Wednesday, January 27, 2010

H A D H A N A H DAN PROBLEMATIKA PENYELESAIANNYA

BAB 1

PENDAHULUAN


A. LATAR BELAKANG MASALAH

Seiring dengan arus gelobal informasi yang disisi lain membawa manfaat dan perubahan pemahaman semakin mencerdaskan masyarakat, namun disisi yang lain juga membawa dampak yang negatif, karena masyarakat itu hanya mengikuti karena terdorong emosinya semata.

Dari dampak tersebut di atas dirasakan oleh kita dalam meningkatnya kwantitas dan kwalitas perkara, yang tadinya kalaupun mereka mengajukan percerai hanya sekedar itu saja, namun sekarang dengan banyak pemberitaan dan tayangan lewat televisi tentang perebutan anak sehingga rasanya sekarang seperti diistilahkan kurang apdol jika bercerai tanpa mempermasal;ahkan anak.

Dipihak lain bagi kita sebagai pihak Pengadilan yang disodori masalah tersebut untuk menyelesaikan sengketa yang mereka ajukan, kadang menjadi berlarut, berliku dan menjadikan perkara tersebut lambat penyelesaiannya, karena mereka saling mengklaim bahwa dirinya yang paling mampu, paling berkompeten, paling bisa dan paling superior dalam pengakuannya.

Oleh karena itu aparat Peradilan dituntut untuk selalu terus mengkaji dan mendalami dalam hal ini Bapak Andi Syamsul Alam TUADA UDILAG dalam kesempatan pembukaan acara ORIENTASI TUGAS HAKIM SE-WILAYAH BANTEN yang diadakan oleh PTA. Banten di Anyer, saat itu mengatakan bahwa perkara hadhanah tidak mengenal istilah Nebis en idem, dengan demikian artinya perkara hadhonah akan selalu aktual dengan segala problematika penanganannya, sehingga beliau pun memberikan sebuah PR coba cari katanya landasan tentang batasan anak itu sudah boleh dimintai pendapatnya sebelum anak itu berumur 12 tahun sebagaimana batasan mumayyiz dalam pasal 105 ayat (3) Kompilasi Hukum Islam (KHI).

Apalagi sekarang banyak public pigur yang dalam hal ini para artis sering menontonkan karakter senyatanya dalam hal perebutan anak yang sampai perkara tersebut tidak hanya sampai tingkat kasasi bahkan sampai PK seperti kasusnya Tamara, ini selain menjadi lama dan memperpanjang penderitaan mereka terutama psikologi anak yang mereka persengketakan, oleh karena itu dalam setiap Rakernas masalah hadhonah ini selalu ada pengkajian secara mendalam seperti pada RAKERTNAS baru-baru ini tahun 2007 di Makasar agar Pengadilan Agama dalam setiap putusannya memperhatikan sebagai berikut :

1. Mendahulukan kepentingan anak sesuai dengan ketentuan pasal 10 Undang-

2. Undang No. 23 tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak.

3. Mengupayakan perdamaian melalui mediasi.

4. Menerapkan lembaga dwangsom atau

5. Menerapkan ketentuan Pasal 225 HIR/259 Rbg.


BAB II

PEMBAHASAN


A. PERMASALAHAN

Berbagai masalah dan kesulitan dalam penyelesaian baik pada tahapan pemeriksaan apalagi saat pelaksanaan eksekusinya, karena sampai saat masalah eksekusi putusan anak masih ada perselisihan dimana ada ahli hukum yang berpendapat anak tidak dapat di eksekusi sedangkan ahli hukum yang lain putusan hadhanah dapat di eksekusi. Para ahli hukum yang berpendapat putusan hadhanah tidak dapat di eksekusi beralasan bahwa selama ini yurisfrudensi yang ada tentang eksekusi semuanya hanya bidang hukum kebendaan, bukan terhadap orang. Oleh karena itu ekesukusi terhadap anak sesuai dengan kelaziman yang ada maka tidak ada eksekusinya, apalagi putusan bersifat deklatoir, karena kenyataan sekarang eksekusi terhadap anak hanya bersifat sukarela. Sedang ahli hukum yang memperbolehkan eksekusi terhadap anak dapat dijalankan bahwa perkembangan hukum yang dianut akhir-akhir ini menetapkan bahwa masalah penguasaan anak yang putusannya bersifat comdennatoir, jika sudah BHT putusan tersebut dapat di eksekusi ( Abdul Manan : 436), pemakalah tidak panjang lebar membahas dalam eksekusi anak dengan segala problemanya, karena Pemakalah dalam masalah Hadhonah ini akan mengangkat masalah yang sering kita hadapi dan kendalanya dalam penyelesaian perkara hadhonah sebagai berikut :

1. Apabila keberadaan anak yang sudah mumayyiz ada di luar negeri atau karena hal menjaga psikologi anak tersebut sehingga anak tersebut enggan hadir kepersidangan, apakah anak tersebut boleh hanya dengan mengirimkan surat pernyataan secara tertulis?

2. Apabila anak yang telah mumayyiz dipersengketakan pemeliharaannya oleh ayah dan ibunya yang sekarang sudah secara jelas telah keluar dari agama Islam salah satu diantara ibu atau ayahnya tersebut, dalam hal ini masihkah anak tersebut harus dimintai pendapatnya tentang harus ikut siapa ?

3. Bolehkah kita memberikan pilihan tentang akan ikut siapa diantara ayah atau ibinya terhadap anak yang belum berumur 12 tahun sesuai dengan PR yang dikemukakan TUAD UDILAG saat acara ORIENTASI TUGAS HAKIM SE-WILAYAH BANTEN di Anyer ?


B. PEMECAHAN MASALAH

1) Landasan yang mengharuskan Majelis mempertimbangkan anak boleh memilih diantara ayah atau ibunya ketika ayah dan ibunya memilih bercerai adalah terdapatdalam pasal 105 huruf (b) Kompilasi Hukum Islam yang selanjutnya disingkat (KHI) yang berbunyi : “ pemeliharaan anak yang sudah mumayyiz diserahkan kepada anak untuk memilih diantara ayah atau ibunya sebagai pemegang hak pemeliharaanya”

Dari bunyi pasal tersebut diatas tidak ada kalimat yang mengharuskan Pengadilan/Majelis Hakim secara langsung di depan persidangan mendengar pendapat anak yang disengketakan pemeliharaan oleh ayah atau ibunya tentang akan ikut siapa ketika ayah atau ibunya berpisah, tetapi hanya anak tersebut diberikan hak memilih diantara ibu atau ayahnya yang bercerai.

Dengan demikian hadirnya anak kedepan persidangan untuk mengemukakan pendapatnya tentang hak memilih yang dipunyai anak tersebut terhadap ayah atau ibunya yang bercerai bukan hal yang impertif kehadirannya dipersidangan, karena apabila kita mengahadapi keberadaan anak yang sudah mumayyiz ada di luar negeri atau karena hal menjaga psikologi anak tersebut sehingga anak tersebut enggan hadir kepersidangan, Majelis bisanya menyelesaikannya dengan hak pilihan anak tersebut dalam bentuk surat pernyataannya yang ditulis sebagai bukti tertulis.

Penyelesaian seprti ini telah dilakukan oleh Pemakalah dalam perkara No:350/Pdt.G/2005/PA.Tgrs yang juga dikuatkan oleh Putusan Banding Nomor : 20/Pdt.G/2007/PTA.Btn dan putusan ini sekarang kasasi yang sampai saat ini belum ada putusan kasasinya dan bila nanti hal ini dapat menjadi yurisfrudensi bagi kita.

2) Berbagai fiqh yang dominan mensyaratkan orang yang berhak memegang hak pemeliharaan anak/hadhonah seperti juga yang tercantum dalam buku PROBLEMATIKA HUKUM KELUARGA ISLAM KONTEMPORER mensyaratkan sebagai berikut :

a) Baligh (tidak terganggu ingatannya).

b) Mempunyai kemauan dan kemampuan untuk memelihara dan mendidik mahdun ( anak yang di asuh) dan tidak terikat dengan suatu pekerjaan yang dapat mengakibatkan tugas hadhonah menjadi terlantar.

c) Jika pemegang hadhonah itu ibu di syaratkan tidak kawin dengan laki-laki lain.

d) Beragama Islam.

Berkaitan dengan kebolehannya seorang anak memilih akan/mau dipelihara oleh ibu atau ayahnya dengan persyaratan si pemegang hadhonah harus beragama Islam. Dalam masalah ini Pemakalah akan mengutif sebagaimana di tulis dalam buku sebagaimana judul tersebut diatas halamam 182 – 183 bahwa :

Masa mumayyiz adalah dari umur tujuh tahun sampai menjelang baligh, pada masa ini seorang anak secara sederhana telah mampu membedakan mana yang berbahaya dan mana yang bermanfaat bagi dirinya, oleh karena itu ia/ anak tersebuttelah dianggap mampu menjatuhkan pilihannya sendiri, apakah anak tersebut akan ikut ibu atau ayahnya.

Dalam hadits yang diriwayatkan oleh Abu Huraeroh menceriterakan seorang perempuan mengadukan tingkah laku bekas suaminya yang hendak merebut anak mereka berdua yang telah mulai mampu menolong mengangkat air dari sumur, lalu Rasulullah menghadirkan kedua pihak yang berperkara serta anak tersebut dengan pemeriksaan yang dilakukan Rasulullah sebagai berikut :

“ Hei anak ini ibumu dan ini ayahmu pikirlah mana yang engkau sukai untuk tinggal bersamanya lalu anak itu memilih ibunya”

Adanya pengakuan Rasulullah atas pilihan anak itu barangkali karena dalam kasus tersebut memang anak itu lebih pantas dan lebih baik ikut bersama ibunya, namun dalam kasus lain dimana Rasulullah melihat pilihan anak itu merugikan dirinya, maka Rasulullah menolak pilihan anak dan Rasulullah memutuskan berlainan dengan pilihan anak itu sendiri, ini dilakukan Rasulullah dalam kasus RAFI’I BIN SIMAN dimana waktu itu RAFI’I telah masuk Islam sementara istrinya tetap musyrik (HR. Abu Daud).

Dari kasus-kasus diatas dapat diketahui pada prinsipnya yang menjadi pertimbangan adalah kepentingan anak itu sendiri, jika dalam satu kondisi dimana pilihan anak itu tidak menguntungkan diri anak tersebut , Hakim boleh mengubah pilihan anak tersebut dan menentukan mana yang lebih maslahat bagi mereka.

Berdasarkan pertimbangan itu pula As-Sam’ani dalam kitab Subulus-salam menjelaskan bahwa jika seorang anak tidak menjatuhkan pilihannya untuk dipelihara dan diasuh ibunya disebabkan karena ibunya tidak mau membiarkannya menghabiskan waktu untuk bermain dan memaksa anak tersebut untuk belajar Al-Qur’an, maka pada pada kondisi yang demikian seorang yang berwenang dalam hal ini Hakim perlu memutus bahwa ibunya lebih berhak untuk mengasuh anak itu, karena itu kita dalam hal meminta pendapat anak dalam hak pilihannya tersebut harus dilihat dari alasan anak memilihnya.

Dalam hal ini kita juga dapat lihat dalam UU. No. 23 Tahun 2002 tentamg Perlindungan Anak dalam hal terjadi perceraian atas perkawinan campuran (antara WNI dan WNA) anak yang sudah berhak memilih tetap diberikan hak pilihnya, namun pilihan anak tersebut tidak serta merta menjadi hal yang menjadi putusan Pengadilan karena dalam pasal itupun ada kata atau berdasarkan putusan Pengadilan berada dalam pengasuhan salah satu dari kedua orang tuanya. Dan lebih lengkapnya pasal 29 ayat (2) dan (3) UU. No. 23 Tahun 2002 sebagai berikut :

(2) Dalam hal terjadinya perceraian dari perkawinan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) aanak berhak unutk memilih atau berdasarkan putusan Pengadilan, berada dalam pengasuhan salah satu dari kedua orang tuanya.

(3) Dalam hal terjadinya perceraian sebagaimana dimaksud dalam ayat (2), sedangkan anak belum mampu menenukan pilihan dan ibunya berkewaranegaraan RI, demi kepentingan terbaik anak atau atas permohonan ibunya, pemerintah berkewajiban mengurus status kewaganegaraan RI bagi anak tersebut.

Dengan demikian hak yang melekat pada anak yang telah mumayyiz untuk menentukan pilihannya sebagaimana yang telah dijamin oleh pasal 10 Undang-Undang No. 23 tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak. Adalah tetap harus dilakukan meskipun diantara ibu atau ayahnya yang bersengketa salah satunya berkeyakinan di luar Islam, atau diantara mereka berlainan bangsa, namun dalam memutuskan terhadap pilihan anak tersebut harus melihat untuk kemaslahatan anak tersebut yang dalam hal ini bukan hanya kemaslahatan dunianya saja tetapi juga adalah akhir dari dunia ini yaitu akhiratnya.

3) Untuk menjawab PR Bapak TUADA ini kita kembali kepada sejarah terbentuknya KHI, bahwa meskipun KHI ini adalah suatu capaian yang sangat spektakuler yaitu untuk menyatukan pedoman dan acuan para Hakim yang sebelumnya bersumber dari berbagai kitab yang berbeda mazhab, namun seperti dalam tulisan Yahya Harahap,SH yang juga merupakan tokoh yang tidak dapat dipisahkan dari lahirnya KHI tersebut bahwa menurtutnya: KHI jangan dianggap seolah-oleh sudah final dan sempurna, jangan tergoda oleh bayangan-bayangan unutk menganggap KHI sebagai karya sejarah yang menumental dan agung, tetapi terimlah kehadiran dan keberadaannya dengan segala kekurangannya dengan harapan kekurangan dan kelemahannya itu menjadi pendorong untuk menggali, mencari dan menemukan kebenaran dan keadilan yang lebih hakiki (Mimbar Huklum No. 5 Th. 1992).

Dalam kaitan dengan bolehkah kita menanyakan atas pilihan anak akan ikut ibu atau ayahnya yang bercerai yang usia anak tersebut belum usia 12 tahun sebagaimana yang diatur dalam pasal 105 huruf (a) bahwa: “ pemeliharaan anak yang belum mumayyiz /belum berumur 12 tahun adalah hak ibunya”

Dapat kita tafsirkan bahwa kata gori anak beum mumayyiz adalah dibawah umur 12 tahun. Sedangkan dalam litertur-literatur lain arti dari mumayyiz adalah anak yang belum bisa membedakan antara mana yang bermanfaat dan mana yang membahayakan dirinya, Dan didalam fiqh priode belum mumayyiz yaitu anak yang belum berumur 7 tahun

Seperti ketika saat peritiwa dialog antara Nabi Ismail dengan Nabi Ibrahim dalam hal akan menjalankan perintah Allah hal qurban yang pernah saya baca dalam tulisan di Republika saat itu Ismail baru berusia 7 tahun. Kalaulah kita perhatikan dari uraian tersebut diatas masalah mumayyiz atau belum mumayyiz adalah bukan terpokus pada titik central usia dari seseorang, tertapi titik centralnya terkait dengan tingkat kecerdasan anak itu sendiri, namun mungkin dari amatan para ulama yang dalam hal ini para perumus KHI. Bahwa anak-anak di Indonesia baru dapat membedakan atau dianggap dapat berpendapat apabila anak tersebut telah berumur 12 tahun.

Dengan demikian apabila kaitan memilih tersebut ada kaitannya dengan tingkat kecerdasan seorang anak kita bisa saja dalam menyelesaian persengketaan anak yang belum berumur 12 tahun dengan meminta pendapat kepada anak tersebut dengan terlebih dahulu kita meminta pendapat Psikolog yang dalam hal ini adalah ahli yang dapat mendeteksi tingkat kecerdasan seseorang yang dengan batasan umur terendah anak tersebutpun adalah 7 tahun sampai sebelum 12 tahun.

Hal ini sesuai dengan aturan pasal 10 UU. No. 23 Tahun 2003 tentang Perlindungan anak bahwa : “ Setiap anak berhak mengatakan dan didengar pendapatnya, menerima, ………. dan memberikan informasi sesuai dengan tingkat kecerdasan dan usianya demi pengembangan dirinya sesuai dengan nilai-nilai kesusilaan dan kepatutan.

Begitupun bila kita telah memilihnya itu tetap harus diberikan hak kepada atau ayahnya untuk diberikan akses melihat, menjenguk, mengajak jalan-jalan dan hak yang sama unutk bermusyawarah dalam mementukan pendidikan anak tersebut sesuai dengan pasal 59 UU. No. 39 tahun 1999 tentang Hak asasi Manusi berbunyi :

(1).Setiap anak berhak untuk tidak dipisahkan dari orang tuanya secara bertentangan dengan kehendak aanaknya sendiri, kecuali jika ada alasan dan aturan hukum yang sah yang menunjukkan bahwa pemisahan itu demi kepentingan terbaik bagi anak.

(2).Dalam keadaan sebagaimana dimaksud ayat (1) hak anak untuk tetap bertemu langsung dan berhubungan pribadi secara tetap dengan orang tuanya tetap dijamin oleh UU.


BAB III

PENUTUP


A. KESIMPULAN

1. Tidak menjadi syarat imperatif anak yang dipersegketakan di hadirkan kepersidangan untuk menentukan pilihannya ikut ibu atau ayahnya karena pilihan anak tersebut dapat dilakukan melalui surat pernyataan yang ditandatanganinya.

2. Hak memilih anak yang disengketakan oleh ibu atau ayahnya tetap harus diberikan, namun tidak menjadikan serta merta kita mengambil alih pilihannya dalam kaitan ayah atau ibunya berbeda keyakinan, karena aqidah adalah sebagaiukuran penentu kelangsungan atas keberlakuan hak hadhonah tersebut atau menjadi gugur karenanya.

3. Mumayyiz atau belum mumayyiz seorang anak lebih ditentukan oleh tingkat kecerdasannya anak tersebut, karenannya kita dapat memberikan hak pilih dalam mentukan siapa yang berhak mengAsuh dintara ibu atau ayahnya yang bercerai bagi anak yang belum berumur 12 tahun hanya setelah ada rekomondasi dari psikologi.

Demikianlah beberapa hal hadhonah yang sering kita temui dalam praktek yang terkadang kasusnya sangat komplek dan cukup luas jangkauannya yang sekarang telah di sepakati perkara ini tidak mengenal lagi nebis en idem, karena itu kita harus cermat dan berhati-hati dalam memutuskan.

Dari itu dalam penyelesaian masalah hadonah itu tidak hanya mengacu kepada ketentuan perundang-undangan saja, melaikan harus memperhatikan nilai-nilai dari hukum dalam masyarakat, kaidah-kaidah agama, lingkungan dari ayah dan ibu yang akan diberi hak hadhonah serta aspek lain demi kemaslahatan diri anak yang akan menjadi asuhannya.


DAFTAR PUSTAKA

1. Rofiq, Ahmad. Hukum Islam di Indonesia. Edisi 1. Cet 6, Jakarta: RajaGrafindo Persada, 2003.

2. Rahman, Abdur. Kompilasi Hukum Islam di Indonesia, edisi 1. Jakarta: Akademika Pressindo, 2004.

3. Syahrani, Riduan. Seluk Beluk dan Asas-asas Hukum Perdata, Alumni. Bandung: 2000.

4. UU. Nomor 23 Tahun 2003 Tentang Perlindungan Anak berserta Penjelasannya.

5. Efendi, Satria. Problematika Hukum Keluarga Islam Kontemporer, Analisis Yurisfrudensi dengan Pendekatan Ashuliyah.

6. Manan, Abdul. Penerapan Hukum Acara Perdata di Lingkungan Peradilan Agama.

7. Qayyum Al-Jauziyah, Ibnu. Hukum Acara Peradilan Islam.

8. -------------------. Varia Peradilan No. 263 Oktober 2007.

0 komentar :

Post a Comment

Terima kasih atas commentnya, Comment anda sangat bermanfaat bagi saya... Semoga bermanfaat.