Tuesday, June 29, 2010

WALI DAN SAKSI DALAM NIKAH

A. PEMBAHASAN

Ada 4 (empat) hal pokok yang menjadi rukun atas syahnya sebuah pernikahan. Bila salah satu dari semua itu tidak terpenuhi, batallah status pernikahan itu. Yaitu [1] Wali, [2] Saksi, [3] Ijab Kabul (akad) [4] Mahar.

1. Wali

Nash tentang wali dalam pernikahan banyak disebut dalam Al-Qur’an dan beberapa Hadits Nabi. Nash Al-Qur’an diataranya, Al-Baqarah: 230, 231, 232, 235, 240; Ali Imran: 159, An-Nisa’: 25,34, Al-Talaq: 2. Akan tetapi pemahaman ayat-ayat Al-Qur’an tersebut berbeda-beda dari para fuqaha, yang akan kita bahas lebih lanjut.

PANDANGAN FUQAHA

a. Imam Maliki

Imam Maliki mengharuskan izin dari wali atau wakil terpandang dari keluarga atau hakim untuk akad nikah. Akan tetapi tidak dijelaskan secara tegas apakah wali harus hadir dalam akad nikah atau cukup sekedar izinnya. Meskipun demikian imam malik tidak membolehkan wanita menikahkan diri-sendiri, baik gadis maupun janda.

Mengenai persetujuan dari wanita yang akan menikah, imam malik membedakan antara gadis dengan janda. Untuk janda, harus terlebih dahulu ada persetujuan secara tegas sebelum akad nikah. Sedangkan bagi gadis atau janda yang belum dewasa dan belum dicampuri suami, maka jika bapak sebagai wali ia memiliki hak ijbar. Sedangkan wali diluar bapak, ia tidak memilki hak ijbar.

b. Imam Hanafi

Abu Hanifah membolehkan perkawinan tanpa wali (menikahkan diri sendiri), atau meminta orang lain diluar wali nasab untuk menikahkan gadis atau janda. Hanya saja kalau tidak sekufu, wali berhak membatalkannya.

Dasar yang membolehkan perkawinan tanpa wali, menurut abu hanifah diantaranya Al-Baqarah: 230,232,240. serta mengartikan “al-aima” adalah”wanita yang tidak mempunyai suami” baik gadis maupun janda. Ditambah dengan hadits tentang kasus al-khansa’a yang dinikahkan secara paksa oleh bapaknya dan ternyata tidak diakui oleh Nabi..

Menurut abu hanifah persetujuan dari para calon adalah satu keharusan dalam perkawinan, baik bagi seorang gadis maupun janda. Perbedaannya, persetujuan gadis cukup dengan diamnya, sementara janda harus dinyatakan dengan tegas.

c. Imam Syafi’i

Menurut imam Syafi’i, kehadiran wali menjadi salah satu rukun nikah, yang berarti tanpa kehadiran wali ketika melakukan akad nikah perkawinan tidak sah. Bersamaan dengan ini, Syafi’i juga berpendapat wali dilarang mempersulit perkawinan wanita yang ada di bawah perwaliannya sepanjang wanita mendapat pasangan yang sekufu. Dasar yang digunakan imam Syafi’i adalah Al-Baqarah:232, An-Nisa: 25,34. serta beberapa hadits nabi.

Menurut Syafi’i bapak lebih berhak menentukan perkawinan anak gadisnya. Hal ini didasarkan pada mafhum mukhalafah dari hadits yang menyatakan “janda lebih berhak kepada dirinya”. Sehingga menurut Syafi’i izin gadis bukanlah satu keharusan tetapi hanya sekedar pilihan. Adapun perkawinan seorang janda harus ada izin secara tegas dari yang bersangkutan. Hal ini didasarkan pada kasus al-khansa’a.

d. Imam Hambali

Ibnu Qudamah dari Madzhab Hambali menyatakan, wali harus ada dalam perkawinan (rukun nikah), yakni harus hadir ketika melakukan akad nikah. Menurutnya hadits yang mengharuskan adanya wali bersifat umum yang berarti berlaku untuk semua. Sedangkan hadits yang menyebutkan hanya butuh izin adalah hadits yang bersifat khusus. Sehingga yang umum harus didahulukan dari dalil khusus.

Ibnu Qudamah berpendapat adanya hak ijbar wali untuk menikahkan gadis yang belum dewasa, baik wanita tersebut senang atau tidak, dengan syarat sekufu. Sedangkan menurut Ibnu Qayyim, persetujuan wanita harus ada dalam perkawinan.

Keberandaan wali mutlak harus ada dalam sebuah pernikahan. Sebab akad nikah itu terjadi antara wali dengan pengantin laki-laki. Bukan dengan pengantin perempuan.

Sering kali orang salah duga dalam masalah ini. Sebab demikianlah Islam mengajarkan tentang kemutlakan wali dalam sebuah akad yang intinya adalah menghalalkan kemaluan wanita. Tidak mungkin seorang wanita menghalalkan kemaluannya sendiri dengan menikah tanpa adanya wali.

Menikah tanpa izin dari wali adalah perbuatan mungkar dan pelakunya bisa dianggap berzina. Dalilnya adalah sabda Rasulullah SAW:

لانكاح إلاّ بولىِّ وشاهدى عدلٍ (رواه احمد )


Dari Al-Hasan dari Imran marfu'an,"Tidak ada nikah kecuali dengan wali dan dua saksi".(HR Ahmad).

1. Syarat Seorang Wali

a. Islam, seorang ayah yang bukan beragama islam tidak menikahkan atau menjadi wali bagi pernikahan anak gadisnya yang muslimah. Begitu juga orang yang tidak percaya kepada adanya Allah SWT (atheis). Dalil haramnya seorang kafir menikahkan anaknya yang muslimah adalah ayat Quran berikut ini :

3 `s9ur Ÿ@yèøgs ª!$# tûï̍Ïÿ»s3ù=Ï9 n?tã tûüÏZÏB÷sçRùQ$# ¸xÎ6y ÇÊÍÊÈ

" Dan Allah sekali-kali tidak akan memberi jalan kepada orang-orang kafir untuk memusnahkan orang-orang yang beriman ".(QS. An-Nisa: 141).

b. Berakal, maka seorang yang kurang waras atau idiot atau gila tidak syah bila menjadi wali bagi anak gadisnya.

c. Bulugh, maka seorang anak kecil yang belum pernah bermimpi atau belum baligh, tidak syah bila menjadi wali bagi saudara wanitanya atau anggota keluarga lainnya.

d. Merdeka, maka seorang budak tidak syah bila menikahkan anaknya atau anggota familinya, meski pun beragama ISlam, berakal, baligh.

2. Urutan Wali

Dalam mazhab syafi'i, urutan wali adalah sebagai berikut :

  • Ayah kandung
  • Kakek, atau ayah dari ayah
  • Saudara (kakak / adik laki-laki) se-ayah dan se-ibu
  • Saudara (kakak / adik laki-laki) se-ayah saja
  • Anak laki-laki dari saudara yang se-ayah dan se-ibu
  • Anak laki-laki dari saudara yang se-ayah saja
  • Saudara laki-laki ayah
  • Anak laki-laki dari saudara laki-laki ayah (sepupu)

Daftar urutan wali di atas tidak boleh dilangkahi atau diacak-acak. Sehingga bila ayah kandung masih hidup, maka tidak boleh hak kewaliannya itu diambil alih oleh wali pada nomor urut berikutnya.Kecuali bila pihak yang bersangkutan memberi izin dan haknya itu kepada mereka.

Penting untuk diketahui bahwa seorang wali berhak mewakilkan hak perwaliannya itu kepada orang lain, meski tidak termasuk dalam daftar para wali. Hal itu biasa sering dilakukan di tengah masyarakat dengan meminta kepada tokoh ulama setempat untuk menjadi wakil dari wali yang syah. Dan untuk itu harus ada akad antara wali dan orang yang mewakilkan.

Dalam kondisi dimana seorang ayah kandung tidak bisa hadir dalam sebuah akad nikah, maka dia bisa saja mewakilkan hak perwaliannya itu kepada orang lain yang dipercayainya, meski bukan termasuk urutan dalam daftar orang yang berhak menjadi wali.

Sehingga bila akad nikah akan dilangsungkan di luar negeri dan semua pihak sudah ada kecuali wali, karena dia tinggal di Indonesia dan kondisinya tidak memungkinkannya untuk ke luar negeri, maka dia boleh mewakilkan hak perwaliannya kepada orang yang sama-sama tinggal di luar negeri itu untuk menikahkan anak gadisnya.

Namun hak perwalian itu tidak boleh dirampas atau diambil begitu saja tanpa izin dari wali yang sesungguhnya. Bila hal itu dilakukan, maka pernikahan itu tidak syah dan harus dipisahkan saat itu juga.

2. Saksi nikah

Sebuah pernikahan tidak syah bila tidak disaksikan oleh saksi yang memenuhi syarat. Maka sebuah pernikahan siri yang tidak disaksikan jelas diharamkan dalam Islam. Dalilnya secara syarih disebutkan oleh Khalifah Umar ra.

Syarat Saksi

Mirip dengan syarat sebagai wali, untuk bisa dijadikan sebagai saksi, maka seseorang harus memiliki kriteria antara lain :

  • 'Adalah, ini adalah syarat yang mutlaq dalam sebuah persaksian pernikahan. Sebab dalilnya menyebutkan bahwa saksi itu harus adil sebagaimana teks hadits.
  • Minimal Dua Orang, jumlah ini adalah jumlah minimal yang harus ada. Bila hanya ada satu orang, maka tidak mencukupi syarat kesaksian pernikahan yang syah. Sebab demikianlah teks hadits menyebutkan bahwa harus ada 2 (dua) orang saksi yang adil. Namun itu hanyalah syarat minimal. Sebaiknya yang menjadi saksi lebih banyak, sebab nilai 'adalah di masa sekarang ini sudah sangat kecil dan berkurang.
  • Beragama Islam, kedua orang saksi itu haruslah beragama islam, bila salah satunya kafir atau dua-duanya, maka akad itu tidak syah
  • Berakal, maka seorang yang kurang waras atau idiot atau gila tidak syah bila menjadi saksi sebuah pernikahan
  • Sudah Baligh, maka seorang anak kecil yang belum pernah bermimpi atau belum baligh, tidak syah bila menjadi saksi.
  • Merdeka, maka seorang budak tidak syah bila mejadi saksi sebuah pernikahan.
  • Laki-laki, maka kesaksian wanita dalam pernikahan tidak syah. Bahkan meski dengan dua wanita untuk penguat, khusus dalam persaksian pernikahan, kedudukan laki-laki dalam sebuah persaksian tidak bisa digantikan dengan dua wanita.

Abu Ubaid meriwayatkan dari Az-Zuhri berkata,"Telah menjadi sunnah Rasulullah SAW ahwa tidak diperkenankan persaksian wanita dalam masalah hudud, nikah dan talaq.

Namun mazhab Hanafiyah mengatakan bahwa bila jumlah wanita itu dua orang, maka bisa menggantikan posisi seorang laki-laki seperti yang disebutkan dalam Al-Quran:

( bÎ*sù öN©9 $tRqä3tƒ Èû÷ün=ã_u ×@ã_tsù Èb$s?r&zöD$#ur `£JÏB tböq|Êös? z`ÏB Ïä!#ypk9$# br& ¨@ÅÒs? $yJßg1y÷nÎ) tÅe2xçFsù $yJßg1y÷nÎ) 3t÷zW{$# 4

...Jika tak ada dua oang lelaki, maka seorang lelaki dan dua orang perempuan dari saksi-saksi yang kamu ridhai, supaya jika seorang lupa maka yang seorang mengingatkannya....(QS. Al-Baqarah : 282)

B. PENUTUP

1. KESIMPULAN

Dari pembahasan di atas dapat di simpulkan bahwa adanya wali dan saksi dalam pernikahan itu sangatlah wajib, karena wali dan saksi termasuk dalam rukun nikah.

2. DAFTAR PUSTAKA

ü Ghozali, abdur rahman, Fiqh Munakahat. Kencana, Jakarta : 2003

ü Al-quran terjemah kudus.