Monday, March 14, 2011

MUSTAHIQ ZAKAT

Dalil Quran Tentang Mustahiq Zakat
Allah l berfirman :
“Sesungguhnya zakat-zakat itu, hanyalah untuk orang-orang fakir, orang-orang miskin, pengurus-pengurus zakat, para mu'allaf yang dibujuk hatinya, untuk budak, orang-orang yang berhutang, untuk jalan Allah dan untuk mereka yuang sedang dalam perjalanan, sebagai suatu ketetapan yang diwajibkan Allah, dan Allah Maha Mengetahui lagi Maha Bijaksana.” (QS. At-Taubah : 60)
Dari ayat diatas terperinci bahwa mustahiq zakat itu ada 8 kelompok (asnaf). Mereka adalah :
  1. Orang-orang fakir [1]
  2. Orang-orang miskin [2]
  3. Pengurus-pengurus zakat[3]
  4. Para mu'allaf (orang yang dibujuk hatinya masuk Islam)[4]
  5. Untuk budak[5]
  6. Orang-orang yang berhutang [6]
  7. Fi Sabilillah[7]
  8. Musafir[8]
BEBERAPA FAEDAH ZAKAT

A. Faedah diniyah (segi agama)
1. Dengan berzakat berarti telah menjalankan salah satu dari rukun Islam yang menghantarkan seorang hamba kepada kebahagiaan dan keselamatan dunia dan akhirat.
2. Merupakan sarana bagi hamba untuk taqarrub (mendekatkan diri) kepada Rabbnya, akan menambah keimanan karena keberadaannya yang memuat beberapa macam ketaatan.
3. Pembayar zakat akan mendapatkan pahala besar yang berlipat ganda, sebagaimana firman Allah l yang artinya :
“Allah memusnahkan riba dan menyuburkan sedekah” (QS: Al Baqarah: 276)

Dalam sebuah hadits yang muttafaq ‘alaih Nabi
y juga menjelaskan bahwa shadaqah dari harta yang baik akan ditumbuhkan kembangkan oleh Allah l berlipat ganda.
4. Zakat merupakan sarana penghapus dosa, seperti yang pernah disabdakan Rasulullah y.
B. Faedah Khuluqiyah (Segi Akhlak)
1. Menanamkan sifat kemuliaan, rasa toleran dan kelapangan dada kepada pribadi pembayar zakat.
2. Pembayar zakat biasanya identik dengan sifat rahmah (belas kasih) dan lembut kepada saudaranya yang tidak punya.
3. Merupakan realita bahwa menyumbangkan sesuatu yang bermanfaat baik berupa harta maupun raga bagi kaum muslimin akan melapangkan dada dan meluaskan jiwa. Sebab sudah pasti ia kan menjadi orang yang dicintai dan dihormati sesuai tingkat pengorbanannya.
4. Di dalam zakat terdapat penyucian terhadap akhlak.
C. Faedah Ijtimaiyyah (Segi Sosial Kemasyarakatan)
1. Zakat merupakan sarana untuk membantu dalam memenuhi hajat hidup para fakir miskin yang merupakan kelompok mayoritas sebagian besar negara di dunia.
2. Memberikan support kekuatan bagi kaum muslimin dan mengangkat eksistensi mereka.Ini bisa dilihat dalam kelompok penerima zakat, salah satunya adalah mujahidin fi sabilillah.
3. Zakat bisa mengurangi kecemburuan sosisal, dendam dan rasa dongkol yang ada dalam dada fakir miskin. Karena masyarakat bawah biasanya jika melihat mereka yang berkelas ekonomi tinggi menghambur-hamburkan harta untuk sesuatu yang tidak bermanfaaat bisa tersulut rasa benci dan permusuhan mereka. Jikalau harta yang demikian melimpah itu dimanfaatkan untuk mengentaskan kemiskinan tentu akan terjalin keharmonisan dan cinta kasih antara si kaya dan si miskin.
4. Zakat akan memacu pertumbuhan ekonomi pelakunya dan yang jelas berkahnya akan melimpah.
5. Membayar zakat berarti memperluas peredaran harta benda atau uang, karena ketika harta dibelanjakan maka perputarannya akan meluas dan lebih banyak fihak yang mengambil manfaat.



[1] Faqir seringkali disamakan dengan miskin. Karena kedua memiliki kemiripan satu sama lain. Namun masing-masing tetap memiliki keunikan yang membedakannya dengan lainnya.
Asy-Syafi'iyah dan Al-Hanabilah memandang bahwa yang dimaksud dengan faqir adalah orang yang tidak punya harta serta tidak punya penghasilan yang mencukupi kebutuhan dasarnya. Atau mencukupi hajat paling asasinya. Termasuk diantaranya adalah seorang wanita tidak punya suami yang bisa menafkahinya.
Hajat dasar itu sendiri berupa kebutuhan untuk makan yang bisa meneruskan hidupnya, pakaian yang bisa menutupi sekedar auratnya atau melindungi dirinya dari udara panas dan dingin, serta sekedar tempat tinggal untuk berteduh dari panas dan hujan atau cuaca yang tidak mendukung.

[2] Pengertian miskin adalah orang yang tidak punya harta yang cukup untuk memenuhi kebutuhan dasar hidupnya, meskipun mereka masih ada sedikit kemampuan untuk mendapatkannya. Dia punya sesuatu yang bisa menghasilkan kebutuhan dasarnya, namun dalam jumlah yang teramat kecil dan jauh dari cukup untuk sekedar menyambung hidup dan bertahan.
Dari sini bisa kita komparasikan ada sedikit perbedaan antara faqir dan miskin, yaitu bahwa keadaan orang faqir itu lebih buruk dari orang miskin. Sebab orang miskin masih punya kemungkian pemasukan meski sangat kecil dan tidak mencukupi. Sedangkan orang faqir memang sudah tidak punya apa-apa dan tidak punya kemampuan apapun untuk mendapatkan hajat dasar hidupnya.
Pembagian kedua istilah ini bukan sekedar mengada-ada, namun didasari oleh firman Allah lberikut ini :

أَمَّا السَّفِينَةُ فَكَانَتْ لِمَسَاكِينَ يَعْمَلُونَ فِي الْبَحْرِ فَأَرَدْتُ أَنْ أَعِيبَهَا وَكَانَ وَرَاءَهُمْ مَلِكٌ يَأْخُذُ كُلَّ سَفِينَةٍ غَصْبًا
Adapun bahtera itu adalah kepunyaan orang-orang miskin yang bekerja di laut, dan aku bertujuan merusakkan bahtera itu, karena di hadapan mereka ada seorang raja yang merampas tiap-tiap bahtera.(QS. Al-Kahfi : 79)
Di ayat ini disebutkan bahwa orang-orang miskin itu masih bekerja di laut. Artinya meski mereka miskin, namun mereka masih punya hal yang bisa dikerjakan, masih punya penghasilan dan pemasukan, meski tidak mencukupi apa yang menjadi hajat kebutuhan pokoknya.
Namun Al-Hanafiyah dan Al-Malikiyah menyatakan sebaliknya, bahwa orang miskin itu lebih buruk keadaannya dari orang faqir. HAl ini didasarkan kepada makna secara bahasa dan juga nukilan dari ayat Al-Quran juga.
atau kepada orang miskin yang sangat fakir.(QS. Al-Balad : 16)
Adapun orang kaya lagi berkecukupan haram hukumnya untuk menerima zakat. Dari Abdullah Ibnu Umar bin al-Ash r.a. bahwa Rasulullah saw. bersabda, “Zakat tidak halal bagi orang yang kaya.” (Tirmidzi II: 81 no: 647, ‘Aunul Ma’bud V:42 no:1618, dan Abu Hurairah meriwayatkannya lihat Ibnu Majah I:589 no: 1839 dan Nasa’i V:39).
[3]
Pengertian amil
Dalam kitab-kitab fiqih klasik, golongan ini terkadang disebut dengan istilah su'aat lli jibayatizzakah yang artinya adalah orang yang berkeliling untuk mengumpulkan zakat.
Disyaratkan untuk mereka adalah yang memiliki ilmu tentang hukum zakat. Juga yang bersifat amanah dan adil. Termasuk di dalamnya adalah para pencatat, pembagi zakat, menyimpan harta dan keahlian lainnya yang terkai erat dengan tugas mengumpulkan dan membagi zakat.
Mereka itu bekerja dengan baik agar proses pengambilan harta zakat berjalan dengan benar, tepat sasaran, serta tidak terlewat. Juga mereka bekerja keras untuk bisa memastikan bahwa orang-orang yang berhak mendapat zakat itu benar-benar menerimanya.
Atas semua kerja keras dan jasa ini, mereka pun berhak mendapatkan bagian dari dana zakat, meski pun mereka sudah kaya.
Sesunggunya kerja amil zakat itu cukup berat karena bukan sekedar menerima dan menyalurkan zakat saja. Tetapi lebih dari itu juga punya beban untuk mengentaskan kemiskinan dan pemerataan kesejahteraan.
Kewajiban 'Amil Untuk Mengambil Zakat
Dari segi pemungutan zakat, tidak cukup hanya sekedar menunggu di sekretariat, tetapi harus menjemput bola dengan mengadakan pendataan yang akurat kepada wajib zakat. Semua lapisan umat Islam harus didata kekayaannya lalu dibuatkan kalkulasi penghitungan zakatnya hinga ditagih dari mereka. Allah SWT memerintahkan kepada Rasulullah SAW untuk mengambil zakat dari orang-orang kaya. Kemdian tugas itu diamanahkan kepada para petugas khusus, yaitu para amil zakat .
Allah l berfirman :
Ambillah zakat dari sebagian harta mereka, dengan zakat itu kamu membersihkan dan mensucikan mereka dan mendo'alah untuk mereka. Sesungguhnya do'a kamu itu ketenteraman jiwa bagi mereka. Dan Allah Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui.(QS. At-Taubah : 103)
Dari segi penyaluran, perlu diadakan riset dan penelitian tentang jumlah fakir miskin di suatu wilayah tertentu lengkap dengan potensi pengembangan sumber daya manusia mereka. Sehingga bisa dibuatkan skala prioritas yang bisa diberi zakat terlebih dahulu.
Idealnya zakat yang diberikan itu harus bisa menyelesaikan problem kemiskinan dengan cara memberi peluang, pelatihan, pendidikan, motivasi dan modal real untuk usaha. Dengan bekal-bekal itu para mustahik zakat itu bisa dirubah nasibnya dan didongkrak ekonominya. Dengan harapan pada tahun-tahun mendatang mereka sudah bukan lagi mustahiq tetapi sudah jadi muzakki yang menyisihkan sebagian hartanya untuk zakat.
Semua kerja itu tidak bisa dilakukan sambil lalu, tetapi membutuhkan tenaga profesional dan mahir serta solid. Dengan demikian zakat itu bisa berjalan secara sistematis.
Dalam konteks seperti itulah para amilin layak mendapatkan bagian harta zakat karena mereka memang mencurahkan perhatian dan kerjanya sepenuhnya untuk berjalannya sistem zakat.
Sedangkan panitia penerimaan dan penyaluran zakat yang sering dibuat baik di suatu masjid atau instansi namun dikerjakan dengan pasif dan menunggu saja, kurang layak untuk mendapat bagian harta zakat. Apalagi mereka telah digaji oleh instansinya sendiri. Tapi bila memang para amil itu sendiri termasuk orang miskin yang hidupnya kekurangan, maka boleh saja menerima harta zakat dari pos fakir miskin.
Insyaallah pada gilirannya, dari lembaga seperti inilah nanti kita bisa mengharapkan SDM yang berpengalaman untuk mengelola zakat bila negara Islam ini resmi berdiri dalam waktu dekat. Jelas kita akan memerlukan SDM berpengalaman di lapangan untuk menggulirkan program zakat secara nasional. Kalau masih mengharapkan para pegawai bermental korup jelas merupakan musibah besar.
Bahwa lembaga-lebaga zakat ini tidak punya kekuatan untuk memerangi yang tidak bayar zakat, itu memang harus diakui. Tapi kalau kita melihat jumlah orang yang secara kesadaran mau bayar zakat dengan jumlah secara kualitatif dan kuantitastif lembaga zakat ini, kelihatannya masih berimbang. Artinya sekedar melayani zakat dari kalangan ‘sadar zakat’ pun sebenarnya lembaga-lembaga ini sudah cukup disibukkan. Apalagi bila nanti lembaga ini diresmikan sebagai salah satu badan resmi pemerintah baik berbentuk departemen atau kementerian.
Pada saat itu nanti, tentu saja idealnya lembaga-lembaga ini diisi dengan orang-orang profesional di bidangnya dan punya kapasistas yang memadai serta pengalaman lapangan yang cukup.

[4] Yang termasuk sebagai muallaf sebenarnya tidak terbatas kepada orang yang baru masuk Islam saja, tetapi termasuk juga orang-orang yang masih dalam agama non Islam atau masih kafir, namun sedang dibujuk hatinya untuk masuk Islam.
Muallaf yang kafir ini pun masih terbagi lagi menjadi dua kelompok. Pertama, mereka yang diharapkan kebaikannya. Kedua, mereka yang dihindari kejahatannya.
Mereka yang diharapkan kebaikannya adalah mereka yang diharapkan masuk Islam. Sehingga mereka diberikan sebagian dari harta zakat, agar ada semacam dorongan bisa masuk Islam. Sedangkan mereka yang dihindari kejahatannya adalah orang-orang kafir yang selama ini memusuhi umat Islam. Kepada mereka, dibolehkan pemberian sebagian harta zakat demi untuk melunakkan hati dan mengurangi atau menghentikan permusuhan kepada kaum muslimin.
Di dalam shahih Muslim disebutkan bahwa Rasulullah y telah memberikan sebagian harta zakat untuk Abu Sufyan bin Al-Harb, Safwan bin Umayyah, 'Uyaynah bin Hishn, Al-Aqra' bin Habis dan Abbas bin Mirdas, masing-masing 100 ekor unta. Bahkan kepada 'Alqamah bin Ulatsah diberkan harta ghanimah perang Hunain. Semua itu dalam rangka membujuk hati mereka agar minimal mengurangi permusuhan kepada Islam. Dan kalau bisa sampai masuk Islam, tentu akan lebih baik lagi.
Namun sebagian ulama kurang sependapat dengan hal ini. Al-Hanafiyah dan As-Syafi'iyah mengatakan bahwa apa yang diberikan Rasulullah y itu hanya terjadi di masa awal dakwah Islam. Ketika umat Islam masih sedikit dan mereka sangat tertekan. Sedangkan ketika posisi umat Islam sudah kuat, tidak pernah lagi beliau memberikannya kepada mereka.
Dan hal ini juga dilakukan di zaman khalifah Umar bin Al-Khattab a, dimana beliau tidak pernah memberikan harta zakat kepada orang kafir harta zakat.
Umar a berkata,"Kita tidak akan memberikan sesuatu pun untuk menjadi muslim. Siapa yang mau silahkan masuk Islam dan siapa yang tidak mau silhakan kafir saja".

[5] Yang dimaksud dengan budak dalam hal ini menurut Al-Hanafiyah dan Asy-syafi'iyah adalah almukatibun, yaitu budak-budak yang sedang mengurus pembebasan dirinya dengan cara membayar / menembus harga atas dirinya itu kepada tuannya secara cicilan. Sebagaimana firman Allah l :

...Dan budak-budak yang kamu miliki yang memginginkan perjanjian, hendaklah kamu buat perjanjian dengan mereka , jika kamu mengetahui ada kebaikan pada mereka, dan berikanlah kepada mereka sebahagian dari harta Allah yang dikaruniakan-Nya kepadamu.....(QS. An-Nur : 33)
Sebab bila tidak berstatus sebagai mukatib, tidak mungkin bisa dijalankan. Sebab dalam hukum yang berlaku, seorang budak itu biar bagaimana pun tetap tidak akan pernah punya hak kepemilikan atas harta yang diberikan kepadanya. Sebanyak apapun harta yang diberikan kepadanya, tidak akan ada gunanya. Sebab secara hukum yang beraku, semua harta itu otomatis menjadi milik tuannya.
Sedangkan pendapat kalangan mazhab Maliki dan Hanbali tentang masalah budak yang mendapatkan hak atas dana zakat, maksudnya adalah dana itu dikeluarkan langsung untuk membeli budak kepada tuannya dan membebaskannya. Jadi budak itu sendiri tidak menerima uang dari amil zakat, sebab amil zakat itu yang langsung membebaskan dirinya menjadi manusia yang merdeka.
Dan disyaratkan bahwa budak yang dibebaskan itu adalah budak yang agamanya Islam, bukan yang beragama selain Isla. Tapi berhubung di masa sekarang ini sudah tidak dikenal lagi perbudakan, maka jatah untuk mereka otomatis telah hangus dengan sendirinya.

[6] Pemahaman terhadap gharimin dalam berbagai literatur tafsir atau fiqh dibatasi pada orang yang punya hutang untuk kperluannya sendiri dan dana dari zakat diberikan untuk membebaskannya dari hutang. Namun kelompok Syafi’iyyah menyatakan bahwa gharim meliputi:
1. hutang karena mendamaikan dua orang yang bersengketa. Dana zakat dapat diberikan untuk pengganti pengeluaran tersebut, meskipun orangnya secara pribadi mampu.
2. Hutang untuk kepentingan pribadi
3. Hutang karena menjamin orang lain.
Untuk dua yang terakhir, dana zakat diberikan kepada yang berhutang kalau dia tidak mampu membayarnya.
Hutang yang disebabkan oleh upaya mendamaikan dua orang yang bersengketa, meskipun yang berhutang secara pribadi kaya, ia berhak mendapatkan bantuan dana zakat untuk mengganti dana yang dikeluarkannya. Begitu juga hutang yang diakibatkan karena program atau kegiatan untuk kepentngan sosial, seperti dana yayasan anak yatim, atau rumah sakit untuk pengobatan masyarakat miskin atau sekolah untuk kaum muslimin.

Dalam konteks ini, dapat dipahami bahwa hutang yang timbul akibat dari operasional upaya penyelesaian sengketa dalam bentuk apapun dapat didanai oleh dana zakat. Seperti advokasi, penegakan HAM, perlindungan anak dan bantuan hukum, terutama bagi umat Islam yang tidak mampu untuk mendapatkan haknya.

Biaya operasional program dimaksud tentu saja dapat didanai dengan dana zakat. Hal itu disebabkan kegiatan tersebut termasuk pada upaya untuk menyelesaikan sengketa dan biasanya dialami oleh masyarakat tidak mampu baik akses, ataupun ekonomi.

[7] Zainudin bin Abdul Aziz Al-Malibari dalam kitab Fathul Mu’in berkata : makna Fi Sabilillah yaitu orang yang mengerjakan jihad (perang) karena Allah (bukan karena gaji dan sebagainya), walaupun ia orang kaya. Orang tersebut berhak diberi biaya untuk pakaian dan keluarganya, ongkos pergi dan pulang, serta biaya peralatan perang. (Fathul Mu’in 1, hal. 587).


Ibnu Rusyd dalam kitab Bidayatul Mujtahid berkata : Menurut Malik dan Abu Hanifah, Fi sabilillah adalah untuk peperangan membela agama Allah dan pertahanan.
Sedangkan menurut Ahmad bin Hanbal termasuk untuk orang-orang yang berhaji dan umrah, sedangkan
Menurut Syafi’i untuk orang-orang yang bertempur membela agama Allah yang ada di dekat lokasi pengeluaran zakat.

Sayyid Sabiq berkata : Fi Sabilillah ialah jalan orang yang menyampaikan kepada keridhaan Allah, baik berupa ilmu maupun amal. Jumhur ulama berpendapat bahwa yang dimaksud dengan itu ialah berperang dan bagian fi sabilillah itu diberikan kepada tentara sukarelawan yang tidak mendapatkan gaji dari pemerintah. Orang-orang inilah yang yang berhak menerima zakat, baik mereka yang miskin atau kaya. (Fiqih Sunnah 1, hal. 573)

Imam Al-Qurthubi dalam kitab Tafsir Al-Qurthubi berkata : Fi Sabilillah maksudnya adalah para prajurit Islam yang berperang di jalan Allah dan para penjaga tapal batas daerah Islam. Mereka diberikan segala yang dibutuhkan untuk berperang beserta peralatannya, tanpa memandang latar belakang mereka, orang kaya atau miskin, semuanya diberikan. Inilah pendapat mayoritas ulama. Ini juga pendapat yang dipegang oleh madzhab Maliki.
(Tafsir Al-Qurthubi 8, hal. 451).

Jalaludin As-Suyuti dan Jalaludin Al-Mahali dalam Tafsir Jalalain menjelaskan : Fi Sabilillah adalah orang-orang yang berjuang di jalan Allah, tetapi tanpa ada yang membayarnya, sekalipun mereka adalah orang-orang yang berkecukupan. (Tafsir Jalalain 1, hal. 744).

Imam Al-Ghazali dalam kitab Bulughul Maram berkata :
Fi Sabilillah orang yang berperang, yaitu orang-orang yang tidak tercatat dalam buku orang-orang yang diberi gaji. Mereka diberi bagian meskipun mereka orang-orang kaya, sebagai bantuan bagi orang yang berperang itu.
(Ihya Ulumiddin 2, hal. 51).

Sedangkan Dr. Yusuf al-Qaradawi dalam kitab Fiqhuz Zakah, menyebutkan bahwa asnaf fi sabilillah, termasukdi antaranya adalah: Membangun pusat-pusat dakwah (al-Markaz Al-Islami) yang menunjang program dakwah Islam, Menerbitkan tulisan tentang Islam, serta mengajarkan agama Islam kepada para pemeluknya, biaya pendidikan sekolah Islam, biaya pendidikan seorang calon kader dakwah/ da`i yang akan berjuang di jalan Allah melalui ilmunya.

[8] Yaitu musafir yang berada jauh dari negeri asalnya, meskipun dia adalah seorang yang berkecukupan di negerinya. Namun keadaannya yang sedang dalam perjalanan, membuatnya berhak mendapatkan harta zakat. Asalkan perjalannya itu bukan perjalanan maksiat.

0 komentar :

Post a Comment

Terima kasih atas commentnya, Comment anda sangat bermanfaat bagi saya... Semoga bermanfaat.