indonesia ?
  2. Bagaimana kedudukan hukum tanah adat (atau tanah adat) setelah berlakunya UUPA 1960 ?
  3. Apakah dualisme hukum tanah di Indonesia benar–benar ditiadakan dengan berlakunya UUPA 1960 ?

Pertanyaan–pertanyaan tersebut di atas membutuhkan jawaban–jawaban yang tegas. Sebab, masalah pertanahan adalah persoalan yang cukup serius dan sensitif adanya. Artinya, apabila persoalan pertanahan tidak mendapat perhatian di tengah–tengah penyelenggara negara dan masyarakat, maka masyarakat akan rawan konflik. Oleh karena itu makalah ini akan melakukan pembahasan lebih lanjut dalam bab–bab berikut ini untuk, seraya menjawab pertanyaan–pertanyaantersebut diatas berdasarkan teori–teori dan atau dasar hukum yang berlaku di Indonesia.

BAB III

PEMBAHASAN

1. Hukum Tanah Adat sebelum berlakunya UUPA

Sebelum berlakunya UUPA, tanah adat masih merupakan milik dari suatu persekutuan dan perseorangan. Tanah adat tersebut mereka pergunakan sesuat dengan kebutuhan mereka dalam memanfaatkan dan mengolah tanah itu, para anggota persekutuan berlangsung secara tertulis. Selain itu dalam melakukan tindakan untuk menggunakan tanah adat, harus terlebih dahulu diketahui atau meminta izin dari kepala adat.

Dengan demikian sebelum berlakunya UUPA ini tanah adat masih tetap milik anggota persekutuan hukum, yang mempunyai hak untuk mengolahnya tanpa adanya pihak yang melarang.

2. Beberapa aspek Hukum Tanah Adat di Indonesia

Tanah adalah suatu hak yang tidak lepas dari kehidupan manusia. Tanah adalah tempat untuk mencari nafkah,mendirikan rumah atau tempat kediaman, dan juga menjadi tempat dikuburnya orang pada waktu meninggal.Artinya, tanah adalah hal yang sangat diperlukan manusia.

Supaya tidak ada ketidakjelasan hak antara satu sama lain pihak, maka

diperlukanlah aturan–aturan yang mengatur hubungan antara manusia dengan

tanah. Aturan–aturan atau kaedah–kaedah yang mengatur hubungan manusia

dengan tanah ini, selanjutnya disebut hukum tanah menurut hukum adat.

Menurut hukum adat di Indonesia, ada 2 (dua) macam hak yang timbul atas

tanah, antara lain yaitu:

  1. Hak persekutuan, yaitu hak yang dimiliki, dikuasai, dimanfaatkan, dinikmati, diusahai oleh sekelompok manusia yang hidup dalam suatu wilayah tertentu yang disebut dengan masyarakat hukum (persekutuan hukum). Lebih lanjut, hak persekutuan ini sering disebut dengan hak ulayat, hak dipertuan, hak purba, hak komunal, atau beschikingsrecht.
  2. Hak Perseorangan, yaitu hak yang dimiliki, dikuasai, dimanfaatkan, dinikmati, diusahai oleh seseorang anggota dari persekutuan tertentu.

Secara umum, Prof.Ter Haar Bzn mengatakan bahwa hubungan antara hak persekutuan dengan hak perseorangan adalah seperti “teori balon”. Artinya, semakin besar hak persekutuan, maka semakin kecillah hak perseorangan. Dan sebaliknya, semakin kecil hak persekutuan, maka semakin besarlah hak perseorangan.

Ringkasnya, hubungan diantara keduanya bersifat kembang kempis. Hukum tanah adat dalam hal hak persekutuan atau hak pertuanan : Dapat dilihat dengan jelas bahwa umat manusia itu ada yang berdiam di suatu pusat tempat kediaman yang selanjutnya disebut masyarakat desa atau mereka ada yang berdiam secara tersebar di pusat–pusat kediaman yang sama nilainya satu sama lain, di suatu wilayah yang terbatas, maka dalam hal ini merupakan suatu masyarakat wilayah.[2]

Persekutuan masyarakat seperti itu, berhak atas tanah itu, mempunyai hak–hak tertentu atas tanah itu, dan melakukan hak itu baik keluar maupun ke dalam persekutuan.

Berdasarkan atas berlakunya hak tersebut ke luar, maka persekutuan masyarakat hukum adat itu sebagai kesatuan yang berkuasa memungut hasil dari tanah itu dengan membatasi adanya orang–orang lain yang melakukan hal yang serupa itu. Juga, sebagai suatu kesatuan masyarakat, mereka bertanggung jawab terhadap orang–orang dari luar masyarakat itu atas perbuatan–perbuatan pelanggaran di wilayah tanah masyarakat itu. Masyarakat itu, dalam arti kata para anggotanya secara bersama–sama (kolektif), mempergunakan hak pertuanannya berupa atau dengan jalan memungut keuntungan dari tanah itu dan dari segala makhluk hidup yang terpelihara di situ.

Masyrakat itu membatasi kebebasan berbuat anggota–anggotanya secara perseorangan berdasarkan atas haknya atas tanah itu dan untuk kepentingannya sendiri (kepentingan masyarakat).5 Sehingga, sifat sosialnya tanah itu benar–benar terjadi, berlaku dan dipertahankan dengan jelas. Sifat yang khusus dari hak pertuanan atau persekutuan adalah terletak pada daya timbal–balik dari pada hak itu terhadap hak–hak yang melekat pada orang perorangan atau individu. Semakin memperkuat anggota masyarakat (selaku pengolah tanah) hubungan individu tersebut dengan tanah yang tertentu itu dari pada tanah yang diliputi oleh hak persekutuan, makin memperdalam hubungannya dengan hukum perseorangan (terhadap tanah itu), maka makin kecillah hak yang dimiliki masyarakat terhadap sebidang tanah itu.6

Bilamana hubungan perseorangan atas tanah itu berkurang atau bila hubungan itu diabaikan secata terus–menerus, maka hak–hak masyarakat akan dikembalikan seperti sedia kala, dan hak persekutuan atas tanah itu berlaku kembali tanpa ada gangguan. Misalnya, dapat saja diatur agar tanah sedemikian itu menjadi bagian orang–orang miskin atau orang–orang baru anggota persekutuan dengan “hak pakai” (hak–hak sementara).7

Pada beberapa lingkungan hukum, maka kesadaran mengenai adanya hubungan masyarkat dengan tanah itu terbukti dari adanya acara selamatan pada waktu yang tetap di tempat–tempat selamatan desa tersebut di bawah pimpinan masyarakat pada waktu akan memulai pengerjaan tanah. Sedangkan keyakinan dari adanya pertalian yang hidup antara manusia dengan tanah itu juga dapat terlihat jelas pada waktu diadakannya acara, seperti pesta pembersihan desa pasca panen dan acara–acara semacam itu.

Anggota–anggota masyarakat sebagai perseorangan atau individu dapat memungut hasil dari tanah itu, dalam mayoritas lingkungann hukum adat pada pokoknya selama penggarapan tanah itu semata–mata hanya diperuntukkan untuk mencari nafkahnya saja, atau berikut untuk keluarganya atau kerabatnya. Apabila anggota persekutuan melewati batas penggunaannya itu, misalnya melakukan penggarapan tanah untuk kepentingan perdagangan (trading) dalam artian untuk memperkaya diri sendiri, maka mereka akan diperlukan seberapa jauh sebagai orang–orang dari luar persekutuan, yang selanjutnya hak–hak persekutuan yang bersifat ke luar akan diberlakukan terhadap mereka. Sekali lagi di sini dapat terlihat bahwa sifat tanah itu benar–benar adalah bersifat sosial adanya.8

Selanjutnya, anggota persekutuan masyarakat itu juga memiliki hak untuk membuka tanah (ontginningsrecht), yaitu adanya penyelenggaraan suatu hubungan sendiri terhadap sebidang tanah sebagai bagian dari lingkungan hak pertuanan. Hak membuka tanah itu menurut hukum adat adalah hanya salah satu dari pada tanda–tanda munculnya hak persekutuan atau beschikingsrecht dan hanya ada pada anggota–anggota masyarakat atau tanah–tanah di lingkungan hak pertuanan itu sendiri. Hubungan hukum seperti dapat diwariskan. Hak membuka tanah ini tidaklah terjadi atau dilakukan begitu saja. Sering kali ini menuntut adanya dilakukan acara–acara khusus yang dihadiri oleh para tokoh adat atau masyarakat setempat dan perlunya membuat tanda–tanda tertentu yang menunjukkan bahwa lahan atau tanah tersebut telah ada perseorangan yang sedang mengolahnya. Hal–hal seperti ini akan mempertegas adanya hubungan hukum perseorangan tersebut terhadap tanah yang dibukanya. Apabila hal itu tidak ada, maka hubungan hukum antara tanah yang dibukanya dengan dirinya akan begitu lemahnya, sehingga membuka peluang bagi pihak lain (perseorangan atau individu) untuk juga mengklaim bahwa itu juga lahan yang dibukanya. Hal seperti inilah yang akan menimbulkan permasalahan tentang tanah. Seperti yang telah disebutkan sebelumnya, bahwa persoalan tanah memang rawan konflik.

Kadang–kadang , setelah selang beberapa waktu, lahan itu tidak lagi seperoduktif sewaktu baru pertama kali dibuka. Sehinggasi penggarap tanah memutuskan untuk meninggalkan lahan tersebut dan membukan lahan yang baru di daerah persekutuan itu juga. Dalam hal ini, maka apabila kondisi tanah atau lahan menunjukkan keterlantaran, hak persekutuan akan kembali seperti sedia kala. Hak perseorangan menjadi hapus. Apabila kelak yang bersangkutan berkehendak untuk membuka kembali lahan tersebut, dia harus memulai hubungan hukumnya dari awal lagi, seperti layaknya dahulu ia melakukannya.

Para pemimpin masyarakat adat juga memiliki hak untuk mencabut kembali hak pakai atas tanah karena alasan–alasan tertentu. Misalnya, apabila lahan lama telah lama ditinggalkan, atau si penggarap telah meninggal dunia tanpa mempunyai ahli waris, atau karena suatu perjanjian tertentu masyarakat hukum adat, atau karena si penggarap telah berkelakuan kurang baik terhadap persekutuan hokum. Penggarapan tanah atau pemakaian tanah untuk menikmati hasilnya tersebut, juga berlaku bagi kepala atau pegawai masyarakat hukum selama mereka menjabat dinas bagi kepentingan persekutuan hukum. Tanah–tanah seperti ini sering disebut sebagai “tanah bengkok”. Atau di beberapa tempat lainnya, para pemimpin persekutuan dapat saja menikmati hasil dari tanah dengan jalan memiliki tenaga kerja yang diambil dari sesama anggota persekutuannnya.9

Lebih tegasnya, ‘tanah bengkok’ yang disebut di sini adalah sebagian dari tanah persekutuan yang diperuntukan sebagai semacam gaji kepala desa, terlepas dari mana asal–usulnya yang lebih tegas, tetapi secara umum diambil dari tanah persekutuan. Hak persekutuan atau petuanan juga dapat berlaku ke luar. Dalam hal hak persekutuan atau beschikkingsrecht berlaku ke luar karena orang–orang di luar persekutuan, misalnya orang–orang dari persekutuan tetangga, hanya boleh memungut hasil dari tanah tersebut, dan atau sudah membayar dana pengakuan di muka serta dana ganti rugi di kemudian hari. Hak sedemikian ini, hanya dapat dimiliki oleh orang tersebut dalam tempo yang terbatas, biasanya dalam praktek yaitu satu kali panen saja. Dengan kemungkinan untuk dilanjutkan lagi. Orang luar tersebut tidak akan pernah memiliki hak untuk memiliki tanah tersebut, bahkan hak–hak mereka dapat saja dibatasi oleh persekutuan dalam hal membuat perjanjian–perjanjian yang berhubungan dengan tanah.10

Hal lain yang dapat menimbulkan konflik di bidang pertanahan adalah karena tidak jelasnya pembatasan daerah atau tanah persekutuan atau beschikkingsrecht. Artinya, ukuran yang digunakan dalam bidang pertanahan menurut hukum adat adalah konstruksi yuridis yang abstrak. Sehingga batas–batas pertanahan antara persekutuan hukum adat yang satu dengan yang lainnya yang bertetannga sering kali tidaklah jelas adanya. Sehingga, ketika satu persekutuan hukum adat mengklaim batas tertentu tanahnya, bisa jadi itu sudah dianggap melampaui batas yang telah diklaim oleh persekutuan hukum adat tetangganya. Apabila kelak ada orang yang berkehendak untuk membuka lahan di bidang yang adalah ‘perbatasan’ tersebut, maka konflik pertanahan antar persekutuan hukum akan timbul dengan sendirinya. Hal yang seperti ini seharusnya tidak terjadi apabila ada ketegasan hukum dalam bidang pertanahan.

Hal lain yang membuat aspek sedemikian itu rawan konflik, adalah karena adanya prinsip bahwa tanah persekutuan atau pertuanan tersebut tidak dapat dipindah tangankan (onvervreemdbaarheid). Artinya pada waktu terjadi perbedaa pendapat tentang kepemilikan hak antar persekutuan hukum tentang batas–batas tanah tersebut, masing–masing persekutuan hukum akan membela haknya denga segala cara. Mereka tidak akan pernah mengizinkan haknya atas tanah yang telah mereka klaim, yang mungkin telah terjadi untuk waktu yang cukup lama, lepas begitu saja. Ada nilai magis/religi yang terdapat antara tanah persekutuan dengan masyarakat persekutuan yang membuat prinsip itu berlaku dengan kuat di antara mereka.

Di sinilah letak perlunya peran pemerintah atau penguasa yang lebih tinggi untuk membuat peraturan yang memiliki atau menjamin kepastian hukum dalam bidang pertanahan, menghindari konflik pertanahan di antara persekutuan hukum adat. Sekali lagi perlu ditegaskan bahwa dalam hal beschikingsrecht, yang dimaksud adalah hak menguasai atau memakai tanah. Hal ini merupakan pendapat dari pada Prof. Van Vollenhoven.[3]

Sehingga fungsi ke dalam maupun ke luar dapat disimpulkan sebagai hak pakai oleh setiap warga masyarakat daerah persekutuan dan tanah demi kepentingan bersama dalam masyarakat daerah persekutuan serta persekutuan lainnya. Sementara itu, ada juga Hak Perseorangan atau individu atas tanah. Dalam hal ini ada beberapa hak perorangan atau individu dalam tertib hukum masyarakat persekutuan, antara lain adalah:

Hak milik atas tanah: yaitu hak yang dimiliki oleh anggota persekutuan terhadap hak ulayat. Pada dasarnya, yang bersangkutan belum mempunyai kekuasaan penuh atas tanah yang dimilikinya atau dikuasainya tersebut. Artinya, belum bisa menguasainya secara bebas, karena hak milik ini masih mempunyai fungsi sosial. Fungsi sosial dimaksud akan terlihat dengan jelas dan dibahas lebih lanjut dalam pokok bahasan berikutnya. Sehingga, jika seandainya persekutuan sewaktu–waktu membutuhkan tanah itu, maka hak milik dapat menjadi hak persekutuan kembali. Di Bali, hal seperti ini dikenal dengan istilah kelakeran.

Hak menikmati: yaitu hak yang diberikan persekutuan pada seseorang untuk memungut hasil dari tanah tersebut untuk satu kali panen saja. Hak ini mirip dengan hak yang dinikmati oleh orang asing atau orang luar persekutuan atas tanah persekutuan. Hanya saja, perseorangan anggota persekutuan tidak dituntut untuk membayar biaya atau ganti rugi tertentu.

Hak yang dibeli: yaitu hak yang diberikan pada seseorang untuk membeli tanah dengan mengesampingkan orang lain. Hal ini terjadi karena yang membeli itu adalah sanak saudara dari si penjual, atau tetangganya, atau berasal dari satu anggota persekutuan yang sama.

Hak memungut hasil karena jabatan: yaitu hak yang diberi pada seseorang atau individu yang sedang memegang jabatan tertentu di dalam persekutuan hukum adat tersebut, dan hak itu tetap ia miliki selama memegang jabatan yang dimaksud. Seperti yang dibahas sebelumnya, ‘tanah bengkok’ di Jawa merupakan suatu contoh konkrit tentang hak ini.

Hak pakai: yaitu hak yang diberikan kepada seseorang untuk mengambil hasil dari sebidang tanah. Misalnya, di Minang ada hak atau sawah pusaka, sedang anggota–anggota persekutuan mempunyai hak pakai atas tanah–tanah bagian sawah pusaka yang dibagikan untuk mereka untuk dipungut hasilnya yang sering disebut ganggam bauntuiq, dimana anggota–anggota persekutuan juga mempunyai hak pakai atas tanah kerabat yang tidak dapat dibagi–bagi, dan tokoh–tokoh hukum adat setempat yang serupa dengan itu.

Hak gadai dan hak sewa: yaitu hak–hak yang timbul karena perjanjian atas tanah. Hak gadai dari si pemegang gadai, juga haknya seseorang yang menyewa tanah dengan pembayaran uang sewa lebih dahulu.

Hak raja: yaitu hak yang diberikan pada raja untuk memungut hasil karena kedudukannya.

3. Kedudukan Hukum Tanah Adat dan agraria Indonesia dalam

pengnanggulangan permasalahan pertanahan.

Dalam banyak peraturan perundang–undangan yang berlaku di Indonesia saat ini, hukum adat atau adat istiadat yang memiliki sanksi, mulai mendapat tempat yang sepatutnya sebagai suatu produk hukum yang nyata dalam masyarakat. Dalam banyak kasus, hukum adat sedemikian dapat memberikan kontribusi sampai taraf tertentu untuk menjamin kepastian hukum dan keadilan bagi masyarakat. Hukum saat ini malahan dijadikan dasar pengambilan keputusan oleh hakim, sehingga dapat terlihat bahwa hukum adat itu efisien, efektif, aplikatif dan come into force ketika dihadapkan dengan masyarakat modern dewasa ini.

Namun, kenyataan ini tidak dengan sendirinya membuat hukum adat bebas dari permasalahan dalam penerapan, khususnya apabila kita melihat dalam bidang hukum tanah adat.

Ada banyak perbedaan prinsip antara hukum tanah adat regional dan hukum agraria nasional, yang tentu saja dapat menimbulkan konflik yang cukup serius. Perihal UUPA 1960, hukum adat dijadikan landasannya, sedangkan hak ulayat merupakan salah satu dari lembaga–lembaga hukum adat dan kemudian dikembangkan kepada fungsi sosial dari hak–hak atas tanah. Pasal 5 UUPA mengatur bahwa “Hukum Agraria yang berlaku atas bumi, air dan ruang angkasa ialah hukum adat, sepanjang tidak bertentangan dengan kepentingan nasional dan negara , yang berdasarkan atas persatuan bangsa, dengan sosialisme Indonesia serta dengan peraturan–peraturan yang tercantum dalam undang–undang ini, dan dengan peraturan–peraturan yang tercantum dalam undang–undang ini , dan denga peraturan perundangan lainnya, segala sesuatu dengan mengindahkan unsur–unsur yang bersandar pada hukum agama.”

Lebih dari pada itu, dalam mukadimah UUPA 1960 menyatakan bahwa berhubungan dengan apa yang tersebut dalam pertimbangan–pertimbangan di atas perlu adanya Hukum Agraria Nasional, yang berdasar atas hukum adat tentang tanah, yang sederhana dan menjamin kepastian hukum bagi seluruh rakyat Indonesia, denga tidak mengabaikan unsur–unsur yang bersandar pada hukum agama.

Dengan demikian, dengan berlakunya UUPA 1960, kita meniadakan dualisme hukum pertanahan dengan menundukkan kembali hukum adat pada tempatnya sebagai landasan utama hukum agraria nasional. Namun. Perli diingat bahwa hukum agraria nasional itu, berdasarkan atas hukum adat tanah, yang bersifat nasional, bukan hukum adat yang bersifat kedaerahan atau regional.

Artinya, untuk menciptakan hukum agraria nasional, maka hukum adat yang ada di seluruh penjuru nusantara, dicarikan format atau bentuk yang umum dan berlaku bagi seluruh persekutuan adat. Tentu saja, tujuannya adalah untuk meminimalisir konflik pertanahan dalam lapangan hukum tanah adat. Untuk itu, dalam substansi Pasal 5 UUPA 1960 kita dapat menarik kesimpulan, sebagaimana yang diuraikan oleh Prof. Dr. A. P. Parlindungan, SH bahwa hukum adat yang berlaku dalam bidang pertanahan atau agraria adalah yang terhadap kepentingan nasional (prinsip nasionalitas) , pro kepada kepentingan negara, pro kepada sosialisme Indonesia, tidak bertentangan dengan undang–undang atau peraturan yang lebih tinggi, dan ditambah dengan unsur agama.

Jadi, motivasi dari hukum agraria nasional, dalam hal ini UUPA 1960 sebagai induknya, benar–benar akan mengurangi konflik pertanahan yang dapat timbul sebagai akibat penerapan hukum tanah adat yang bersifat kedaerahan. Hukum agraria nasional tidak hanya tercantum dalam UUPA 1960 saja, tetapi juga terdapat- dalam peraturan perundang–undangan lainnya yang mengatur tentang perjanjian perjanjian ataupun transaksi–transaksi yang berhubungan dengan tanah. Misalnya, Undang–Undang Nomor 2 tahun 1960 tentang Perjanjian Bagi Hasil Pertanian, Undang–Undang Nomor 2 tahun 1960 tentang PenetapanCeiling Tanah dan Gadai tanah pertanian. Di sini dapat dilihat bahwa semua masalah hukum tanah adat secara praktis di akomodasi oleh peraturan perundang–undangan yang dibuat oleh pemerintah (penguasa).

Bahkan dalam Undang–Undang Nomor 23 tahun 1997 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup (UU No.23 Tahun 1997), hukum adat juga dijadikan dasar penetapan dan pembentukannya. Dimana dalam Pasal 9 UU No.23 Tahun 1997 disebutkan bahwa pemerintah menetapkan Kebijaksanaan nasional tentang pengelolaan lingkungan hidup dan penataan ruang dengan tetap memperhatikan nilai–nilai agama, adat istiadat, dan lain–lain yang hidup dalam masyarakat.[4] Dalam hal ini kita bisa mendapati bahwa pengelolaan dan penataan lingkungan hidup, yang bagian utamanya adalah tanah, juga mengandalkan hukum adat yang berlaku secara nasional untuk menjadi dasar pengaturannya. Untuk kesekian kalinya hukum adat (hukum tanah adat) mendapat kedudukan yang tepat dalam hal ini.

Oleh karena itu peran hukum tanah adat mulai memiliki porsi yang cukup besar. Hukum tanah adat yang dibahas dalam pembahasan sebelumnya menunjukkan bahwa dengan adanya tanah persekutuan dan tanah perseorangan menunjukkan bahwa semua hak atas tanah mempunyai fungsi sosial, yang serupa diatur dalam UUPA. 1960.

Kelihatan di sini bahwa peran pemerintah atau penguasa sangat menentukan untuk menciptakan suasana yang kondusif dalam bidang pertanahan, khususnya hukum tanah adat. Hanya saja patut diberi perhatian bahwa karena bertitik tolak dari peran Pemerintah tersebut, maka sering kali kebijakan–kebijakan bidang pertanahan atau agraria memilki tendensi politik dari pada dari hukumnya. Oleh karena itu, prinsip mendahulukan kepentingan sosial dapat diartikan bahwa segala kebijaksanaan bidang pertanahan tidak boleh dibiarkan merugikan kepentingan masyarakat. Tanah tidak diperkenankan semata–mata untuk kepentingan pribadi atau kelompok, kegunaannya harus disesuaikan dengan keadaanya dan sifat dari haknya sehingga bermanfaat, baik untuk kesejahteraan dan kebahagiaan yang mempunyai, serta baik dan bermanfaat untuk masyarakat dan kepentingan negara. Kepentingan masyarakat dan kepentingan perseorangan haruslah saling imbang mengimbangi atau adil adanya.

Salah satu hal yang dapat menjamin kepastian hukum bidang pertanahan adalah dengan melakukan pensertifikatan tanah adat. Pasal 19 UUPA 1960 menyatakan bahwa untuk menjamin kepastian hukum oleh Pemerintah diadakan pendaftaran tanah di Seluruh Wilayah Republik Indonesia menurut ketentuan–ketentuan yang diatur dengan peraturan Pemerintah. Dengan dilakukannya pendaftaran tanah, maka status haknya akan beridentitas yang jelas. Untuk kondisi pertanahan di Indonesia yang sebelumnya banyak dipengaruhi oleh hukum Eropa dan hukum tanah adat, cara yang agaknya memenuhi syarat tersebut ialah sistem buku tanah. Penyelengaraan tugas tersebut dibebankan kepada instansi Agraria bagian Pendaftaran tanah dengan berpedoman pada Peraturan Pemerintah Nomor 10 tahun 1961 tentang Pendaftaran Tanah sebagai landasan hukum pelaksanaan penyelenggaraan Pendaftaran Tanah.

Beberapa hal yang harus ditarik kepada perhatian kita, antara lain adalah bentuk pendaftaran tanah untuk menjamin kepastian hukum hak atas tanah di dalam UUPA adalah bentuk suatu kadaster hukum. Pendaftaran tanah yang dapat menjamin kepastian hukum dari hak atas tanah dengan sepenuhnya bila memenuhi syarat, yaitu:

a) Peta–peta Pendaftaran Tanah yang dibuat membuktikan batas–batas bidang tanah yang ditetapkan di dalamnya sebagai batas–batas yang sah menurut hukum. Syarat ini berkaitan dengan masalah pendaftaran tanah dengan kekuasaan bukti.

b) Daftar–daftar umum yang diadakan dalam rangka pendaftaran hak membuktikan pemegang hak yang terdaftar di dalamnya sebagai pemegang hak yang sah menurut hukum. Syarat ini berkaitan dengan masalah sistem pendaftaran hak atas tanah.

c) Setiap hak atas tanah serta peralihannya didaftar dalam daftar umum, sehingga daftar–daftar itu memberikan gambaran yang lengkap yang sesuai dengan keadaan yang sebenarnya dari hak–hak atas tanah. Syarat ini berkaitan dengan masalah arti pendaftaranbagi peralihan hak.

Di sini dapat kita lihat bahwa pensertifikatan tanah mempunyai kecendrungan atau tendensi pengaruh positif terhadap pelestarian tanah yaitu :

a) Adanya jaminan kepastian hukum bagi pemilik tanah ulayat sebagaimana dimaksudkan di dalam Undang–Undang Pokok Agraria.

b) Meningkatkan ketertiban dalam bidang keagrarian.

4. Hukum Tanah Adat setelah berlakunya UUPA

Seperti yang telah dijelaskan dalam konsepsi UUPA, menurut konsepsi UUPA maka tanah, sebagaimana halnya juga dengan bumi, air dan ruang angkasa termasuk kekayaan alam yang terkandung didalamnya yang ada di wilayah Republik Indonesia , adalah karunia Tuhan Yang Maha Esa pada Bangsa Indonesia yang merupakan kekayaan nasional. Hubungan antara Bangsa Indonesia dengan tanahnya dimaksud adalah suatu hubungan yang bersifat abadi.

Dalam Pasal 5 UUPA ada disebutkan bahwa Hukum Agraria yang berlaku atas bumi, air dan ruang angkasa ialah Hukum Adat sepanjang tidak bertentangan dengan kepentingan Nasional dan Negara yang berdasarkan atas persatuan bangsa, dengan sosialisme Indonesia serta peraturan–peraturan yang tercantum dalam undang–undang ini dengan peraturan perundangan–undangan lainya, segala sesuatu dengan mengindahkan unsur–unsur yang bersandar pada hukum agama.

Adanya ketentuan yang demikian ini menimbulkan dua akibat terhadap hukum adat tentang tanah yang berlaku dalam masyarakat Indonesia, dimana di satu pihak ketentuan tersebut memperluas berlakunya hukum adat tidak hanya terhadap golongan Eropa dan Timur Asing. Hukum Adat di sini tidak hanya berlaku untuk tanah–tanah Indonesia saja akan tetapi juga berlaku untuk tanah–tanah yang dahulunya termasuk dalam golongan tanah Barat.

Setelah berlakunya ketentuan tersebut di atas, maka kewenangan berupa penguasaan tanah–tanah oleh persekutuan hukum mendapat pembatasan sedemikian rupa dari kewenangan pada masa–masa sebelumnya karena sejak saat itu segala kewenangan mengenai persoalan tanah terpusat pada kekuasaan negara, kalau demikian bagaimana kewenangan masyarakat hukum adat atas tanah yang disebut hak ulayat tersebut, apakah juga masih diakui berlakunya atau mengalami perubahan sebagaimana halnya dengan ketentuan–ketentuan hukum adat tentang tanah.

Mengenai hal tersebut dapat dilihat dalam beberapa ketentua dari UUPA, antara lain :

a. Pasal 2 ayat (4) “Hak menguasai dari Negara tersebut di atas pelaksanaannya dapat dikuasakan kepada daerah–daerah swantanra dan masyarakat–masyarakat hukum adat, sekedar diperlukan dan tidak bertentangan dengan kepentingan Nasional, menurut Peraturan Pemerintah.”

b. Pasal 3 “ Dengan mengugat ketentuan–ketentuan dalam Pasal 1 dan 2 pelaksanaan hak ulayat dan hak–hak yang serupa dari masyarakat hukum adat sepanjang menurut kenyataan masih ada harus sedemikian rupa sehingga sesuai dengan kepentingan Nasional dan Negara, yang berdasarkan atas persatuan bangsa serta tidak boleh bertentangan dengan undang–undang dan peraturan-peraturan yang lebih tinggi.

c. Pasal 22 ayat (1) “Terjadinya hak milik menurut hukum adat diatur dengan peraturan Pemerintah.”

Seperti yang telah disebutkan di atas, bahwa setelah berlakunya UUPA ini, tanah adat di Indonesia mengalami perubahan. Maksudnya segala yang bersangkutan dengan tanah adat, misalnya hak ulayat, tentang jual beli tanah dan sebagainya mengalami perubahan. Jika dulu sebelum berlakunya UUPA, hak ulayat masih milik persekutuan hukum adat setempat yang sudah dikuasai sejak lama dari nenek moyang mereka dahulu.

Namun setelah berlakunya UUPA, hak ulayat masih diakui, karena hal ini dapat dilihat dari pasal 3 UUPA, hak ulayat dan hak–hak yang serupa dari masyarakat hukum adat masih diakui sepanjang dalam kenyataan di masyarakat masih ada. Andaikata karena terjadinya proses individualis sering hak ulayat ini mulai mendesak, yang memberikan pengakuan secara khusus terhadap hak-hak perorangan. Dengan tumbuh dan kuatnya hak–hak yang bersifat perorangan dalam masyarakat hukum adat mengakibatkan menipisnya hak ulayat. Hak ulayat ini diakui oleh Pemerintah sepanjang kenyataanya masih ada. Kalau sudah ada tidaklah perlu untuk membuat adanya hak ulayat baru.

Hak ulayat yang diakui dalam pasal tersebut bukanlah hak ulayat seperti dengan masa sebelumnya dengan kepentingan Nasional dan negara perbatasan dengan bahwa hak ulayat yang dimaksud tidak boleh bertentangan dengan undang–undang dan Peraturan–peraturan lainya. Selain itu ada juga perubahan yang terjadi pada hukum tanah adat sebelum dan sesudah berlakunya UUPA. Hal ini dapat dilihat misalnya dalam hal ini jual beli tanah.

Sebelum berlakunya UUPA, jual beli tanah sering dilakukan hanya secara lisan saja, yakni penjualnya. Itu sebabnya sampai dikatakan dulu tanpa bentuk. Kemudian berkembang dengan pembuatan surat jual beli antara dua pihak. Jual beli tanah adalah perbuatan hukum menyerahkan tanah hak oleh penjual kepada pembeli. Perubahan lain yang terjadi misalnya dalam hal daluarsa. Dalam hukum adat daluarsa ini menyangkut tentang hak milik atas tanah. Dulu, sesuatu bidang tanah yang sudah dibuka atas izin pemangku adat atua kepala adat yang berwenang, maka setelah beberapa tahun tidak dikerjakan/ditanami kembali ditutul belukar dapat diberi peruntukan lain/baru kepada pihak yang membentuknya, akibat pengaruh lamanya waktu dan tanah itu telah kembali kepada hak ulayat desa.

Dalam perjalan waktu, apabila izin membuka tanah dan tanahnya dimaksud digunakan terus, maka pemegang hak itu tidak memerlukan izin lagi untuk menggunakan tanah secara terus menerus makin lama seorang memanfaatkan hak/izin itu, bertambah kuat hak melekat di atasnya, sampai pada akhirnya menjadi hak milik.

Hak milik juga mengalami perubahan, sebelum berlakunya UUPA, lazimnya didaftarkan dan dikenakan pajak hasil bmi. Walaupun peraturan perpajakan ini tidak menentukan hak atas suatu bidang tanah, tetapi sejarah penggunaan dan pemilikan penguasa tanah secara tidak langsung dipotong dokumentasi/administrasi perpajakan serta pembayaran pajak tersebut. Sejak berlakunya UUPA, keadaannya menjadi lain, akibat adanya ketentuan konversi dan politik hukum agraria yang merubah stelel lama. Perubahan lainnya terlihat juga di dalam pelaksanaan pembukaan tanah. Menurut Pasal 46 UUPA, hak membuka tanah dan memungut hasil hutan hanyadapat dipunyai oleh warga negara Indonesia yang diatur dengan Peraturan Pemerintah.

Di dalam peraturan tersebut telah digariskan beberapa ketentuan mengenai hak membuka tanah ini sebagai berikut :

  1. Pasal 6 “Gubernur Kepala Daerah memberikan keputusan mengenai izin untuk membuka tanah, jika luas tanahnya lebih dari 10 ha tetapi tidak melebihi 50 ha.”
  2. Pasal 10 “Bupati/Walikota kepala Daerah memberikan keputusan mengenai izin untuk membuka, jika luasnya dari 2 ha tetapi tidak lebih dari 10 ha.”
  3. Pasal 11 “Kepala Keamana memberikan keputusan mengenai izin membuka tanah jika luasnya lebih dari 2 ha dengan memperhatikan pertimbangan kepala desa yang bersangkutan atau pejabat yang setingkat dengan itu.”

Dari ketentuan tersebut diatas, kelihatan mengenai persoalan pembukaan tanah ini tidak lagi dikaitkan dengan Hukum Adat tetapi sudah dipandang sebagai suatu kewenangan administratif. Dengan demikian jelaslah sudah bahwa hukum tanah adat di Indonesia telah mengalami perkembangan dalam berbagai hal, karena ini disesuaikan dengan adanya perkembangan zaman tidak tertulis, tepat keberadaannya masih tetap dipandang kuat oleh para masyarakat. Begitu juga kiranya dengan tanah adat yang sudah merupakan bagian dari diri mereka dan tetap dipertahankan kelestariannya jika ada pihak–pihak yang ingin merusaknya. Memang, setelah perkembangan zaman ditambah lagi setelah berlakunya UUPA, hukum tanah adat masih tetap diakui sepanjang tidak bertentangan dengan kepentingan Nasional dan Negara.

BAB IV

KESIMPULAN DAN SARAN

A. Kesimpulan

Dapat disimpulkan bahwa hukum adat yang berlaku di Indonesia menunjukkan adanya suatu nuansa kehidupan atau fungsi sosial dari tanah, terlebih lagi dalam pembagian tanah persekutuan dan tanah perseorangan atau individu. Juga dapat dilihat bagaimana pembagian hak–hak atau pengaturan hak–hak atas tanah adat menunjukkan adanya upaya untuk menertibkan pemakaian tanah adat sehingga benar–benar menjamin keadilan. Namun, kepastian hukum tidak terjamin dengan hanya mengandalkan hukum tanah adat belaka, karena aspek penerapan prinsip konstuksi yurisdis abstrak dalam hukum tanah adat.

Di sinilah kedudukan peran pemerintah selaku penguasa untuk menetapkan suatu teknis pendaftaran tanah adat untuk menjamin adanya kepastian hukum dalam bidang agraria. Pemerintah melalui berbagai cara telah berusaha untuk memberikan jaminan kepastian hukum atas tanah adat. Melihat luasnya tanah yang belum terdaftar dan dibandingkan dengan kemampuan aparat dan dana yang tersedia, maka menurut perkiraan akan memakan waktu yang cukup lama untuk dapat menyelesaikan pendaftaran tanah tersebut secara keseluruhan.

Di samping usaha–usaha Pemerintah untuk memberikan jaminan dan kepastian hak atas tanah masih ada kekhawatiran tertentu untuk gagasan pendaftaran tanah dan sertifikasi tanah adat, karena akan mengurangi kelestarian tanah–tanah adat itu sendiri. Tentu saja ini tidak beralasan. Karena usaha di bidang pendaftaran tanah jelas bertujuan untuk memberikan kepastian hukum kepada pemegang hak dan demikian juga kepada objek, sehingga dapat dihindarkan persengketaan–persengketaan yang tidak perlu terjadi.

Dengan mendaftarkan tanah adat berdasarkan peraturan perundangan sembari memperhatikan hukum tanah adat yang berlaku secara nasional, sebenarnya kita telah memberikan suatu tanda kepada tanah itu, mana yang bisa dialihkan, mana yang bisa diwariskan. Tentu saja usaha - usaha Pemerintah untuk menjaga jangan sampai ada penyimpangan dari ketentuan adat yang berlaku di bidang tanah, dimulai dengan surat tanda bukti penguasaan dan pemilikan tanah.

B. Saran

Di sini dapat kita lihat bahwa pensertifikatan tanah mempunyai kecendrungan atau tendensi pengaruh positif terhadap pelestarian tanah yaitu:

a) Adanya jaminan kepastian hukum bagi pemilik tanah ulayat sebagaimana dimaksudkan di dalam Undang-Undang Pokok Agraria,

b) Meningkatkan ketertiban dalam bidang keagrarian.

c) Bahwa perlu lebih ditingkatkan penyuluhan dan sosialisasi serta informasi kepada masyarakat luas akan pentingnya hak–hak atas tanah serta pendaftarannya.

d) Bahwa harus diupayakan untuk menghilangkan birokrasi yang berbelit–belit dan ditekan sekecil mungkin segala biaya–biaya siluman yang berhubungan dengan masalah tanah.

e) Bahwa lembaga–lembaga pengkajian dan penelitian masalah hukum adat dan badan pemantau urusan pertanahan perlu diperbanyak keberadaannya.

Semua hal tersebut diatas dalam menyusun kebijaksanaan politis dan hukum bidang agraria, menuntut tetap diperhatikannya hukum tanah adat yang berlaku secara nasional.

DAFTAR PUSTAKA

Santoso, Urip. Hukum Agraria Dan Hak-Hak Atas Tanah, Kencana, Jakarta: 2008.

Abdurrahman. Hukum Adat Menurut Perundang-Undangan Republik Indonesia, Cendana Press; Jakarta: 1984.

Ridwan, Ahmad Fauzi. Hukum Tanah Adat Multi Disiplin Pembudayaan Pancasila, Dewa Ruci Press, Jakarta: 1982.

Utrecht, Pengantar Dalam Hukum Indonesia, Penerbitan Balai Buku Ichtiar, Jakarta: 1962.

Hadikusuma, Hilman. Sejarah HukumAdat Indonesia, Alumni, Bandung: 1983.

Hardjasoemantri, Koesnadi. Hukum Tata Lingkungan, Gajah Mada University Press, Yogyakarta: 2000.

Mr. Ter Haar Bzn, Asas-Asas dan Susunan Hukum Adat, Prandya Paramita, Jakarta: 1981.

Thalib, Sajuti. Hubungan Tanah Adat Adat Dengan Hukum Agraria di Minangkabau, Bina Aksara, Jakarta: 1985.



[1] Prof.Dr.Ahmad Fauzie Ridwan, SH; Hukum Tanah Adat – Multi disiplin Pembudayaan Pancasila; Dewaruci Press; Jakarta; 1982; halaman 12.

[2] Mr.B.Ter.Haar.Bzn;Asas – asas dan Susunan Hukum Adat; Pradnya Paramita; Jakarta; 1981; halaman 71.

[3] Sajuti Thalib,SH; Hubungan Tanah Adat dengan Hukum Agraria di Minangkabau; Bina Aksara; Jakarta; 1985; halaman 22,23

[4] Prof.Dr.Koesnadi Hardjasoemantri, SH,ML; Hukum Tata Lingkungan; Gadjah Mada University Press; Yogyakarta; 2000; halaman 559.

0 komentar :

Post a Comment

Terima kasih atas commentnya, Comment anda sangat bermanfaat bagi saya... Semoga bermanfaat.