Monday, June 20, 2011

BENTUK KERJASAMA AL-MUDHARABAH

A. Pendahuluan

Ketika bank syariah pertama kali berkembang baik di tanah air maupun di manca negara, seringkali dikatakan bahwa bak syariah adalah bank bagi hasil. Hal ini dilakukan untuk membedakan bank syariah dengan bank konvensional yang beroperasi dengan sistem bunga. Hal itu betul, tetapi tidak sepenuhnya benar. Karena sesungguh-nya bagi hasil itu hanya merupakan bagian saja dari sistem operasi bank syariah. Bagi hasil adalah bentuk return dari kontrak investasi, yakni yang termasuk kedalam natural uncertainty contracts. Padahal kita telah membahas bahwa selain itu, fiqh Islam juga mengenal natural uncertainty contracts. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa sistem bagi hasil sudah pasti merupakan salah satu praktik perbankan syariah. Namun sebaliknya, praktik perbankan syariah belum tentu seluruhnya menggunakan sistem bagi hasil. Karena selain sistem bagi hasil, masih ada sitem jual-beli dan sewa-menyewa yang juga digunakan dalam sistem operasi bank syariah.

Penjelasan di atas perlu ditegaskan untuk meluruskan pemahaman dan persepsi masyarakat, bahwa bank syariah hanya terbatas pada sistem bagi hasil, sebenarnya tidak demikian. Bank syariah mempunyai ruang gerak yang lebih luas lagi daripada sistem bagi hasil. Bank syariah juga dapat menerapkan sistem jual beli dan sewa-menyewa, disamping tentunya sistem bagi hasil. Dengan banyaknya alternatif yang terbuka seperti ini, maka diharapkan penerapan praktik bank syariah dapat menjadi lebih fleksibel dan sesuai dengan konteks, kebutuhan, dan keadaan spesifik yang dihadapi di lapangan. Dengan demikian pemahaman seperti inilah bahasan tentang pembiayaan mudharabah ini kita mulai.

B. Pembahasan

1. Pengertian al-Mudharabah

Mudharabah berasal dari kata dharb, berarti memukul atau berjalan. Pengertian memukul atau berjalan ini lebih tepatnya adalah proses seseorang memukulkan kakinya dalam menjalankan usaha.

Secara teknis, al-mudharabah adalah akad kerjasama usaha antara dua pihak dimana pihak pertama menyediakan seluruh (100%) modal, sedang pihak lainnya menjadi pengelola. Keuntungan usaha secara mudharabah dibagi menurut kesepakatan yang dituangkan dalam kontrak sedangkan apabila rugi ditanggung oleh pemilik modal selama kerugian itu bukan akibat kelalaian si pengelola. Seandainya kerugian itu diakibatkan karena kecurangan atau kelalaian si pengelola, si pengelola harus bertanggung jawab atas kerugian tersebut.

2. Pengertian Akad Mudharabah

Mudharabah adalah akad yang telah dikenal oleh umat muslim sejak zaman Nabi, bahkan telah dipraktikkan oleh bangsa Arab sebelum turunnya Islam. Ketika nabi Muhammad SAW berprofesi sebagai pedagang, ia melakukan akad mudharabah dengan Khadijah. Dengan demikian, ditinjau dari segi hukum Islam, maka praktik mudharabah ini dibolehkan, baik menurut Al-Qur'an, Sunnah maupun Ijma’.

Bentuk kontrak antara dua pihak dimana satu pihak berperan sebagai pemilik modal dan mempercayakan sejumlah modalnya dikelola oleh pihak kedua, yakni si pelaksana usaha, dengan tujuan untuk mendapatkan untung disebut akad mudharabah.

3. Landasan Hukum

a. Al-Qur’an

Artinya :

“.... dan dari orang-orang yang berjalan di muka bumi mencari sebagian karunia Allah SWT ......” (QS. al-Muzammil : 20)

Yang menjadi wajhud-dilalah atau argumen dari surat al-Muzammil : 20 adalah adanya kata yadhribun yang sama dengan akar kata mudharabah yang berarti melakukan suatu perjalanan usaha.

b. Al-Hadits

عن صالح بن شهيب رضي الله عنه أن رسول الله صلى الله عليه وسلم قال: ثلاث فيهن البركة البيع الى اجل والمقارضة وخلط البر بالشعير للبيت لا للبيع.

(رواه ابن ماجه)

Artinya :

“Dari Shalih bin Shuhaib r.a. bahwa Rasulullah SAW bersabda : “Tiga hal yang di dalamnya terdapat keberkatan : jual beli secara tangguh, muqaradhah, dan mencampur gandum dengan tepung untuk keperluan rumah, bukan untuk dijual”. (HR. Ibnu Majah, no. 2280, kitab at-Tijarah)

c. Ijma’

Di antara ijma’ dalam mudharabah, adanya riwayat yang menyatakan bahwa jamaah dari sahabat menggunakan harta anak yatim untuk mudharabah. Perbuatan ini tidak ditentang oleh sahabat lainnya.[1]

d. Qiyas

Mudharabah diqiyaskan kepada al-musyaqah (menyuruh seseorang untuk mengelola kebun). Selain di antara manusia, ada yang miskin dan ada pula yang kaya. Di satu sisi, banyak orang kaya yang tidak dapat mengusahakan hartanya. Di sisi lain, tidak sedikit orang miskin yang mau bekerja, tetapi tidak memiliki modal. Dengan demikian, adanya mudharabah ditujukan antara lain untuk memenuhi kebutuhan kedua golongan di atas, yakni untuk kemaslahatan manusia dalam rangka memenuhi kebutuhan mereka.

4. Rukun Al Mudharabah

Al-Mudharabah seperti usaha pengelolaan usaha lainnya memiliki tiga rukun:

a. Adanya dua atau lebih pelaku yaitu investor (pemilik modal) dan pengelola (mudharib).

b. Objek transaksi kerja sama yaitu modal, usaha dan keuntungan.

c. Pelafalan perjanjian.

Rukun pertama: adanya dua atau lebih pelaku.

Kedua pelaku kerja sama ini adalah pemilik modal dan pengelola modal. Disyaratkan pada rukun pertama ini keduanya memiliki kompetensi beraktifitas (Jaiz Al Tasharruf) dalam pengertian mereka berdua baligh, berakal, Rasyid dan tidak dilarang beraktivitas pada hartanya. Sebagian ulama mensyaratkan bahwa keduanya harus muslim atau pengelola harus muslim, sebab seorang muslim tidak ditakutkan melakukan perbuatan riba atau perkara haram. Namun sebagian lainnya tidak mensyaratkan hal tersebut, sehingga diperbolehkan bekerja sama dengan orang kafir yang dapat dipercaya dengan syarat harus terbukti adanya pemantauan terhadap aktivitas pengelolaan modal dari pihak muslim sehingga terlepas dari praktek riba dan haram.

Rukun kedua: objek Transaksi.

Objek transaksi dalam Mudharabah mencakup modal, jenis usaha dan keuntungan.

a. Modal

Dalam sistem Mudharabah ada empat syarat modal yang harus dipenuhi yaitu:

Ø Modal harus berupa alat tukar/satuan mata uang (Al Naqd) dasarnya adalah ijma’ atau barang yang ditetapkan nilainya ketika akad menurut pendapat yang rojih.

Ø Modal yang diserahkan harus jelas diketahui.

Ø Modal yang diserahkan harus tertentu.

Ø Modal diserahkan kepada pihak pengelola modal dan pengelola menerimanya langsung dan dapat beraktivitas dengannya.

Jadi dalam Mudharabah disyaratkan modal yang diserahkan harus diketahui dan penyerahan jumlah modal kepada Mudharib (pengelola modal) harus berupa alat tukar seperti emas, perak dan satuan mata uang secara umum. Tidak diperbolehkan berupa barang kecuali bila ditentukan nilai barang tersebut dengan nilai mata uang ketika akad transaksi, sehingga nilai barang tersebut yang menjadi modal Mudharabah. Contohnya seorang memiliki sebuah mobil toyota kijang lalu diserahkan kepada Mudharib (pengelola modal), maka ketika akad kerja sama tersebut disepakati wajib ditentukan harga mobil tersebut dengan mata uang, misalnya Rp 80 juta; maka modal Mudharabah tersebut adalah Rp 80 juta.

Kejelasan jumlah modal ini menjadi syarat karena menentukan pembagian keuntungan. Apabila modal tersebut berupa barang dan tidak diketahui nilainya ketika akad, bisa jadi barang tersebut berubah harga dan nilainya seiring berjalannya waktu, sehingga memiliki konsekuensi ketidakjelasan dalam pembagian keuntungan.

b. Jenis Usaha

Jenis usaha di sini disyaratkan beberapa syarat:

Ø Jenis usaha tersebut di bidang perniagaan

Ø Tidak menyusahkan pengelola modal dengan pembatasan yang menyulitkannya, seperti ditentukan jenis yang sukar sekali didapatkan, contohnya harus berdagang permata merah delima atau mutiara yang sangat jarang sekali adanya.

Ø Asal dari usaha dalam Mudharabah adalah di bidang perniagaan dan bidang yang terkait dengannya yang tidak dilarang syariat. Pengelola modal dilarang mengadakan transaksi perdagangan barang-barang haram seperti daging babi, minuman keras dan sebagainya.

c. Keuntungan

Setiap usaha dilakukan untuk mendapatkan keuntungan, demikian juga Mudharabah. Namun dalam Mudharabah disyaratkan pada keuntungan tersebut empat syarat:

Ø Keuntungan khusus untuk kedua pihak yang bekerja sama yaitu pemilik modal (investor) dan pengelola modal. Seandainya disyaratkan sebagian keuntungan untuk pihak ketiga, misalnya dengan menyatakan: ‘Mudharabah dengan pembagian 1/3 keuntungan untukmu, 1/3 untukku dan 1/3 lagi untuk istriku atau orang lain, maka tidak sah kecuali disyaratkan pihak ketiga ikut mengelola modal tersebut, sehingga menjadi qiraadh bersama dua orang. Seandainya dikatakan: ’separuh keuntungan untukku dan separuhnya untukmu, namun separuh dari bagianku untuk istriku’, maka ini sah karena ini akad janji hadiyah kepada istri.

Ø Pembagian keuntungan untuk berdua tidak boleh hanya untuk satu pihak saja. Seandainya dikatakan: ‘Saya bekerja sama Mudharabah denganmu dengan keuntungan sepenuhnya untukmu’ maka ini dalam madzhab Syafi’i tidak sah.

Ø Keuntungan harus diketahui secara jelas.

Ø Dalam transaksi tersebut ditegaskan prosentase tertentu bagi pemilik modal (investor) dan pengelola. Sehingga keuntungannya dibagi dengan persentase bersifat merata seperti setengah, sepertiga atau seperempat. Apa bila ditentuan nilainya, contohnya dikatakan kita bekerja sama Mudharabah dengan pembagian keuntungan untukmu satu juta dan sisanya untukku’ maka akadnya tidak sah. Demikian juga bila tidak jelas persentase-nya seperti sebagian untukmu dan sebagian lainnya untukku.

Rukun ketiga: Pelafalan Perjanjian (Shighoh Transaksi).

Shighah adalah ungkapan yang berasal dari kedua belah pihak pelaku transaksi yang menunjukkan keinginan melakukannya. Shighah ini terdiri dari ijab qabul. Transaksi Mudharabah atau Syarikat dianggap sah dengan perkataan dan perbuatan yang menunjukkan maksudnya.

5. Syarat Dalam Mudharabah

Pengertian syarat dalam Al Mudharabah adalah syarat-syarat yang ditetapkan salah satu pihak yang mengadakan kerjasama berkaitan dengan Mudharabah. Syarat dalam Al Mudharabah ini ada dua:

a. Syarat yang shahih (dibenarkan) yaitu syarat yang tidak menyelisihi tuntutan akad dan tidak pula maksudnya serta memiliki maslahat untuk akad tersebut. Contohnya Pemilik modal mensyaratkan kepada pengelola tidak membawa pergi harta tersebut keluar negeri atau membawanya keluar negeri atau melakukan perniagaannya khusus dinegeri tertentu atau jenis tertentu yang gampang didapatkan. Maka syarat-syarat ini dibenarkan menurut kesepakatan para ulama dan wajib dipenuhi, karena ada kemaslahatannya dan tidak menyelisihi tuntutan dan maksud akad perjanjian mudharabah.

b. Syarat yang fasad (tidak benar). Syarat ini terbagi tiga:

ü Syarat yang meniadakan tuntutan konsekuensi akad, seperti mensyaratkan tidak membeli sesuatu atau tidak menjual sesuatu atau tidak menjual kecuali dengan harga modal atau dibawah modalnya.

ü Syarat ini disepakati ketidak benarannya, karena menyelisihi tuntutan dan maksud akad kerja sama yaitu mencari keuntungan.

ü Syarat yang bukan dari kemaslahatan dan tuntutan akah, seperti mensyaratkan kepada pengelola untuk memberikan Mudharabah kepadanya dari harta yang lainnya.

Syarat yang berakibat tidak jelasnya keuntungan seperti mensyaratkan kepada pengelola bagian keuntungan yang tidak jelas atau mensyaratkan keuntungan satu dari dua usaha yang dikelola, keuntungan usaha ini untuk pemilik modal dan yang satunya untuk pengelola atau menentukan nilai satuan uang tertentu sebagai keuntungan. Syarat ini disepakati kerusakannya karena mengakibatkan keuntungan yang tidak jelas dari salah satu pihak atau malah tidak dapat keuntungan sama sekali. Sehingga akadnya batal.

6. Penerapan Mudharabah dalam Perbankan Syariah

Sejauh ini, mudharabah yang dibahas adalah yang berlaku antara dua pihak saja secara langsung, yakni shahib al-maal berhubungan langsung dengan mudharib.

Skema ini adalah skema standar yang dapat dijumpai dalam kitab-kitab klasik fiqih Islam. Dan inilah sesungguhnya praktik mudharabah yang dilakukan oleh Nabi dan para sahabat serta umat muslim sesudahnya. Dalam kasus ini, yang terjadi adalah investasi langsung (direct financing) antara shahib al-maal (sebagai surplus unit) dengan mudharib (sebagai deficit unit). Dalam direct financing seperti ini, peran bank sebagai lembaga perantara (intermediary) tidak ada.

Mudharabah klasik seperti ini memiliki ciri-ciri khusus, yakni bahwa biasanya hubungan antara shahib al-maal dengan mudharib merupakan hubungan personal dan langsung serta dilandasi oleh rasa saling percaya. Shahib al-maal hanya mau menyerah-kan modalnya kepada orang yang ia kenal dengan baik, profesionalitas maupun karakternya.

Modus mudharabah seperti itu tidak efisien lagi dan kecil kemungkinannya untuk dapat diterapkan oleh bank, karena hal :

a. Sistem kerja pada bank adalah investasi berkelompok, dimana mereka tidak saling mengenal. Jadi kecil sekali kemungkinannya terjadi hubungan yang langsung dan personal.

b. Banyak investasi sekarang ini membutuhkan dana dalam jumlah besar, sehingga diperlukan puluhan bahkan ratus ribuan shahib al-maal untuk sama-sama menjadi penyandang dana untuk satu proyek tertentu.

c. Lemahnya disiplin terhadap ajaran Islam menyebabkan sulitnya bank memperoleh jaminan keamanan atas modal yang disalurkannya.

Untuk mengatasi hal di atas, maka ulama kontemporer melakukan inovasi baru atas skema mudharabah, yakni mudharabah yang melibatkan tiga pihak. Tambahan satu pihak ini diperankan oleh bank syariah sebagai lembaga perantara yang memper-temukan shahib al-maal dengan mudharib. Jadi, terjadi evolusi dari konsep direct financing menjadi indirect financing.

Dalam indirect financing, bank menerima dana dari shahib al-maal dalam bentuk dana pihak ketiga (DP-3) sebagai sumber dananya. Dana-dana ini dapat berbentuk tabungan atau simpanan deposito mudharabah dengan jangka waktu yang bervariasi. Selanjutnya dana-dana yang sudah terkumpul ini disalurkan kembali oleh bank ke dalam bentuk pembiayaan-pembiayaan yang menghasilkan (earning asssets). Nah, keuntungan dari penyaluran pembiayaan inilah yang akan dibagi hasilkan antara bank dengan pemilik DP-3.

7. Jenis-jenis al-Mudharabah

Secara umum, mudharabah terbagi menjadi dua jenis :

a. Mudharabah Muthlaqah

Adalah bentuk kerjasama antara shahib al-maal dan mudharib yang cakupannya sangat luas dan tidak dibatasi oleh spesifikasi jenis usaha, waktu, dan daerah bisnis. Dalam pembahasan fiqih ulama salafus-saleh seringkali dicontohkan dengan ungkapan if’al ma syi’ta (lakukan sesukamu) dari shahib al-maal ke mudharib yang memberi kekuasaan sangat besar.

b. Mudharabah Muqayyadah

Adalah kebalikan dari mudharabah muthlaqah. Si mudharib dibatasi dengan batasan jenis usaha, waktu, atau tempat usaha. Adanya pembatasan ini seringkali mencerminkan kecenderungan umum si shahib al-maal dalam memasuki jenis dunia usaha.

8. Hal-hal yang Dapat membatalkan mudharabah

a. Pembatalan,larangan tasarruf, dan pemecatan

Mudharabah dapat batal karena dibatalkan oleh para pihak, dihentikan kegiatannya, atau diberhentikan oleh pemilik modal.hal ini apabila terdapat syarat pembatalan dan penghentian kegiatan atau pemecatan tersebut, yaitu sebagai berikut:

Ø Pihak yang bersangkutan (mudharib) mengetahui pembatalan dan penghentian kegiatan tersebut. Apabila mudharib tidak tahu tentang pembatalan dan pemecatannya, lalu ia melakukan tasarruf maka tasarrufnya hukumnya sah.

Ø Pada saat pembatalan dan penghentian kegiatan usaha atau pemecatan tersebut, modal harus dalam keadaan tunai sehingga jelas ada atau tidak adanya keuntungan yang menjadi milik bersama antara pemilik modal dan mudharib. Apabila modal masih berbentuk barang maka pemberhentian hukumnya tidak sah.

b. Meninggalnya salah satu pihak

Apabila salah satu pihak baik pemilik modal maupun mudharib meninggal dunia, maka menurut jumhur ulama, mudharabah menjadi batal. Hal ini karena dalam mudharabah terkandung unsure wakalah,dan wakalah batal karena meninggalnya orang yang mewakilkan atau wakil. Dalam hal ini tidak ada bedanya apakah mudharib mengetahui meninggalnya pemilik modal atau tidak. Sedang menurut Malikiyah, mudharabah tidak batal karena meninggalnya salah satu pihak yang melakukan akad. Dalam hal ini apabila yang meninggal itu mudharib maka ahli warisnya bias menggantikan untuk melaksanakan kegiatan usahanya, jika mereka itu orang yang dapat dipercaya.

c. Salah satu pihak terserang penyakit gila

Menurut jumhur ulama selain syafiiyah, apabila salah satu pihak terserang penyakit gila yang terus menerus, maka mudharabah menjadi batal. Hal ini karena gila menghilangkan kecakapan ( ahliyah).

d. Harta mudharabah rusak ditangan mudharib

Apabila modal rusak atau hilang di tangan mudharib sebelum ia membeli sesuatu maka mudharabah menjadi batal. Hal ini dikarenakan sudah jelas jelas modal telah diterima oleh mudharib untuk kepentingan akad mudharabah. Dengan demikian, akad mudharabah menjadi batal karena modalnya rusak atau hilang. Demikian pula halnya, mudharabah dianggap batal, apabila modal diberikan kepada orang lain atau dihabiskan sehingga tidak ada sedikitpun untuk dibelanjakan.

C. Kesimpulan

Dari uraian yang telah dijelaskan di atas, dapat diambil beberapa kesimpulan, antara lain :

1. Mudharabah adalah bentuk kontrak antara dua pihak dimana satu pihak berperan sebagai pemilik modal dan mempercayakan sejumlah modalnya dikelola oleh pihak kedua, yakni si pelaksana usaha, dengan tujuan untuk mendapatkan untung.

2. Syariat islam memperbolehkan bentuk kerjasama mudharabah berdasarkan al-Qur’an, Hadits, Ijma’ dan Qiyas. yakni untuk kemaslahatan manusia dalam rangka memenuhi kebutuhan mereka.

Daftar Pustaka :

Muhammad Syafi’i Antonio, Bank Syariah dari Teori ke Praktek, Gema Insani, Jakarta, 2001.

Ir. Adiwarman Karim, SE, MBA, MAEP, Bank Islam Analisis Fiqih dan Keuangan, Rajawali Pers, Jakarta, 2004

Muslih, Ahmad Wardi, Drs ,H, fiqih muamalah, Sinar Grafika Offset, Jakarta, 2010



[1] Alauddin Al-Kasani, Bada’i Ash-Shana’i fi Tartib Asy-Syara’i, juz VI, hlm. 79

0 komentar :

Post a Comment

Terima kasih atas commentnya, Comment anda sangat bermanfaat bagi saya... Semoga bermanfaat.