Tuesday, January 26, 2010

Hukum Waris Atas Anak Angkat

BAB I

PEDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Dinegara kita pengangkatan anak semakin berkembang karena banyaknya anak yang terlantar akibat adanya bencana tsunami, bayi yang lahir hidup (life birth) yang dibuang oleh orang tua/ keluarganya untuk menutupi malu atau aib keluarga, karena bayi lahir diluar perkawinan sebagai akibat free sex atau kumpul kebo, atau bayi itu ditinggalkan di rumah sakit, karena yang bersangkutan tidak mampu mencukupi kebutuhan hidupnya hingga mengakibatkan terlantarnya bayi, bahkan bisa berakibat kematiannya.

Oleh karena itu pegangkatan anak semakin mencuat akhir-akhir ini sebagaimana Islam mewajibkan siapa saja yang menemukan bayi terlantar untuk segera menyelamatkan jiwanya. Dalam surat Al-Maidah ayat 32:

ومن احياها فكانما احيا الناس جميعا

“Dan barang siapa yang memelihara kehidupan seseorang manusia, maka seola-olah memelihara kehidupan manusia semuanya.” (Al-Maidah:32).[1]

Pada umumnya dikalangan bangsa-bangsa yang menganut sistem adopsi, anak angkat mempunyai kedudukan hukum seperti anak kandung sendiri,[2] hal itu akan berimplikasi terhadap status hukumnya yakni dalam hak kewarisan. Untuk mengetahui status hukum anak angkat dalam kewarisan maka penulis mengkaji tentang Hak Waris atas Anak Angkat.

B. Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang masalah di atas, maka penulis merumuskan masalah sebagai berikut:

1. Apa akibat hukum dalam pengangkatan anak?

2. Bagaimana hak waris atas anak angkat?

C. Tujuan Pembahasan:

1. Untuk mengetahui secara pasti akibat hukum dengan adanya pengangkatan anak.

2. Untuk mengetahui hak waris atas anak angkat.

BAB II

HAK WARIS ATAS ANAK ANGKAT

A. Pengertian Anak Angkat

Anak yang diadopsi disebut “anak angkat”. Mahmud Syaltut, ahli Fiqh kontemporer dari Mesir menngemukakan bahwa adopsi ada dua pengertian. Pertama, mangambil anak orang lain utuk diasuh dan dididik dengan penuh perhatian dan kasih sayang, tanpa diberikan status anak kandung. Sedang pengertian kedua, mengambil anak orang lain untuk diberi status sebagai anak kandung.[3]

Dalam bahasa Arab adopsi disebut dengan tabanny, yang menurut Prof. Mahmud Yunus diartikan dengan “mengambil anak angkat”, sedang menurut kamus Munjid diartikannya sebagai anak.

Menurut ajaran Islam adopsi disebut tabanny. Di zaman jahiliyah sebelum agama Islam datang masalah tabanny banyak didapatkan dikalangan bangsa Arab. Bahkan menurut sejarahnya, nabi Muhammad sendiri sebelum menerima kerasulannya mempunyai anak angkat yang bernama Zaid putra Haritsah dalam status budak (sahaya) yang dihadiahkan oleh Khadijah bin Khuwailid kepada Muhammad bin Abdullah. Kemudian anak tersebut dimerdekakan dan diangkat menjadi anak angkat serta namanya diganti dengan Zaid bin Muhammad. Dihadapan kaum Quraisy Muhammad pernah mengatakan “Saksikanlah oleh kamu, bahwa Zaid kuangkat menjadi anak angkatku dan mewarisiku dan aku mewarisinya”.[4]

Setelah Muhammad menjadi Rasul turunlah wahyu yang menegaskan masalah ini, seperti yang telah disebutkan di atas. Sesudah itu turun pula wahyu yang menetapkan tentang peraturan waris mewaris yang menentukan bahwa hanya kepada orang-orang yang ada pertalian sedarah turunan dan perkawinan. Mulai saat itu nama Zaid bin Muhammad diganti dengan Zaid bin Haritsah.[5]

Dengan demikian yang bertentangan dengan ajaran Islam adalah mengangkat anak (adopsi) dengan memberikan status yang sama dengan anak kandung sendiri.

B. Tata Cara Adopsi

Dari penjelasan pengertian di atas, maka bisa diketahui, pengangkatan anak disini adalah atas dasar ingin mendidik dan membantu orang tua kandungnya agar anak tersebut dapat mandiri di masa datang,[6] Oleh karena itu tidak dikenal perpindahan nasab dari ayah kandungnya kepada ayah angkatnya. Hanya saja pengangkatan anak dalam Hukum Islam haruslah memenuhi hal-hal sebagai berikut:

1. Harus dengan tujuan pemeliharaan, pemberian bantuan dan lain-lain yang sifatnya untuk kepentingan anak[7].

2. Tidak menyebabkan putusnya hubungan nasab dengan orang tua kandung.[8]

3. Tidak mempergunakan nama orang tua angkatnya secara langsung kecuali sekadar sebagai tanda pengenal.[9]

4. Tidak boleh mengambil anak angkat dari yang berbeda agama,[10] kecuali ada jaminan bahwa anak angkat yang bersangkutan aka bisa diislamkan.

Adapun tentang prosedur pengangkatan anak, kalau pada masa permulaan Islam diresmikan didepan khalayak ramai, sebagai tanda peresmiannya dan untuk menunjukkan kalau antara keduanya telah mempunyai ikatan, maka pengangkatan anak dalam Hukum Islam yang bertujuan pemeliharaan ini tidak perlu demikian, tetapi harus disertai adanya kerelaan dari masing-masing pihak. Jika anak tersebut masih mempunyai orang tua, maka meminta izin kepada keduanya, dan kedua orang tuanya telah meninggal maka meminta izin kepada keluarga anak tersebut. Apabila pihak dari anak yang diangkat memberikan persetujuannya, artinya masing-masing pihak saling suka, ada kerelaan, maka hendaknya dibarengi ijab qabul. Sejak saat itu orang tua angkat tersebut bertanggung jawab untuk memelihara dan memenuhi segala kebutuhannya demi masa depan si anak tersebut.

C. Hukum Adopsi

Ulama’ Fiqh sepakat menyatakan bahwa Hukum Islam tidak mengakui lembaga anak angkat yang mempunyai akibat hukum seperti yang dilakukan masyarakat jahiliyah, dalam arti terlepasnya ia dari hukum kekerabatan orang tua kandungnya dan masuk ke dalam hukum kekerabatan orang tua angkatnya.[11]

Hukum Islam hanya mengakui, bahkan meganjurkan pengangkatan anak dalam arti pemungutan dan pemeliharaan. Dalam hal ini status kekerabatannya tetap berada diluar lingkungan keluarga orang tua angkatnya dan dengan sendirinya tidak mempunyai akibat hukum apa-apa. Ia tetap anak dan kerabat dari orang tua kandungnya. Hal ini berdasarkan firman Allah SWT. (QS. al- Ahzab (33): 4-5):

ما جعل الله لرجل من قلبين في جوفيه وما جعل ارواجكم اللائى تطاهرون منهن امهاتكم وما جعل ادعياءكم ابناءكم دلكم قولكم بافواهكم والله يقول الحق وهو يهد السبيل

“Allah tidak menjadikan untuk seorang dua hati di dalam tubuhnya. Dan Allh tidak menjadikan isteri-isterimu yang kamu berdzihar (menyerupakan isteri) terhadap ibumu. Allah juga tidak menjadikan anak-anak yang menyandarkan diri kepada bukan ayahnya (anak angkat) seperti anak-anak kandungmu. Itulah perkataan dengan lisanmu; Allah menuturkan kebearan dan menunjuk kepada jalan yang lurus.”[12]

ادعوا هم لابائهم هو اقسط عندالله فان لم تعلموا اباءهم فاحوانكم فى الدين ومواليكم وليس عليكم جناح فيما اخطاتم به ولكن ما تعمدت قلوبكم وكان الله غفورا رحيما (الاحراب: 33 : 5 )

Bangsakanlah mereka kepada orang tuanya sendiri, itu lebih adil disisi Allah. Maka jika kamu tidak mengenal orang tuanya bahwa mereka adalah saudara-saudaramu seagama dan menjadikan penolong-penolongmu (dan anak dari paman-pamanmu). Tidak ada dosa bagimu mengenai apa yang kamu lakukan dengan khilaf. Tetapi dosa itu mengenai apa yang disengaja oleh hatimu, dan Allah itu Maha Pengampun lagi Maha Kekal Rahmat-Nya.”[13]

D. Hak Waris atas Anak Angkat

Berdasarkan uraian di atas, jelaslah bahwa adanya pengangkatan anak tidak berpengaruh terhadap hubungan nasab antara anak dengan orang tua angkat. Ia hanya mempunyai nasab dengan orang tua kandungnya, maka hubungan dengan orang tua angkat tetaplah hubungan antara anak dengan orang lain.

Menurut Ulama’ Fiqh dalam Islam ada tiga faktor yang menyebabkan seseorang saling mewarisi, yakni karena hubungan kekerabatan atau seketurunan (al-qarabah), karena hasil keturunan yang sah (al-musaharah), dan karena faktor hubungan perwalian antara hamba sahaya dan wali yang memerdekakannya. Anak angkat tidak termasuk dalam tiga faktor di atas, dalam arti bukan satu kerabat atau satu keturunan dengan orang tua angkatnya, bukan pula lahir atas perkawinan yang sah dari orang tua angkatnya, dan bukan pula karena hubungan perwalian. Oleh karena itu antara dirinya dan orang tua angkatnya itu tidak saling mewarisi satu sama lain. Jika ia akan mewarisi, maka hak waris mewarisi hanya berlaku antara dirinya dengan orang tua kandungnya secara timbal balik, atas dasar al-qarabah dan al-musaharah, atau mungkin kalau ada karena saling tolong menolong dengan yang meninggal semasa hidupnya.[14]

Namun mengingat hubungan yang sudah akrab antara anak angkat dengan orang tua angkatnya, apalagi kalau yang diangkat itu diambil dari keluarga dekat sendiri, serta memperhatikan jasa baiknya terhadap rumah tangga orang tua angkatnya. Maka Islam tidak menutup kemungkinan sama sekali anak angkat mendapat bagian dari harta peninggalan orang tua angkatnya, namun dengan cara hibah atau wasiat yang ditulis atau diucapkan oleh ayah angkatnya sebelum meninggal dunia. Ketentuan untuk wasiat dalam hukum Islam adalah paling banyak sepertiga harta warisan. Dalam hibah dan wasiat tidak ditentukan secara khusus siapa saja yang menerimanya.[15]

Demikian jelas pemahamannya, bahwa anak angkat dalam hal kewarisan, ia hanya berhak memperoleh bagian waris dari harta peninggalan orang tua kandungnya. Sedangkan dengan orang tua angkat, ia hanya berhak memperoleh hibah atau wasiat atas harta peninggalan ayah angkatnya.

BAB III

PENUTUP

A. Kesimpulan

Adanya pengangkatan anak (adopsi) tidak akan merubah hubungan nasab antara anak dengan orang tua kandungnya, maka nasab ayah kandung tehadap anak tidak akan berpindah kepada ayah angkat, sehingga dalam hak waris, anak angkat hanya memperoleh harta waris dari orang tua kandungnya. Sedangkan dari orang tua angkat, ia hanya memperoleh hibah atau wasiat atas harta peninggalan ayah angkatnya.

B. Daftar Pustaka

¯ R. Soeroso, S.H., Perbandingan Hukum Perdata, Jakarta: Grafindo Persada, 2000.

¯ Teungku Muhammad Hasbi ash-Shiddieqy, Tafsir an-Nur, Semarang, PT. Pustaka Rizki Putra.

¯ Ahmad Abdul Madjid, Masail Fiqhiyyah, Pasuruann Jatim, PT. Garoeda Buana, 1991.

¯ Prof. Drs. Masjfuk Zuhdi, Masail Fiqhiyyah, Jakarta, PT. Gunung Agung,

¯ Ensiklopedi Islam, Ichtiar Baru Van Hoeve, Jilid I, Jakarta, 1997.



[1] Depag RI, Al-Qur.an dan Terjemah, (Surabaya: Karya Utama, 2000), hlm. 164.

[2] Ahmad Abdul Majid, M.A., Masail Fiqhiyyah, (Pasuruan Jatim: PT. Garoeda Buana Indah, 1991), 23.

[3] Prof. Drs. Masjfuk Zuhdi, Masail Fiqhiyyah, (Jakarta: Toko Gunung Emas), hlm. 28

[4] R. Soeroso, S.H., Perbandingan Hukum Perdata, (Jakarta: Grafindo Persada, 2000), hlm. 197.

[5] Ibid.

[6] Ensiklopedi Islam, Ichtiar Van Hoeve, Jilid I, (Jakarta: 1997), hlm. 27

[7] R. Soeroso, S.H., Op. Cit, hlm. 199

[8] Ibid

[9] Teungku Muhammad Hasbi ash-Shiddieqy, Tafsir al-Nur, (Semarang: Pustaka Rizki Putra, hlm.3253

[10] R. Soeroso, Op. Cit, hlm. 199.

[11] Ensiklopedi Islam, Op. Cit, hlm. 28.

[12] Depag RI, al-Qur’an dan Terjemah, (Surabaya: Karya Utama, 2000), hlm. 666.

[13] Ibid, hlm. 667.

[14] Ensiklopedi Islam, Op. Cit., hlm. 28

[15] Ibid, hlm. 29

0 komentar :

Post a Comment

Terima kasih atas commentnya, Comment anda sangat bermanfaat bagi saya... Semoga bermanfaat.