Monday, January 25, 2010

MEMAHAMI LAFADZ NASH DAN KARAKTERISTIKNYA


A. Pendahuluan

Dalam Al-Qur’andan As-Sunnah itu terdapat beberapa hukum, baik yang di dalamnya menyangkut ibadah ataupun muamalah. Akan tetapi hukum tersebut tidak semuanya dapat dipahami secara langsung akan tetapi masih membutuhkan takwil dan lain-lain.

Didalam makalah ini akan diuraikan tentang lafadz nash yang jelas dan kaidah-kaidah yang terkait didalamnya. Lafadz nash adalah lafadz yang penunjukanya tegas untuk makna yang dimaksudkan, tetapi menerima takhsis dan menerima takwil.

Dalam memahami lafadz nash juga membutuhkan beberapa ilmu kebahasaan antara lain : ‘am dank has, mujmal mubayyan dan lain-lain. Yang dimaksud lafadz nash tersebut yaitu lafadz yang terkandung dalam Al-Qur’an dan hadis. Setiap nash yang sudah jelas dalalah wajib diamalkan, berdasarkan keberadaanya sebagai yang jelas dalalahnya.

Agar mudah memahami lafadz nash terdapat beberapa petunjuk dalalah nash, dimana hal tersebutlah yang akan kami bahas dalam makalah ini.

B. Pembahasan

1. Pengertian Nash

Nash yaitu lafadz yang petunjuknya tegas untuk makna yang dimaksudkan, tetapi menerima takhsis berupa ‘am dan menerima ta’wil kalau berupa khas.

Ibnu Daqiqil Ied dalam Syarah Al Unwan mengemukakan nash dengan beberapa istilah antara lain sebagai berikut :

ü Nash adalah istilah yang tidak menerima selain dari satu makna

ü Nash menurut para fuqaha’ adalah lafadz yang dalalahnya sangat kuat

ü Nash menurut ahli ijtihad adalah lafadz Al-Qur’an dan sunnah

Kebanyakan para ulama’ mutaakhirin juga menghendaki bahwa yang dimaksud dengan nash adalah Al-Qur’andan as sunnah. Misalnya firman Allah :

و احل الله البيع وحرم الربوا

Artinya : “Dan Allah telah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba“

Adalah nash atas meniadakan persamaan antara jual beli dan riba, karena itu adalah makna yang segera dapat dipahami dari lafadz dan dimaksudkan secara asli dari susunan kalimatnya. Dan firman Allah yang artinya : “maka kawinilah wanita-wanita (lain) yang kamu senangi : dua, tiga atau empat”.(QS An Nisa’ : 3)

Ayat tersebut adalah nash mengenai pembahasan jumlah istri yang terbanyak yaitu empat istri. Karena itu adalah makna yang segera dipahami dari lafalnya dan dimaksudkan secara asli dari susunan kalimatnya.

Hukum nash adalah sama dengan hukum zhahir. Ia wajib diamalkan pada sesuatu yang di nashkan. Namun ia kemungkinan untuk ditakwilkan, yang dikehendaki dari lafadz itu bukan yang di-nashkan. Ia juga menerima untuk di nashkan sebagai yang telah di jelaskan pada lafadz zhahir.

Jadi masing-masing az zhahir dan an nash itu jelas dalalahnya menurut artinya. Artinya pemahaman terhadap yang dimaksud oleh masing-masing azh-zhahir dan an-nash telah jelas menunjukkan kepadanya. Masing-masing azh zhahir itu bisa menerima ta’wil. Yaitu jika dimaksudkan dari padanya selain arti yang telah jelas dalalhnya kepadanya apabila tidak terdapat sesuatu yang menghendaki pentakwilan.

Ta’wil menurut bahasa artinya adalah menjelaskan sesuatu yang urusanya di kembalikan kepadanya6. Sedangkan menurut istilah ulama’ ushul ialah memalingkan lafadz dari zhahirnya pada arti lan yang lebih sesuai dengan alasan yang kuat sehingga arti yang lain inilah yang dianggap lebih sesuai.

Dengan alasan yang kuat dan syarat-syarat yang lengkap maka dalil tersebut dapat dita’wilkan. Tujuan dari ta’wil itu agar tidak terjadi kesalah pahaman. Disamping itu ta’wil tersebut harus dibenarkan oleh ilmu bahasa serta kesusteraan arab.

Dari definisi nash di awal bahwa lafadz nash itu menerima takhsis apabila terdapat lafadz ‘am dan menerima ta’wil apabila berupa lafadz khas, maka harus diketahui apa definisi ‘am dan khas.

‘Am ialah suatu perkataan yang memberi pengertian umum dan meliputi segala sesuatu yang terkandung dalam perkataan itu dengan tidak terbatas. Misalnya al insan yang berarti manusia. Perkataan ini mempunyai pengertian umum jadi semua manusia termasuk dalam tujuan perkataan ini. Misalnya lafadz al-insan berarti meliputi jenis manusia seluruhnya. Disamping al-‘aam ada juga lafadz khas yaitu perkataan atau susunan yang megandung arti tertentu yang tidak umum. Jadi khas adalah kebalikan dari ‘am.

Lafadz khusus ini adakalanya di perguakan untuk seorang, barang atau hal tertentu seperti Abdullah, radio, atau puasa ramadlan. Dan adakalanya kalimat ini dipergunakan untuk dua orang atau barang seperti dua orang suami istri atau sepasang pena hero. Lafadz khusus ini di pergunakan juga untuk lebih dari dua orang yang tidak dibatasi seperti lafadz ar-rijaal (beberapa orang laki-laki atau tiga orang laki-laki)

Dengan demikian yang dimaksud dengan khas adalah lafadz yang tidak meliputi suatu hal tertentu tetapi juga dua, atau beberapa hal tertentu tanpa kepada batasan. Artinya tidak mencakup semua namun hanya berlaku untuk sebagian tertentu.

2. Isyarat Nash

Isyarat adalah makna yang tidak segera dapat di pahami dari kata-katanya dan tidak di maksudkan oleh susunan katanya. Menurut para ulama’: sesunggunya apa yang diisyaratkan oleh nash itu kadang-kadang memerlukan pemahaman secara mendetail dan kesungguhan berfikir dan kadang-kadang (cukup) dipahami dengan sekedar mengangan-angan.

Jadi dalalah isyarat ialah dalalah makna dari makna nash yang tetap bagi sesuatu yang dipahami dari ungkapan nash yang tidak dimaksud oleh susunan katanya. Yang memerlukan pemahaman secara serius/sekedar meangan-angan. Contoh firman Allah :

فاعف عنهم واستغفر لهم وشاورهم في الامر…….

Artinya : “Karena itu maafkanlah mereka, mohonkanlah ampun bagi mereka, dan bermusyawarahlah dengan mereka dalam urusan itu”.

Dengan jalan isyarat, dari nash ini dapat di pahami kewajiban mewujudkan sekelompok dari umat sebagai cerminya dan dapat diajak musyawarah mengenai urusanya. Karena melaksanakan sesuatu dan musyawarah umat itu dikehendaki secara pasti.

Dalam mengambil dalil (istidlal) harus memerlukan jalan isyarat/meringkasnya menurut sesuatu yang benar-benar dapat menetapkan kepada makna-makna nash yang tidak bisa lepas sama sekali, karena makna inilah yang ditunjukkan oleh nash.

3. Dalalah Nash

Dalalah nash (petunjuk nash) ialah makna yang dipahami dari jiwa nash dan rasionalnya. Maka apabila nash itu ungkapanya menunjukkan atau hukum mengenai suatu kejadian karena ‘illat (alasan) yang menjadi hukum ini dan terdapat kejadian lain yang sama hukumnya dengan kejadian pertama/bahkan lebih utama dari padanya. Contoh firman Allah

ان الذين ياءكلون اموال اليتمي ظلما انما ياءكلون في بطونهم نارا وسيصلون سعيرا

Artinya : “Sesungguhnya orang-orang yang memakan harta anak yatim secara dzalim, sebenarnya mereka menelan api sepenuhnya”.

Dari dalalah nash tersebut dapat dipahami keharaman memberi makan dari harta kekayaan anak yatim tersebut kepada orang lain, juga membakarnya, mencerai beraikan dan merusaknya dengan bentuk apa saja. Karena perbuatan-perbuatan ini sama dengan memakan secara aniaya harta kekayaan orang yang tidak kuat dan lemah menolak aniaya. Maka nash yang ungkapanya mengharamkan memakan harta kekayaan anak yatim secara aniaya berdasarkan ibaratnya juga mengharamkan dalalahnya.

Dalalah nash juga disebut qiyas jali. Hal ini disebabkan karena jelasnya pemahaman persamaan dan keutamaan antara dalil yang diucapkan dan pengertian yang sesuai dengan dalil yang diucapkan itu.

4. Iqtitdha’ Nash

Iqtitdha’ nash adalah makna yang sesuatu yang suatu kalimat tidak dapat lurus kecuali dengan memperkirakan makna itu. Dalam sighat nash tidak terdapat lafadz yang menunjukkan makna itu, akan tetapi kesalehan sighatnya dan kelurusan pengertianya menurut keberadaanya / kebenaranya dan kesesuainanya dengan klenyataan menuntutnya.

Contoh hadis :

رفع عن امتي الخطاء والنسيان وماستكرهوا عليه

Artinya : “Diampuni (dihapus) dari umatku, luput, lupa juga sesuatu yang mereka paksakan melakukanya.”

Hadis ini menunjukkan atas terhapusnya perbuatan, apabila perbuatan itu terjadi karena luput/lupa/terpaksa. Makna ini tidak sesuai dengan kenyataan karena perbuatan itu aopabila terjadi, tidak bisa terhapus. Jadi sahnya makna unghklapan ini menghendaki ukuran sahnya ungkapan makna disini bisa diperkirakan “dihapus dari umatku dosa yang diperkuat karena luput”. Maka kata “dosa” di buang dengan memperkirakan kata itu megehndaki shnya makna nash, maka diberlakukan pengertian nash. Contoh firman Allah :

Artinya : Diharamkan atas kamu (mengawini) ibu-ibumu; anak-anakmu yang perempuan”. (QS An Nisa’ : 23)

Dan firman Allah dalam surat Al Maidah :

Artinya : Diharamkan bagimu (memakan) bangkai, darah, daging babi”.

Sesungguhnya hakikat pribadi yang tersebut itu tidak ada sangkut pautnya dengan keharaman. Akan tetapi mengharamkan itu hanya berpautan dengan perbuatan mukallaf. Maka diperkirakanlah (lafadz) yang meghendaki dalam setiap nash mehuirut kondisi yang sesuai.13

Contoh lain seperti ucapan seorang kepada orang lain yang memilih budak yang berbunyi “merdekakan budakmu dari saya dengan Rp 1000 (misalnya ungkapa ini menghendaki pembelian budak dari pemiliknya dengan harga Rp 1000 karena tidak ada pengganti dari memerdekakan budak itu kecuali setelah dia dapat memiliki dengan membeli dari pemiliknya)”. Jadi pembelian adalah tetap lantaran kehendak nash (teks). Menurut bentuk (sighat) ini.

C. Kesimpulan

Pengertian nash yaitu lafadz yang petunuknya tegas untuk makna yang dimaksudkan, tetapi menerima taksis berupa ‘am dan menerima ta’wil kalau berupa khas.

Hukum nash dhahir wajib mengamalkan makna yang dinash untuk hukum itu, jadi masing-masing dhahir dan nash itu adalah jelas dalalahnya menurut artinya, ta’wil menurut bahasa artinya ialah menjelaskan sesuatu yang kembali kepadanya sesuatu hal menurut istilah, memalingkan lafadz dari dzahirnya

Isyarat nash adalah makna yang tidak segera dapat dipahami dari kata-katanya sedankan dalalahnya isyarat ialah dalalah makna dari makan nash yang tetap bagi sesuatu yang dipahami dari ungkapan nash.

D. Penutup

Demikian uraian makalah yang dapat penulis sajikan, apabila terdapat kesalahan baik dalam penulisan maupun dalam pemaparan, kami mohon maaf yang sebesar-besarnya. Kesempurnaan hanya milik Allah dan kekurangan pastilah milik manusia karena itu, tidak lupa kritik dan saran selalu kami harapkan untuk kesempurnaan makalah kami. Semoga makalah ini bermanfaat bagi kita semua.

Referensi

ü Khairul Umam, Dkk. , 1998. Ushul Fiqih II. PT. Pustaka Setia : Bandung.

ü Khallaf, Abdul Wahab.1999. Kaidah-Kaidah Hukum Islam, PT.Raja Grafindo Persada : Jakarta.

ü Syarifuddin, Amir. 1997. Ushul Fiqih. Logos Wacana : Jakarta.

ü Khallaf, Abdul Wahab. 1994 Ilmu Ushul Fiqih. Dina Utama : Semarang.

0 komentar :

Post a Comment

Terima kasih atas commentnya, Comment anda sangat bermanfaat bagi saya... Semoga bermanfaat.