Thursday, November 3, 2011

Hak-Hak Istri Pasca Perceraian

Perkawinan adalah merupakan ikatan lahir batin antara seorang pria dan seorang wanita sebagai suami isteri dengan tujuan untuk membentuk suatu keluarga (rumah tangga) yang kekal dan bahagia . dalam UU No 1 Tahun 1974 Pasal 1 disebutkan bahwa “tujuan perkawinan adalah membentuk keluarga (rumah tangga) yanng bahagia, kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa” senada pula dengan bunyi Pasal 3 KHI bahwa tujuan perkawinan adalah” untuk mewujudkan kehidupan rumah tangga yang sakinah, mawaddah, dan rahmah”.

Begitu indah dan mulia tujuan perkawina itu. Akan tetapi….ternyata untuk mencapai dan mewujudkan tujuan tersebut tidaklah segampang yang diucapkan, tidaklah semudah yang diangankan. Karena manakala setelah perkawinan itu dijalani, banyak onak dan duri menghalangi, kerikil dan karang terjal menghadang,ombak dan gelombang pasang menerjang, maka biduk yang bernama rumah tangga itupun kerap tenggelam dan ahirnya karam. Maka ketika sebuah biduk perkawinan telah usai, dan penumpangnya bercerai berai, yang tersisa tinggallah puing-puing permasalahan. dan yang paling menderita akibat karamnya sebuah biduk perkawinan adalah anak..!

A. Ketika perkawinan tak lagi dapat dipertahankan.

Sebuah perkawinan tidak selamanya baik-baik saja, tak selalu damai-damai saja, manakala ikatan cinta kasih sebagai fondasi penting dalam perkawinan itu sudah terurai dan tidak bisa dipertahankan lagi, maka perceraian adalah jalan yang kerap diambil suami atau isteri untuk menyelesaikan permasalahannya..

Perceraian adalah pemutusan ikatan perkawinan. Putusnya perkawinan adalah istilah hukum yang digunakan dalam UU Perkawinan untuk menjelaskan “ berahirnya hubungan perkawinan antara seorang pria dengan seorang wanita yang selama ini hidup dalam sebuah atap yang bernama rumah tangga.

Putusnya perkawinan secara yuridis adalah merupakan suatu peristiwa hukum yang akan membawa akibat-akibat hukum, baik hukum kekeluargaan maupun hukum kebendaan.

Dalam buku Hukum Perkawinan Islam di Indonesia ( Prof. DR. Amir Syarifuddin) dikatakan bahwa bila suatu ikatan perkawinan putus, maka ada hukum yang berlaku sesudahnya yaitu:

  1. Hubungan antara keduanya berlaku seperti antara dua orang yang saling asing. Putusnya perkawinan mengembalikan status halal yang tadinya didapat dari perkawinan melalui akad nikah menjadikan kembali pada status semula yaitu haram, tidak boleh berpandangan, bersentuhan, apalagi melakukan hubungan suami isteri yang sebutannya menjadi perbuatan zina.
  2. Adanya suatu keharusan bagi suami memberi mut’ah kepada isteri yang diceraikannya sebagai suatu konpensasi. Namun dalam kewajiban memberi mut’ah ini dikalangan ulama terjadi perbedaan pendapat. golongan Zahiriyah merpendapat bahwa mut.ah itu hukumnya wajib.dasar wajibnya adalah terdapat dalam ayat 241 surat Al-Baqarah, yang artinya “ Untuk isteri-isteri yang diceraikan itu hendaklah ada pemberian dalam bentuk mut’ah secara patut, merupakan hak atas orang yang bertaqwa”. Golongan ulama Malikiyah berpendapat hukumnya mut’ah itu adakah sunnah dengan alasan karena lafadz “haqqan “alal Muttaqien” itu tidak menunjukan wajib’. Golongan lain mengatakan bahwa kewajiban memberi mut’ah itu berlaku tergantung pada keadaan tertentu, dalam keadan tertentu itupun terdapat perbedaan pendapat. Ulama Hanafiyah mengatakan hukumnya wajib untuk suami yang akan menceraikan isterinya sebelum digauli dan maharnya belum ditentukan sebelumnya. Golongan ini mendasarkan pada surat Al-Baqarah ayat 236. Sedangkan Jumhur ulama berpendapat bahwa mut’ah itu hanya wajib diberikan oleh suami yang menghendaki perceraian, seperti thalak. Mungkin inilah yang mendasari pemberlakuan keharusan pemberian mut’ah bagi suami yang akan menceraikan isteri, yang berlaku dalam hukum perkawinan di Indonesia, yang tertuang dalam KHI Pasal 158 huruf a dan b sementara hanya sunnah saja bagi suami memberi mut’ah apabila tidak memenuhi syarat seperti yang tercantum dalam Pasal 158 tersebut.
  3. Melunasi utang yang yang wajib dibayarnya dan belum dibayar ketika sedang dalam ikatan perkawinan, berupa maskawin atau nafakah.
  4. Adanya iddah yang berlaku atas isteri yang diceraikan yang menjalani masa iddah itu adalah perempuan yang bercerai dari suaminya, baik cerai hidup ataupun cerai akibat ditinggalkan mati oleh suaminya, sedang dalam keadaan mengandung (hamil) ataupun tidak wajib menjalani masa iddah.
  5. Adanya akibat hukum bagi pemeliharaan anak atau hadlanah.

B. Ada hak isteri yang didapat pasca perceraian

1. Bila terjadi perceraian atas inisiatif suami, maka bekas isteri berhak mendapatkan nafkah lahir dari suami selama masa iddah.

Hal tersebut tercantum dalam pasal 149 KHI huruf (b). Dan dalam pasal 151KHI tersebut diwajibkan bahwa “bekas isteri yang sedang dalam masa iddah wajib menjaga dirinya, tidak menerima pinangan dan tidak menikah dengan laki-laki lain” maka konsekwensi logis dari kewajiban tersebut adalah bekas suami wajib memenuhi nafkah lahir, sebagai hak yang harus didapatkan akibat kewajibannya tersebut, kecuali isteri berlaku nusyuz, maka tak ada hak nafkah iddah baginya. Namun perlu diketahui pula bahwa hak nafkah yang diterimanya apakah secara penuh atau tida juga adalah tergantung dari pada bentuk perceraiannya, bukan pada lamanya masa iddahnya.

Hak isteri yang bercerai dari suaminya dihibungkan dengan hak yang diterimanya itu ada 3 (tiga), macam ( Prof.DR. Amir Syarifuddin) yaitu:

1). Isteri yang dicerai dalam bentuk talak Raj’I, dalam hal ini para ulama sepakat bahwa hak yang diterima bekas isteri adalah penuh, sebagaimana yang berlaku pada saat berumah tangga sebelum terjadi perceraian, baik sandang maupun pangan dan tempat kediaman.

2). Seorang isteri yang dicerai dalam bentuk Ba’in, apakah itu ba’in sughra atau ba’in kubra, dan dia sedang hamil berhak atas nafkah dan tempat tinggal. Dalam hal ini para ulama sepakat, dasar hukum yang diambil oleh golongan ini adalah Al-Qur’an surat At-Thalaq ayat 6. Tetapi bila isteri tersebut dalam keadaan tidak hamil, maka terdapat perbedaan pendapat seperti antara lain Ibnu Mas’ud, Imam Malik dan Imam Syafi’i bekas isteri tersebut hanya berhak atas tempat tinggal dan tidak berhak atas nafkah. Adapun Ibnu Abbas dan Daud Adzdzahiriy dan beberapa ulama lainnya berpendapat bahwa bekas isteri tersebut tidak mendapat hak atas nafkah juga tempat tinggal, mereka mendasarkan pendapatnya pada alasan bahwa perkawinan itu telah putus sama sekali serta perempuan itu tidak dalam keadaan mengandung.. Mungkin pendapat ini yang dipakai dasar dalam ketentuan KHI dalam hal istri dijatuhi dengan bain dan dalam keadaan tidak hamil tidak mendapatkan nafkah, maskan dan kiswah ( Pasal 149 huruf (b) KHI.

3). Hak istri yang ditinggal mati oleh suaminya. Bila si isteri tersebut dalam keadaan mengandung para ulama sepakat isteri itu berhak atas nafkah dan tempat tinggal, namun bila tidak dalam keadaan hamil para ulama terjadi perbedaan pendapat yaitu: al. Imam Malik. Imam Syafi’iy mengatakan “berhak atas tempat tinggal”, sedangkan sebagian ulama lainnya seperti Imam Ahmad berpendapat bila isteri tidak hamil maka tidak berhak atas nafkah dan tempat tinggal, karena ada hak dalam bentuk warisan.


2. Hak isteri atas harta bersama

Harta bersama dalam khazanah Fiqh Islam memang pada dasarnya tidak populer, sehingga tidak ada pembahasan khusus dalam fiqh.Namun di Indonesia harta sejenis ini memang dikenal dan ada dihampir semua daerah. sehingga lahirlah berbagai istilah yang ada di masyarakat. seperti antara lain di sunda dikenal dengan seburtan “ guna kaya atau tumpang kaya”, di Madura dikenal dengan sebutan”ghuna –ghana” istilah suku Jawa adalah” gono-gini. dan lain sebagainya. Mungkin atas dasar keadaan adat di Indonesia seperti inilah sehingga dalam UU No.1 Thun 1974 Tentang Perkawinann Pasal 35, 36 dan 37 serta tercantum pula dalam KHI mulai dari Pasal 85 sampai Pasal 97.

Berdasarkan kenyataan bahwa banyak suami isteri yang sama-sama membanting tulang dalam upaya memenuhi kebutuhan nafkah keluarga sehari-hari, dan fenomena kekinian yang justru banyak isteri yang mendapat penghasilan lebih banyak daripada suami. Saat ini peraturan mengenai harta bersama ini masih berlaku pembagian sama yang didapat oleh istri maupun suami dengan tanpa melihat apakah dan siapakah yang paling banyak menghasilkan income selama berumah tangga. Tetapi mungkin saat ini kita boleh mengharap dengan adanya RUU Hukum Terapan Peradilan Agama Bidang Perkawinan yang mudah2an dapat melahirkan aturan yang berkeadilan gender.

Dalam pembagian harta bersama ini mungkin diharapka lebih pada prinsip keadilan dan perlunya kesadaran dari kedua belah pihak agar tidak terjadi kezaliman yang berawal dari pelanggaran hak.


3. Hak atas Mut’ah

Menurut Fiqh Islam telah disinggung sebelumnya, sedangkan dalam KHI terdapat 3 (tiga) Pasal yang membicarakan tentang mut’ah ini, yaitu dalam Pasal 158, 159, dan Pasal 160, yang menyebutkan bahwa seorang suami yang hendak mencerai isterinya wajib memberi mut’ah dengan syarat:

a. Belum ditetapkan maharnya bagi isteri yang qobla dukhul;

b. Perceraian itu atas kehendak suami;

Tetapi pemberian mut’ah ini hanyalah sunnah diberikan oleh bekas suami bila tanpa syarat-syarat tersebut, dan besarnya mut’ah juga di isesuaikan dengan kepatutan dan kemampuan suami;


4. Hak atas hadlanah

Dalam istilah Fiqh hadlanah ini disebut juga dengan Kafalah yang pengertiannya sama yaitu ”pemeliharaan” atau “pengasuhan”. Seorang isteri yang bercerai dengan suaminya juga mempunyai hak atas pengasuhan anak yang belum mumayiz, kecuali ditentukan lain oleh UU yang membatalkan haknya tersebut.

Menurut Guru besar fiqh Islam dari suriyah Wahbah Az-Zuhaili: “Hak hadlanah adalah hak berserikat antara ibu, ayah dan anak, meski bila terjadi pertentangan hak yang diprioritaskan adalah hak anak.” Ketika penulis mengikuti kegiatan yang diadakan oleh Pusat Studi Wanita dalam kegiatan penyusunan best praktis hak-hak dalam keluarga, hak isteri atas hadlanah ini juga termasuk dibicarakan karena maraknya kasus seorang isteri yang dicerai oleh suaminya sangat alot dalam mempertahankan dan memperjuangkan keinginanya untuk memelihara anaknya yang masih belum mumayiz, yang oleh suaminya dipertahankan pula. dengan tanpa melihat kepentingan si anak yang masih sangat membutuhkan dekapan kasih sayang seorang ibu karena masih menyusu misalnya.


C. Ketika perspektif hukum kurang adil gender

Ketika seorang istri sudah tidak lagi dapat menahan beban tekanan fisik dan psikis, ekonomi bahkan seksual, yang ahirnya membawa langkah kakinya memohon pada pengadilan untuk bercerai dengan suaminya dan memohon atas haknya tersebut, namun apa mau dikata hukum dan keadilan yang diharapkannya kerap tidak berfihak padanya, meski di pengadilan terungkap fakta, bahwa dibalik alasan gugat cerainya itu adalah karena sudah sampai pada titik jenuh, muak dan benci atas prilaku suami yang sudah tak dapat lagi ia tanggung, justru harus gigit jari, karena hukum saat ini masih kurang pro gender.

Dinamika sosial baru yang terus didukung berbagai kalangan diharapkan dapat melakukan terobosan pembaharuan hukum yang adil gender sehingga melahirkan pembentukan peundang-undangan yang konstruktif bagi pemenuhan hak-hak perempuan. meski demikian spirit dari pemikiran berkeadilan gender saat ini telah dapat menginspirasi sebagian besar para hakim Pengadilan agama baik karena adanya tuntutan balik dari pihak istri atau pun atas dasar kewenangan hakim secara ex officio dapatlah memutus dengan adil gender yang memang sudah seharusnya menjadi hak seorang istri yang diceraikan oleh suami.


D. Manfaatkan peluang yang ada.

ahirnya pada sebuah pemahaman bahwa sesungguhnya isteri yang bercerai dengan suaminya mempunyai hak yang bisa diraihnya, namun keadaanlah yang memaksa sehingga masih banyak bekas istri yang tidak bisa mendapatkan hak-haknya tersebut, namun sesungguhnya ada banyak peluang yang bisa diambil oleh para hakim, dalam rangka setidaknya mengurangi ketimpangan relasi gender. Hanya diperlukan terobosan dan keberanian dalam membaca yang tersurat dan tersirat, baik dalam konteks sebuah aturan atau menoleh pada aspek philososi sosial dan nilai-nilai hukum yang dapat diambil untuk kita wujudkan dalam memenuhi rasa keadilan bagi suami ataupun istri.

Peluang itu antara lain adalah:

1. Mengoptimalkan Pasal 41 UU No. 1 Tentang Perkawinan dan Pasal 27 PP No. 9 Tahun1975

2. Menggunakan yurisprudensi Mahkamah Agung : isteri yang menggugat suami tetap memiliki hak atas nafkah terhadap kesalahan yang dilakukan oleh suami.

Mungkin ini hanya sebuah tulisan yang tidak bermakna apa2-apa tetapi dengan niat yang iklas semoga ada manfaatnya meskipun hanya sejumput debu. Dan mungkin pula terlalu banyak kekurangannya namun dari lubuk hati yang paling dalam tulisan ini diakui sangat jauh dari sempurna karena hanya Allah lah Sang pemilik Kesempurnaan.


Wassalam.

Hak-Hak Istri Dalam Proses Perceraian

I. PENDAHULUAN

Dalam sebuah hadits Riwayat Al Khatib dari Ans Rasulullah SAW bersabda : Al Jannatu tahta agdamil ummahati, surga itu di bawah telapak kaki ibu. Dalam riwayat yang lain diceritakan bahwa seseorang pernah menghadap Rasulullah SAW dan bertanya : “siapakah orang yang lebih berhak aku layani dengan sebaik-baiknya. Rasulullah menjawab : “Ibumu”. Kemudian siapa? Tanya orang itu lagi, nabi menjawab “ibumu”, lalu siapa? “ibumu”. Kemudian siapa lagi : “Bapakmu”.

Alangkah hebatnya penghormatan yang diberikan ajaran Islam terhadap seorang wanita sebagai ibu. Penghormatan kepada ayah hanya sepertiga bagian dari penghormatan yang diberikan kepada ibu sebuah penghormatan yang luar biasa dan istimewa.
Akan tetapi hal ini sering hanya berhenti pada tataran teoritik. Dalam praktek sering terjadi perlakuan kekerasan dan pelecehan dari seorang laki-laki (suami) terhadap seorang perempuan (istri).

Data statistik pada Ditjen Badilaq MARI tahun 2009 menunjukkan bahwa alasan perceraian karena menyakiti jasmani sebanyak 1965 kasus dan menyakiti mental sebanyak 587 kasus. Sedang untuk tahun 2010 sampai dengan bulan Juli, alasan perceraian karena menyakiti jasmani sebanyak 1312 kasus dan menyakiti mental 218 kasus dan lebih menyedihkan terdapat 61.128 kasus untuk tahun 2009, dan 40.823 kasus (sampai Juli 2010), alasan perceraian karena tidak ada tanggung jawab.

Sejak berlakunya undang-undang nomor 1 tahun 1974 tentang Perkawinan, secara normatif undang-undang telah memberikan jaminan kedudukan yang terhormat dan seimbang kepada perempuan sebagai istri. Terdapat perubahan signifikan terhadap dominasi laki-laki (suami) kepada perempuan (istri) dalam kehidupan berumah tangga. Undang-undang Nomor 1 tahun 1974 memberikan hak dan kedudukan seimbang antara seorang istri dengan seorang suami. Penjelasan umum Undang-undang Nomor 1 tahun 1974 dan angka 4 huruf F menyatakan : “Hak dan kedudukan istri adalah seimbang dengan hak dan kedudukan suami, baik dalam kehidupan rumah tangga maupun dalam pergaulan masyarakat. Sehingga dengan demikian segala sesuatu dalam rumah tangga dapat dirundingkan dan diputuskan bersama oleh suami isteri .

Asas-asas dalam Undang-undang ini, adalah mempersukar terjadinya perceraian, untuk memungkinkan perceraian harus ada alasan-alasan tertentu dan harus dilakukan di depan sidang Pengadilan. Hak untuk menjatuhkan talak tidak lagi menjadi hak mutlak seorang suami, yang dapat dilakukan kapan saja dia mau, akan tetapi harus dilakukan di depan sidang pengadilan dengan alasan yang dibenarkan oleh Undang-Undang, dan juga dengan kewajiban suami untuk memenuhi hak-hak istri dalam proses perceraian tersebut.

II. ¬HAK-HAK ISTRI DALAM PROSES PERCERAIAN

1. Adanya hak suami dan istri yang seimbang untuk mengajukan perceraian.

Sebelum berlakunya Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974, ada diskriminasi, antara suami dan istri dalam hak untuk mengajukan perceraian. Suami memiliki hak mutlak untuk menjatuhkan talak kepada istrinya. Kapan saja suami dapat menjatuhkan talak tanpa kewajiban apapun kepada istri.

Sementara istri apabila akan mengajukan perceraian, harus mengajukan gugatan ke Pengadilan. Dan dengan mengajukan gugatan tersebut, istri akan kehilangan hak-haknya karena, mengajukan gugatan dianggap perbuatan nusyuz sehingga istri harus rela kehilangan hak, hanya karena istri mengajukan gugatan ke Pengadilan.

Undang-Undang Nomor 1 tahun 1974 Jo Undang-undang nomor 7 tahun 1989, telah merubah keadaan tersebut, dan memberikan hak yang sama kepada suami atau istri untuk mengajukan perceraian. Baik suami ataupun istri dapat mengajukan perceraian melalui sidang Pengadilan. Perceraian hanya dapat dilakukan di depan sidang Pengadilan dan harus ada alasan yang ditentukan di dalam Undang-undang yaitu :
- Suami dapat menceraikan istri dengan mengajukan permohonan cerai talak ke Pengadilan di tempat kediaman Termohon (Istri) .
- Sedangkan istri dapat mengajukan gugatan perceraian ke Pengadilan di tempat kediaman Penggugat (isteri)

2. Hak Mengajukan Komulasi

Di dalam Undang-undang Nomor 7 tahun 1989 memberikan hak untuk mengajukan gugatan komulasi. Yaitu istri dapat mengajukan gugatan perceraian secara komulasi dengan penguasaan anak, nafkah anak, nafkah istri dan harta bersama suami istri, atau dapat diajukan sesudah putusan perceraian memperoleh kekuatan hukum tetap.

Demikian juga suami dapat mengajukan permohonan talak dikomulasikan dengan permohonan penguasaan anak, nafkah anak nafkah istri dan harta bersama atau dapat diajukan setelah pelaksanaan ikrar talak suami kepada istri.

3. Hak Mut’ah, nafkah idah dalam cerai talak

Dalam hal perceraian karena permohonan cerai talak suami kepada istri, pasal 149 dan pasal 158 KHI, dengan tegas mewajibkan suami untuk memberi :
a. Mut’ah yang layak kepada bekas isteri
b. Nafkah, maskan dan kiswah selama dalam iddah
c. Melunasi mahar dengan masih terhutang
d. Biaya hadlonah untuk anak yang belum mencapai umur 21 tahun.

Mahkamah Agung RI dalam putusan kasasi membebankan kwajiban tersebut dalam beberapa format :
a. Dalam bentuk Rekonpensi

Dalam permohonan cerai talak suami di PA, istri mengajukan gugatan Rekonpensi, agar suami dihukum untuk membayar kwajiban-kwajiban hal dalam pasal 149 dan pasal 158 tersebut. Dalam putusan kasasi nomor 347 k / Ag / 2010, Mahkamah Agung telah mengabulkan gugatan Rekonpensi dari istri dan memperbaiki putusan PA dan PTA.

Dalam pertimbangan MA, menyebutkan bahwa jumlah mut’ah kurang memenuhi rasa keadilan sehingga jumlah mut’ah suami tersebut harus disesuaikan dengan rasa keadilan. Sehingga dinaikkan dari Rp. 30.000.000,- menjadi Rp. 70.000.000. Dalam putusan tersebut Mahkamah Agung telah mengabulkan gugatan Rekonpensi istri berupa :
- Nafkah, maskan kiswah selama dalam iddah
- Nafkah madliyah
- Mut’ah .

b. Secara ex officio

Mahkamah Agung telah membuat suatu terobosan dengan mewajibkan suami sekalipun tidak terdapat gugatan Rekonpensi, dengan membebankan kewajiban secara ex officio untuk membayar :
- Mut’ah
- Nafkah, maskan, kiswah tepat istri selama dalam masa iddah.
- Nafkah dua orang anak.
Dalam perkara nomor 410 k/Ag/2010 :
PA : Telah memberikan izin kepada suami untuk menjatuhkan ikrar talak tanpa pembebanan kewajiban suami kepada istri.
PTA : Permohonan tersebut ditolak
MA : Mengabulkan permohonan suami untuk mengucapkan ikrar talak dan secara ex officio (karena tidak ada gugatan Rekonpensi) telah membebankan kepada suami untuk membayar :
- Mut’ah
- Nafkah, maskan, kiswah selama dalam iddah
- Nafkah 2 orang anak.
Pertimbangan Mahkamah Agung, bahwa dalam perkara ini Pemohon sebagai suami telah mengajukan permohonan cerai talak dan istri dalam pemeriksaan tidak terbukti berbuat nusyuz .

4. Hak Mut’ah dan nafkah iddah dalam Cerai Gugat

Dalam cerai gugat undang-undang maupun KHI tidak menentukan / mengatur kewajiban suami atau hak-hak istri seperti yang diatur pasal 149 dan 158 KHI. Sehingga dalam putusan PA, masih terdapat pengadilan yang tidak membebankan kewajiban suami yang menjadi hak islam, yaitu mut’ah nafkah, maskan dan kiswah selama dalam masa iddah.

Dalam perkara kasasi nomor 276 k / Ag / 2010 Mahkamah Agung telah mengabulkan gugatan cerai istri kepada suami yang dikomulasikan dengan tuntutan, mut’ah, hadlonah untuk anak, dan nafkah anak yaitu dengan membebankan mut’ah sebesar Rp. 50.000.000,-. Pertimbangan MA, karena perceraian tersebut diajukan oleh istri disebabkan suami kawin lagi dengan perempuan lain. Padahal kesetiaan istri lebih dari cukup. Sikap Termohon yang menikah lagi adalah Sikap yang tidak terpuji dan sangat menyakitkan bagi seorang istri yang setia.

Di dalam Buku II Pedoman Teknis Pengadilan Agama ditentukan bahwa apabila gugatan cerai dengan alasan adanya kekejaman atau kekerasan suami, hakim secara ex officio dapat menetapkan nafkah iddah

5. Hak Istri untuk didampingi seorang pendamping

Dalam proses pemeriksaan cerai talak istri dalam gugatan Rekonpensi dapat mengajukan gugatan provisi yaitu permohonan istri sebagai korban KDRT untuk didampingi oleh seorang pendamping.

Demikian juga dalam gugatan perceraian, istri sebagai penggugat dapat mengajukan gugatan provisi yaitu permohonan istri sebagai korban KDRT untuk didampingi oleh seorang pendamping.

III. KESIMPULAN

1. Dalam proses perceraian baik dengan prosedur cerai talak maupun cerai gugat, selama istri tidak berbuat nusyuz tetap mempunyai hak :
- Nafkah madliyah
- Mut’ah
- Nafkah, maskan, kiswah selama dalam iddah
- Hak hadlonah
- Nafkah anak
2. Penetapan hak-hak istri : mut’ah, nafkah, maskan, kiswah selama iddah, dan nafkah anak tersebut dapat dilakukan melalui gugatan cerai, gugatan Rekonpensi dalam permohonan cerai talak maupun ditetapkan oleh Hakim secara ex officio, sebagaimana putusan kasasi tersebut di atas.
3. Dalam hal alasan perceraian KDRT, istri dapat mengajukan gugatan provisi, yaitu permohonan istri sebagai korban KDRT untuk didampingi oleh seorang pendamping.
4. Penetapan jumlah kwajiban suami sebagai hak istri harus disesuaikan dengan rasa keadilan, sehingga sesuai dengan putusan Hukum Kasasi pada MARI.

Email Sebagai Alat Bukti Persidangan

  1. Penggolongan Alat Bukti

Dalam ketentuan hukum acara di Indonesia, penggolongan alat bukti dapat dibagi dalam 2 bagian besar yaitu alat bukti menurut Hukum Acara Pidana dan Hukum Acara Perdata. Dalam persidangan perkara perdata yang dicari adalah kebenaran formil walaupun secara eksplisit dalam HIR, Rbg maupun BW tidak satu pasal pun yang menyebutkan kebenaran formil dimaksud. Sistem peradilan perdata mendasarkan kebenaran formil, artinya hakim akan memeriksa dan mengadili perkara perdata terikat mutlak dengan cara tertentu yang diatur dalam HIR/Rbg. Sistem pembuktiannya juga mendasarkan pada kebenaran formil yang berarti hakim terikat pada apa yang dikemukakan para pihak. Itulah sebabnya mengapa alat bukti surat dijadikan sebagai alat bukti utama dalam persidangan perdata. Hukum Acara Perdata mengenal 5 macam alat bukti yang sah, yaitu (Ps. 164 HIR):

  1. Surat
  2. Saksi
  3. Persangkaan
  4. Pengakuan
  5. Sumpah

Berbeda dengan sistem pembuktian pada perkara pidana yang menganut sistem negatief wettelijke. Sistem pembuktian dalam perkara pidana para ahli hukum berpendapat bahwa kebenaran yang dicari dalam perkara pidana adalah kebenaran materiil (materiele waarheid). Kebenaran disini tidak semata-mata mendasarkan pada alat bukti yang sah dan dapat diajukan oleh pihak-pihak yang berperkara di sidang pengadilan, tetapi juga harus disertai dengan keyakinan hakim. Itulah sebabnya mengapa surat tidak dijadikan sebagai alat bukti utama, melainkan keterangan yang diberikan oleh saksi. Hukum Acara Pidana mengenal 5 macam alat bukti yang sah, yaitu (Ps. 183 KUHAP):

  1. Keterangan saksi
  2. Keterangan ahli
  3. Surat
  4. Petunjuk
  5. Keterangan terdakwa

2. E-mail sebagai Alat Bukti

Seiring dengan perkembangan dan kemajuan teknologi, maka pada saat ini telah terdapat perluasan alat bukti disamping yang telah disebutkan diatas. Hal ini dapat diakui seiring dengan diterbitkannya UU No. 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE). Berdasarkan UU ITE ini, disebutkan bahwa:

Ps. 5 (1)

Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik dan/atau hasil cetaknya merupakan alat bukti yang sah”

Ps. 5 (2)

Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik dan/atau hasil cetaknya sebagaimana dimaksud pada ayat (1) merupakan perluasan dari alat bukti yang sah sesuai Hukum Acara yang berlaku di Indonesia”

Dalam UU ITE, adapun yang dimaksud dengan Informasi Elektronik adalah satu atau sekumpulan data elektronik, termasuk tapi tidak terbatas pada tulisan, suara, gambar, peta,rancangan, foto, Electronic Data Interchange (EDI), surat elektronik (e-mail), telegram, teleks, telecopy atau secenisnya, huruf, tanda, angka, kode akses, simbol atau perforasi yang telah diolah yang memiliki arti atau dapat dipahami oleh orang yang mampu memahaminya (Ps. 1 angka 1). Sedangkan yang dimaksud dengan Dokumen Elektronik adalah setiap Informasi Elektronik yang dibuat, diteruskan, dikirimkan, diterima, atau disimpan dalam bentuk analog, digital, elektromagnetik, optikal, atau sejenisnya, yang dapat dilihat, ditampilkan, dan/atau didengar melalui Komputer atau Sistem Elektronik, termasuk tetapi tidak terbatas pada tulisan, suara, gambar, peta, rancangan, foto atau sejenisnya, huruf, tanda, angka, Kode Akses, simbol atau perforasi yang memiliki makna atau arti atau dapat dipahami oleh orang yang mampu memahaminya (Ps. 1 angka 4)

Berdasarkan hal tersebut diatas, maka dapat disimpulkan bahwa berdasarkan ketentuan UU ITE e-mail telah secara tegas dinyatakan sebagai salah satu Dokumen Elektronik yang dapat dijadikan sebagai alat bukti yang sah. Dalam Ps. 5 (4) UU ITE, tidak semua e-mail dapat dikategorikan sebagai alat bukti yang sah. E-mail tidak termasuk sebagai Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik yang dapat dijadikan sebagai alat bukti yang sah dalam hal sebagai berikut:

  1. Terhadap surat yang menurut undang-undang harus dibuat dalam bentuk tertulis
  2. Terhadap surat beserta dokumen pendukungnya yang menurut undang-undang harus dibuat dalam bentuk akta notaril atau akta yang dibuat oleh pejabat pembuat akta tanah.

Asas Legalitas Dalam Islam

Asas legalitas adalah suatu prinsip dimana suatu perbuatan baru dapat dianggap melanggar hukum jika waktu peristiwa itu terjadi sudah ada peraturan yang melarangnya.Walaupun asas legalitas merupakan istilah hukum modern namun ajaran Islam juga menjunjung tinggi asas tersebut .Hal ini dapat dilihat dalam ajaran Al-Qur’an yang menjelaskan, bahwa Allah swt. Tidak akan menyiksa seseorang dalam arti belum dianggap melanggar hukum, kecuali setelah ada peraturan yang melarang atau mengaturnya. Oleh karena itu sebelum datang Al-Qur’an, umat manusia belum diminta pertanggungjawaban atas perbuatan-perbuatannya, kecuali masyarakat yang pernah dijangkau oleh kewenangan dakwah para Rasul sebelumnya ( Q.S. al-Isra ayat 15).

Penegasan asas legalitas lebih lanjut ditunjukan oleh ayat lain yang berbicara tentang pembatalan salah satu bentuk praktek perkawinan di masa pra Islam yaitu bilamana ada seorang ayah beristeri muda, setelah ia wafat, isteri mudanya menjadi rebutan anak laki-lakinya dari isteri yang tua.Ada dua cara yang dikenal waktu itu.Pertama, anak laki-laki yang paling berhak untuk menikahi janda muda ayahnya itu adalah anaknya yang tertua.Kedua, yang paling berhak adalah yang menang dalam undian dengan cara masing-masing melempar kain hitam kepada janda itu.Lemparan kain hitam siapa yang paling lebih dahulu mengenai wanita itu dan disambutnya secara baik, maka dialah yang paling berhak untuk menikahi janda ayah kandungnya itu.Praktek perkawinan seperti ini dikenal dengan istilah “zawaj al-maqti” yang kemudian diharamkan oleh ayat 22 surat an-Nisa yang artinya:” Dan janganlah kamu kawini wanita-wanita yang telah dikawini oleh ayahmu, kecuali pada masa yang telah lampau.Sesungguhnya perbuatan itu amat keji dan dibenci oleh Allah swt. Dan seburuk-buruk jalan yang ditempuh”.

Ayat tersebut diatas, memberikan pengecualian :……” illa maqad salafa (terkecuali pada masa yang telah lampau)”.Penggalan ayat inilah yang kemudian dijadikan alasan bahwa hukum tidak berlaku surut.Artinya, haram melakukan zawaj al-maqti yang ditegaskan dalam ayat tersebut, mulai berlaku semenjak ayat itu diturunkan, tidak berlaku pada masa sebelumnya.Orang-orang yang melakukan praktek perkawinan zawaj al-maqti sebelum turunnya ayat tersebut tidak dianggap melanggar hukum dan konsep inilah yang kemudian dikembangkan oleh para ulama sebagai asas legalitas dalam hukum Islam.

Namun dalam Islam asas legalitas tidak berlaku terhadap peristiwa hadist al-ifki (berita bohong) berupa tuduhan dari pihak yang tidak senang dengan perkembangan Islam bahwa Aisyah isteri Rasulullah sengaja tertinggal dari rombongan sehabis peperangan Bani al-Mushtaliq dengan maksud berbuat serong dengan Safwan.Berita itu selama sebulan berkembang dalam masyarakat, sedangkan Aisyah sendiri bungkam tanpa memberikan pembelaan terhadap dirinya.Dalam situasi demikian turunlah ayat yang menyatakan bahwa Orang-orang yang menuduh wanita-wanita yang baik-baik (berbuat zina), dan mereka tidak mendatangkan empat orang saksi maka deralah mereka (yang menuduh itu) delapan puluh kali dera….”( Q.S an-Nur ayat 4,5,11 dan 12). Ayat ini berbicara teantang hukuman terhadap kejahatan qadaf yaitu menuduh orang baik-baik berbuat zina tanpa mampu mengajukan empat orang saksi.Yang perlu dicatat disini adalah ayat ini diturunkan setelah satu bulan adanya peristiwa tuduhan atas diri Aisyah.Namun ayat itu diberlakukan terhadap peristiwa berita bohong (hadist ifki) dimana semua orang yang menuduh Aisyah itu oleh Rasulullah saw. tetap dihukum dera delapan puluh kali. (Ajun-PA Ktb)