Monday, October 17, 2011

Meninjau Syarat Dan Ketentuan Terhadap Pemberlakuan Perikatan Bersyarat

Pengertian mengenai perikatan bersyarat, telah tercantum dalam Pasal 1253, bahwa suatu perikatan adalah bersyarat manakala Ia digantungkan pada suatu peristiwa yang masih akan datang dan yang masih belum tentu akan terjadi , baik secara menangguhkan perikatan hingga terjadinya peristiwa semacam itu, maupun secara membatalkan perikatan menurut terjadi atau tidak terjadinya peristiwa tersebut. Apabila diperhatikan, maka yang diartikan syarat disini adalah peristiwa yang masih akan datang dan belum tentu akan terjadi.

Perikatan bersyarat dilawankan dengan perikatan murni, yaitu perikatan yang tidak mengandung sesuatu syarat. Syarat didalam bahasa hukum digunakan dalam berbagai-bagai pengertian, dapat diartikan syarat perjanjian (contractbeding), syarat yang menentukan daya kerja dari perikatan , dapat pula peristiwa itu sendiri ataupun tidak terjadinya suatu peristiwa yang mengakibatkan menangguhkan atau membatalkan perikatan.

Adanya peristiwa (syarat) didalam perikatan tidak memerlukan pernyataan tegas dari para pihak, tetapi suatu syarat itu ada dalam perikatan, apabila dari keadaan dan tujuan perikatan terlihat dan ternyata adanya syarat itu. Syarat yang demikian disebut syarat diam.

Pengertian tentang perikatan bersyarat adalah sebagai berikut :

1. Syarat yang tidak mungkin atau tidak pantas.

Menurut Pasal 1254, bahwa semua syarat yang bertujuan melakukan sesuatu yang tidak ungkin terlaksana, sesuatu yang bertentangan dengan kesusilaan baik, atau sesuatu yang dilarang oleh undang-undang, adalah batal, dan berakibat bahwa persetujuan yang
digantungkan padanya tidak berdaya.

2. Syarat yang tidak mungkin terlaksana .

Menurut Pasal 1255, bahwa syarat yang bertujuan tidak melakukan sesuatu yang tidak mungkin terlaksana, tidak membuat perikatan yang digantungkan padanya, tidak berdaya.
Undang-undang menentukan syarat-syarat yang tidak boleh dicantumkan pihak didalam suatu perikatan. Apabila syarat itu dicantumkan, maka perikatan tersebut batal. Syarat-syarat tersebut adalah : a) bertujuan melakukan sesuatu yang tidak mungkin terlaksana (Pasal 1254 KUHPerdata), b) bertentangan dengan kesusilaam, c) dilarang undang-undang (Pasal 1254 KUHPerdata), d) pelaksanaannya bergantung dari kemauan orang yang terikat.

3. Syarat yang pelaksanaannya digantungkan pada salah satu pihak (Potestatif).
Syarat prostetif adalah syarat-syarat yang pelaksanaannya bergantung dari kemauan salah satu pihak yang terikat didalam perikatan. Menurut Pasal 1256, bahwa semua perikatan adalah batal, jika pelaksanaannya semata-mata bergantung pada kemauan orang yang terikat, tetapi jika perikatan bergantung pada suatu perbuatan yang pelaksanaannya berada didalam kekuasaan orang tersebut, padahal perbuatan itu sudah terjadi, perikatan adalah sah.

4. Syarat yang dimaksud oleh pihak-pihak.

Menurut Pasal 1257, bahwa semua syarat harus terpenuhi secara yang mungkin dikehendaki dan dimaksudkan oleh kedua belah pihak. Maksud ketentuan ini ialah bahwa apabila terjadi perbedaan pendapat tentang pengertian syarat, maka arti dan maksud syarat harus ditentukan dengan penafsiran sesuai dengan apa yang dimaksud oleh pihak-pihak.

5. Syarat dengan ketetapan waktu (syarat positif)

Pengertian dari syarat positip, karena digantungkan pada peristiwa yang akan datang dan belum pasti terjadi. Menurut Pasal 1258, bahwa jika suatu perikatan bergantung pada syarat bahwa sesuatu peristiwa akan terjadi didalam suatu waktu tertentu, maka syarat tersebut dianggap tidak ada, apabila waktu tersebut telah lampau dengan tidak terjadinya peristiwa tersebut. Jika waktu tidak ditentukan, maka syarat tersebut setiap waktu dapat terpenuhi dari syarat itu tidak dianggap tidak ada sebelum ada kepastian bahwa peristiwa tidak akan terjadi. Misalnya A akan membayar utangnya kepada B kalau rumah A laku dijual.

6. Syarat negatif (digantungkan pada suatu peristiwa tidak akan terjadi didalam suatu waktu tertentu).

Menurut Pasal 1259, bahwa jika suatu perikatan bergantung pada suatu syarat bahwa sesuatu peristiwa didalam suatu waktu tertentu tidak akan terjadi, maka syarat tersebut telah terpenuhi apabila waktu tersebut lampau dengan tidak terjadinya peristiwa. Begitu juga syarat telah terpenuhi, jika sebelum waktu tersebut lampau, telah ada kepastian bahwa peristiwa tidak akan terjadi , tetapi jika tidak ditetapkan suatu waktu, syarat itu tidak terpenuhi sebelum ada kepastian bahwa peristiwa tersebut tidak akan terjadi.

7. Syarat terpenuhi jika debitur menghalangi terpenuhinya syarat itu.

Menurut Pasal 1260, bahwa syarat dianggap terpenuhi jika si berutang yang terikat olehnya telah menghalang-halangi terpenuhinya syarat itu.

Didalam ketentuan ini, pembentuk undang-undang berpedoman kepada itikad baik yang tidak dijunjung tinggi oleh debitur, sehingga pembenmtuk undang-undang dalam hal ini menciptakan suatu anggapan bahwa syarat itu telah terjadi, dengan demikian maka keseimbangan kedudukan antara debitur dan kreditur tetap terjamin.

8. Syarat tangguh yang terpenuhi

Pasal 1261, menyatakan bahwa apabila syarat telah terpenuhi, maka syarat itu berlaku surut hingga saat lahirnya perikatan. Jika si berpiutang meninggal sebelum terpenuhinya syarat, maka hak-haknya karena itu berpindah kepada ahli warisnya.
Pengertian dalam berlaku surut, adalah dalam hal syarat batal terjadi, maka kekuatan berlaku surut itu mempunyai daya kerja kebendaan. Maksudnya : a) bahwa kekuatan berlaku surut itu mempunyai daya kerja kebendaan (zakelijke werking), maka dengan terjadinya syarat batal, debitur berhak menuntut benda yang telah diserahkannya terhadap setiap pihak yang menguasai miliknya itu, b) bahwa kekuatan berlaku surut itu mempunyai daya kerja pribadi (persoonlijk), maka dengan terjadinya syarat batal, debitur tidak dapat menuntut benda yang telah diserahkan, yang dikuasai pihak ketiga.

9. Hak kreditur mengadakan persiapan (konservation)

Dinyatakan dalam pasal 1262 bahwa si berpiutang dapat, sebelum terpenuhinya syarat melakukan segala usaha yang perlu untuk menjaga jangan sampai haknya hilang.

10. Syarat tangguh

Dalam pasal 1263 dinyatakan bahwa suatu perikatan dengan suatu syarat tangguh adalah suatu perikatan yang bergantung pada suatu peristiwa yang masih akan datang dan yang masih belum tentu akan terjadi , atau yang bergantung pada suatu hal yang sudah terjadi tetapi tidak diketahui oleh kedua belah pihak. Dalam hal yang pertama, perikatan tidak dapat dilaksanakan sebelum, peristiwa telah terjadi dalam hal yang kedua perikatan mulai berlaku sejak hari Ia dilahirkan. Pada perikatan dengan syarat tangguh ini, pemenuhan perikatan itu hanya dapat dituntut oleh kreditur apabila syarat tangguh tersebut telah terpenuhi. Selama syarat itu belum dipenuhi , maka kewajiban berprestasi oleh debitur belum lagi ada , walaupun hubungan hukum antara pihak-pihak tetap ada. Jadi, syarat tangguh menyebabkan suatu perikatan belum lagi mempunyai daya kerja atau pemenuhan perikatan itu belum lagi dapat dilaksanakan . Daya kerja perikatan itu belum lagi pasti , masih bergantung pada terjadinya suatu peristiwa.

11. Resiko pada perikatan dengan syarat tangguh
Pada pasal 1264, dikatakan bahwa jika perikatan bergantung pada suatu syarat tangguh, maka barang yang menjadi pokok perikatan tetap menjadi tanggungan si berutang, yang hanya berwajib menyerahkan barang itu apabila syarat terpenuhi. Jika barang tersebut sama sekali musnah di luar kesalahan si berutang, maka baik pada pihak yang satu maupun pada pihak yang lainnya tidak ada lagi suatu perikatan. Jika barangnya merosot, harganya diluar kesalahan si berutang, maka si berpiutang dapat memilih apakah Ia akan memutuskan perikatan ataukah menuntut penyerahan barangnya di dalam keadaan dimana barang itu berada, dengan tidak ada pengurangan harga yang dijanjikan. Jika barangnya merosot harganya karena kesalah si berutang, maka si berpiutang berhak memutuskan perikatan atau menuntut penyerahan barangnya di dalam keadaan di mana barang itu berada, dengan penggantian kerugian.

12. Keadaan memaksa dalam perjanjian bersyarat

Undang-undang dalam hal adanya keadaan memaksa, menentukan resiko ada pada debitur, yang wajib menyerahkan barang, apabila syarat terpenuhi. Apabila benda yang diperjanjikan musnah seluruhnya, diluar kesalahan debitur, maka resiko menjadi beban dari kedua belah pihak dan perikatannya berakhir. Apabila harga barang merosot di luar kesalahan debitur, maka kreditur dapat memilih tindakan sebagai berikut : (a) memutuskan perikatan , atau (b) menuntut penyerahan barangnya di dalam keadaan dimana barang itu berada, dengan tidak adanya pengurangan harga yang telah dijanjikan. Apabila harga barang merosot karena kesalahan debitur maka kreditur dapat memilih antara : (a)memutuskan perikatan, atau (b) menuntut penyerahan barangnya di dalam keadaan dimana barang itu berada, dengan pergantian kerugian. Kita lihat, ukuran yang dipergunakan pembentuk undang-undang dalam mengatur akibat-akibat yang timbul karena adanya keadaan memaksa ini adalah "kepatuhan".

13. Syarat Batal

Menurut pasal 1265, suatu syarat batal adalah syarat yang apabila dipenuhi, menghentikan perikatan, dan membawa segala sesuatu kembali, pada keadaan semula seolah-olah tidak pernah ada suatu perikatan. Syarat ini tidak menangguhkan pemenuhan perikatan ; hanyalah mewajibkan si berpiutang mengembalikan apa yang telah diterimanya apabila peristiwa yang dimaksudkan terjadi.

14. Ingkar janji adalah syarat batal dalam perjanjian timbal balik.

Pada pasal 1266, syarat batal dianggap selalu dicantumkan dalam persetujuan-persetujuan yang bertimbal balik manakala salah satu pihak tidak memenuhi kewjibannya. Dalam hal yang demikian, persetujuan tidak batal demi hukum, tetapi pembatalan harus dimintakan kepada hakim. Permintaan ini juga harus dilakukan, meskipun syarat batal mengenai tidak dipenuhinya kewajiban dinyatakan di dalam persetujuan. Jika syarat batal tidak dinyatakan dalam persetujuan, hakim adalah leluasa (discretionnaire functie) untuk, menurut keadaan, atas permintaan si tergugat, memberikan suatu jangka waktu untuk masih juga memenuhi kewajibannya, jangka waktu mana namun itu tidak boleh lebih dari satu bulan.

Pengaturan tentang syarat batal dalam perjanjian timbal balik dijelaskan secara khusus dalam pasal 1266 dan pasal 1267 KUHPerdata. Undang-undang tersebut menentukan bahwa syarat yang membatalkan perjanjian timbal balik adalah kalau salah satu pihak tidak memenuhi kewajibannya (ingkar janji). Ketentuan dalam pasal 1266 KUHPerdata menarik perhatian, karena di dalamnya banyak terkandung kelemahan-kelemahan yang kadang-kadang satu sama lain mempunyai sifat yang bertentangan, sebagai terlihat dalam ayat-ayat berikut :

a) Ayat 1, menyatakan bahwa syarat batal (vervalbeding) dianggap selamanya ada didalam perjanjian timbal balik.

b) Ayat 2, menyatakan pula bahwa syarat batal itu tidak membatalkan perjanjian dengan sendirinya, tetapi harus dimintakan kepada hakim.

c) Ayat 3, menyatakan bahwa permintaan itu juga dilakukan walaupun syarat batal itu dinyatakan didalam perjanjian

d) Ayat 4, menyatkan bahwa dalam hal syarat batal tidak dinyatakan dalam perjanjian. Hakim leluasa untuk menurut keadaan, atas permintaan tergugat memberikan suatu jangka waktu untuk masih juga memenuhi kewajibannya.

Apabila undang-undang diatas diteliti ayat demi ayat, maka sifat yang bertentamngam itu akan terlihat, sebagai berikut :

a) Materi yang diatur dalam ayat (1) dan ayat (2). Ayat pertama menyatakan bahwa syarat batal itu dianggap selalu ada didalam perjanjian timbal balik, tetpi ayat (2) menyatakan bahwa kalau syarat batal terjadi, perjanjian itu tidak batal dengan sendirinya, melainkan harus diucapkan oleh hakim.

b) Pembentuk undang-undang memandang atau meletakkan sayarat dan kewajiban memenuhi prestasi itu dalam kedudukan yang sederajat.

c) Apabila syarat batal, maka segala sesuatu kembali kekeadaan semula. Ketentuan ini mengandungkelemahan karena tidak mendekati keadilan. Pihak yang tidak lalai dibebani pula dengan suatu kewajiban untuk menerima kembali segala apa yang mungkin telah diserahkannya.

Kebijaksanaan hakim (discretionnaire functie) untuk memberikan jangka waktu tertentu (term de grace) dimana debitur mendapat kesempatan untuk memenuhi prestasi (Pasal 1266 ayat (4)) tidak selaras dengan otomatis berlakunya syarat yang membatalkan.

Pembentuk undang-undang memberikan kesempatan kepada hakim atas dasar pemikiran untuk memberikan kemungkinan kepada hakim menilai dan mengawasi wanprestasi , yakni apakah kesalahan tersebut tidak lebih dahulu berasal dari kreditur sendiri. Apabila sebab tidak dipenuhinya prestasi itu adalah karena kreditur sendiri terlebih dahulu sudah melakukan ingkar janji maka debitur dapat mengajukan tangkisan mengenai keadaan ini kepada hakim hingga hakim dapat memberikan keputusan lain (exeptie non adimpleti contractus).

Apabila pada perjanjian timbal balik dengan syarat batal itu hakim mengabulkan gugatan kreditur untuk memutuskan perikatahn karena terjadinya wanprestasi, timbul persoalan tentang sifat dari keputusan hakim tersebut. Dalam hal ini ada dua pendapat, yaitu :
1) menyatakan bahwa sifat dari keputusan hakim itu adalah deklaratoir. Dalam hal ini berarti putusnya perikatan itu adalah disebabkan karena adanya wanprestasi itu sendiri.
2) Menyatakan bahwa sifat dari keputusan hakim itu adalah konstitutif, artinya bahwa putusannya bukan karena adanya wanprestasi, tetapi karena adanya putusan hakim.

15. Hak Kreditur Terhadap Debitur yang Ingkar Janji

Masalah ini dinyatakan dalam Pasal 1267, bahwa pihak terhadap siapa perikatan tidak dipenuhi, dapat memilih apakah Ia, jika itu masih dapat dilakukan, akan memaksa pihak yang lain untuk memenuhi persetujuan, apakah Ia akan menuntut pembatalan persetujuan, disertai penggantian biaya, kerugian dan bunga.

Sumber pustaka : Mariam,D.B., Sutan Remy .S., Heru.S., Faturrahman Dj., dan Taryana Soenandar. 2001. Kompilasi Hukum Perikatan., Ed. Pertama., Citra Aditya Bakti., Bandung.

Meninjau Secara Umum Terhadap Teori Perikatan Di Indonesia

Menurut hukum perdata, perikatan adalah hubungan hukum yang terjadi diantara dua orang atau lebih yang terletak didalam lapangan harta kekayaan, dimana pihak yang satu berhak atas prestasi dan pihak lainnya wajib memenuhi prestasi itu, sedangkan menurut Vollmar bahwa ditinjau dari isinya, perikatan itu ada selama seseorang itu (debitur) harus melakukan suatu prestasi yang mungkin dapat dipaksakan terhadap kreditur kalau perlu dengan bantuan hakim. Pengertian prestasi adalah apabila dua orang mengadakan perjanjian ataupun apabila undang-undang dengan terjadinya suatu peristiwa untuk menciptakan suatu perikatan untuk memenuhi sesuatu kewajiban.

Perikatan memiliki empat unsur, yaitu : a) hubungan hukum, b) kekayaan, c) pihak-pihak dan d) prestasi (obyek hukum). Hubungan hukum adalah hubungan yang terhadapnya hukum melekatkan hak pada satu pihak dan melekatkan kewajiban pada pihak lainnya. Apabila satu pihak tidak mengindahkan ataupun melanggar hubungan tadi, lalu hukum memaksakan supaya hubungan tersebut dipenuhi ataupun dipulihkan kembali. Untuk menilai suatu hubungan hukum perikatan atau bukan, maka hukum mempunyai kriteria tertentu yaitu ukuran-ukuran yang digunakan terhadap sesuatu hubungan hukum sehingga hubungan hukum itu dapat disebutkan suatu perikatan.

Didalam perkembangan sejarah, apa yang dipakai sebagai kriteria itu tidak tetap, dahulu yang menjadi kriteria ialah hubungan hukum itu dapat dinilai dengan uang atau tidak. Apabila hubungan hukum itu dapat dinilai dengan uang, maka hubungan hukum tersebut merupakan suatu perikatan. Sekalipun suatu hubungan hukum itu tidak dapat dinilai dengan uang, tetapi kalau masyarakat atau rasa keadilan menghendaki agar suatu hubungan itu diberi akibat hukum, maka hukum pun akan melekatkan akibat hukum pada hubungan tersebut sebagai suatu perikatan.

Apabila hubungan hukum tadi dijajaki lebih jauh lagi maka hubungan hukum itu harus terjadi antara dua orang atau lebih, yaitu pihak yang aktif adalah kreditur atau yang berpiutang dan pihak yang pasif adalah debitur atau yang berutang. Mereka ini yang disebut subyek perikatan. Seorang debitur harus selamanya diketahui, karena seseorang tentu tidak dapat menagih dari seseorang yang tidak dikenal, lain halnya dengan kreditur boleh merupakan seseorang yang tidak diketahui, artinya penggantian kreditur dapat terjadi secara sepihak tanpa bantuan debitur, bahkan dalam lalu lintas perdagangan yang tertentu penggantian itu telah disetujui terjadi sejak semula. Apabila dalam suatu perikatan kreditur itu ditentukan atau dikenal, maka kreditur yang seperti ini disebut kreditur yang memiliki gugatan atas nama (vordering op naam). Dengan demikian maka penggantian kedudukan debitur hanya dapat terjadi apabila kreditur telah memberikan persetujuan, misalnya pengambilalihan utang (schuldoverneming)

Didalam perikatan pihak-pihak kreditur dan debitur itu dapat diganti. Penggantian debitur harus diketahui atau persetujuan kreditur, sedangkan penggantian kreditur dapat terjadi secara sepihak, bahkan untuk hal-hal tertentu pada saat suatu perikatan lahir antara pihak-pihak, secara apriori disetujui hakikat penggantian kreditur. Pada setiap perikatan sekurang-kurangnya harus satu orang kreditur dan sekurang-kurangnya satu orang debitur, namun tidak menutup kemungkinan dalam satu perikatan itu tedapat beberapa orang kreditur dan beberapa orang debitur.

Seorang kreditur dapat mengalihkan haknya atas prestasi kepada kreditur baru, hak mana adalah merupakan hak-hak pribadi yang kualitatif, sehingga kewajiban memenuhi prestasi dari debitur dinamakan kewajiban kualitatif Penggantian kreditur dapat pula terjadi dengan subrogasi. Menurut Asser"s (Handeling tot de beofening van het Ned Burgerlijkrecht, 1967) bahwa sejak saat suatu perikatan dilakukan, pihak kreditur dapat memberikan persetujuan untuk adanya penggantian debitur, misalnya didalam sutu perjanjian jual beli dapat dijanjikan seseorang itu membeli untuk dirinya sendiri dan untuk pembeli-pembeli yang berikutnya. Apabila didalam jual beli ini debitur (pembeli) belum melunaskan seluruh harga beli, maka dalam hal benda itu dialihkan kepada pembeli baru, maka kewajiban untuk membayar tersebut dengan sendirinya beralih kepada pembali itu. Kedudukan debitur dapat berganti dapat atau beralih dengan subrogasi.

Menurut pasal 1234 KUHPerdata, bahwa prestasi dibedakan atas : a) memberikan sesuatu, b) berbuat sesuatu, c) tidak berbuat sesuatu. Kedalam perikatan untuk memberikan sesuatu termasuk pemberian sejumlah uang, memberi benda untuk dipakai (menuewa), penyerahan hak milik atas benda tetap dan bergerak, perikatan untuk melakukan sesuatu misalnya membangun rumah, sedangkan perikatan untuk tidak melakukan sesuatu misalnya A membuat perjanjian dengan B ketika menjual apoteknya untuk tidak menjalankan usaha apoteknya dalam daerah yang sama.

Sumber perikatan menurut Pasal 1352 KUHPerdata, bahwa perikatan-perikatan yang dilahirkan dari undang-undang saja (uit de wet alleen) atau dari undang-undang sebagai akibat perbuatan orang (uit de wet ten gevolge van's mensen toedoen), sedangkan pasal 1353 KUHPerdata mengatakan bahwa perikatan-perikatan yang dilahirkan dari undang-undang sebagai akibat perbuatan orang, terbit dari perbuatan halal atau dari perbuatan melawan hukum (onrechmatige daad).

Perikatan yang bersunber dari undang-undang semata-mata adalah perikatan yang dengan terjadinya peristiwa-peristiwa tertentu, ditetapkan melahirkan suatu hubungan hukum (perikatan) diantara pihak-pihak yang bersangkutan, terlepas dari kemauan pihak-pihak tersebut, misalnya kematian dengan meninggalnya seseorang, maka perikatan yang pernah mengikat orang tersebut beralih kepada ahli warisnya, demikian pula kelahiran anak timbul perikatan antara ayah dan ank, dimana si ayah wajib memelihara anak tersebut. Menurut pasal 1321 KUHPerdata, bahwa tiap-tiap anak wajib memberi nafkah kepada orang tuanya dan para keluarga sedarahnya dalam garis keatas apabila mereka dalam keadaan miskin.

Perkatan yang bersumber dari undang-undang sebagai akibat perbuatan orang maksudnya ialah bahwa dengan dilakukannya serangkaian tingkah laku oleh seseorang, maka undang-undang melekatkan akibat hukum berupa perikatan terhadap orang tersebut. Tingklah laku sesorang tadi mungkin merupakan perbuatan yang menurut hukum dibolehkan undang-undang atau mungkin pula merupakan perbuatan yang tidak dibolehkan undang-undang (melawan hukum). Perikatan sebagai akibat perbuatan orang yang melawan hukum diatur dalam Pasal 1365 KUHPerdata bahwa undang-undang menetapkan kewajiban orang itu untuk memberi ganti rugi. Dengan meletakan kewajiban memberi ganti rugi antara orang yang melakukan perbuatan yang melawan hukum kepada orang yang menderita kerugian karena perbuatan itu, lahirlah suatu perikatan diluar kemauan kedua orang tersebut, sedangkan perikatan akibat perbuatan mengurus kepentingan orang lain secara suka rela (zaakwaarneming) diatur dalam pasal 1354 KUHPerdata yang menyatakan jika seseorang dengan sukarela, tanpa mendapat perintah untuk itu, mengurus urusan orang lain, maka Ia berkewajiban untuk meneruskan menyelesaikan urusan tersebut hingga orang yang diwakili kepentingannya dapat mengerjakan sendiri urusan itu. Pihak yang kepentingannya diwakili diwajibkan memenuhi perjanjian-perjanjian yang dibuat oleh si wakil itu atas namanya, dan mengganti semua pengeluaran yang sudah dilakukan oleh si wakil tadi.

Sumber pustaka : Mariam,D.B., Sutan Remy .S., Heru.S., Faturrahman Dj., dan Taryana Soenandar. 2001. Kompilasi Hukum Perikatan., Ed. Pertama., Citra Aditya Bakti., Bandung.

Menurut hukum perdata, perikatan adalah hubungan hukum yang terjadi diantara dua orang atau lebih yang terletak didalam lapangan harta kekayaan, dimana pihak yang satu berhak atas prestasi dan pihak lainnya wajib memenuhi prestasi itu, sedangkan menurut Vollmar bahwa ditinjau dari isinya, perikatan itu ada selama seseorang itu (debitur) harus melakukan suatu prestasi yang mungkin dapat dipaksakan terhadap kreditur kalau perlu dengan bantuan hakim. Pengertian prestasi adalah apabila dua orang mengadakan perjanjian ataupun apabila undang-undang dengan terjadinya suatu peristiwa untuk menciptakan suatu perikatan untuk memenuhi sesuatu kewajiban.

Perikatan memiliki empat unsur, yaitu : a) hubungan hukum, b) kekayaan, c) pihak-pihak dan d) prestasi (obyek hukum). Hubungan hukum adalah hubungan yang terhadapnya hukum melekatkan hak pada satu pihak dan melekatkan kewajiban pada pihak lainnya. Apabila satu pihak tidak mengindahkan ataupun melanggar hubungan tadi, lalu hukum memaksakan supaya hubungan tersebut dipenuhi ataupun dipulihkan kembali. Untuk menilai suatu hubungan hukum perikatan atau bukan, maka hukum mempunyai kriteria tertentu yaitu ukuran-ukuran yang digunakan terhadap sesuatu hubungan hukum sehingga hubungan hukum itu dapat disebutkan suatu perikatan.

Didalam perkembangan sejarah, apa yang dipakai sebagai kriteria itu tidak tetap, dahulu yang menjadi kriteria ialah hubungan hukum itu dapat dinilai dengan uang atau tidak. Apabila hubungan hukum itu dapat dinilai dengan uang, maka hubungan hukum tersebut merupakan suatu perikatan. Sekalipun suatu hubungan hukum itu tidak dapat dinilai dengan uang, tetapi kalau masyarakat atau rasa keadilan menghendaki agar suatu hubungan itu diberi akibat hukum, maka hukum pun akan melekatkan akibat hukum pada hubungan tersebut sebagai suatu perikatan.

Apabila hubungan hukum tadi dijajaki lebih jauh lagi maka hubungan hukum itu harus terjadi antara dua orang atau lebih, yaitu pihak yang aktif adalah kreditur atau yang berpiutang dan pihak yang pasif adalah debitur atau yang berutang. Mereka ini yang disebut subyek perikatan. Seorang debitur harus selamanya diketahui, karena seseorang tentu tidak dapat menagih dari seseorang yang tidak dikenal, lain halnya dengan kreditur boleh merupakan seseorang yang tidak diketahui, artinya penggantian kreditur dapat terjadi secara sepihak tanpa bantuan debitur, bahkan dalam lalu lintas perdagangan yang tertentu penggantian itu telah disetujui terjadi sejak semula. Apabila dalam suatu perikatan kreditur itu ditentukan atau dikenal, maka kreditur yang seperti ini disebut kreditur yang memiliki gugatan atas nama (vordering op naam). Dengan demikian maka penggantian kedudukan debitur hanya dapat terjadi apabila kreditur telah memberikan persetujuan, misalnya pengambilalihan utang (schuldoverneming)

Didalam perikatan pihak-pihak kreditur dan debitur itu dapat diganti. Penggantian debitur harus diketahui atau persetujuan kreditur, sedangkan penggantian kreditur dapat terjadi secara sepihak, bahkan untuk hal-hal tertentu pada saat suatu perikatan lahir antara pihak-pihak, secara apriori disetujui hakikat penggantian kreditur. Pada setiap perikatan sekurang-kurangnya harus satu orang kreditur dan sekurang-kurangnya satu orang debitur, namun tidak menutup kemungkinan dalam satu perikatan itu tedapat beberapa orang kreditur dan beberapa orang debitur.

Seorang kreditur dapat mengalihkan haknya atas prestasi kepada kreditur baru, hak mana adalah merupakan hak-hak pribadi yang kualitatif, sehingga kewajiban memenuhi prestasi dari debitur dinamakan kewajiban kualitatif Penggantian kreditur dapat pula terjadi dengan subrogasi. Menurut Asser"s (Handeling tot de beofening van het Ned Burgerlijkrecht, 1967) bahwa sejak saat suatu perikatan dilakukan, pihak kreditur dapat memberikan persetujuan untuk adanya penggantian debitur, misalnya didalam sutu perjanjian jual beli dapat dijanjikan seseorang itu membeli untuk dirinya sendiri dan untuk pembeli-pembeli yang berikutnya. Apabila didalam jual beli ini debitur (pembeli) belum melunaskan seluruh harga beli, maka dalam hal benda itu dialihkan kepada pembeli baru, maka kewajiban untuk membayar tersebut dengan sendirinya beralih kepada pembali itu. Kedudukan debitur dapat berganti dapat atau beralih dengan subrogasi.

Menurut pasal 1234 KUHPerdata, bahwa prestasi dibedakan atas : a) memberikan sesuatu, b) berbuat sesuatu, c) tidak berbuat sesuatu. Kedalam perikatan untuk memberikan sesuatu termasuk pemberian sejumlah uang, memberi benda untuk dipakai (menuewa), penyerahan hak milik atas benda tetap dan bergerak, perikatan untuk melakukan sesuatu misalnya membangun rumah, sedangkan perikatan untuk tidak melakukan sesuatu misalnya A membuat perjanjian dengan B ketika menjual apoteknya untuk tidak menjalankan usaha apoteknya dalam daerah yang sama.

Sumber perikatan menurut Pasal 1352 KUHPerdata, bahwa perikatan-perikatan yang dilahirkan dari undang-undang saja (uit de wet alleen) atau dari undang-undang sebagai akibat perbuatan orang (uit de wet ten gevolge van's mensen toedoen), sedangkan pasal 1353 KUHPerdata mengatakan bahwa perikatan-perikatan yang dilahirkan dari undang-undang sebagai akibat perbuatan orang, terbit dari perbuatan halal atau dari perbuatan melawan hukum (onrechmatige daad).

Perikatan yang bersunber dari undang-undang semata-mata adalah perikatan yang dengan terjadinya peristiwa-peristiwa tertentu, ditetapkan melahirkan suatu hubungan hukum (perikatan) diantara pihak-pihak yang bersangkutan, terlepas dari kemauan pihak-pihak tersebut, misalnya kematian dengan meninggalnya seseorang, maka perikatan yang pernah mengikat orang tersebut beralih kepada ahli warisnya, demikian pula kelahiran anak timbul perikatan antara ayah dan ank, dimana si ayah wajib memelihara anak tersebut. Menurut pasal 1321 KUHPerdata, bahwa tiap-tiap anak wajib memberi nafkah kepada orang tuanya dan para keluarga sedarahnya dalam garis keatas apabila mereka dalam keadaan miskin.

Perkatan yang bersumber dari undang-undang sebagai akibat perbuatan orang maksudnya ialah bahwa dengan dilakukannya serangkaian tingkah laku oleh seseorang, maka undang-undang melekatkan akibat hukum berupa perikatan terhadap orang tersebut. Tingklah laku sesorang tadi mungkin merupakan perbuatan yang menurut hukum dibolehkan undang-undang atau mungkin pula merupakan perbuatan yang tidak dibolehkan undang-undang (melawan hukum). Perikatan sebagai akibat perbuatan orang yang melawan hukum diatur dalam Pasal 1365 KUHPerdata bahwa undang-undang menetapkan kewajiban orang itu untuk memberi ganti rugi. Dengan meletakan kewajiban memberi ganti rugi antara orang yang melakukan perbuatan yang melawan hukum kepada orang yang menderita kerugian karena perbuatan itu, lahirlah suatu perikatan diluar kemauan kedua orang tersebut, sedangkan perikatan akibat perbuatan mengurus kepentingan orang lain secara suka rela (zaakwaarneming) diatur dalam pasal 1354 KUHPerdata yang menyatakan jika seseorang dengan sukarela, tanpa mendapat perintah untuk itu, mengurus urusan orang lain, maka Ia berkewajiban untuk meneruskan menyelesaikan urusan tersebut hingga orang yang diwakili kepentingannya dapat mengerjakan sendiri urusan itu. Pihak yang kepentingannya diwakili diwajibkan memenuhi perjanjian-perjanjian yang dibuat oleh si wakil itu atas namanya, dan mengganti semua pengeluaran yang sudah dilakukan oleh si wakil tadi.

Sumber pustaka : Mariam,D.B., Sutan Remy .S., Heru.S., Faturrahman Dj., dan Taryana Soenandar. 2001. Kompilasi Hukum Perikatan., Ed. Pertama., Citra Aditya Bakti., Bandung.

Perjanjian Bukan Lagi Sumber Sengketa

Di dalam perkembangan masyarakat yang komplek seperti sekarang ini, kita sering menyaksikan dan mendengarkan, baik melalui media informasi maupun di dalam pergaulan masyarakat, ada seseorang yang dengan teganya melakukan penyiksaan, pencurian bahkan pembunuhan kepada rekannya atau kerabatnya yang disebabkan persoalan hutang piutang atau persoalan yang berasal dari perjanjian yang telah mereka lakukan.

Tulisan ini akan berusaha menjelaskan dan menerangkan kepada setiap pembaca mengenai hal-hal yang penting yang harus diketahui dalam melakukan sebuah perjanjian.
Mengingat, walaupun perjanjian sangat sederhana dan biasa dilakukan oleh masyarakat, tetapi tidak sedikit permasalahan besar muncul akibat perjanjian yang disebabkan kurangnya pengetahuan dari perjanjian yang telah mereka sepakati.

Sebelum kita melangkah lebih jauh hendaknya perlu diketahui bahwa sebuah perjanjian dilandasi oleh tiga azas yaitu :

1. Azas konsensualitas, seperti tercantum dalam pasal 1320 KUHPDT yang berarti setiap perjanjian timbul apabila telah adanya kesepakatan dari para pihak yang melakukan perjanjian tersebut;

2. Azas kekuatan mengikat, seperti tercantum dalam pasal 1338 KUHPDT yang berarti setiap perjanjian yang telah dibuat akan berlaku mengikat seperti Undang-Undang terhadap pihak-pihak yang telah melakukan perjanjian tersebut;

3. Azas kebebasan berkontrak yang berarti setiap orang bebas menentukan isi perjanjian dan bebas memilih dengan siapa Ia melakukannya, asalkan tidak bertentangan dengan Undang-Undang serta kepentingan umum.

Secara umum ada dua syarat yang menentukan sahnya sebuah perjanjian yaitu :

1. Syarat subjektif yaitu tidak terpenuhinya persyaratan ini mengakibatkan sebuah perjanjian dapat dibatalkan. Syarat ini terbagi atas :

a. Adanya kesepakatan tercantum dalam pasal 1320 KUHPDT yang berarti perjanjian harus dilakukan dengan kesepakatan kedua belah pihak. Kesepakatan dapat terlihat dari adanya pemberian dan penerimaan hak dan kewajiban antara para pihak. Kesepakatan tidak berlaku apabila dilakukan dengan penipuan, pemaksaan, kekhilafan atau pemalsuan. Hal ini dilandasi dengan adanya Pasal 1321, 1323, 1324, 1325, 1326, 1327 serta 1328 KUHPDT;

b. Cakap, seperti yang tercantum dalam Pasal 1330 KUHPDT, yang berarti seseorang yang melakukan perjanjian harus dianggap mampu, seperti telah dewasa, tidak sakit ingatan, tidak dalam pengampuan atau tidak sedang dicabut haknya;

2. Syarat objektif yaitu tidak terpenuhinya persyaratan ini mengakibatkan perjanjian batal demi hukum atau dianggap tidak pernah ada. Syarat objektif ini terbagi atas :

a. Hal tertentu [objek perjanjian], seperti yang tercantum dalam Pasal 1333 dan Pasal 1334 KUHPDT, yang berarti setiap objek yang diperjanjikan harus ditentukan terlebih dahulu. Seperti jenis, kualitas atau kuantitas dari barang atau jasa yang dijadikan objek perjanjian. Selain itu, objek yang diperjanjikan harus bersifat halal yang berarti tidak bertentangan dengan kepentingan umum, norma dan hukum yang berlaku;

b. Suatu sebab yang halal, seperti tercantum dalam Pasal 1335, 1336 serta Pasal 1337 KUHPDT, yang berarti setiap orang yang terlibat dalam sebuah perjanjian harus memiliki tujuan yang tidak bertentangan dengan kepentingan umum, norma-norma yang berkembang dan hukum positif yang berlaku. Contoh, dilarang melakukan perjanjian untuk meledakkan sebuah bahan peledak yang bertujuan negatif.

Setelah perjanjian dibuat, maka kita harus mengetahui pada saat apa perjanjian tidak dapat diberlakukan lagi. Di dalam KUHPDT terutama bab 4 buku 3 pasal 1381 dapat membantu kita untuk menentukan pada saat kapan perjanjian sudah tidak berlaku lagi.

Ada beberapa hal yang dapat kita ambil sebagai ukuran sebuah perjanjian dapat dikatakan tidak berlaku lagi, diantaranya :

1. Telah adanya pembayaran atau pelaksanaan dari isi perjanjian;

2. Adanya pembaharuan perikatan atau perjanjian yang mengakibatkan terhapusnya isi perjanjian sebelumnya,seperti yang tercantum dalam Pasal 1413 KUHPDT;

3. Adanya perjumpaan utang, ini berarti sejumlah hutang piutang dapat diselisihkan antara utang satu dengan yang lainya apabila diantara pihak yang melakukan hutang piutang sama-sama memiliki tagihan antara satu dengan lainya, seperti yang tercantum dalam Pasal 1425 KUHPDT;

4. Adanya pembebasan hutang atau perjanjian oleh orang atau pihak yang memiliki hak dalam suatu perjanjian, seperti yang tercantum dalam bagian 6 buku 3 KUHPDT;

5. Musnahnya barang yang menjadi objek perjanjian. Perlu diketahui, bahwa musnahnya objek perjanjian bukan disengaja dan bukan bertujuan untuk melepaskan kewajiban dalam melaksanakan isi perjanjian, seperti yang tercantum dalam Pasal 1444 KUHPDT;

6. Adanya pembatalan perjanjian karena isi perjanjian telah bertentangan dengan hukum positif yang berlaku ataupun telah bertentangan dengan kepentingan umum, seperti yang dijelaskan dalam bagian 8 Buku 3 KUHPDT;

7. Perjanjian yang telah dibuat telah memasuki waktu kadaluarsa. Biasanya waktu kadaluarsa ditentukan oleh Undang-Undang atau didasarkan atas persyaratan-persyaratan yang telah ditentukan dalam perjanjian kedua belah pihak.

Setelah mengetahui secara umum dan singkat mengenai unsur-unsur penting dari sebuah perjanjian dan faktor-faktor penghapus dari sebuah perjanjian yang telah dibuat oleh kedua belah pihak, maka penulis menyarankan, supaya para pihak yang mengadakan perjanjian memperhatikan hal-hal seperti di bawah ini :

1. Sebelum kita melakukan sebuah perjanjian hendaknya harus dipahami mengenai hak dan kewajiban yang akan didapatkan oleh masing-masing pihak.

2. Hendaknya setiap perjanjian yang akan dibuat dilakukan secara tertulis, terperinci, bersaksi atau bermaterai, apabila isi dan pelaksanaan dari perjanjian merupakan hal penting dan besar. Hal ini bertujuan untuk menghindari sengketa dari kedua belah pihak di kemudian hari.

3. Hendaknya di dalam isi perjanjian dicantumkan penyelesaian alternatif, apabila sengketa yang berkaitan dengan perjanjian yang telah disepakati terjadi. Hal ini bertujuan supaya setiap sengketa yang mungkin terjadi dapat diselesaikan secara baik-baik dan tidak merugikan kedua belah pihak yang bersengketa.

4. Hendaknya setiap pihak dalam melaksanakan hak dan kewajibannya, seperti yang telah disepakati dalam perjanjian.

5. Hendaknya setiap pihak yang menyepakati perjanjian tersebut dapat melakukannya dengan itikad baik.

Dengan adanya pengetahuan mengenai unsur-unsur penting yang ada dalam sebuah perjanjian, seperti yang telah dijelaskan di atas, diharapkan masyarakat secara umum dapat melakukan perjanjian, melaksanakan isi perjanjian, serta menyelesaikan sengketa yang timbul karena perjanjian secara bijak dan dewasa. Mengingat dalam setiap perjanjian selalu memiliki hak dan kewajiban yang harus dilaksanakan oleh pihak-pihak yang menyepakati perjanjian tersebut.

Dengan alasan demikian, perjanjian yang telah disepakati, tidak dapat lagi dijadikan alasan perpecahan atau pun pertentangan diantara pergaulan antar individu di dalam masyarakat.

*Artikel telah disusun, dan telah ditulis oleh Rizky Harta Cipta SH. MH,

Dasar Pemidanaan Terhadap Para Pelaku Kejahatan

Di antara para penulis barat dianut perbagai teori hukum pidana atau strafrechtstheorien, yang dasar pikirannya berkisar pada persoalan : Mengapa suatu kejahatan harus dikenakan suatu hukuman pidana ?

Teori-teori hukum pidana ini ada hubungan erat dengan pengertian subjectief strafrecht (jus puniendi), sebagai hak atau wewenang untuk menentukan dan menjatuhkan pidana, terhadap pengertian objectief strafrecht (jus punale sebagai peraturan hukum positif yang merupakan hukum pidana. Adanya pengertian subjectief strafrecht dan objectiefstrafrecht ini dapat dimungkinkan oleh karena kata recht ada dua arti, yaitu kesatu sebagai "hak" atau "wewenang", dan kedua sebagai "peraturan hukum"

Lain halnya dengan istilah "hukum pidana" yang hanya berarti apa yang dimaksudkan dengan objectief strafrecht, sedangkan untuk pengertian subjectief strafrecht dalam bahasa Indonesia dapat dipergunakan istilah "hak mempidana"

Dengan adanya pengertian subjectief strafrecht atau "hak mempidana" ini lebih menonjol persoalan tersebut yang menjadi dasar pikiran dari teori-teori hukum pidana, yaitu agar bergeser kepada persoalan : Kenapa alat-alat negara ada hak untuk mempidana seseorang yang melakukan kejahatan ?

Terhadap "hak mempidana" ini mungkin ada pendapat, bahwa hak mempidanan sama sekali tidak ada. Hazewinkel-Suringa mengingkari sama sekali hak mempidana ini dengan mengutarakan keyakinan mereka, bahwa si penjahat tidak boleh dilawan dan bahwa musuh tidak boleh dibenci. Selain itu, penunjukan oleh guru besar wanita ini kepada para pengikut Johannes Huss (1365-1415), seorang gerejawan di Bohemen (Hussieten), yang mengingkari hak suatu pemerintah, yang tahu diri sendiri bersalah terhadap Tuhan, untuk menghukum orang lain.

Ada beberapa teori tentang Hukum Pidana yang dapat dijelaskan, yaitu :

(1). Teori Absolut atau Mutlak.

Menurut teori-teori ini, setiap kejahatan harus diikuti dengan pidana, tidak boleh tidak, tanpa tawar-menawar.Seorang mendapat pidanan oleh karena telah melakukan kejahatan. Tidak dilihat akibat-akibat apapun yang mungkin timbul dari dijatuhkannya pidana. Tidak dipedulikan, apa dengan demikian masyarakat mungkin akan dirugikan. Hanya dilihat ke masa lampau, tidak dilihat ke masa depan.

Kegiatan pembalasan, atau disebut juga sebagai vergelding yang menurut banyak orang dijelaskan sebagai alasan untuk mempidana suatu kejahatan. Kepuasan hati yang dijadikan suatu ukuran, tetapi faktor lainnya kurang diperhatikan.

Apabila ada seorang oknum yang langsung kena dan menderita karena kejahatan itu, maka "kepuasan hati" itu terutama ada pada si oknum itu. Dalam hal pembunuhan, kepuasan hati ada pada keluarga si korban khususnya dan masyarakat umumnya.
Dengan meluasnya kepuasan hati ini pada sekumpulan orang, maka mudah juga meluasnya sasaran dari pembalasan kepada orang-orang lain dari si penjahat, yaitu pada sanak keluarga atau kawan-kawan karib. Maka unsur pembalasan , meskipun dapat dimengerti, tidak selalu dapat tepat menjadi ukuran untuk penetapan suatu pidana.
Perlu diketahui bahwa, kata vergelding atau "pembalasan" ini biasanya dipergunakan sebagai istilah untuk menunjukan dasar dari teori "absolut" tentang Hukum Pidana (absolute strafrechtstheorien).

Van Bemmelen dalam buku karya bersama dengan Van Hattum, Hand-en Leerboek van het Nederlandsche Strafrecht." Jilid II halaman 12 dan 13 mengemukakan unsur naastenliefde (cinta kepada sesama manusia) sebagai dasar adanya norma-norma yang dilanggar oleh para penjahat. Cinta sesama manusia ini mendasari larangan mencuri, menipu, membunuh, menganiaya, dan sebagainya. Dengan dasar ini maka kejahatan sudah selayaknya ditanggapi dengan suatu pidana yang dilimpahkan kepada si penjahat. Tidak perlu dicari lain alasan.Jadi kini ada nada absolut atau mutlak pula. Nada kemutlakan ini juga terdapat pada sikap Prof.Mr.R.Kranenburg, yang mendasarkan pidana pada keinsafan-keadilan (rechtsbewustzijn) dari sesama warga dari suatu negara.
Menurut Hazewinkel-Suringa, selaras dengan Kranenburg yang merupakan penulis Leo Polak, yang mempergunakan keinsafan-kesusilaan (zadelijk bewustzijn) sebagai dasar pidana. Sedangkan Kant dan Hegel dapat digolongkan kepada kelompok yang menganut teori-teori absolut dalam hal hukum pidana. Kant terkenal sebagai seorang filsuf yang mengutarakan gagasan-gagasannya sebagai apa yang menurut Ia sendiri merupakan pikiran yang murni atau yang praktis, dan atas pikiran semacam inilah oleh Kant didasarkan kemutlakan pidana sebagai follow up dari kejahatan. Sedangkan menurut Hegel pidana dianggap mutlak harus ada kemestiannya sebagai reaksi dari suatu kejahatan.

(2). Teori-teori Relatif atau Nisbi

Menurut teori-teori ini, suatu kejahatan tidak mutlak harus diikuti dengan suatu pidana. Untuk itu tidaklah cukup adanya suatu kejahatan, melainkan harus dipersoalkan perlu dan manfaatnya suatu pidana bagi masyarakat atau bagi si penjahat sendiri. Tidaklah saja dilihat pada masa lampau, melainkan juga pada masa depan. Oleh karena itu, harus ada tujuan lebih jauh daripada hanya menjatuhkan pidana saja.Dengan demikian teori-teori ini juga dinamakan teori-teori "tujuan" (doel-theorien). Tujuan ini pertama-tama harus diarahkan kepada usaha agar di kemudian hari, kejahatan yang telah dilakukannya itu tidak terulang lagi (prevensi).

Prevensi ini ada dua macam, yaitu prevensi khusus atau special dan prevensi umum atau general. Keduanya berdasar atas gagasan, bahwa mulai dengan ancaman akan dipidana dan kemudian dengan dijatuhkannya pidana, orang akan takut menjalankan kejahatan.

Dalam prevensi special, hal yang membuat takut ini ditujukan kepada si penjahat, sedangkan dalam prevensi general diusahakan agar para oknum semua sama takut akan menjalankan kejahatan.

Sebagai penganut prevensi special oleh Zevenbergen disebutkan dua penulis, yaitu Van Hamel dan Grolman. Sedangkan sebagai penganut prevensi general oelh Zevenbergen, Van Hattum, dan Hazewinkel-Suringa disebutkan terutama Paul Anselm Feuerbach, yang menitikberatkan pada ancaman dengan pidana yang termuat dalam peraturan hukum pidana.

Hal ini disebabkan, karena digunakannya pandangan pengertian psychologischedwang, yang berarti bahwa dengan ancaman pidana ini orang-orang didorong secara psikis tidak secara fisik, untuk tidak melakukan kejahatan. Selain itu, teori relatif lainnya, telah melihat bahwa usaha untuk dengan menjatuhkan pidana memperbaiki si penjahat agar menjadi orang baik, yang tidak akan lagi melakukan kejahatan.

Menurut Zevenbergen, ada tiga macam "memperbaiki si penjahat" ini, yaitu perbaikan "yuridis, perbaikan "intelektual" dan perbaikan "moral", yang berarti perbaikan "yuridis" lebih mengenai sikap si penjahat dalam hal menaati Undang-Undang, perbaikan "intelektual" lebih mengenai cara berpikir si penjahat agar Ia insaf akan jeleknya kejahatan, sedangkan perbaikan "moral" lebih mengenai rasa kesulitan si penjahat, agar Ia menjadi orang yang bermoral tinggi. Zevenbergen menunjukan pembela dari ketiga macam perbaikan ini masing-masing Stelzer, Groos, dan Kraus.

Konsekuensi dari teori-teori Relatif antara lain jika menurut teori "relatif" atau teori-teori "tujuan" ini menjatuhkannya pidana digantungkan kepada kemanfaatannya bagi masyarakat, maka ada konsekuensi logis, seperti dalam mencapai tujuan "prevensi" atau "memperbaiki si penjahat", tidak hanya secara negatif, maka tidaklah layak dijatuhkan pidana, melainkan secara positif dianggap baik, maka pemerintah mengambil tindakan yang tidak bersifat pidana.

Tindakan ini misalnya berupa mengawasi saja tindak-tanduk si penjahat atau menyerahkannya kepada suatu lembaga swasta dalam bidang sosial, untuk menampung orang-orang yang perlu dididik menjadi anggota masyarakat yang berguna (beveiligings-maatregelen).

(3). Teori-teori Gabungan (Verenigings-Theorien).

Apabila ada dua pendapat yang diametral berhadapan satu sama lain, biasanya ada suatu pendapat ketiga yang berada di tengah-tengah. Juga kini, di samping teori-teori absolut dan teori-teori relatif tentang hukum pidana, kemudian muncul teori ketiga, yang di satu pihak mengakui adanya unsur "pembalasan" (vergelding) dalam hukum pidana, tetapi di lain pihak mengakui pula unsur "prevensi" dan unsur "memperbaiki penjahat", yang melekat pada tiap pidana.

Zevenbergen menganggap dirinya termasuk golongan ketiga ini, dan menunjuk nama-nama Beling, Binding, dan Merkel sebagai eksponen-eksponen penting dari teori "gabungan" ini. Van Hattum menunjuk Pompe, sedangkan Hazenwinkel-Suringa menunjuk Hugode Groot, Rossi dan Taverne sebagai tokoh-tokoh dari golongan teori "gabungan" ini.

DAFTAR PUSTAKA

Leden Marpaung, 1999., Tindak Pidana Terhadap Nyawa Dan Tubuh (Pemberantasan dan Prevensinya), Sinar Grafika, Jakarta.

Wirjono Projodikoro, 1986. Asas-Asas Hukum Pidana Di Indonesia., Ed 2, Eresco, Bandung.

* Artikel telah disusun oleh Rizky Harta Cipta SH, MH, dari berbagai kepustakaan.

Kedudukan Korporasi Sebagai Pelaku Tindak Pidana Masa Kini

Perkembangan kegiatan bisnis yang telah melahirkan jenis-jenis kejahatan baru, maka hukum pidana moderen telah menggambarkan bahwa, dalam lingkungan sosial ekonomi atau dalam lalu lintas perekonomian, seorang pelanggar hukum pidana tidak selalu perlu melakukan kejahatan secara fisik, karena perbuatan korporasi selalu diwujudkan melalui perbuatan manusia (direksi; manajemen), sehingga pelimpahan pertanggung jawaban manajemen (manusia; natural person), menjadi perbuatan korporasi (badan hukum, legal person) yang dilakukan dalam lalu lintas kemasyarakatan1. Selain itu, bentuk pengakuan terhadap lahirnya jenis-jenis tindak pidana baru (khususnya yang dilakukan oleh korporasi), telah diakui juga oleh organisasi Persatuan Bangsa-Bangsa (PBB), dengan disahkannya UN Convention against Transnational Organized Crime (2000) yang dianggap sebagai ancaman pada The integrity of national financial industries

Apabila meninjau lebih dalam mengenai ”kejahatan korporasi”, maka pengertian dasar dari “kejahatan korporasi” menurut Black’s Law Dictionary menjelaskan bahwa, “any criminal offense committed by and hence chargeable to a corporation because of activities of its officers or employees (e.g., price fixing, toxic waste dumping), often referred to as “white collar crime”.2 (Kejahatan korporasi adalah tindak pidana yang dilakukan oleh dan oleh karena itu dapat dibebankan pada suatu korporasi karena aktivitas-aktivitas pegawai atau karyawannya (seperti penetapan harga, pembuangan limbah), sering juga disebut sebagai “kejahatan kerah putih”). Sedangkan menurut John Braithwaite menjelaskan bahwa, conduct of a corporation, or employees acting on behalf of a corporation, which is proscribed and punishable by law.3

Pendapat-pendapat di atas, telah didukung dengan pandangan Simpson yang menjelaskan bahwa ada tiga ide pokok dari definisi Braithwaite mengenai kejahatan korporasi. Seperti :4
1. Tindakan ilegal dari korporasi dan agen-agennya berbeda dengan perilaku kriminal kelas sosioekonomi bawah dalam hal prosedur administrasi. Oleh karena itu, yang digolongkan kejahatan korporasi tidak hanya tindakan kejahatan atas hukum pidana,tetapi juga pelanggaran atas hukum perdata dan administrasi.

2. Korporasi (sebagai "subyek hukum perorangan "legal persons") dan perwakilannya termasuk sebagai pelaku kejahatan (as illegal actors), dimana dalam praktik yudisialnya, bergantung pada antara lain kejahatan yang dilakukan, aturan dan kualitas pembuktian dan penuntutan.

3. Motivasi kejahatan yang dilakukan korporasi bukan bertujuan untuk keuntungan pribadi, melainkan pada pemenuhan kebutuhan dan pencapaian keuntungan organisasional, sehingga memungkinkan motif tersebut ditopang pula oleh norma operasional (internal) dan sub-kultur organisasional.

Menurut Loebby Loqman, yang dimaksud dengan korporasi adalah suatu kumpulan dagang yang sudah berbadan hukum.5 Sedangkan Gillies berpandangan bahwa, korporasi atau perusahaan yakni orang atau manusia di mata hukum yang mampu melakukan sesuatu sebagaimana yang dilakukan oleh manusia, maka diakui oleh hukum seperti memiliki kekayaan, melakukan kontrak, dan dapat dipertanggung jawabkan atas kejahatan yang dilakukan.6

Apabila meninjau pandangan Subekti, maka badan hukum atau korporasi itu misalnya, suatu perkumpulan dagang yang berbentuk perseroan terbatas, perserikatan orang atau yayasan, atau bentuk-bentuk korporasi.7 Selain itu, lahirnya korporet sebagai pelaku kejahatan menurut Wirjono Prodjodikoro berasal dari perkumpulan-perkumpulan dari orang-orang, yang sebagai badan hukum turut serta dalam pergaulan hidup kemasyarakatan, timbul gejala-gejala dari perkumpulan itu, yang apabila dilakukan oleh oknum, terang masuk perumusan berbagai tindak pidana. Dalam hal ini, sebagai perwakilan, yang kena hukuman pidana adalah oknum lagi, yaitu orang-orang yang berfungsi sebagai pengurus dari badan hukum, seperti seorang direktur dari suatu perseroan terbatas, yang dipertanggungjawabkan. Sedangkan mungkin sekali seorang direktur itu hanya melakukan saja putusan dari dewan direksi, sehingga timbul dan kemudian merata gagasan, bahwa juga suatu perkumpulan sebagai badan tersendiri dapat dikenakan hukuman pidana sebagai subyek suatu tindak pidana.8

Berdasarkan atas tindakan-tindakan anggota direksi atau pejabat korporasi yang mengambil tindakan untuk kepentingan dan keuntungan bagi korporasi, maka terdapat doktrin dalam hukum korporasi yang melindungi para direktur yang beritikad baik tersebut sebagaimana terdapat dalam teori Business Judgment Rule yang merupakan salah satu teori yang sangat popular untuk menjamin keadilan bagi para direktur yang mempunyai itikad baik.9

Penerapan doktrin di atas, memiliki tujuan untuk mencapai keadilan, khususnya bagi para direktur sebuah perusahaan terbatas dalam melakukan suatu keputusan bisnis.10

Meninjau pada Kitab Undang-Undang Hukum Pidana Indonesia (KUHP) yang pada masa ini masih berlaku dan dijadikan payung hukum pidana, maka Kitab Undang-Undang Hukum Pidana secara tegas belum menerapkan prinsip-prinsip kejahatan korporasi (korporasi sebagai pelaku). Oleh karena itu. Walaupun demikian, Kitab Undang-Undang Hukum Pidana telah mengatur mengenai pengurus korporasi yang melakukan “kejahatan korporasi” dengan atas nama korporasi atau perusahaan. Hal ini dapat dilihat pada Pasal 398 KUHP yang menjelaskan bahwa jika seorang pengurus atau komisaris perseroan terbatas, maskapai andil Indonesia atau perkumpulan korporasi yang dinyatakan dalam keadaan pailit atau yang diperintahkan penyelesaian oleh pengadilan, diancam dengan pidana penjara paling lama satu tahun empat bulan dan “jika yang bersangkutan turut membantu atau mengizinkan untuk melakukan perbuatan-perbuatan yang bertentangan dengan anggaran dasar, sehingga oleh karena itu seluruh atau sebagian besar dari kerugian diderita oleh perseroan, maskapai, atau perkumpulan…”. Walaupun demikian, pada perkembangannya korporasi mulai diposisikan sebagai subyek hukum pidana dengan ditetapkannya Undang-Undang Darurat Nomor. 7 Tahun 1955 Tentang Pengusutan, Penuntutan dan Peradilan Tindak Pidana Ekonomi, Undang-Undang Nomor 11 PNPS Tahun 1964 Tentang Pemberantasan Kegiatan Subversi, Undang-Undang Nomor 38 Tahun 2004 Tentang Jalan, Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1999 Tentang Lingkungan Hidup, Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 jo. Undang-Undang Nomor 21 Tahunn 2002 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.

Daftar Pustaka :

1. Mardjono Reksodiputro, “Tindak Pidana Korporasi dan Pertanggungjawabannya-Perubahan Wajah Pelaku Kejahatan di Indonesia” (Pidato Dies Natalis ke-47 PTIK), Juni 1993.

2. Henry Campbell Black, Black’s Law Dictionary, West Publishing Co., St. Paul, Minnessota, 1990, ed.6, hal. 339.

3. Sally S. Simpson, Strategy, Structure and Corporate Crime, 4 Advances in Criminological Theory, 1993), hal. 171.

4. Sally S. Simpson, Ibid.

5. H Loebby Loqman,, Kapita Selekta Tindak Pidana di Bidang Perekonomian, Datacom, Jakarta, 2005, hal. 3.

6. M Arief Amrullah, Kejahatan Korporasi, Bayumedia, Jawa Timur, 2006, hal. 211-212.. M Arief Amrullah, Ibid, hal. 201.

8. Wirjono Prodjodikoro, Asas-asas Hukum Pidana di Indonesia, Ed.2, Cet.6, Eresco, Bandung, 1989, hal. 55.

9. Dennis J. Block, Nancy R. Barton dan Stephen A. Radin, The Business judgment Rule Fiduciary Duties of Corporate Directors, Prentice Hall law & Business, Third edition, 1990, hal 4

10. Dennis J. Block, Nancy R. Barton dan Stephen A. Radin, Ibid.

* Karya tulis ini telah disusun, ditulis dan telah dianalisa oleh Rizky Harta Cipta SH. MH