Friday, August 20, 2010

Perkawinan Dan Perceraian Di Bawah Tangan Prespektif Hukum Islam

A. PENDAHULUAN

Sebagaimana telah dijelaskan oleh Allah Swt dalam al-Qur.an surat An-Nisa ayat 3 yang menyatakan seorang laki- laki boleh melaksanakan perkawinan dengan dua, tiga, atau empat wanita sekaligus, tetapi jika khawatir tidak dapat berlaku adil, maka cukup satu saja. Begitu juga dalam hadits Nabi Saw. Yang berbunyi “ Nikah itu adalah sunahku, barang siapa yang tidak mencintai sunahku aka dia bukan termasuk golonganku”. Dengan demikian jika ditanyakan apa otif beristri lebih dari satu orang, kebanyakan orang akan menjawab adalah sunnah Nabi, karena Nabi juga beristri lebih dari satu orang. Jawaban tersebut di atas, hanya sekedar membela diri untuk beristri lebih dari satu orang, padahal kalau diteliti secara mendalam, Nabi bersitri lebih dari satu orang hanya untuk berda.wah mengembangkan agama Islam atau melindungi hak-hak wanita setelah ditingal mati suaminya dari medan perang. Perkawinan Nabi dengan Siti Khadijah, karena Siti Khadijah orang kaya dan terpandang yang bisa dijadikan sebagai tulang punggung untuk berdakwah, perkawinan Nabi dengan Siti Aisyah karena Siti Aisyah orang yang cerdas dan masih muda, sehingga dari Siti Aisyah diharapkan bisa melahirkan keturunan, dari Siti Aisyah pula terkumpul haditshadits hukum.

Perkawinan Nabi dengan Mariah Al-Qibtiyah adalah untuk menjalin hubungan persahabatan dengan kerajaan Romawi di Mesir, karenaMariyah Al-Qibtiyah adalah hadiah dari Gubernur Mukaukis di Mesir, dengan hubungan persahabatan tersebut yang akhirnya Islam begitu mudah masuk Mesir. Begitu juga perkawinan Nabi dengan Siti Saodah, hanya sekedar melindungi hakhaknya karena Siti Saodah telah ditinggal mati oleh suaminya di medan perang. Kalau menyimak dari perkawinan Nabi tersebut di atas, dapat disimpulkan bahwa pekawinan Nabi Saw. lebih dari satu wanita (pilogami) bukan karena sex, tetapi karena ada tujuan-tujuan tertentu, yaitu untuk berdakwah, memajukan Islam dan memperkuat barisan Islam, karena pada saat itu umat muslim masih sedikit. Sedangkan perkawinan lebih dari satu wanita yang dilakukan pria sekarang hanya kerena sex, hal itu bisa dilihat karena pria sekarang yang melakukan perkawinan lebih dari satu wanita biasanya memilih wanita yang lebih muda atau lebih cantik dari istri pertama. Oleh karena itu tujuan poligami yang dilakukan oleh pria sekarang berbeda dengan tujuan poligami pada jaman Nabi. Saw. Begitu juga poligami yang diajarkan oleh Nabi bersifat terbuka, artinya perkawinan-perkawinan Nabi selalu diketahui dan diizinkan oleh istri- istri sebelumnya, sedangkan poligami pria sekarang biasanya untuk istri ke dua, ke tiga dan seterusnya secara sembunyi-sembunyi (tidak dicatatkan di KUA), yang istilah populernya disebut dengan perkawinan di bawah tangan/kawin siri.

Sebagaimana telah disebutkan dalam pasal 2 ayat (2) Undang-undang Perkawinan nomor 1 tahun 1974, yaitu “ tiap-tiap perkawinan dicatat menurut peraturan peraturan perundang-undangan yang berlaku”. Begitu juga pada pasal 4 dan 5 dalam undang-undang yang sama berbunyi “ Dalam hal seorang suami akan beristri lebih dari seorang (poligami), maka ia wajib mengajukan permohonan ke-Pengadilan di daerah tempat tinggalnya, dengan ketentuan jika istri tidak dapat menjalankan kewajibannya sebagai istri, istri mendapat cacat badan atau penyakit yang sulit untuk disembuhkan dan istri tidak dapat melahirkan keturunan, disamping itu harus ada persetujuan dari istri pertaman. Atau ada jaminan bahwa suami akan berlaku adil terhadap istri dan anak-anak mereka.

Selama ini perkawinan di bawahtangan (kawin siri) banyak terjadi di Indonesia, baik dikalangan masyarakat biasa, para pejabat ataupun para artis, istilah populernya disebut istri simpanan. Perkawinan di bawahtangan sebenarnya tidak sesuai dengan “maqashid asy-syar.iyah”, karena ada beberapa tujuan syari.ah yang dihilangkan, diantaranya: 1). Perkawinan itu harus diumumkan (diketahui halayak ramai), maksudnya agar orang-orang mengetahui bahwa antara A dengan B telah terikat sebagai suami istri yang syah, sehingga orang lain dilarang untuk melamar A atau B, tetapi dalam perkawinan di bawahtangan, selalu disembunyikan agar tidak diketahui orang lain, sehingga perkawinan antara A dengan B masih diragukan, 2). Adanya perlindungan hak untuk wanita, dalam perkawinan di bawahtangan pihak wanita banyak dirugikan hak-haknya, karena kalau terjadi perceraian pihak wanita tidak mendapatkan apa-apa dari mantan suaminya, 3). Untuk kemaslahatan manusia, dalam perkawinan di bawahtangan lebih banyak madlaratnya dari pada maslahatnya, seperti anak-anak yang lahir. dari perkawinan dibawahtangan lebih tidak terurus, sulit untuk bersekolah atau untuk mencari pekerjaan karena orang tuanya tidak mempunyai surat nikah dan seandainya ayahnya meninggal dunia/cerai, anak yang lahir di bawahtangan tidak mempunyai kekuatan hukum untuk menuntut harta waritsan dari ayahnya, Harus mendapat izin dari istri pertama, perkawinan ke dua, ke tiga dan seterusnya yang tidak mendapat izin dari istri pertama biasanya dilakukan di bawahtangan, sehingga istri pertama tidak mengetahui bahwa suaminya telah menikah lagi dengan wanita lain, rumah tangga seperti ini penuh dengan kebohongan dan dusta, karena suami selalu berbohong kepada istri pertama, sehingga perkawinan seperti ini tidak akan mendapat rahmat dari Allah.

Kebanyakan orang meyakini bahwa perkawinan di bawahtangan syah menurut Islam karena telah memenuhi rukun dan syaratnya, sekalipun perkawinan tersebut tidak dicatatkan di Kantor Urusan Agama, atau perceraia itu telah syah apabila telah memenuhi rukun dan syarat-syaratnya, sekalipun perceraian itu dilakukan di luar sidang Pengadilan. Akibat pemahaman tersebut maka timbul dualisme hukum yang berlaku di negara Indonesia ini, yaitu di satu sisi perkawinan itu harus dicatatkan di Kantor Urusan Agama dan disisi lain tanpa dicatatkanpun tetap berlaku dan diakui dimasyarakat, atau di satu sisi perceraian itu hanya syah bila dilakukan di depan sidang Pengadilan, di sisi lain perceraian di luar sidang Pengadilan tetap berlalu dan diakui di masyarakat. Bertitik tolak dari uraian tersebut di atas, maka timbul permasalah pokok yang hendak dipaparkan dalam tulisan ini ialah:

  1. Apakah rukun perkawinan yang berlaku dan diyakini sekarang ini sudahpinal atau masih bisa diijtihadi ?.
  2. Apakah perkawinan dan perceraian di bawahtangan sesuai dengan maqashidus-syari.ah atau tidak ?.
  3. Siapakah yang berwenang atau yang berhak untuk menikahkan atau menceraikan seseorang menurut hukum Islam ?.

Sehingga dengan demikian ada beberapa tujuan yang ingin dicapai dalam penulisan ini, diantaranya :

  1. Ingin memahami apakah rukun dan syarat perkawinan yang diyakini sekarang ini sudah sesuai dengan hukum Islam, sehingga tidak boleh ada lagi rukun lain kecuali yang telah berlaku di masyarakat.
  2. Ingin mengetahui hikmah yang terkandung antara perkawinan yang dicatatkan dihadapan petugas PPN dengan perkawinan yang dilakukan di bawahtangan.
  3. Ingin mengatahui siapa yang berwenang untuk menikahkan atau menceraikan seseorang menurut hukum Islam.

B. RUKUN DAN SYARAT PERKAWINAN

Untuk dikatakannya syahnya perkawinan, adalah apabila perkawinan itu telah emenuhi rukun dan syarat-syaratnya. Rukun perkawinan sebagaimana tercantum dalam pasal 14 Kompilasi Hukum Islam adalah sebagai berikut:

1. Calon mempelai suami, 2. Calon mempelai istri, 3. Wali Nikah, 4. Dua orang saksi, 5. Ijab kabul.

Sedangkan Syarat perkawinan sebagai mana tercantum dalam pasal 6 UU. RI. Nomor 1 tahun 1974 adalah sebagai berikut:

  1. Perkawina harus didasarkan atas persetujuan ke dua calon mempelai,
  2. Ke dua mempelai mencapai umur 21 tahun, jika kurang dari umur 21 tahun harus mendapat izin dari ke dua orang tua, jka wanita kurang dari umur 16 tahun dan pria kurang dari umut 19 tahun, maka harus mendapat izin dari Pengadilan (dispensasi kawin),
  3. Tidak ada larangan menurut hukum Islam.

Masyarakat Muslim Indonesia sudah meyakini bahwa rukum perkawinanadalah sebagaimana tersebut di atas, sehingga perkawinan (pernikahan) yang sudah memenuhi rukun tersebut di atas, maka perkawinan tersebut sudah dikatakan syah menurut hukum Islam, padahal ulama mazhab berbeda pendapat mengenai rukun perkawinan itu sendiri diantaranya:

- Menurut Imam Malik rukum pernikahan ada lima, diantaranya 1). Wali dari pihak perempuan, 2). Mahar (maskawin), 3). Calon mempelai laki- laki, 4). Calon mempelai perempuan, 5). Sighat akad nikah.

- Menurut Ulama Syafi.iyah rukun pernikahan ada lima, diantaranya 1). Calon mempelai laki- laki, 2). Calon mempelai perempuan, 3). Wali, 4). Dua orang saksi, 5). Sighat akad nikah.

- Menurut Ulama Hanafiyah rukun perkawinan hanya ijab dan qabul saja. Imam Malik menjadikan mahar sebagai rukun perkawinan sedangkan saksi bukan sebagai rukun pekwinan, ulama Syafi.iyah dua orang saksi dijadikan sebagai rukun pernikahan sedangkan mahar bukan sebagai rukun pernikahan, begitu juga ulama Hanafiyah yang menyatakan bahwa rukun perkawinan hanya ijab qabul saja, sedangkan yang lainnya bukan sebagai rukun perkawinan. Imam Syafi.i sendiri dalam Al-„Umm tidak menjelaskan tentang rukun pekawinan. Dengan demikian dapat diketahui bahwa diantara ulama Mazhab sendiri tidak ada kesepakatan tentang rukun perkawinan, oleh karena itu rukun perkawinan yang sudah masyhur di masyarakat atau segaimana yang tercantum pada pasal 14 Kompilasi Hukum Islam belumlah pinal, tetapi ada kemungkinan untuk dirubah baik ditambah atau dikurang sesuai dengan kebutuhan dan kemaslahatan bagi masyarakat itu sendiri. Calon mempelai pria dan calon mempelai wanita dijadikan sebagai rukun perkawinan, bukan karena ada petunjuk dari Al-Qur.an atau Al-Sunnah, akan tetapi semata-mata hasil ijtihad ulama, Al-Qur.an dan Al-Sunnah tidak menjelaskan adanya calon mempelai pria dan calon mempelai wanita yang mengarah untuk dijadikan sebagai rukun pernikahan. Oleh karena itu Imam Hanafi tidak menjadikan calon mempelai pria dan calon mempelai wanita sebagai rukun perkawinan.

Sedangkan wali dari mempelai wanita dan dua orang saksi dijadikan sebagai rukun perkawinan karena ada petunjuk hadits Nabi yang berbunyi:

Artinya : Tidak syah nikah tanpa wali dan dua orang saksi yang adil. Ulama Syafi.iyah dan Imam Hambali menerima hadits yang diriwayatkan oleh Imam Ahmad, dan menurut mereka hadits tersebut kuat, oleh karena itu wali dan dua orang saksi dijadikan sebagai rukun perkawinan, tetapi Imam Malik hanya menerima hadits tentang wali dan tidak menerima hadits tentang saksi, oleh karena itu Imam Malik menyatakan saksi tidak termasuk rukun perkawinan. Sedangkan Imam Hanafi menyatakan hadit tersebut kurang kuat, oleh karena itu Imam Hanafi menyatakan wali nikah dan dua orang saksi tidak dijadikan sebagai rukun perkawinan.

Ulama Syafi.iyah telah menjadikan wali dan dua orang saksi sebagai rukun perkawinan serta Imam Malik menjadikan wali sebagai rukun perkawinan, oleh karena itu perlu dijelaskan pengertian wali dan dua orang saksi itu sendiri. Wali menurut bahasa artinya amat dekat atau yang melindungi, sedangkan yang dimaksud wali nikah adalah orang yang berhak untuk menikahkan seorang perempuan kepada pria pilihannya karena ada hubungan darah. Oleh karena itu orang yang tidak mempunyai hubungan darah tidak berwenang atau tidak berhak untuk menikahkan seseorang perempuan dengan pilihannya. Sebagai mana telah disepakati para ulama fiqh, urutan wali adalah dari yang paling dekat seperti ayah, kakek, saudara pria sekandung, saudara pria sebapak dan seterusnya, yang kesemuanya itu dari garis keturunan pria. Yang jadi masalah adalah bagaimana jika wanita itu tidak mempunyai wali ?, maka sesuai hadits Nabi dari Siti Aisyah yang berbunyi :

Artinya : Apabila wali-wali itu menolak untuk menikahkannya, maka pemerintah (raja) yang menjadi wali bagi orang yang tidak mempunyai wali, dalam riwayat hadits lain disebutkan Nabi yang menjadi wali bagi orang yang tidak memiliki wali.

Dalam hadits di atas dijelaskan bahwa wali nikah bagi wanita yang tidak mempunyai wali adalah Nabi Saw sendiri, dalam hal ini Nabi Saw berkedudukan sebagai pemimpin, atau sulthan (pemerintah) atau disebut juga dengan wali hakim. Pengertian sulthan dalam negara kesatuan Republik Indonesia bisa diartikan Presiden, jadi yang berhak untuk menikahkan wanita yang tidak memiliki wali adalah Presiden, akan tetapi Presiden telah mendelegasikan kekuasaanya bagi yang beragama Islam kepada Departemen Agama dalam hal ini Kantor Urusan Agama (KUA). Dengan demikian “Wilayatul Hukmi Linnikah” (kekuasaan hukum untuk menikahkan) ada pada Kantor Urusan Agama, oleh karena itu tidak sah nikah seorang wanita yang dilakukan oleh tokoh masyarakan atau ulama tertentu disuatu daerah karena mereka tidak memiliki wilayatul hukmi linnikah.

Begitu juga tidaklah sah seorang wali yang memiliki kekuasaan untuk nikahkan putrinya mewakilkan kepada tokoh masyarakat atau ulama, kecuali dilakukan dihadapan Pejabat Pencatat Nikah (KUA) dan atas izin Pejabat tersebut Sedangkan dua oran saksi yang dimaksud disini adalah dua orang saksi yang adil. Untuk mengetahui serta menilai apakah saksi-saksi itu bisa berbuat adil atau tidak ?, dalam hal ini harus ada suatu lembaga/institusi yang bertugas untuk mengontrol keadilan saksi-saksi tersebut. Oleh karena itu KUA adalah suatu lembaga yang sah untuk mengontrol dan menetapkan saksi-sakai dalam pernikahan, karena lembaga ini telah diberi wewenang oleh Sulthan (Presiden) untuk menyelesaikan masalah pernikahan bagi orang yang beragama Islam. Dengan demikian dua orang saksi dalam pernikahan bukan sembarang saksi, tetapi saksi-saksi yang telah ditunjuk dan ditetapkan oleh Petugas Pencatat Nilkah Kantor Urusan Agama pada saat akad pernikahan. Imam Syafi.i menjelaskan “pernikahan harus disaksikan oleh dua orang saksi yang adil, apabila hanya satu saja saksi yang hadir maka pernikahan tersebut adalah bathal, saksi-saksi tersebut adalah saksi-saksi yang telah ditunjuk oleh sulthan, bukan sembarang saksi, karena sembarang saksi tidak bisa dijamin keadilannya.

Dari uraian tersebut di atas, pada dasarnya rukun perkawinan yang lima sebagaimana telah dijelaskan di atas tidak disepakati oleh imam mazhab, hanya ijab qabul saja yang telah disepakati sebagai rukun perkawinan oleh sebagian besar ulama mazhab, sedangkan yang lainya masih diperselisihkan. Oleh karena. masih diperselisihkan, maka dapat disimpulkan rukum perkawinan yang lima itu belum pinal (masih ijtihadi), oleh karenanya ada kemungkinan rukun pernikahan bisa bertambah atau bisa berkurang dari yang lima, sesuai dengan kebutuhan dan kemaslahatan umat manusia. Atas dasar itu menurut pandangan Penulis rukun perkawinan itu ada enam, dengan menambahkan pencatatan sebagai rukun perkawinan.

Dasar pencatatan sebagai rukun perkawinan adalah sebagai berikut :

  1. Firman Allah dalam surat An-Nisa ayat 59 yang berbunyi :

Artinya : Hai orang-orang yang beriman, ta`atilah Allah dan ta`atilah Rasul (Nya), dan ulil amri di antara kamu.

Ahmad Musthafa Al-Maraghi menjelaskan yang dimaksud dengan “Ulil Amri” adalah pemerintah (Pemimpin), baik pemerintah pusat ataupun menerintah dibawahnya, dimana tugasnya adalah memelihara kemaslahatan umat manusia. Dengan demikian aturan-aturan yang dibuat oleh pemerintah untuk kemaslahatan manusia wajib ditaati selama aturan-aturan tersebut tidak bertentangan dengan Al- Qur.an dan As-Sunnah. 12

Menurut Mujahid, Atha dan Hasan Basri yang dimaskud dengan “Ulil amri” adalah pemimpin yang ahli dalam agama. Oleh karena itu aturan-aturan yang dibuat oleh pemimpin yang ahli dalam agama wajib ditaati, sedangkan aturan-aturan yang bertentangan dengan hukum Allah dan Rasulnya tidak perlu ditaati, sebagaimana disebutkan dalam hadits yang shahih yang diriwayatkan oleh Bukhari dan Muslim yang artinya “ Sesungguhnya taat itu hanya untuk yang baik sedangkan untuk kemaksyiatan tidak wajib taat”13 Dengan demikian yang dimaksud dengan “Ulil Amri Minkum” adalah pemimpin-pemimpin yang diangkat oleh masyarakat itu sendiri atau yang dinobatkan sebagai raja, untuk mengatur kehidupan masyarakat. Aturan-aturan yang dibuat oleh pemimpin atau raja untuk kemaslahatan manusia harus ditaati, selama aturan-aturan itu tidak bertentangan dengan Al-Qur.an dan Sunnah.

Aturan-aturan yang dimaksud adalah yang dibuat oleh pemenitah/raja, atau aturan-aturan yang dibuat oleh lembaga- lembaga tertentu/para ulama yang kemudikan dijadikan sebagai kebijakan dalam pemerintahannya. Kalau dilihat dari ilmu ushulul fiqh, firman Allah tersebut di atas mengandung arti Amr (perintah), yaitu perintah untuk mentaati Allah, mentaati Rasul dan mentaati Pemimpin, sedangkan amr (perintah) ada yang mengandung wajib, ada yang mengandung Nadb dan ada juga yang mengandung kebolehan. Untuk mengatahui katagori perintah apakah mengandung wajib, mengandung Nadb atau mengandung kebolehan, hal ini perlu diketahui dari kepentingan perintah itu sendiri, jika perintah itu kalau dijalankan akan membawa kemaslahatan kepada umat manusia dan kalau ditinggalkan akan membawa kemadlaratan serta kekacauan kepada umat manusia, maka amr (perintrah) itu menunjukan wajib. Sedangkan jika perintah itu ada qarinah lain yang menunjukan tidak mendesak dan tidak membawa kemadlaratan kalau titinggalkan, maka amr (perintah) itu menunjukan kepada nadb atau kebolehan. Dengan demikian karena perintah pencatatan dalam perkawinan akan membawa kepada kemaslahatan bagi umat manusia serta akan membawa kepada kemadlara- ratan jika ditinggalkan, maka dapat ditafsirkan perintah mentaati ulil amri dalam firman Allah tersebut di atas menunjukan kepada wajib.

  1. Sunnah Rasul

Banyak Sunnah Nabi yang menerangkan tentang perintah mentaati pemimpin, diantaranya hadits yang diriwayatkan dari Abu Hurairah Ra. Artinya : Barang siapa yang mentaatiku maka ia telah mentaati Allah, barang siapa yang membantah kepadaku maka ia telah membantah kepada Allah, barang siapa yang mentaati pemimpin maka ia telah mentaatiku, dan barang siapa yang membantah pemimpin maka ia telah membantah kepadaku.

Hadits-hadits yang menerangkan tentang perintah mentaati pemimpin pada umumnya masih besipat umum, tetapi sudah dapat dipastikan yang dimaksud dengan mentaati pemimpin disini adalah apabila perintah-perintah itu tidak bertenangan dengan Al-Qur.an dan As-Sunnah. Ulama telah sepakat bahwa aturan-an yang telah di buat oleh pemimpin Muslim di negara yang mayoritas enduduknya Muslim wajib ditaati apabila perintah itu untuk kemaslahatan anusia serta tidak bertentangan dengan al-Qur.an dan Sunnah, sedangkan erhadap aturan-aturan yang dibuat oleh pemimpin yang non Muslim, ulama erbeda pendapat, sebagian golongan ada yang berpendapat boleh mentaati turan-aturan yang dibuat oleh pemimpin yang non Muslim jika aturan tersebut idak bertentangan dengan Al-Qur.an dan Sunnah, sedangkan sebagian lagi erpendapat tidak boleh mentaati aturan-aturan yang dibuat oleh pemimpin non uslim sekalipun aturan-aturan tersebut tidak bertentangan dengan Al-Qur.an an Sunnah, karena aturan-aturan yang dibuat oleh Non Muslim adalah bathal. engan demikian dapat disimpulkan aturan-aturan yang dibuat oleh Pemerintah ndonesia dalam hal ini Departemen Agama RI. yang mana aturan-aturan tersebut ibuat oleh orang-orang Muslim untuk kemaslahatan Umat Islam, maka eraturan-peraturan itu wajib untuk ditaati.

  1. Untuk Kemaslahatan Umat Manusia

Pada jaman Rasulullah Saw. setiap kejadian pernikahan, thalak, ruju. Dan ain sebagainya selalu diahadapkan kepada Rasulullah, kemudian Rasulullah enghukum begini dan begitu, ini menandakan bahwa setiap peristiwa perkawin- n dan perceraian selalu diketahui oleh Rasulullah, karena kedudukan Rasulullah ebagai Ulama dan Umara.

Memang pada jaman Rasulullah perkawinan dan erceraian tidak dicatatkan, hal itu dapat dimaklumi karena pada waktu itu umat slam masih sedikit dan cukup hanya diingat saja oleh Rasulullah. Sedangkan ada jaman sekarang penduduk manusia sudah banyak sekali, maka jika erkawinan itu tidak dicatatkan akan terjadi kekacauan dan kemadaratan yang kan menimpa umat manusia, karena kemungkinan besar perkawinan itu tidak kan terkontrol, banyak orang kawin cerai-kawin cerai, atau telah berkali-kali enikah akan mengaku belum pernah menikah, yang pada akhirnya mengaki- atkan kemadaratan yang amat besar bagi anak-anak yang dilahirkan dari erkawinan yang tidak dicatatkan, serta tidak diketahui siapa ayah kandung yang sbenarnya, karena tidak akan bisa diingat lagi siapa yang sudah menikah dan ang belum menikah, tetapi kalau dicatatkan akan diketahui pernikahan seseorang an akan terkontrol serta dapat diketahui pula nama orang tua seseorang. ada jaman kekuasaan kerajaan Islam semakin luas dan umat Islam emakin banyak, permasalahan-permasalahan umat Islam baik menganai Pidana aupun Perdata selalu dihadapkan kepada pemerintah (raja), maka sejak jaman erajaan Umawiyah maupun Abasiyah sudah memulai pencatatan mengenai eperdataan serta menyelesaikannya melalui Pengadilan, terbukti dengan putusan-putusan jadi Syureh mengenai perdata, karena jika tidak dicatatkan dengan baik dan rapi akan menimbulkan kemadaratan bagi kelangsungan kehidupan rumahtangga.

Oleh karena pencatatan pernikahan dapat menegakan kemaslahatan bagiumat manusia, maka sudah sepatutnya pencatatan pernikahan dijadikan sebagairukun perkawinan pada jaman sekarang ini, karena pada dasarnya pencatatan perkawinan itu ada dasar hukumnya dari Al-Qur.an dan As-Sunnah serta dapat menegakan kemaslahatan bagi umat manusia.

C. MAQASHID ASY-SYARIAH PERKAWINAN DAN PERCERAIAN

1. Hikmah Perkawinan

Tujuan perkawinan dalam pandangan Islam adalah untuk memenuhi perintah agama, dalam rangka mendirikan rumah tangga yang harmonis, sejahtra dan bahagia. Harmonis dalam hal menjalankan hak dan kewajiban yang seimbang antara suami istri, sehingga tercipta kerelaan dan sepenanggungan dalam rumah tangga.

Sejahtra dalam hal terpenuhinya kebutuhan-kebutuhan hajat hidup berumah tangga yang biasanya berbentuk materi, sehingga dengan meteri ini bisa membangun rumah tangga yang berkecukupan. Bahagia dalam hal terciptanya ketenangan lahir dan bathin, ketenangan lahir akan timbul bila mana telah trpenuhi kebutuhan lahir yang berupa sandang pangan dan papan, sedangkan ketenangan bathin akan timbul bila mana telah terpenuhi kebutuhan bathin yang berupa hubungan suami istri atau hubungan biologis (sex). Manusia diciptakan oleh Allah mempunyai tugas yang amat penting, yaitu sebagai khalifah fil ardh, kedudukanya sebagai khalifah tidak lain adalah untuk menjalankan missi-missi Allah di muka bumi, karena manusia diciptakan untuk mengabdikan dirinya kepada sang Khaliq dengan segala aktivitas kehiduannya. Karena sangat pentingnya missi-missi Allah di muka bumi ini, maka allah memerintahkan kepada manusia untuk memenuhi kebutuhan bilogisnya dengan jalan perkawina, sehingga dengan perkawinan akan melahirkan keturunan yang akan melanjutkannya missi Allah di muka bumi ini. Allah mengatur kehidupan manusia dengan jalan perkawinan, karena perkawinan dalam agama Islam merupakan tuntunan agama, sehingga tujuan perkawinan hendaknya ditujukan untuk memenuhi petunjuk agama.mam Ghazali dalam Ihya Ulumuddin menyebutkan bahwa tujuan perkawinan adalah 1). Untuk mendapatkan dan melangsungkan keturunan, 2). untuk menyalurkan sahwatnya dan menumpahkan kasih sayang, 3). Untuk memelihara diri dari kejahatan dan kerusakan, 4). Menimbulkan kesungguhan untuk bertanggungjawab dalam memenuhi hak dan kewajiban serta memperoleh kekayaan yang halal, 5). Untuk membangun rumah tangga/masyarakat atas dasar cinta dan asih sayang.

Pada intinya maqasidhus syari.ah dari perkawinan adalah agar manusia hidupnya damai penuh dengan kasih sayang satu dengan yang lainnya, karena unsur dari kejadian manusia adanya pemenuhan kebutuhan biologis untuk malanjutkan keturunan, sehingga dengan perkawinan itu manusia akan terhindar dari perbuatan yang keji dan kotor yang bisa menimbulkan kejahatan dan kerusakan. Keturunan yang diharapkan oleh syari.ah adalah keturunan yang dapat menjalankan aturan-arturan Allah yang berupa perintah dan larangan. Sebab terlaksananya perintah-perintah Allah akan terciptanya kemaslahatan dan kedamaian dalam dunia ini, sedangkan dengan tidak terlaksananya perintahperintah Allah akan terciptnya kerusakan dan kemadlaratan dalam dunia ini. Seorang pria mempunyai naluri sex yang lebih dibandingkan dengan wanita, oleh karena itu Allah membolehkan seorang pria untuk beristri lebih dari satu orang istri sebagaimana disebutkan oleh Allah dalam surat An-Nisa ayat 3. dengan naluri biologis seorang pria boleh menikahi wanita kapan saja ia mau dan dimana saja ia kehendaki, selama istri itu tidak melebihi empat orang, dengan naluri biologisnya pula seorang pria akan berbohong bahwa ia belum beristri, atau sudah beristri tetapi belum melebihi dari empat istri. Oleh karena itu tujuan syari.ah tidak akan tercapai jika tidak ada keterlibatan pihak lain yang berupa lembaga yang telah diberi wewenang oleh pemerintah untuk menanganinya. Dengan lembaga tersebut perkawinan seorang pria dengan seorang wanita akan tercatat rapi, sehingga tidak ada lagi penipuan dan kebohongan dalam perkawinan, yang kesemuanya itu akan merugikan pihak wanita.

Tujuan syariah lainnya adalah terpeliharanya turunan-turunan yang akan melanjutkan missi Allah di muka bumi, perkawinan seorang pria yang dilatar belakangi hanya karena kebohongan belaka atau karena memenuhi nafsu biologis saja, akan mengakibatkan tidak terpeliharanya turunan-turunan baik dari segi pendidikan, agama ataupun mental, sehingga akan mengakibatkan timbulnya kerusakan dan kemadharatan bagi anak-anak itu sendiri. Dengan adanya pencatatan maka kedudukan anak serta status anak akan semakin jelas yang bisa diketahui turunannya, sehingga ia berhak untuk mendapatkan atau menuntut sesuatu dari ayahnya, sedangkan apabila perkawinan itu tidak dicatatkan maka hak-hak anak akan terabaikan. Dengan demikian dapat disumpulkan bahwa tujuan perkawinan dalam syari.ah adalah agar hidup manusia di dunia ini penuh dengan kedamaian dan kasih sayang antara yang satu dengan yang lainnya, manusia yang mempunyai tugas sebagai khalifah fil ard untuk tetap menjalankan missi-missi Allah di muka bumi ini dengan menjalankan aturan-aturan yang telah ditetapkan oleh Allah ataupun Rasul-Nya yang berupa Al-Qur.an dan Hadits, sehingga dunia ini penuh dengan kedamaian dan kemaslahatan bagi umat manusia. Akan tetapi kedamaian dan kemaslahatan tidak akan tercapai jika tidak ada aturan-aturan pendukung lainya yang lebih spesipik yang berupa al-Maslahah al-Mursalah, oleh karena itu Pemerintah Republik Indonesia telah membuat aturan-aturan yang berupa UU. Nomor 1 tahun 1974, PP. nomor 9 tahun 1975, UU. Nomor 7 tahun 1989, Kompilasi Hukum Islam dan lain sebagainya.

2. Hikmah Thalak

Melalui perkawinan Allah menginginkan agar manusia hidup di dunia ini penuh dengan kedamaian, tetapi tidak selamanya pasangan suami istri akan tetap utuh dan harmonis, kadang kala terjadi perselisihan dan percekcok an yang sulit dihindarkan, kian hari semakin manjadi-jadi sehingga terjadi kekerasan yang bisa membahayakan jiwa, baik jiwa istri maupun jiwa suami ataupun jiwa anakanaknya. Pertengkaran tersebut bukan saja terjadi antara suami istri tetapi sudah selebar kepada keluarga istri ataupun keluarga suami, sehingga rumah tangga bukan lagi sebagai tempat yang aman tetapi penuh dengan ancaman, rumah tangga bukan lagi seperti surga tertapi laksana neraka. Allah Maha Bijaksana sehingga telah memberikan jalan keluar bagi mereka yang perkawinannya penuh dengan penderitaan dan ancaman melalui penghalalan thalak sekalipun di benci, kehalalan tersebut hanya digunakan ketika rumah tangga sudah madharat, yang penggunaannya hanya untuk kepentingan istri, suami, atau keduanya, atau juga untuk kepentingan turunannya.

Begitu juga jika perkawinan itu tidak menghasilkan keturunan/anak, padahal dengan keturunan dunia ini menjadi makmur, dengan keturunan itu pula rumah tangga menjadi lengkap dan sempurna. Tujuan rumah tangga untuk melahirkan keturunan tidak tercapai yang disebabkan karena pihak istri ataupun pihak suami tidak bisa melahirkan keturunan (mandul), sehingga keberadaan rumah tangga penuh dengan kejenuhan. Kita bisa melihat pasangan suami istri yang mandul meskipun dulunya penuh dengan cinta kasih dengan faktor penyebab kebahagiaan dan kekayaan yang memperkuat hubungan mereka berdua, namun kenikmatan yang berupa anak tidak pernah mereka rasakan, padahal anak adalah kesempurnaan kebahagiaan dunia bahkan anak merupakan yang terpenting bagi suami istri.

Oleh karena itu Allah Swt. menberi jalan keluar bagi mereka yang tidak mempunyai keturunan (mandul) dengan jalan thalak jika ingin mengakhiri perkawinannya. Sekalipun Allah telah menghalalkan thalak dan Allah telah memberikan hak thalak pada suami, akan tetapi suami tidak diperkenankan untuk menggunakan thalaknya tanpa alasan yang jelas dan tanpa sebab. Kehalalan thalak berlaku selektif yang harus dilakukan di depan Pengadilan, sebab perceraian yang dilakukan di depan Pengadilan hak-hak istri, hak-hak anak ataupun hak-hak suamiistri akan terjamin keberadaannya. Sebagai contoh ketika suami menceraikan istrinya di depan Pengadilan, maka Pengadilan akan menghukum suami untuk membayar uang iddah, uang mut.ah, maskan, biaya anak-anak, dan lain sebagainya sesuai dengan kemampuan suami, kewajiban-kewajiban suami tersebut akan dituangkan dalam putusan Pengadilan, sehingga suami tidak bisa mengelak dari kewajiban-kewajiban tersebut. Begitu juga kalau terjadi perceraian yang diajukan oleh pihak istri di depan Pengadilan (cerai gugat), maka hak-hak suami istri seperti harta bersama akan dijamin keberadaannya dan akan dituangkan dalam putusan Pengadilan bahwa harta bersama harus dibagi dua, bagi pihak yang tidak bisa menjalankan putusan tersebut maka dapat dilakukan sita/eksekusi, perceraian seperti inilah yang akan membawa kemaslahatan baik untuk mantan istri, anak-anaknya ataupun mantan suami dan itulah yang dikehendaki oleh syari.ah.

Oleh karena itu kalau ada orang yang membolehkan perceraian di luar Pengadilan itu hanya pendapat orang yang picik, orang yang hanya menuruti keinginan hawa nafsunya saja, dalam fikirannya hanya terlintas bagaimana cara mendapatkan perempuan-perempuan cantik dan lebih muda, diceraikan bila sudah bosan diganti dengan yang baru begitru seterusnya, dalam fikirannya tidak terlintas bagaimana nasib istri- istri yang dicerai di luar Pengadilan dan bagaimana pula nasib anak-anak yang diceraikan di luar Pengadilan. Perceraian yang dilakukan di luar Pengadilan tidak ada kepastian hukum untuk anak-anak dan istri- istriya, sehingga hak-hak anak atau hak-hak istri tidak bisa dijamin keberadaannya, pendidikan anak akan terbengkalai. Perceraian seperti inilah yang akan membahawa kepada kemadharatan bagi perempuan ataupun anak-anak, serta tidak dikehendaki oleh syari.ah. Menurut Imam Asy-Syathibi “ jika aturan/hukum itu membawa kepada kemaslahatan, maka aturan /hukum itu harus dijadikan sebagai pegangan, dengan kriteria 1). Tidak bertentangan dengan maqashid al-syari.ah yang dharuriyyah, hajiyyat dan tahsiniyyat, 2). Rasional, dalam arti bisa diterima oleh orang cerdikcendikiawan (ahl al-dzikr), 3). Menghilangkan raf. al haraj “. 15 Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa hikmah perceraian di depan Pengadilan, adalah akan membawa kepada kemaslahatan, karena akan terjamin hak-hak anak, hak-hak istri atau hak-hak suami istri, sedangkan perceraian di luar Pengadilan akan membawa kepada kemadharatan, karena hak-hak anak dan hakhak istri akan terabaikan.

D. TUGAS DAN KEWENANGAN YANG MENANGANI PERKAWINAN DAN PERCERAIAN

1. Tugas dan Kewenangan Yang Menangani Perkawinan

Sebagai mana telah disebutkan pada pasal 2 ayat (2) Undang-undang Nomor 1 tahun 1974 yaitu “ Tiap perkawinan dicatat menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku”, atau sesuai dengan pasal 5 ayat (1) dan ayat (2) Kompilasi Hukum Islam/Inpres RI. Nomor 1 tahun 1991, ayat (1) berbunyi “Agar terjamin ketertiban perkawinan bagi masyarakat Islam harus dicatat, sedangkan ayat (2) berbunyi “Pencatatan perkawinan tersebut pada ayat (1) dilakukan oleh Pegawai Pencatat N ikah”. Pada ayat (1) pasal 5 KHI disebutkan ada kata harus dicatat, kata harus disini berarti wajib atau rukun, karena dengan pencatatan itu akan mendatangkan kemaslahatan, sedangkan kalau tidak dicatatkana akan mendatangkan kekacauan dan kemadlaratan, mendirikan kemaslahatan dan menolak kemadlaratah hukumnya wajib.

Dengan demikian karena pencatatan perkawinan mendatangkan kemaslahatan, maka sudah seharusnya pencatatan perkawinan itu dijadikan salah satu rukun perkawinan pada jaman sekarang ini, oleh karena itu perkawinan yang tidak dicatatkan berarti tidak memenuhi rukun perkawinan, karena tidak memenuhi rukun perkawinan, maka sudah dipastikan perkawinan yang tidak dicatatkan tidak sah menurut hukum Islam. Pada ayat dua (2) Kompilasi Hukum Islam disebutkan “Sahnya pencatatan itu harus dilakukan oleh Petugas Pencatat Nikah (KUA)”, analoginya jika pencatatan itu dilakukan oleh bukan Petugas Pencatat Nikah, maka nikahnya tidak sah, karena selain PPN (KUA) tidak memiliki kewenangan untuk mencatatkan atau melangsungkan pernikahan. Begitu juga pada pasal 6 ayat (1) KHI berbunyi “ untuk memenuhi ketentuan pasal 5 KHI, setiap perkawinan harus dilangsungkan di hadapan dan di bawah pengawasan Pegawai Pencatat N ikah”. Kata “harus juga diartikan wajib, artinya perkawinan itu wajib dilakukan dihadapan Petugas Pencatat Nikah, oleh karena itu perkawinan yang dilakukan diluar Petugas Pencata Nikah maka nikahnya tidak sah pula menurut hukum Islam. Kantor Urusan Agama (KUA) adalah lembaga yang telah ditunjuk (tauliyyah) oleh Presiden Republik Indonesia untuk menangani masalah perkawinan bagi orang yang beragama Islam, sehingga para Petugas Pencatat Nikah KUA telah disumpah oleh Pemerintah agar mereka dapat menjalankan tugas sesuai yang diamanatkan dan sesuai dengan jabatan yang diembannya.

Dengan tauliyyah itu KUA mempunyai kewenangan yang mutlak untuk menangani masalah pernikahan bagi yang beragama Islam, dengan demikian lembaga- lembaga lain baik yang dibuat oleh pemerintah ataupun lembaga swasta, golongan ataupun pribadi tidak mempunyai kewenangan untuk melaksanakan pernikahan. Pada jaman Daulat Amawiyah organisasi negara dan susunan pemerintahan sudah sangat rapi, sehingga ada beberapa departemen yang membidangi masing-masing, diantaranya An-Nidhamus Siyasy (Organisasi Piolitik), An -Nidhamul Irady (Organisasi Tatausaha Negara), An –Nidhamul Maly (Organisasi Keuangan), An-Nidhamul Harby (Organisasi Pertahanan), An- Nidhamul Qadhai (Organisasi Kehakiman). Organisasi/Departemen ini mempunyai tugas dan kewenangan yang berbeda, sehingga masing-masing organisasi tidak boleh mengurus bidang lain yang bukan menjadi kewenagannya. Pada masa ini pula organisasi kehakiman telah tersusun rapi perkara-perkara yang diputuskan oleh Pengadilan telah dicatatkan dan dibukukan dengan rapi .Dengan jelas pada jaman daulat Amawiyah terutama pada jaman Khalifah Umar Bin Abdul Aziz sekitar tahun 99 hijriyah telah diadakan pencatatan yang sangat rapi, tujuannya agar segala urusan dapat dikontrol dengan baik sehingga kemaslahatan dan ketertiban warganya akan terjamin. Sudah dapat dibayangkan pada masa Khalifah Umar bin Abdul Aziz pencatatan sudah begitu ketat, padahal pada waktu itu penduduknya masih sedikit bila dibandingkan dengan sekarang, oleh karena itu pencatatan pada jaman sekarang ini sangat mendesak untuk dilakukan.

Penduduk Indonesia yang mencapai 205 juta lebih dan merupakan populasi Muslim terbesar di dinia, jika masalah perkawinan tidak dicatatkan dengan rapi dan tertib, akan menjadi preseden yang tidak baik bagi negara Islam lainnya di dunia, yang seharusnya Indonesia sebagai negara Muslim terbesar di dunia menjadi contoh yang baik bagi negara lainnya di dunia. Suatu saat kemadlaratan akan timbul bagi bangsa Indonesia bila perkawinan tidak dicatatkan. Kerugian yang diakibatkan dari perkawinan yang tidak dicatatkan adalah, pertambahan penduduk yang tidak terkontrol, kemiskinan akan bertambah.kawin cerai akan terjadi.di mana-mana, hak-hak anak dan wanita akan terabaikan, pendidikan akan terbelakang dan pengangguran semakin bertambah. Di Indonesia perkawinan di bawah tangan (kawin siri) diakui keberadaannya, sehingga di Indonesia ada dua pilihan hukum untuk melangsungkan perkawinan (pernikahan).

Pertama : pernikahan yang dilangsungkan melalui Pegawai Pencatat Pernikahan Kantor Urusan Agama, yang dikenal dengan perka- winan secara resmi.

Kedua : perkawinan yang dilangsungkan diluar Pegawai Pencatat Pernikahan, biasanya dilakukan dihadapat tokoh masyarakat/ulama, yang dikenal dengan perkawinan tidak resmi/dibawah tangan/ siri. Perkawinan tidak resmi/siri biasanya dilakukan oleh pria yang ingin melangsungkan pernikahan untuk istri ke dua dan seterusnya, karena untuk beristri lebih dari satu orang, seorang pria harus mendapatkan izin dari Pengadilan, sedangkan untuk mendapatkan izin dari Pengadilan harus ada beberapa syarat yang harus dipenuhi serta ada izin dari istri pertama. Oleh karena itu pria yang ingin beristri lebih dari satu orang mereka lebih suka mendatangi tokoh masyarakat/ulama karena tidak ada syarat-syarat yang ditentukan.

Jika perkawinan di bawah tangan /siri tidak dicegah, maka tokoh masyarakat/ustadz/orang-orang tertentu akan berlomba- lomba untuk menikahkan sebanyak mungkin, serta akan dijadikan sebagai ladang bisnis yang menggiurkan untuk mendatangkan uang, perkawinan seperti ini bukan yang dikehendaki oleh syari.ah, karena tidak akan mendatangkan kemaslahatan. Oleh karena itu perlu ditanamkan kepada masyarakat bahwa perkawinan di bawah tangan atau kawin siri tidak syah menurut hukum Islam, karena tohoh mawyarakat/ustadz/ulama tidak mempunyai kewenangan untuk melangsungkan pernikahan.

2. Tugas dan Kewenangan yang Menangani Perceraian Perkawinan adalah ikatan yang sangat kuat (mitsaqon gholidhan) untuk mentaati perintah Allah dalam rangka melanjutkan keturunan, tujuannya untuk membentuk rumah tangga yang sakinah, mawaddah dan rahmah. Oleh karena perkawinan itu ikatan lahir dan bathin yang sangat kuat, maka tidak semua orang bisa melepaskan ikatan itu atau tidak sembarang orang yang berwenang untuk melepaskan ikatan itu, hadits Nabi Saw menjelaskan Perceraian itu halal tapi benci. Ikatan perkawinan itu bisa dilepaskan apabila sudah dalam keadaan darurat atau dalam keadaan terpaksa, untuk membuktikan apakah sudah darurat atau belum, maka perlu adanya ketentuan atau kaidah-kaidah atau syarat-syarat yang mengaturnya, disamping itu perlu adanya lembaga khusus yang diberi kewenangan untuk meneliti darurat dan tidaknya, yaitu lembaga Pengadilan.

Sebagaimana telah disebutkan di atas, bahwa perkawinan di bawah tangan/perkawinan siri tidak syah menurut hukum Islam, maka dengan sendirinya perceraian di luar Pengadilan tidak syah pula menurut hukum Islam, karena kewenangan untuk memutuskan perkawinan yang beragama Islam ada pada Pengadilan Agama. Sebagaimana diuraikan dalam pasal 39 ayat (1) Undangundang nomor 1 tahun 1974 yang berbunyi “ Perceraian hanya dapat dilakukan di depan sidang Pengadilan setelah Pengadilan yang bersangkutan berusaha dan tidak berhasil mendamaikan ke dua belah pihak”.

Yang dimaksud Pengadilan adalah Pengadilan Agama bagi orang yang beragama Islam dan Pengadilan Negeri bagi orang yang beragama selain Islam seperti diperjelas oleh pasal 115 Kompilasi Hukum Islam yang berbunyi “ Perceraian hanya dapat dilakukan di depan sidang Pengadilan Agama setelah Pengadilan Agama tersebut berusaha dan tidak berhasil mendamaikan kedua belah pihak”. Jadi yang mempunyai kewenangan untuk membuka ikatan pekawinan (perceraian) hanya lembaga Pengadilan, karena lembaga ini yang telah ditunjuk (tauliyyah) oleh Pemerintah (Presiden) untuk menangani masalah perceraian, selain Pengadilan tidak mempunyai wewenang untuk memutuskan perkawinan. Dalam al-Qur.an banyak sekali ayat yang menerangkan tentang perceraian, surat Al-Baqarah dari ayat 227 sampai ayat 241, surat At-Thalaq ayat 1 sampai ayat 7, surat Al-Maidah ayat 35 dan lain sebagainya. Pada dasarnya ayat-ayat yang menerangkan thalak ada keterlibatan orang lain, artinya thalak itu tidak saja dilakukan oleh suami istri tetapi diketahui/disaksikan juga oleh orang lain terutama dihadapan Rasulullah. Kejadian-kejadian thalak selalu dihadapkan kepada Rasulullah, oleh karena itu turunnya ayat-ayat thalak adalah untuk mengoreksi dan meluruskan cara-cara thalak yang salah yang dilakukan oleh shahabat-shahabat Rasulullah. Sebagai contoh sebab turunnya ayat 230 surat Al- Baqarah adalah “ berkenaan dengan pengaduan Aisyah binti Abdurrahman bin Atik kepada Rasulullah saw. bahwa ia telah dithalak oleh suaminya yang ke dua (Abdurrahman bin Zubair) dan akan kembali kepada suaminya yang pertama (Rifa.ah bin wahab) yang telah menthalak bain, Aisyah berkata bolehkah saya kembali kepada suami yang pertama padahal saya belum digauli oleh Abdurrahman bin Zubair ?, Nabi menjawab tidak boleh kecuali kamu telah digauli oleh suami yang pertama”. begitu juga hadits-hadits nabi yang menerangkan tentang thalak, kejadiannya selalu dihadapan Rasulullah saw. seperti hadits yang diriwayatkan oleh Imam Muslim Dari Ibnu Abbas yang artinya “sesungguhnya Rakanah telah mentthalak istrinya dengan thalak tiga pada tempat yang satu, ia merasa sangat sedih atas perceraian itu, kemudian Rasulullah bertanya kepadanya bagaimana caramu menthalak isterimu ?, Rakanah menjawab thalak tiga sekaligus,Rasulullah bersabda sesungguhnya thalak yang demikian itu adalah thalak satu rujuklah engkau kepadanya”. dengan demikian setiap peristiwa thalak yang dilakukan oleh shahabatshahabat Rasulullah selalu dihadapkan kepada Rasulullah, sehingga seanda inya Rasulullah belum mengtahui hukumnya, Rasulullah akan mengadukannya kepada Allah maka turunlah ayat-ayat thalak, sedangkan apabila Rasulullah sendiri telah mengetahui hukumnya maka itulah hadits-hadits Rasulullah.

Rasulullah sendiri kedudukan adalah sebagai Pemimpin/Raja/Sulthan. Oleh karena itu dapat ditarik kesimpulan bahwa thalak itu harus diucapkan/ dijatuhkan dihadapan pemimpin/ sulthan/raja, bukan dihadapan sembarang orang. Kalaulah thalak itu boleh dijatuhkan kapan saja dan dihadapan sembarang orang, maka kaum laki- laki dengan nafsu serakahnya akan bebas menceraikan istri dimana saja dan kapan saja serta bebas pula untuk menikah lagi dengan siapa saja yang ia inginkan, setiap ia menginginkan wanita yang satu, maka ia akan menceraikan isterinya yang lain begitu seterusnya. Jelas perkawinan seperti ini bukan menjadi maslahat bagi kehidupan manusia, justru sebaliknya akan membawa madharat dan ini bertentang dengan “maqaashid as-syari.ah”, oleh karena itu perceraian seperti ini tidak sesuai dengan hukum Islam. Begitu juga masalah saksi dalam perceraian apakah perlu dihadirkan ?, dalam hal ini ada dua pendapat. Pendapat pertama ulama-ulama fiqh baik dari golongan ulama salaf maupun golongan ulama hkalaf bahwa dalam perceraian (thalak) tidak perlu saksi, dengan alasan thalak adalah hak suami, sedangkan. golongan ke dua yang terdiri dari Ali bin Abi Thalib, Imran bin Husein, Muhammad Baqir, Za.far Shadiq, “Atha, Ibnu Zuraid, Ibnu Sirin, Syi.ah Imamiyah bahwa dalam perceraian (thalak) wajib adanya saksi, dengan alasan berdasarkan firman Allah dalam surat At-Thalak ayat dua. dalam firman Allah ayat dua surat At-Thalak disebutkan “ Apabila telah habis masa Iddah, maka rujuklah mereka dengan baik atau lepaskan (thalak) mereka dengan baik pula dan persaksikanlah dengan dua orang saksi yang adil” menurut Imam Suyuthi dan Ibnu Katsir “ ketika nikah harus dihadirkan dua orang saksi yang adil , ketika bercerai harus dihadirkan dua orang saksi yang adil dan ketika ruju.pun harus dihadirkan dua orang saksi yang adil pula. Sedangkan untuk mengetahui keadilan saksi, maka saksi tersebut harus disumpah di depan sidang Pengadilan, karena Pengadilan yang mempunyai kekuasaan (wewenang) untuk mengusu masalah perceraian. Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa penda- pat yang lebih kuat adalah perceraian harus disaksikan oleh dua orang saksi di depan sidang Pengadilan, oleh karena itu jika terjadi perceraian tanpa dihadiri oleh dua orang saksi, maka perceraian itu tidak syah menurut hukum Islam.

E. KESIMPULAN

Dari tulisan tersebut di atas dapat disimpulkan sebagai berikut:

1. Rukun perkawinan sebagaimana yang telah masyhur di masyarakat adalah a). Calon mempelai suami, b). Calon mempelai istri, c).. Wali Nikah, d). Dua orang saksi, e). Ijab kabul. Akan tetapi rukun perkawinan tersebut diperselisihkan oleh Imam mazhab yang empat ( Maliki, Hanafi, Syafi.i dan Hambali), oleh karena masih diperselisihkan maka rukun perkawinan sebagaimana tersebut di atas belumlah final, bisa bertambah atau bisa berkurang sesuai dengan kondisi dan situasi masyarakat itu sendiri, yang mana dengan penambahan rukun tersebut bisa membawa kepada kemaslahatan. Pencatatan perkawinan membawa kepada kemaslahatan sedangkan kalau tidak dicatatkan akan membawa kepada kemadharatan, oleh karena itu menurut Penulis rukun perkawinan ada enam dengan menambahkan pencatatan.

2. Tujuan perkawinan dalam syari.ah adalah agar hidup manusia di dunia ini penuh dengan kedamaian dan kasih sayang antara yang satu dengan yang lainnya (turunannya), dengan turunannya manusia yang mempunyai tugas sebagai khalifah fil ard akan tetap menjalankan missi-missi Allah di muka bumi, dengan menjalankan aturan-aturan yang telah ditetapkan oleh Allah ataupun Rasul-Nya yang berupa Al-Qur.an dan Hadits, sehingga dunia ini penuh dengan kedamaian dan kemaslahatan bagi umat manusia. Akan tetapi kedamaian dan kemaslahatan tidak akan tercapai jika tidak ada aturan- aturan pendukung lainya yang lebih spesipik yang berupa al-Maslahah al-Mursalah, oleh karena itu UU. Nomor 1 tahun 1974, UU. Nomor 7 tahun 1989, PP. nomor 9 tahun 1975, Kompilasi Hukum Islam dan lain sebagainya adalah aturan-aturan yang secara khusus untuk menjelaskan aturan-aturan Allah ataupun Rasulullah.

3. Hikmah perceraian adalah untuk menghindari kemadharatan dalam ruhah tangga, baik yang diakibatkan oleh karena perselisihan dan pertengkaran yang terus-menerus ataupun akibat tidak mempunyai keturunan (mandul). Sehingga dengan pertengkaran tersebut akan mengancam keselamatan jiwa istri, jiwa anak-anak ataupun jiwa suami, oleh karenanya Allah menghalalkan thalak sekalipun dibenci, akan tetapi perceraian yang dilakukan di depan Pengadilan akan membawa kepada kemaslahatan, karena akan terjamin hak-hak anak, hak-hak istri atau hak-hak suami istri, sedangkan perceraian di luar Pengadilan akan membawa kepada kemadharatan, karena hak-hak anak dan hak-hak istri akan terabaikan.Kantor Urusan Agama (KUA) adalah lembaga yang telah ditunjuk (tauliyyah) oleh Presiden Republik Indonesia untuk menangani masalah perkawinan bagi orang yang beragama Islam. Petugas Pencatat Nikah KUA telah disumpah oleh Pemerintah agar mereka dapat menjalankan tugas sesuai dengan yang diamanatkan dan sesuai pula dengan jabatan yang diembannya. Dengan tauliyyah tersebut KUA mempunyai kewenangan mutlak untuk menangani masalah pernikahan bagi yang beragama Islam, dengan demikian lembaga- lembaga lain baik yang dibuat oleh pemerintah ataupun lembaga swasta, golongan ataupun pribadi tidak mempunyai kewenangan untuk melaksanakan pernikahan, oleh karena itu perkawinan yang tidak dicatatkan di KUA. Tidak syah menurut hukum Islam.

4. Sebagaimana diuraikan dalam pasal 39 ayat (1) Undang-undang nomor 1 tahun 1974 yang berbunyi “ Perceraian hanya dapat dilakukan di depan sidang pengadilan setelah Pengadilan yang bersangkutan berusaha dan tidak berhasil mendamaikan ke dua belah pihak, sebagaimana diperjelas oleh pasal 115 Kompilasi Hukum Islam yang berbunyi “ Perceraian hanya dapat dilakukan di depan sidang Pengadilan Agama setelah Pengadilan Agama tersebut berusaha dan tidak berhasil mendamaikan kedua belah pihak”. Jadi yang mempunyai kewenangan untuk membuka ikatan pekawinan (perceraian) hanya lembaga Pengadilan, karena lembaga ini yang telah ditunjuk (tauliyyah) oleh Pemerintah (Presiden) untuk menangani masalah perceraian, selain Pengadilan tidak mempunyai wewenang untuk memutuskan perkawinan, oleh karena itu perceaian yang dilakukan di luar Pengadilan tidak syah menurut hukum Islam.

5. Perkawinan yang tidak dicatatkan/kawin siri, atau percerai di luar Pengadilan akan menimbulkan kemadharatan bagi istri dan anak-anaknya, karena hak-hak istri, hak-hak anak-anaknya ataupuh hak-hak suami istri akan terabaikan, perkawinan seperti ini/ perceraian seperti bukan tujuan syari.ah. Sedangkan perkawinan yang dicatatkan di KUA./perceraian yang dilakukan di depan sidang Pengadilan akan menimbulkan kemaslahatan bagi istri dan anakanaknya, karena hak-hak istri, hak-hak anak-anaknya ataupun hak-hak suami istri akan terjamin keberadaannya, perkawinan seperti ini/perceraian seperti ini adalah tujuan syari.ah.

DAFTAR PUSTAKA

1. Abdul Gani Abdullah Himpunan Perundang-undangan dan Peraturan Per-dilan Agama . PT. Intermasa. Jakarta: tahun 1991.

2. Direktur Pembinaan Badan Peradilan Agama Islam. Himpunan Peraturan Per-undang-undangan Dalam Lingkungan Peradilan Agama. Jakarta: tahun 2001.

3. Abd, Rahman Ghazaly. Fiqh Munakahat. Prenada Media. Jakarta: Th. 2003.

4. Abu Yahya Zakariya Al-Anshari. Fathul Wahab. Darul Fikri: Juz 2

5. Muhammad Ibnu Rusy, Bidayatul Mujtahid. Darul Fikri. Bairut Libanon. Juz 2

6. Muhammad Ismail Al-Kahlani. Subulus Salam. Dahlan Bandung. Juz 3.

7. Muhammad Idris As-Syafi.i. Al-umm. Dsarul Fikri Bairut: Libanon . Jilid 3.

8. Departemen Agama RI. Al-Qur.an dan Tarjemahannya .Gema Risalah Press. Bandung: Th.1992.

9. Ahmad Musthafa Al-Maraghi. Tafsir Al-Maraghi. Al-Maktabah At-Tijariyah. akkatul Mukaramah: Jiilid 2. Juz.5.

0 komentar :

Post a Comment

Terima kasih atas commentnya, Comment anda sangat bermanfaat bagi saya... Semoga bermanfaat.