Friday, August 20, 2010

Hadits Tentang Khulu’ (Gugatan Cerai)


A. PENDAHULUAN

Dalam masyarakat kita sering menjumpai berbagai macam kasus atau kejadian rumah tangga, seperti keretakan rumah tangga yang berujung pada perceraian, namun lazimnya hak cerai itu dimiliki oleh laki-laki (suami), namun bukan berarti hal ini menunjukan bentuk diskriminasi terhadap wanita, karena hukum kita (islam) telah memberikan solusi bagi wanita yang mengalami gencatan atau beban rumah tangga untuk melakukan gugatan cerai pada suami, dengan cara memberikan upah atau iwadh sebagai bentuk membebaskan dirinya dari ikatan suami istri.

Namun pada prakteknya dilapangan, ternyata terjadi kontradiksi antara konsep gugatan cerai menurut persepektif hukum fiqh dan Pengadilan Agama dilingkungan kita. Sehingga penulis mencoba untuk mengulas sedikit tentang masalah gugatan cerai, dengan tujuan menemukan kebenaran, baik secara nisbiy maupun absolut.

B. PEMBAHASAN

1. Hadits Tentang Gugatan Cerai (khulu’)

أخبرنا أزهر بن جميل قال حدثنا عبد الوهاب قال حدثنا خالد عن عكرمة عن ابن عباس أن امرأة ثابت ابن قيس أتت النبي صلى الله عليه وسلم فقالت يارسول الله ثابت بن قيس أما إني ماأعيب عليه في خلق ولادين ولكني أكره الكفر في الإسلام فقال رسول الله صلى الله عليه وسلم أتردين عليه حديقته قالت نعم قال رسول الله صلى الله عليه وسلم اقبل حديقته وطلقها تطليقة.[1]

2. Terjemah Hadits

“Aku telah diberi khabar oleh sahabat Azhar bin Jamil, beliau berkata: telah bercerita kepadaku sahabat Abdul Wahab, beliau berkata: telah bercerita kepadaku sahabat Kholid, yang ia peroleh dari sahabat Ikrimah, yang bersumber dari Ibnu Abbas. Sesungguhnya istri sahabat Tsabit bin Qois datang mengadu kepada Nabi SAW, dan berkata: “Wahai utusan Alloh, Tsabit bin Qois itu tidak ada kurangnya dari segi kelakuannya dan tidak pula dari segi keberagamannya.Cuma saya tidak senang akan terjadi kekufuran dalam Islam”. Kemudian Rasulullah SAW bersabda: “Maukah kamu mengembalikan kebunnya?”. Kemudian si istri menjawab: “ya mau”. Nabi SAW berkata kepada Tsabit: “Terimalah kebun itu dan ceraikanlah dia satu kali cerai”.[2]

3. Kandungan Hadits

Hadits diatas menunjukkan tentang adanya hak khulu’ bagi wanita, dalam artian istri bisa menggugat cerai suami dengan cara memberi ganti rugi atau iwadh kepada suami dengan jalan khulu’ (gugatan cerai istri), sang istri bisa memiliki dirinya sendiri, dalam artian dia bebas dari ikatan perkawinan, walaupun pada dasarnya hak menceraikan itu dimiliki oleh suami.

Dari uraian hadits diatas memberikan petunjuk, bahwa dalam proses khulu’ terdapat pemberian ganti rugi iwadh kepada suami, dalam hal ini menurut interpretasi para ulama ahli fiqh dihukumi wajib dan menjadi syarat dalam akad khulu’.

Khulu’ sendiri merupakan alternatif fiqh didalam meringankan beban berat dari masalah rumah tangga, contoh akad khulu’ adalah wanita atau istri mengucapkan kepada suaminya: “Ceraikanlah aku dan engkau akan mendapatkan ganti rugi atau iwadh dari saya berupa uang seribu dirham”.[3] Akad khulu’ yang sah itu mempunyai implikasi hukum bahwa tertalak ba’in-nya wanita yang melakukan khulu’.[4]

4. Pengembangan Makna Hadits Secara Konstektual

Merujuk pada firman Allah dalam surat Al-Baqarah ayat: 229

فإن خفتم ألا يقيما حدودالله فلا جناح عليهما فيما افتدت به

“Jika kamu khawatir bahwa keduanya (suami isteri) tidak dapat menjalankan hukum-hukum Allah, maka tidak ada dosa atas keduanya tentang bayaran yang diberikan istri untuk menebus dirinya”.

Maka khulu’ yang dilakukan didepan hakim harus sudah memenuhi syarat berupa penyerahan uang atau sejenisnya oleh suami kepada pihak istri. Namun dalam pengadilan tidak ditemukan adanya kewajiban diatas. Ketika pengadilan mengabulkan permintaan cerai dalam kasus ini, maka menurut berbagai macam referensi menegaskan bahwa implikasi hukumnya tidak sah. Andaikata pihak Pengadilan Agama memasukkan iwadh yang jadi syarat tersebut dimasukkan dalam biaya administrasi pada proses registrasi, yang mengacu pada pasal 118 HIR UU No.07 Tahun 1998, mestinya iwadh itu diterima oleh pihak suami atau Tergugat, namun kenyataannya tidak demikian.

Andai dipaksakan proses itu tetap berjalan, maka bukan dengan jalan khulu’ tapi sudah masuk pada wilayah faskh nikah.[5] yang dilakukan oleh hakim.

Tetapi merupakan problem jikalau dalam sistem Peradilan Agama kita, hal demikian dinamakan cerai gugat.

Dari sana timbul masalah sahnya cerai gugat menurut Undang-Undang yang berlaku dalam ruang lingkup perdata, dimana tidak sah menurut hukum fiqh sebenarnya.

Adapun untuk berapa kadar iwadh yang harus diberikan pada suami masih terdapat perbedaan antara ulama;

- Menurut jumhur ulama, adalah seluruh hartanya. Sedangkan;

- Menurut Abu Hanifah adalah tafsil (perinci); jika penyebab dari perceraian itu timbul dari suami, maka tidak boleh mengambil sepeserpun dari harta yang ada, namun jika penyebab itu timbul dari istri, maka suami boleh mengambil kembali harta yang pernah diberikannya pada istrinya, tidak boleh lebih.

Khulu’ sebagai salah satu bentuk putusnya perkawinan tidak diatur sama sekali dalam UU perkawinan. Namun KHI ada mengaturnya dalam dua tempat, yaitu pada Pasal 1 ayat (1) dan Pasal 124 yang bunyinya:

Pasal 1

Khulu’ adalah perceraian yang terjadi atas permintaan istri dengan memberikan tebusan atau iwadh kepada dan atas persetujuan suaminya.

Pasal 124

Khulu’ harus berdasarkan atas alasan perceraian sesuai ketentuan Pasal 116.[6]

5. Tujuan dan Hikmah Khulu’ yang Ditunjukkan Pada Hadits

Tujuan dari kebolehan khulu’ itu adalah untuk menghindarkan si istri dari kesulitan dan kemudaratan yang dirasakannya bila perkawinan dilanjutkan tanpa merugikan pihak si suami karena ia sudah mendapat iwadh dari istrinya atas permintaan cerai dari istrinya itu.

Adapun hikmah dari hukum khulu’ itu adalah tampaknya keadilan Allah sehubungan dengan hubungan suami istri. Bila suami berhak melepaskan diri dari hubungan dengan istrinya menggunakan cara thalaq, istri juga mempunyai hak dan kesempatan bercerai dari suaminya dengan menggunakan cara khulu’.

Hal ini didasarkan kepada pandangan fiqh bahwa perceraian itu merupakan hak mutlak seorang suami yang tidak dimiliki oleh istrinya, kecuali dengan cara lain.[7]

6. Rowi Hadits

Hadits diatas diriwayatkan oleh Ibnu Abbas, adalah : Abdullah bin Abbas Ibnu Abdul Muthallib anak paman Rasulullah dan anak dari saudara perempuan Maimunah Ummul Mukminin. Beliau dilahirkan tiga tahun sebelum hijrah.

Di waktu Rasulallah wafat, Abdullah baru berumur 13 tahun, Ibnu Abbas adalah salah seorang dari keluarga Nabi. Karenanya Ibnu Abbas dapat bergaul dekat dengan Nabi yang memungkinkan beliau dapat menerima banyak hadits dari Nabi. Disamping itu Ibnu Abbas seorang yang mempunyai keinginan besar untuk memperoleh hadits dari Nabi SAW. Karenanya Nabi berdo’a supaya Ibnu Abbas menjadi seorang lautan ilmu.

Dengan berkat do’a Nabi, Ibnu Abbas menjadi seorang ahli tafsir dan tarjumanul qu’ran, seorang ulama, seorang yang banyak meriwayatkan hadits. Beliau hidup sesudah Rasulallah wafat selama 58 tahun. Hal ini memungkinkan beliau menerima hadits dari sahabat-sahabat besar dan dari sahabat-sahabat kecil.

Ibnu Abbas selain bersungguh-sungguh mempelajari hadits juga bersungguh-sungguh menyebarkannya, banyak para sahabat yang berkumpul datang kepadanya untuk menerima hadits. Umar, walaupun beliau terkenal sebagai sahabat yang besar dan mujtahid besar sering juga bertanya kepada Ibnu Abbas, apabila menghadapi sesuatu masalah yang sulit.

Ibnu Abbas mempunyai kedudukan yang tinggi dalam ilmu fiqih, hadits ta’wiel hisab, faraidl dan bahasa Arab. Oleh karenanya beliau membagi-bagi harinya menurut ilmu yang diketahuinya.

Ada hari yang khusus fiqih, tafsir, siyar maghazi dan keadaan-keadaan dimasa jahiliyah. Thawus pernah berkata diwaktu seorang bertanya kepadanya tentang sebab thawus tetap menghadiri majlis Ibnu Abbas yang masih muda, tidak mendatangi majlis-majlis sahabat-sahabat besar, thawus menjawab : “saya melihat tujuh puluh sahabat Rasulallah apabila berbeda pendapat, mereka kembali kepada pendapat Ibnu Abbas”.

Para ulama telah mengumpulkan haditsnya sejumlah 1660 hadits, 95 darinya disepakati oleh Bukhary-Muslim, 120 dari padanya diriwayatkan al-Bukhary saja, dan 49 darinya diriwayatkan oleh Muslim saja.

Beliau diangkat oleh Ali menjadi Amir di Bashrah, kemudian beliau kembali ke Hijas sebelum Ali wafat dibunuh oleh orang khawarij dan menetap di Mekkah, beliau wafat di thaif pada tahun 68 H.[8]

7. Mukhorrijul Hadits

An-Nasa’iy, adalah Abdur Rahman Ahmad ibn Syu’aib ibn Ali ibn Bahar ibn Sinan ibn Dinar an-Nasa’iy, seorang hafidh yang terkenal. Beliau lahir pada tahun 215 H.

Beliau adalah salah seorang tokoh agama dan imam hadits yang menjadi ikutan ahli hadits dalam mengetahui sejarah dan ta’dil.

Beliau mendengar hadits dari Ishaq ibn Rahawaih, Abu Dawud as-Sijistany, Mahmud ibn Ghailan, Qutaibah ibn Sa’id, Ali ibn Khasran, dan lain-lain dari ulama-ulama kota Syam, Hijaz, Jazirah, Mesir dan lain-lain.

Diantara yang meriwayatkan hadits daripadanya, ialah ad-Dailamy, Abul Qosim ath-thobarany, Abu ja’far ath-thohawy dan Muhammad ibn Harun Ibn Syu’aib.

Dinukilkan oleh at-Tajus-Subky dari gurunya al-Hafidh adz-Dzahaby bahwa an-Nasa’iy lebih hafal dari pada Muslim. Sunannya adalah sunan yang paling sedikit hadits dlaifnya.

Dia terletak sesudah Shahih al-Bukhary dan Muslim. Abu Ali an Naisabury berkata : “an-Nasa’iy mengenai riwayat lebih luas syaratnya dari syarat muslim”.

Akan tetapi perkataan Abu Ali ini tidak bisa kita terima begitu saja, karena menurut pendapat Ibnu Katsir bahwa didalam an-Nasa’iy terdapat orang-orang yang tidak dikenal. Diantara mereka, ada yang tercecat. Dan didalamnya ada hadits-hadits yang dla’if.

An-Nasa’iy banyak mempunyai karangan dalam bidang hadits dan ‘illat. Beliau wafat pada tahun 293 H. dalam usia 83 tahun[9].

C. PENUTUP/ANALISIS.

a) Menunjukkan bahwa islam memberlakukan keadilan untuk wanita dalam ruang lingkup rumah tangga, hal ini dibuktikan adanya hak khulu’ bagi wanita.

b) Terjadi problematika praktek khulu’ di Negara kita (Pengadilan Agama).

c) Penyebab perceraian ternyata berakibat mempengaruhi penerimaan iwadh.

d) Perlunya mengkaji ulang pencetusan khulu’ dalam KHI yang memunculkan khulu’ dengan praktek yang bertolak belakang dengan konsep fiqh.

e) Adanya penyelewengan status faskh nikah untuk khulu’, terbukti adanya pengabulan khulu’ yang tidak memenuhi prosedur oleh hakim Pengadilan Agama.

DAFTAR PUSTAKA

Ø Imam Nasa’i. Sunan Nasa’i. Beirut : Daar al-Kutub al-Islamiyyah, Juz 5.

Ø As-Shiddieqy, Hasbi. Sejarah dan Pengantar Ilmu Hadits. Jakarta : Bulan Bintang, 1989.

Ø AL-Muhadzab, 1496 juz 2.

Ø Al-Baijuri. tt. Hasyisyah Al- Baijuri 'Ala Ibnu Qosim Al-Ghozi. Jilid II. Semarang : Toha Putra.

Ø fathu aL-Muin bab Munakahah.

Ø Hukum Perkawinan Islam di Indonesia, Prof. DR. Amir Syarifuddin.



[1]Sunan Nasa’I, hal. 168 juz 5.

[2]Sunan Nasa’I, hal. 168 juz 5.

[3]aL-Muhadzab, 1496 juz 2.

[4]Hasiyah aL-Bayjuri138 juz 2.

[5]fathu aL-Muin bab Munakahah.

[6]Hukum Perkawinan Islam di Indonesia, Prof. DR. Amir Syarifuddin. Hal 241.

[7]Hukum Perkawinan Islam di Indonesia, Prof. DR. Amir Syarifuddin. Hal 234.

[8]Sejarah Perkembangan Hadits, M. Hasbi ash Shieddieqy. Hal 149-150.

[9] Sejarah Perkembangan Hadits, M. Hasbi ash Shieddieqy. Hal 195-196.

0 komentar :

Post a Comment

Terima kasih atas commentnya, Comment anda sangat bermanfaat bagi saya... Semoga bermanfaat.