Monday, May 16, 2011

Filosofi Penindasan

Rakyat saya ini sungguh bandel. Sebagai pemimpin, sungguh saya tak pernah menyangka bahwa manusia bisa sedemikian mbanggel-nya. Susah benar mengatur mereka. Orang diajak bersatu saja kok sukarnya bukan main.

Mending mengurusi kambing atau sapi.

Bersatu itu `kan enak. Alam dan kehidupan sudah memberi contoh sejak dulu.

Kalau cabe mau bersatu dengan terasi dan brambang, ditambah garam, kan jadi sambal yang nylekit. Apa sih keberatannya? Sekadar bersatu dengan terasi—kok keberatan. Apa maunya hidup tanpa sambal? Coba kalau berani: bikin undang-undang yang melarang sambal! Saya jamin akan terjadi revolusi.

Dan revolusi semacam itu belum tentu akan terjadi kalau alasannya adalah bukan sambal. Kalau yang jadi isu sekadar ketidakadilan sosial, konglomerasi yang berlebihan, kediktatoran politik atau masalah-masalah remeh yang semacamnya—berani taruhan tak akan bisa membuat rakyat bergerak.

Hanya sambal sajalah yang dijamin bisa menjadi sumber people power.

Ini adalah negeri sambal. Ini adalah masyarakat sambal. Ini adalah kebudayaan dan peradaban sambal.

Dan sekarang terbukti bahwa terutama di bidang politik, para aktivis jelas tidak mampu meniru persatuan sambal.

Jadi, saya ini sebagai pemimpin, benar-benar pusing kepala.

Entah kenapa Tuhan mencampakkan saya ke urusan-urusan di mana saya harus berhadapan dengan anak-anak kemarin sore yang naif-naif.

Saya ajak merawat persatuan dan kesatuan, rewelnya bukan main. Saya kasih tawaran untuk memiliki kemuliaan jiwa, juga ogah-ogahan.

Misalnya, kaki mereka saya injak, lantas saya katakan, "Damai ya? Kamu mau memafaatkan saya atau tidak? Memaafkan itu perbuatan luhur. Tuhan saja banyak sifat pemaaf dan pengampunnya. Tuhan itu ghafûr, tawwâb, `afuwwu, ghaffâr dan lain-lain. Semua itu sifat pemaaf. Coba kamu pikir, Tuhan yang Mahabesar dan tak butuh apa-apa saja bersedia memaafkan, kok kamu sok tidak mau memaafkan. Ayo! Mau memaafkan saya atau tidak! Kalau tidak, berarti kamu menentang saya! Merongrong kewibawaan saya!"

Jadi, kalau saya menginjak kaki mereka, itu suatu metode pendidikan untuk melatih kebesaran jiwa mereka. Kalau saya menempeleng kepala mereka, itu untuk menguji keluasan hatinya. Kalau saya menendang seseorang sehingga terlempar jatuh dari kursinya dan ia lantas duduk di kursi bayangan, itu demi menatar keteguhan batinnya. Kalau saya rampok hartanya, saya gusur ladangnya atau saya ambrukkan rumahnya, itu semata-mata kaifiyah atau prosedur agar mereka mengembangkan kecerdasan ilmunya tentang keadilan dan kebenaran.

Menguji keluasan hati, melatih kebesaran jiwa, mengembangkan ilmu dan meneguhkan akhlak, dan lain sebagainya—adalah hal-hal yang merupakan inti ajaran Tuhan dan para nabi-Nya. Saya sekadar penerus, ahli waris.

Di sinilah letak kesalahpahaman rakyat saya. Maklumlah mereka memang masih bodoh-bodoh. Merdeka belum lama. Terlalu lama dijajah oleh Kumpeni dan sebelumnya ditindas oleh raja-raja sendiri. Jadi memang saya memerlukan tahap-tahap pembangunan dan pendidikan jangka panjang. Puluhan tahun. Dan kalau saya boleh buka rahasia: saya tidak mau dinilai oleh Tuhan sebagai pemimpin yang tinggal gelanggang colong playu. Pemimpin yang lari dari tanggung jawab sebelum tugasnya mampu dibereskan dengan tuntas.

Tidak. Saya bukan tipe manusia yang pengecut dan betina. Sebelum tanggung jawab bisa saya penuhi sepenuhnya, saya tidak akan lari ke manapun. Saya akan tetap panggul tanggung jawab itu, sebagaimana para rasul dulu loro-lopo memanggul risalah mereka, meskipun disakiti, dilukai, difitnah, dirasani, dan disalahpahami.

Itulah beda antara saya dan kebanyakan pemimpin lain di dunia ini. Mereka pada umumnya melompat dari kursi amanat rakyatnya dan melarikan diri keluar dari balairung tanggungjawab nasionalnya, sebelum tugasnya dituntaskan. Beberapa tahun mereka sudah tak tahan dan angkat tangan.

Lantas turun dari jabatannya dengan meninggalkan problem-problem. Dan problem-problem itu harus diselesaikan oleh para penggantinya. Para pemimpin baru yang menggantinya, yang tidak ikut menciptakan problem, harus susah payah mengatasinya.

Itu benar-benar suatu kecurangan sejarah.

Dan saya tidak. Sekali saya tegaskan: saya tidak! Saya tidak demikian. Saya bukan pengecut licik dan tengik. Saya, dengan saksi Allah, para malaikat dan segala lelembut—akan dengan teguh memanggul tanggung jawab ini sampai titik darah penghabisan. Rawe-rawe rantas. Malang-malang putung.

Tapi ya itu—susah bener menyuruh rakyat untuk bersatu.

Masyaallah. Tetapi, namanya juga rakyat. Rakyat itu kanak-kanak abadi.

Susah diajak dewasa. Kalau anak kecil itu kemriyek, suka ribut dan suka berebut apa saja. Kalau orang dewasa bisa lebih tenang dan stabil jiwanya. Sungguh saya mendambakan kedewasaan rakyat. Maunya saya, mbok yang tenanglah. Saya kasih makan apapun, usahakanlah tenang. Kalau saya kasih peraturan-peraturan , atau bahkan pun kalau saya sendiri melanggar peraturan yang saya bikin, berupayalah untuk tetap tenang. Tujuan saya adalah memang menguji daya ketenangan dalam jiwa mereka.

Kalau saya menggusur, saya sekadar ingin tahu seberapa kadar kesabaran mereka. Kalau saya ambil makanan lebih banyak dibanding jumlah makanan mereka semua, itu wajar, karena saya memang pemimpin. Moso' pemimpin disuruh kelaparan! Kalau saya menentukan siapa Kepala Satgas, siapa Ketua Partai, siapa Pimpinan Organisasi, berapa hektar sawah untuk keluarga saya, dan lain sebagainya—itu semata-mata untuk mendeteksi takaran sangka baik nasional mereka. Rakyat saya harus dewasa, harus matang kepribadiannya, tidak gampang bersangka buruk, tidak gampang iri, dengki atau cemburu.

Misalnya sekali waktu, atau di banyak waktu, sengaja saya menerapkan perilaku yang penuh kemunafikan. Itu apa tujuan saya? Tak lain tak bukan adalah untuk mengetahui secara persis seberapa tinggi ketahanan mereka atas hal-hal yang buruk. Kalau saya sebarkan ketidakadilan, umpamanya, saya ingin mengerti seberapa kukuh hati mereka ditimpa oleh nasib buruk yang menyiksa. Sebagai pemimpin saya tidak mau punya rakyat yang cengeng, yang rewel dan sentimentil. Mereka harus tetap tenang, damai dan bersatu, meskipun ditimpa ketidakadilan dan ketidakbenaran.

Mungkin terpaksa saya akan menuliskan semua filosofi ini dalam buku-buku.

Mungkin akan saya cicil sedikit demi sedikit melalui pidato-pidato, agar rakyat saya terdidik. Mungkin juga saya akan menciptakan semacam reportoar drama, entah monolog entah drama kolosal mengenai semua ini agar saya berlega hati menyaksikan rakyat saya berproses untuk dewasa dan penuh persatuan dan kesatuan. Kalau tidak, saya akan malu kepada dunia.[]

(Emha Ainun Nadjib /Keranjang Sampah/Zaituna/ 1999/PmBNetDok)

Dolly Dan Hukum Keausan

KALAU tema maiyahannya soal keprihatirian terhadap nasib hutan seperti yang pernah dialami Kiai Kanjeng di Blora, Bojonegoro, dan lain-lain, yang melingkar ya para blandhong, sahabat - sahabat perhutani, pengusaha-pengusaha kayu, Pemda, Polres, Kodim, LSM, ulama-kiai-ustadz, dan siapa saja sesepuh masyarakat. Dalam memaiyahi hutan, diupayakan akad untuk sesegera mungkin menghabiskan menggunduli hutan, atau sebaliknya: memulai bersama melindunginya, melalui berbagai langkah kultural, birokratis, dan strategis.

Kalau maiyahannya soal pelacuran, di Dolly umpamanya, (beberapa tahun yang lalu Kiai Kanjeng pernah pentas di sana dan guyon sama WTS-WTS), ya yang melingkar utamanya teman-teman yang disebut wanita tuna susila. Terus ayyuhal-ghoroomiy alias germo-germo. Kalau bisa Muspida setempat, teman-teman relawan sosial, pemuka-pemuka agama, dan yang tak kalah penting pengusaha-pengusaha yang manusia.

Melacurkan diri itu salah atau benar tak usah menjadi bahan diskusi Maiyah. Sejak sebelum ada Nabi Adam, sudah ada kesimpulannya dan semua makhluk sepakat -wong ketika Tuhan mau bikin manusia saja Malaikat ngenyang: "Apakah Allah akan menciptakan manusia, yang toh kerjanya bikin kerusakan di bumi, termasuk merusak dirinya sendiri, serta menumpahkan darah...

Soalnya Malaikat sudah punya referensi: dulu manusia (yang diselidiki Darwin) itu kerjanya ` merusak dan akhirnya musnah sendiri. Kemudian, Tuhan mau bikin lagi dan dimulai Adam: Malaikat gelisah hatinya dan cemas.

Yang menjadi tema utama Maiyah adalah dua kenyataan. Pertama, tidak ada wanita yang sejak awal memang bercita-cita menjadi pelacur. Tidak ada gadis berdebar-debar hatinya membayangkan alangkah indahnya kalau bisa menjadi tuna susila, sehingga berdoa "Ya Allah, jadikanlah aku wanita tunasusila. Fa ila hadzihiu'niyyah assholihcih alfaaaatihah....

Kedua, tidak ada wanita tuna susila yang meningkat kariernya dan sampai ke puncak. Perawannya seharga setengah juta rupiah, kemudian mulai dinas dan harganya jadi 600 ribu rupiah, terus meningkat sampai sejuta, dua juta, tiga juta.

Tidak ada pelacur yang makin lama makin cantik, makin seksi, makin segar, makin kemelon. Sebagaimana semua makhluk, jasmaniyahnya diikat oleh hukum keausan. Makin lama makin aus, keriput, melorot, tua, karena gardu terdekat masa depannya adalah kematian.

Maka, harus dimaiyahkan agar setiap tuna susila kita pandu bersama untuk memiliki pengetahuan masa depan dirinya sendiri. Sampai berapa tahun lagi ia akan bisa bertahan. Kemudian, bersikap tegas dan realistis bahwa sekian tahun lagi dia, mau tidak mau, sudah harus berhenti. Untuk itu, sejak sekarang ia perlu mempersiapkan keterampilan untuk kelak menggantikan pekerjaannya yang sekarang. Pak Kiai, Pak Ustadz, Pak Pastor, Pak Pendeta , Pak lurah, dari Camat, semua pihak bermaiyah mengantarkan para wanita itu mempersiapkan diri menuju masa depan yang realistis.

Ini berlaku tidak hanya untuk orang-orang yang melacurkan jasmaninya. Tetapi,juga berlaku untuk siapa saja yang menjual nilai, menjual demokrasi dan reformasi, menjual amanat rakyat, menjual kesucian tangan rakyat ketika mencoblos di Pemilu, menjual negara, menjual harga diri manusia. dan bangsa.

Para pelacur politik Indonesia hari-hari ini juga sedang memasuki salah satu fase puncak keausan dan pengausan. Siapa saja yang terkoptasi dan terkontaminasi segera akan menjumpai dirinya aus sebentar lagi.

Dakwah

Dakwah adalah berkata. Berkata adalah salah satu mendium ekspresi dan medium komunikasi; seperti juga bernyanyi, melawak, memperbaiki selokan, mencangkul di sawah, adalah juga medium bagi ‘amar ma’ruf nahiy munkar’. Bahwa ada golongan manusia yang memakai medium itu justru untuk ‘amar ma’ruf nahiy munkar’, yang salah adalah akidah manusianya, bukan mediumnya. Kan persoalannya bukan apakah kita berkata ataukah bernyanyi, melainkan berkata apa dan menyanyikan apa, mengatakan secara bagaimana dan bernyanyi untuk tujuan apa.

Kalau seorang kiai di desa terjun bersama penduduk memperbaiki jembatan sehingga tubuhnya kotor, pekerjaan itu tidal lebih rendah dari jubah putih di atas podium.

Rupanya kita ini adalah orang-orang suci yang suka menajis-najiskan dan membuang setiap barang atau orang najis itu.(Diambil Dari Buku Secangkir Kopi Jon Parkir)

Cuci Gudang

Orang bersujud wajahnya diletakkan di tempat paling bawah yang paling rendah, pantatnya diletakkan paling tinggi.

Kalau engkau tidak kuat-kuat dalam hidupmu, maka martabat hidupmu akan jatuh dibawah pantatmu.

Maka pada saat sujud, yang dibaca adalah konteks mengenai ketinggian Allah.

Sekarang ini segala hal di Indonesia isinya perceraian-perceraian.Taufik Kiemas bercerai dengan Susilo Bambang, Gus Dur bercerai dengan Hasyim Muzadi, dulu sama Matori. NU Muhamadiyyah tidak bisa nikah satu sama lain, antar NU tidak bisa nikah. Antar suku sekarang menjadi pisah rumah. Orang Islam, orang Kristen di Ambon, yang berabad-abad hidup bersama, tapi sekarang mereka pisah.

Dibidang kebudayaan, terjadi perpecahan, perceraian-perceraian.

Di bidang ekonomi, kompetitifnes yang seharusnya mendinamisir semua potensi ekonomi, tapi yang terjadi di Indonesia, bukan dinamisasi, tapi permusuhan, penjegalan, korupsi dan lain sebagainya, yang merugikan kebaynakan rakyat.

Orang Indonesia ini ikhlas hidupnya, sehingga berpa jumlahnya tidak penting. Mau diakui 100 juta itu ikhlas-ikhlas saja, saking baiknya kita ini. Saya kira Tuhan juga tidak akan hitung-hitung juga, sehingga kita dimasukkan surga semua.

Tuhan bukan raja,

Tuhan itu sahabatmu,

Tuhan itu tidak elita,

Tuhan bukan barang mewah,

Tuhan itu milikmu sehari-hari,

Tuhan itu sahabatmu sehari-hari,

Tuhan itu adalah cinta dalam dirimu.

Wahai orang-orang yang diatas,

jadilah orang-orang besar dan ketahuilah

bahwa jabatan apapun di dunia ini,

bukan sesuatu yang besar,

karena dirimu, kepribadianmu,

lebih besar dari segala jabatan di dunia ini.

Cuci gudang

Cuci gudang

Cuci gudang republik kelabu

Mana nabi, mana setan

Mana nabi, mana setan

Rakyat tak tahu

Cuci gudang

Cuci gudang

Cuci gudang negeri abu-abu

Putih dan hitam

Putih dan hitam sudah menyatu

Mata buta

Mata buta

Mata buta haruslah milih mana

Alangkah gelapnya

Alangkah gelapnya

Hanya bisa meraba-raba

Kelihatannya dia

Kelihatnnya dia pilihan utama

Kelihatannya hanya kelihatannya

Hanya, hanya, kayaknya

Bukan, bukan nyatanya

Bukan nyatanya, bukan nyatanya.



Apa yang diandalkan dari ilmu manusia?

Kenapa anda hidup sekarang selalu dengan meyakini apa yang anda sangka dan anda rencanakan? Padahal sudah jelas dalam hidup anda, anda ditimpa hal-hal yng tidak pernah anda sangka.

Kenapa kita sekarang begitu meyakini pada rencana kita, pada konsep kita padahal besok kita kecele lagi dan ketemu hal-hal ang tidak bisa kita sangka?

Buron dan Kambing Terjepit

“Cak, aku bukan buron. Semua kewajiban saya kepada keuangan Negara sudah saya bayar, bersama ini saya kirimkan berkas-berkas data yang membuktikan hal itu. Saya numpang hidup sementara di luar negeri memang karena saya lari, tetapi bukan lari sebagai buron, meskipun pada pengetahuan publik saya adalah buron.”

“Saya lari dari para pemeras, dari mereka yang berlagak menegakkan hukum tetapi sesungguhnya mengail di air keruh. Memeras kami sekeluarga terus menerus, dari hari ke hari, siang dan malam. Aku lemah, sekarang istri saya yang menghadapi pemerasan-pemerasan itu tiap hari ini tanah air.”

“Kalau Pak Presiden menjamin bahwa saya, keluarga dan perusahaan-perusahaan saya aman dan terlindung dari tindak pemerasan para pagar pemakan tanaman, maka sekarang juga saya balik ke kampung halaman saya. Karena, meskipun potongan dan wajah saya tidak memenuhi syarat citra nasionalisme, tetapi saya cinta Indonesia…”
*****

“Cak, Pasar Turi terbakar sebanyak 4 kali : 1. Thn 1969. 2. Thn 1978. 3. Tgl 26 juli 2007. 4. Tgl 9 september 2007. Yang ke 3 dan ke 4, oleh Kapolda Jatim dinyatakan dibakar, namun kami para pedagang tidak atau belum mendengar ada proses hukum yang menuju ke peradilan atas pihak yang membakar. Cak, bagaimana logika konstitusionalnya kalau Kepala Polisi bilang itu dibakar tapi kemudian tak ada proses hukum. Apakah Polisi bisa disebut telah menyebarkan kebohongan publik?

Ataukah pihak pembakar adalah kakap raksasa ekonomi dan politik sehingga lembaga keamanan Negara tidak bisa berbuat apa-apa kepadanya? Bagaimana kami orang kecil memasukkan hal seperti itu ke dalam nalar kepala kami? Apa lama-lama tidak pecah kepala ini?”

“Pada peristiwa dibakar yang terakhir kerugian yang bisa dicatat : 1. Dari total 2.350 stand yg terbakar, kerugian barang dagangan diperkirakan 1.7 trilyun. 2. Dari total stand yang tidak terbakar, di lokasi tahap II tidak dapat berjualan kembali hingga saat ini. 3. Dalam kondisi normal omzet perputaran transaksi perdagangan di pasar turi mencapai lebih kurang30 milyard per hari. Sedangkan dalam kondisi pemulihan yang sangat lamban seperti saat ini dan telah berlangsung selama 3 bulan, dapat dibayangkan berapa rupiah yg hilang.”
*****

“Cak, kami para pedagang tidak menuntut yang aneh-aneh. Cak Nun mengatakan di forum Bangbang Wetan Surabaya bahwa Sohibul-Bait atau tuan rumahnya sawah adalah petani, tuan rumahnya laut adalah nelayan, tuan rumahnya pasar adalah para pedagang. Kami hanya berpendapat bahwa sebagai penghuni dan tua nrumah utama di Pasar Turi kami berhak disertakan sebagai salah satu subyek dalam proses pengambilan keputusan atas pembangunan pasar kembali oleh Pemkot Surabaya.”

“Tetapi sampai hari ini Walikota Surabaya Bambang DH tidak mau sekedar bertemu atau bertatap muka sajapun dengan kami para pedagang. Jangankan melibatkan kami dalam perundingan. Saya mendengar Cak Nun mencoba menempuh berbagai hal ke Depdagri sampai Mendagri agar hak-hak pedagang itu memperoleh perhatian, tetapi tidak ada tanggapan apapun. Bahkan pejabat Depdagri minta kami para pedagang membuat surat lamaran agar beliau-beliau hadir ke Pasar Turi. Cak Nun mengatakan kalau ada kambing terjepit di antara dua batu besar, mestinya Pamong Desa punya mekanisme untuk tahu ada kambing terjepit kemudian bersegera melakukan sesuatu untuk menolong kambing itu. Tetapi di Indonesia kambing terjepit harus menulis surat lamaran agar Pamong Desa datang kepadanya”.
*****

“Cak, saya mendengar katanya Walikota Surabaya pernah dipanggil Presiden di Juanda dipertemukan dengan wakil pedagang Pasar Turi tapi sang Walikota tidak hadir. Apa itu artinya Cak? Presiden tidak punya kuasa atas Walikota? SBY tidak punya wibawa sehingga dengan mudah begitu saja dibokongi oleh bawahan jauhnya? Ataukan ada aturan Otonomi Daerah yang memberi peluang kepada Pejabat Daerah untuk menangani sesuatu secara mutlak dan tak bisa dicampuri bahkan oleh Presiden?”

“Cak, perwakilan pedagang sudah dua kali berusaha untuk bertemu walikota Bambang DH tetapi tidak pernah diterima. Ada yang menganalisis bahwa SBY tidak mampu melakukan apa-apa atas Pasar Turi karena kunci-kunci di strata bawahannya di Depdagri sampai Pemkot Surabaya semua adalah dari Parpol pesaing parpolnya Presiden. Sehingga semacam ada aroma konspirasi politik sangat menyengat sekali untuk menjatuhkan wibawa dan kekuasaan pemerintahan SBY. Apa itu masuk akal atau tak masuk akal Cak”.
*****
Yang paling bahaya dari sms-sms yang saya terima semacam itu adalah karena membuat saya bergairah makan. Kenapa bahaya? Kata anak saya, ada seribu alasan kenapa orang minum air putih, dan di antara 1000 alasan itu di bawah seratus /100 yang relevan terhadap kesehetan. Kalau kita berkunjung ke kantor Bupati dan disuguhi air putih maka kita minum air putih. Air putih itu sehat, namun pada momentum itu kita teguk air putih tidak dalam skala pertimbangan dan disain kesehatan.

Kalau gara-gara sms-sms banjir tiap saat saya lantas merasa lapar lagi dan lapar lagi maka saya ketemu makanan karena kompensasi psikologis, bukan tarikat kesehatan, dan itu bahaya bagi badan saya jangka panjang. Kalau sms-sms harian sekedar minta nama bayi lahir 3-4x seminggu, suami punya masalah serius dengan istri atau sebaliknya, keluhan tentang lapangan kerja, minta modal, problem-problem rumah tangga, stress, gelisah, bingung menentukan pilihan atau apapun masalah per-manusia sehari-hari: saya masih belum terangsang untuk makan.

Tapi kalau masalah yang di-sms-kan begitu gede-gede: masalah Lumpur Sidoardjo yang sekamnya makin membara dan tak sampai setengah tahun lagi akan bisa ada yang terbakar kalau Pemerintah, Lapindo dan korban Lumpur tidak menemukan pemandu yang tepat untuk mengatasi benturan mereka….. Kalau yang di-sms-kan adalah potensi bentrok ribuan tani sawit di Bangka, tanah ratusan hektar penduduk yang dipakai Negara dan sampai 23 tahun belum dibayar….

Dan kalau semua itu coba saya tolong dengan menjumpai betapa pejabat dan birokrasi Negara kita hampir sama sekali tidak memiliki logika tanggung jawab, dialektika moral, kepatuhan konstitusi…maka sungguh-sungguh saya kawatir akan makan berlebihan dan besok pagi tatkala bangun akan muncul pikiran tertentu di kepala saya. Pikiran-pikiran yang selama bertahun-tahun saya pendam dalam kolam kearifan, saya simpan di laci kesabaran, saya sembunyikan di balik kerudung cinta…namun akhirnya tak mampu lagi saya meneruskannya….*****

Berlindung Dari 5 Kesombongan

Ya Allah hamba berlindung kepadaMu dari kesombongan orang berkuasa, yang berdiri gagah tanpa punya malu karena merasa diri mereka lebih tinggi dari rakyatnya, padahal rakyatnya itulah yang meletakkannya di kursi dan membiayai hidup mereka, namun rakyat itu pulalah yang menjadi sasaran dari palu dan senapan para penguasa

Ya Allah hamba berlindung kepadaMu dari kesombongan orang kaya, yang berjalan acuh tak acuh dan mendongakkan kepalanya karena merasa dirinya lebih penting di banding orang-orang lainnya, padahal orang banyak itulah sumber penghidupan dan kekayaannya, namun orang banyak itu pulalah yang selalu disuruh siap dibeli kehormatannya dengan uang dan harta mereka

Ya Allah hamba berlindung kepadaMu dari kesombongan orang pandai, yang selalu merasa lebih hebat dari orang lainnya, sehingga ia membuka mulutnya lebar-lebar dan memuntahkan hujan kata-kata yang berasal dari perasaan pandai dan hebat di dalam dirinya, padahal inti kepandaian adalah kesanggupan untuk mendangarkan serta kerendahan hati untuk tidak banyak membuka mulut, dan puncak tertinggi keterpelajaran berbanding sejajar dengan tingkat kesadaran atas kebodohan diri

Ya Allah hamba berlindung kepadaMu dari kesombongan orang masyhur yang selalu merasa lebih khusus dibanding orang-orang disekitarnya, yang menyangka bahwa kemasyhuran adalah kelebihan derajat atas orang lainnya, yang mengira bahwa kemasyhuran adalah sama dengan keunggulan dan kehebatan, yang perilakunya mengandalkan "karena aku masyhur maka aku hebat", bukan membuktikan bahwa "karena aku bermanfaat maka aku (terpaksa) masyhur"

Ya Allah hamba berlindung kepadaMu dari kesombongan orang alim saleh, yang ke mana-mana sibuk merasa bahwa yang selain dirinya adalah najis, yang tidak punya kemampuan lain kecuali merasa dirinya suci dan selalu benar, yang beranggapan bahwa Tuhan adalah anak buahnya, bahwa para Nabi dan Rasul adalah staf dan karyawannya untuk melaksanakan kepentingan-kepentingan diri dan golongannya. (Sumber: PmBNet Documentation)

Bakso Khalifatullah

Setiap kali menerima uang dari orang yang membeli bakso darinya, Pak Patul mendistribusikan uang itu ke tiga tempat: sebagian ke laci gerobagnya, sebagian ke dompetnya, sisanya ke kaleng bekas tempat roti.

“Selalu begitu, Pak?”, saya bertanya, sesudah beramai-ramai menikmati bakso beliau bersama anak-anak yang bermain di halaman rumahku sejak siang.
“Maksud Bapak?”, ia ganti bertanya.
“Uangnya selalu disimpan di tiga tempat itu?”
Ia tertawa. “Ia Pak. Sudah 17 tahun begini. Biar hanya sedikit duit saya, tapi kan bukan semua hak saya”
“Maksud Pak Patul?”, ganti saya yang bertanya.
“Dari pendapatan yang saya peroleh dari kerja saya terdapat uang yang merupakan milik keluarga saya, milik orang lain dan milik Tuhan”.

Aduh gawat juga Pak Patul ini. “Maksudnya?”, saya mengejar lagi.
“Uang yang masuk dompet itu hak anak-anak dan istri saya, karena menurut Tuhan itu kewajiban utama hidup saya. Uang yang di laci itu untuk zakat, infaq, qurban dan yang sejenisnya. Sedangkan yang di kaleng itu untuk nyicil biaya naik haji. Insyaallah sekitar dua tahun lagi bisa mencukupi untuk membayar ONH. Mudah-mudahan ongkos haji naiknya tidak terlalu, sehingga saya masih bisa menjangkaunya”.

Spontan saya menghampiri beliau. Hampir saya peluk, tapi dalam budaya kami orang kecil jenis ekspressinya tak sampai tingkat peluk memeluk, seterharu apapun, kecuali yang ekstrem misalnya famili yang disangka meninggal ternyata masih hidup, atau anak yang digondhol Gendruwo balik lagi.

Bahunya saja yang saya pegang dan agak saya remas, tapi karena emosi saya bilang belum cukup maka saya guncang-guncang tubuhnya. Hati saya meneriakkan “Jazakumullah, masyaallah, wa yushlihu balakum!”, tetapi bibir saya pemalu untuk mengucapkannya. Tuhan memberi ‘ijazah’ kepadanya dan selalu memelihara kebaikan urusan-urusannya.

Saya juga menjaga diri untuk tidak mendramatisir hal itu. Tetapi pasti bahwa di dalam diri saya tidak terdapat sesuatu yang saya kagumi sebagaimana kekaguman yang saya temukan pada prinsip, managemen dan disiplin hidup Pak Patul. Untung dia tidak menyadari keunggulannya atas saya: bahwa saya tidak mungkin siap mental dan memiliki keberanian budaya maupun ekonomi untuk hidup sebagai penjual bakso, sebagaimana ia menjalankannya dengan tenang dan ikhlas.
Saya lebih berpendidikan dibanding dia, lebih luas pengalaman, pernah mencapai sesuatu yang ia tak pernah menyentuhnya, bahkan mungkin bisa disebut kelas sosial saya lebih tinggi darinya. Tetapi di sisi manapun dari realitas hidup saya, tidak terdapat sikap dan kenyataan yang membuat saya tidak berbohong jika mengucapkan kalimat seperti diucapkannya: “Di antara pendapatan saya ini terdapat milik keluarga saya, milik orang lain dan milik Tuhan”.

Peradaban saya masih peradaban “milik saya”. Peradaban Pak Patul sudah lebih maju, lebih rasional, lebih dewasa, lebih bertanggungjawab, lebih mulia dan tidak pengecut sebagaimana ‘kapitalisme subyektif posesif’ saya.

30 th silam saya pernah menuliskan kekaguman saya kepada Penjual cendhol yang marah-marah dan menolak cendholnya diborong oleh Pak Kiai Hamam Jakfar Pabelan karena “kalau semua Bapak beli, bagaimana nanti orang lain yang memerlukannya?”
Ilmunya penjual jagung asal Madura di Malang tahun 1976 saya pakai sampai tua. Saya butuh 40 batang jagung bakar untuk teman-teman seusai pentas teater, tapi uang saya kurang, hanya cukup untuk bayar 25, sehingga harga perbatang saya tawar. Dia bertahan dengan harganya, tapi tetap memberi saya 40 jagung.
“Lho, uang saya tidak cukup, Pak”
“Bawa saja jagungnya, asal harganya tetap”
“Berarti saya hutang?”
“Ndaaak. Kekurangannya itu tabungan amal jariyah saya”.
Doooh adoooh…! Tompes ako tak’iye!
Di pasar Khan Khalili semacam Tenabang-nya Cairo saya masuk sebuah took kemudian satu jam lebih pemiliknya hilang entah ke mana, jadi saya jaga tokonya. Ketika dating saya protes: “Keeif Inta ya Akh…ke mane aje? Kalau saya ambilin barang-barang Inta terus saya ngacir pigimane dong….”
Lelaki tua mancung itu senyum-senyum saja sambil nyeletuk: “Kalau mau curi barang saya ya curi saja, bukan urusan saya, itu urusan Ente sama Tuhan….”

Sungguh manusia adalah ahsanu taqwim, sebaik-baik ciptaan Allah, master-piece. Orang-orang besar bertebaran di seluruh muka bumi. Makhluk-makhluk agung menghampar di jalan-jalan, pasar, gang-gang kampung, pelosok-pelosok dusun dan di mana-manapun. Bakso Khlifatullah, bahasa Jawanya: bakso-nya Pak Patul, terasa lebih sedap karena kandungan keagungan.

Itu baru tukang bakso, belum anggota DPR. Itu baru penjual cendhol, belum Menteri dan Dirjen Irjen Sekjen. Itu baru pemilik toko kelontong, belum Gubernur Bupati Walikota tokoh-tokoh Parpol. Itu baru penjual jagung bakar, belum Kiai dan Ulama.