Friday, August 20, 2010

Surat Sebagai Alat Bukti Otentik

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Dalam Hukum Acara Perdata dikenal beberapa alat bukti yang dipakai pedoman oleh seorang hakim dalam memutuskan perkara yang dihadapinya. Dalam memandang sebuah alat bukti, seorang hakim tidak dapat begitu saja menerima sebagai alat bukti yang mampu dipakai pedoman untuk mengambil keputusan, namun seorang hakim harus bisa menimbang serta memilah dan memilih apakah bukti yang diserahkan oleh pihak yang bersengketa terhadap sang hakim bisa dijadikan sebagai pedoman memutuskan persengketaan tersebut.

Dalam kesempatan kali ini penulis dengan sengaja mencoba membahas atau sedikit menjabarkan tentang Surat sebagai alat bukti sempurna bagi hakim untuk pedoman pengambilan sebuah keputusan dalam sebuah persengketaan.

B. Rumusan Masalah

  1. Pengertian surat / akta sebagai salah satu alat bukti.
  2. Siapakah pihak yang berwenang untuk membuat.
  3. Macam-macam surat / akta.
  4. Status surat sebagai alat bukti

C. Tujuan Pembahasan

1. Mengetahui pengertian surat.

  1. Mengetahui pihak yang berwenang untuk membuat.
  2. Mengetahui macam-macam surat.
  3. Mengetahui status surat sebagai alat bukti.

BAB II

PEMBAHASAN

Sebagaimana sudah diketahui, bukti tulisan dalam perkara perdata merupakan alat bukti yang paling utama, karena dalam lalu-lintas keperdataan seringkali orang dengan sengaja menyediakan suatu bukti yang dimungkinkan timbul permasalahan dalam hal ini perselisihan / persengketaan dan lazimnya bukti yang disediakan berupa tulisan.

Dari bukti-bukti tulisan itu ada segolongan yang sangat berharga untuk pembuktian, yaitu dinamakan “akta”. Apakah yang disebut akta itu ? Suatu akta ialah suatu tulisan yang memang dengan sengaja dibuat untuk dijadikan bukti tentang suatu peristiwa dan ditandatangani, sehingga unsur-unsur yang penting dalam sebuah akta ialah kesengajaan untuk menciptakan suatu bukti tertulis dan penandatanganan tulisan itu. Syarat penandatangan terdapat pada pasal 1 Ordonansi tahun 1867 No. 29 yang memuat ketentuan-ketentuan tentang kekuatan pembuktian dari tulisan-tulisan di bawah tangan dari orang-orang Indonesia atau yang disamakan dengan mereka.

Berdasarkan ketentuan-ketentuan tersebut, maka surat perjanjian jual-beli adalah suatu akta, demikian juga surat sewa-menyewa, bahkan sepucuk kwitansi, karena ia dibuat sebagai bukti dari pelunasan suatu utang dan ditandatangani oleh si piutang.

Dalam Hukum Acara Perdata mengenal 3 macam surat, yaitu :

  1. Akta otentik
  2. Akta di bawah tangan
  3. Surat biasa

  1. Akta Otentik

Dalam pasal 165 H.I.R. atau pasal 285 R.B.G. memuat definisi apa yang dimaksud dengan Akta Otentik, yang berbunyi sebagai berikut :

“Akta otentik yaitu surat yang dibuat oleh atau di hadapan pegawai umum yang berkuasa akan membuatnya”.

Di atas tertera bahwa ada akta otentik yang dibuat oleh dan ada yang dibuat di hadapan pegawai pejabat umum yang berwenang membuatnya. Akta otentik yang dibuat “oleh” misalnya adalah surat panggilan Juru Sita, Surat Putusan Hakim, sedangkan Akta Perkawinan dibuat di hadapan Pegawai Pencatat Nikah dan surat perjanjian dibuat di hadapan Notaris. Pegawai umum yang dimaksud yaitu Notaris, Hakim, Juru Sita, Pegawai Pencatat Sipil, dan sebagainya.

Menurut pasal 165 H.I.R., ada 2 macam akta otentik, yaitu suatu yang dibuat oleh dan suatu yang dibuat di hadapan pegawai umum yang ditunjuk oleh undang-undang itu, seperti apabila seorang notaris membuat suatu verslag atau laporan mengenai suatu rapat, yang dalam rapat tersebut dihadiri oleh para pemegang sero dari sebuah perseroan terbatas, maka yang demikian inilah (proses verbal) dikatakan suatu akta otentik yang telah dibuat oleh notaris tersebut. Begitu pula proses verbal yang dibuat oleh seorang Juru Sita Pengadilan tentang pemanggilan seorang tergugat atau seorang saksi merupakan akta yang dibuat oleh Juru Sita tadi. Akta-akta seperti itu sebenaranya merupakan suatu laporan (relas) tentang suatu perbuatan resmi yang telah dilakukan oleh pegawai umum tersebut.

Apabila dua orang datang kepada seorang notaris, menerangkan bahwa mereka telah mengadakan suatu perjanjian (misal : jual-beli atau sewa-menyewa) dan kedua orang itu meminta kepada notaris agar mengenai perjanjian tersebut dibuatkan suatu akta, maka akta ini adalah suatu akta yang dibuat di hadapan notaris itu. Notaris hanya mendengarkan apa yang dikehendaki oleh kedua belah pihak yang menghadap itu dan meletakkan perjanjian yang dibuat oleh 2 orang tadi dalam suatu akta.

Menurut pasal 165 H.I.R. (pasal 285 R.B.G.), suatu akta otentik merupakan suatu bukti sempurna tentang apa yang tertera di dalamnya. Akta otentik merupakan suatu bukti yang mengikat, dalam arti apa yang ditulis dalam akta itu harus dipercaya oleh hakim, yaitu harus dianggap sebagai yang benar, selama kebenarannya tidak dibuktikan. Dan memberikan suatu bukti sempurna, dalam arti bahwa ia sudah tidak memerlukan suatu penambahan pembuktian. Ia merupakan suatu alat bukti yang “mengikat” dan “sempurna”. Selain itu akta otentik itu tidak hanya membuktikan, bahwa para pihak sudah menerangkan apa yang dituliskan di dalamnya, tetapi juga bahwa apa yang diterangkan tadi adalah benar.

Akta otentik mempunyai 3 macam kekuatan pembuktian, yakni :

a. Kekuatan pembuktian formil, membuktikan antara para pihak bahwa mereka sudah menerangkan apa yang ditulis dalam akta tersebut.

b. Kekuatan pembuktian materiil, membuktikan antara para pihak yang bersangkutan, bahwa sungguh-sungguh peristiwa yang disebutkan di dalam akta itu telah tejadi.

c. Kekuatan mengikat, membuktikan antara para pihak dan pihak ketiga, bahwa pada tanggal yang tersebut dalam akta yang bersangkutan telah menghadap kepada pegawai umum tadi dan menerangkan apa yang ditulis dalam akta tersebut.

Oleh karena menyangkut pihak ketiga, maka disebutkan bahwa kata otentik mempunyai kekuatan pembuktian keluar (orang luar).

Akta otentik mempunyai kedudukan sebagai alat bukti sempurna atau bebas, alasannya :

1) Apa yang disebut dalam surat sebagai pemberitaan resmi.

2) Apa yang dimuat dalam surat berhubungan langsung dengan pokok persoalannya.

3) Apa yang dimuat dalam surat adalah keterangan resmi dari pejabat yang berwenang sehingga dapat dijamin kebenarannya.

4) Kekuatan bukti atau surat berlaku bagi setiap orang dan tidak hanya mereka yang menghadap pejabat umum saja.

  1. Akta Di Bawah Tangan

Pengertian akta di bawah tangan : Surat yang ditandatangani, dibuat dengan maksud untuk dijadikan alat bukti, tanpa perantara pejabat umum.

Mengenai akta di bawah tangan perihal kekuatan pembuktian harus diperhatikan dengan seksama peraturan yang terdapat dalam Ordonansi tahun 1867 No. 29 yang memuat “Ketentuan-ketentuan tentang kekuatan pembuktian daripada tulisan-tulisan di bawah tangan dari orang-orang Indonesia atau yang dipersamakan dengan mereka”. Yang dimaksud dengan tulisan dalam Ordonansi adalah akta.

Pasal 2 Ordonansi tersebut menentukan : “Barang siapa yang terhadap-nya diajukan suatu tulisan di bawah tangan, diwajibkan secara tegas mengakui atau menyangkal tanda tangannya, tetapi bagi para ahli warisnya atau orang-orang yang mendapat hak dari padanya, cukuplah jika mereka menerangkan tidak mengakui tulisan atau tanda tangan itu sebagai tulisan atau tanda tangan orang yang mereka wakili”.

Guna memperkuat akta di bawah tangan diperlukan pengakuan di muka hakim yang berbunyi :

Tanda tangan ini adalah betul tanda tangan saya dan isi tulisan itu adalah benar.

Alat bukti ini walaupun dianggap sempurna namun masih dapat dilumpuhkan dengan bukti perlawanan (tigra bewijs), yaitu pembuktian bahwa hal yang sebaliknya adalah benar.

Bukti perlawanan dapat dilakukan dengan :

1) Bukti tulisan

2) Bukti saksi-saksi

3) Bukti persangkaan-persangkaan

Menurut pasal 1828 B.W., agar akta di bawah tangan punya kekuatan, pembuktian harus memenuhi syarat sebagai berikut :


1) Ditandatangani yang bersangkutan

2) Ada saksi yang mengetahui pemubuatan akta tersebut.

3) Isinya harus jelas

Perihal akta di bawah tangan di mana isi dan tanda tangan itu diakui, maka dalam kekuatan pembuktian mempunyai kekuatan hampir sama dengan akta otentik. Bedanya terletak pada kekuatan bukti keluar yang tidak dimiliki oleh akta di bawah tangan.

  1. Surat Biasa

Akta / surat biasa yaitu surat di bawah tangan non-akta yang dibuat tanpa perantaraan pejabat umum dan pembuatannya tidak dimaksudkan untuk dijadikan alat bukti. Dan jika di kemudian hari surat itu dijadikan bukti, hal itu adalah karena kebetulan belaka.

Menurut pasal 1874 B.W. tak menegaskan bagaimana dan sampai dimana kekuatan pembuktian dari akta biasa ini.

Contoh :

1) Surat biasa yang dikirim kepada orang lain untuk hobi surat-menyurat.

2) Catatan yang ditulis dalam notes (diary), buku tulis, tanpa ditandatangani.

3) Karcis kereta, kapal, bus, telegram, dimana surat itu tanpa tanda tangan.

Karena kekuatan hukum sebagai alat bukti terhadap surat itu tidak disebutkan dengan tegas, maka penilaiannya diserahkan kepada hakim sesuai dengan kondisi yang ada, artinya hakim dapat mengenyampingkan atau sebagai alat bukti permulaan, yang harus ditambah dengan alat bukti yang lain.

Perbedaan dari ketiga macam akta ini yaitu dalam kelompok mana suatu tulisan itu termasuk, itu tergantung dari cara pembuatannya.


BAB III

PENUTUP

Kesimpulan

Dalam perkara perdata, akta/surat merupakan alat bukti utama, karena dalam lalu-lintas keperdataan seringkali orang dengan sengaja menyediakan suatu bukti yang dapat dipakai kalau timbul suatu perselisihan.

Sebagai alat bukti, ada 3 macam akta :

  1. Akta resmi / otentik
  2. Akta di bawah tangan
  3. Akta biasa

Dari ketiga macam akta ini, akta resmi dan akta di bawah tangan mempunyai bukti sempurna, namun untuk akta di bawah tangan ada perbedaan sedikit yaitu dalam pembuatannya tidak di hadapan pejabat umum.

Untuk akta biasa, jika memang suatu saat dijadikan alat bukti, hal itu merupakan suatu kebetulan, karena akta biasa ini tidak diniatkan / ditujukan untuk alat bukti.


DAFTAR PUSTAKA

1. Prof. R. Subekti, SH. Hukum Acara Perdata. Bina Cipta, Bandung, Badan Pembinaan Hukum Nasional Departemen Kehakiman.

2. Ny. Retnowulan Susantio, SH., Iskandar Oerip Kartawinata. Hukum Acara Perdata dalam Teori dan Praktek, CV. Mandar Maju, Bandung, 1997.

3. Catatan dan Makalah Mata Kuliah Hukum Acara Perdata.

0 komentar :

Post a Comment

Terima kasih atas commentnya, Comment anda sangat bermanfaat bagi saya... Semoga bermanfaat.