Thursday, November 3, 2011

Hak-Hak Istri Dalam Proses Perceraian

I. PENDAHULUAN

Dalam sebuah hadits Riwayat Al Khatib dari Ans Rasulullah SAW bersabda : Al Jannatu tahta agdamil ummahati, surga itu di bawah telapak kaki ibu. Dalam riwayat yang lain diceritakan bahwa seseorang pernah menghadap Rasulullah SAW dan bertanya : “siapakah orang yang lebih berhak aku layani dengan sebaik-baiknya. Rasulullah menjawab : “Ibumu”. Kemudian siapa? Tanya orang itu lagi, nabi menjawab “ibumu”, lalu siapa? “ibumu”. Kemudian siapa lagi : “Bapakmu”.

Alangkah hebatnya penghormatan yang diberikan ajaran Islam terhadap seorang wanita sebagai ibu. Penghormatan kepada ayah hanya sepertiga bagian dari penghormatan yang diberikan kepada ibu sebuah penghormatan yang luar biasa dan istimewa.
Akan tetapi hal ini sering hanya berhenti pada tataran teoritik. Dalam praktek sering terjadi perlakuan kekerasan dan pelecehan dari seorang laki-laki (suami) terhadap seorang perempuan (istri).

Data statistik pada Ditjen Badilaq MARI tahun 2009 menunjukkan bahwa alasan perceraian karena menyakiti jasmani sebanyak 1965 kasus dan menyakiti mental sebanyak 587 kasus. Sedang untuk tahun 2010 sampai dengan bulan Juli, alasan perceraian karena menyakiti jasmani sebanyak 1312 kasus dan menyakiti mental 218 kasus dan lebih menyedihkan terdapat 61.128 kasus untuk tahun 2009, dan 40.823 kasus (sampai Juli 2010), alasan perceraian karena tidak ada tanggung jawab.

Sejak berlakunya undang-undang nomor 1 tahun 1974 tentang Perkawinan, secara normatif undang-undang telah memberikan jaminan kedudukan yang terhormat dan seimbang kepada perempuan sebagai istri. Terdapat perubahan signifikan terhadap dominasi laki-laki (suami) kepada perempuan (istri) dalam kehidupan berumah tangga. Undang-undang Nomor 1 tahun 1974 memberikan hak dan kedudukan seimbang antara seorang istri dengan seorang suami. Penjelasan umum Undang-undang Nomor 1 tahun 1974 dan angka 4 huruf F menyatakan : “Hak dan kedudukan istri adalah seimbang dengan hak dan kedudukan suami, baik dalam kehidupan rumah tangga maupun dalam pergaulan masyarakat. Sehingga dengan demikian segala sesuatu dalam rumah tangga dapat dirundingkan dan diputuskan bersama oleh suami isteri .

Asas-asas dalam Undang-undang ini, adalah mempersukar terjadinya perceraian, untuk memungkinkan perceraian harus ada alasan-alasan tertentu dan harus dilakukan di depan sidang Pengadilan. Hak untuk menjatuhkan talak tidak lagi menjadi hak mutlak seorang suami, yang dapat dilakukan kapan saja dia mau, akan tetapi harus dilakukan di depan sidang pengadilan dengan alasan yang dibenarkan oleh Undang-Undang, dan juga dengan kewajiban suami untuk memenuhi hak-hak istri dalam proses perceraian tersebut.

II. ¬HAK-HAK ISTRI DALAM PROSES PERCERAIAN

1. Adanya hak suami dan istri yang seimbang untuk mengajukan perceraian.

Sebelum berlakunya Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974, ada diskriminasi, antara suami dan istri dalam hak untuk mengajukan perceraian. Suami memiliki hak mutlak untuk menjatuhkan talak kepada istrinya. Kapan saja suami dapat menjatuhkan talak tanpa kewajiban apapun kepada istri.

Sementara istri apabila akan mengajukan perceraian, harus mengajukan gugatan ke Pengadilan. Dan dengan mengajukan gugatan tersebut, istri akan kehilangan hak-haknya karena, mengajukan gugatan dianggap perbuatan nusyuz sehingga istri harus rela kehilangan hak, hanya karena istri mengajukan gugatan ke Pengadilan.

Undang-Undang Nomor 1 tahun 1974 Jo Undang-undang nomor 7 tahun 1989, telah merubah keadaan tersebut, dan memberikan hak yang sama kepada suami atau istri untuk mengajukan perceraian. Baik suami ataupun istri dapat mengajukan perceraian melalui sidang Pengadilan. Perceraian hanya dapat dilakukan di depan sidang Pengadilan dan harus ada alasan yang ditentukan di dalam Undang-undang yaitu :
- Suami dapat menceraikan istri dengan mengajukan permohonan cerai talak ke Pengadilan di tempat kediaman Termohon (Istri) .
- Sedangkan istri dapat mengajukan gugatan perceraian ke Pengadilan di tempat kediaman Penggugat (isteri)

2. Hak Mengajukan Komulasi

Di dalam Undang-undang Nomor 7 tahun 1989 memberikan hak untuk mengajukan gugatan komulasi. Yaitu istri dapat mengajukan gugatan perceraian secara komulasi dengan penguasaan anak, nafkah anak, nafkah istri dan harta bersama suami istri, atau dapat diajukan sesudah putusan perceraian memperoleh kekuatan hukum tetap.

Demikian juga suami dapat mengajukan permohonan talak dikomulasikan dengan permohonan penguasaan anak, nafkah anak nafkah istri dan harta bersama atau dapat diajukan setelah pelaksanaan ikrar talak suami kepada istri.

3. Hak Mut’ah, nafkah idah dalam cerai talak

Dalam hal perceraian karena permohonan cerai talak suami kepada istri, pasal 149 dan pasal 158 KHI, dengan tegas mewajibkan suami untuk memberi :
a. Mut’ah yang layak kepada bekas isteri
b. Nafkah, maskan dan kiswah selama dalam iddah
c. Melunasi mahar dengan masih terhutang
d. Biaya hadlonah untuk anak yang belum mencapai umur 21 tahun.

Mahkamah Agung RI dalam putusan kasasi membebankan kwajiban tersebut dalam beberapa format :
a. Dalam bentuk Rekonpensi

Dalam permohonan cerai talak suami di PA, istri mengajukan gugatan Rekonpensi, agar suami dihukum untuk membayar kwajiban-kwajiban hal dalam pasal 149 dan pasal 158 tersebut. Dalam putusan kasasi nomor 347 k / Ag / 2010, Mahkamah Agung telah mengabulkan gugatan Rekonpensi dari istri dan memperbaiki putusan PA dan PTA.

Dalam pertimbangan MA, menyebutkan bahwa jumlah mut’ah kurang memenuhi rasa keadilan sehingga jumlah mut’ah suami tersebut harus disesuaikan dengan rasa keadilan. Sehingga dinaikkan dari Rp. 30.000.000,- menjadi Rp. 70.000.000. Dalam putusan tersebut Mahkamah Agung telah mengabulkan gugatan Rekonpensi istri berupa :
- Nafkah, maskan kiswah selama dalam iddah
- Nafkah madliyah
- Mut’ah .

b. Secara ex officio

Mahkamah Agung telah membuat suatu terobosan dengan mewajibkan suami sekalipun tidak terdapat gugatan Rekonpensi, dengan membebankan kewajiban secara ex officio untuk membayar :
- Mut’ah
- Nafkah, maskan, kiswah tepat istri selama dalam masa iddah.
- Nafkah dua orang anak.
Dalam perkara nomor 410 k/Ag/2010 :
PA : Telah memberikan izin kepada suami untuk menjatuhkan ikrar talak tanpa pembebanan kewajiban suami kepada istri.
PTA : Permohonan tersebut ditolak
MA : Mengabulkan permohonan suami untuk mengucapkan ikrar talak dan secara ex officio (karena tidak ada gugatan Rekonpensi) telah membebankan kepada suami untuk membayar :
- Mut’ah
- Nafkah, maskan, kiswah selama dalam iddah
- Nafkah 2 orang anak.
Pertimbangan Mahkamah Agung, bahwa dalam perkara ini Pemohon sebagai suami telah mengajukan permohonan cerai talak dan istri dalam pemeriksaan tidak terbukti berbuat nusyuz .

4. Hak Mut’ah dan nafkah iddah dalam Cerai Gugat

Dalam cerai gugat undang-undang maupun KHI tidak menentukan / mengatur kewajiban suami atau hak-hak istri seperti yang diatur pasal 149 dan 158 KHI. Sehingga dalam putusan PA, masih terdapat pengadilan yang tidak membebankan kewajiban suami yang menjadi hak islam, yaitu mut’ah nafkah, maskan dan kiswah selama dalam masa iddah.

Dalam perkara kasasi nomor 276 k / Ag / 2010 Mahkamah Agung telah mengabulkan gugatan cerai istri kepada suami yang dikomulasikan dengan tuntutan, mut’ah, hadlonah untuk anak, dan nafkah anak yaitu dengan membebankan mut’ah sebesar Rp. 50.000.000,-. Pertimbangan MA, karena perceraian tersebut diajukan oleh istri disebabkan suami kawin lagi dengan perempuan lain. Padahal kesetiaan istri lebih dari cukup. Sikap Termohon yang menikah lagi adalah Sikap yang tidak terpuji dan sangat menyakitkan bagi seorang istri yang setia.

Di dalam Buku II Pedoman Teknis Pengadilan Agama ditentukan bahwa apabila gugatan cerai dengan alasan adanya kekejaman atau kekerasan suami, hakim secara ex officio dapat menetapkan nafkah iddah

5. Hak Istri untuk didampingi seorang pendamping

Dalam proses pemeriksaan cerai talak istri dalam gugatan Rekonpensi dapat mengajukan gugatan provisi yaitu permohonan istri sebagai korban KDRT untuk didampingi oleh seorang pendamping.

Demikian juga dalam gugatan perceraian, istri sebagai penggugat dapat mengajukan gugatan provisi yaitu permohonan istri sebagai korban KDRT untuk didampingi oleh seorang pendamping.

III. KESIMPULAN

1. Dalam proses perceraian baik dengan prosedur cerai talak maupun cerai gugat, selama istri tidak berbuat nusyuz tetap mempunyai hak :
- Nafkah madliyah
- Mut’ah
- Nafkah, maskan, kiswah selama dalam iddah
- Hak hadlonah
- Nafkah anak
2. Penetapan hak-hak istri : mut’ah, nafkah, maskan, kiswah selama iddah, dan nafkah anak tersebut dapat dilakukan melalui gugatan cerai, gugatan Rekonpensi dalam permohonan cerai talak maupun ditetapkan oleh Hakim secara ex officio, sebagaimana putusan kasasi tersebut di atas.
3. Dalam hal alasan perceraian KDRT, istri dapat mengajukan gugatan provisi, yaitu permohonan istri sebagai korban KDRT untuk didampingi oleh seorang pendamping.
4. Penetapan jumlah kwajiban suami sebagai hak istri harus disesuaikan dengan rasa keadilan, sehingga sesuai dengan putusan Hukum Kasasi pada MARI.

0 komentar :

Post a Comment

Terima kasih atas commentnya, Comment anda sangat bermanfaat bagi saya... Semoga bermanfaat.