Saturday, December 10, 2011

Problematika Nikah Sirri Dalam Perspektif Hukum Positif Di Indonesia

Oleh : Jasmani Muzajin*

A. PENDAHULUAN

Pada suatu sore hari Jumat tanggal 30 Oktober 2009, pimpinan memberi tugas kepada penulis untuk membuat sebuah tulisan tentang problematika nikah sirri. Tulisan tersebut harus sudah selesai hari Senin pagi tanggal 2 Nopember 2009 karena akan dibawa oleh pimpinan ke dalam forum rapat kerja Pengadilan Agama se Sumut tahun 2009. Atas perintah tersebut penulis merasa mendapat kehormatan sekaligus tantangan, sehingga dengan segala keterbatasan dan minimnya waktu, penulis berusaha sedemikian rupa sehingga tersusunlah makalah yang sangat sederhana ini. Namun demikian penulis berharap bahwa sumbangan pemikiran yang sedikit dan sederhana ini dapat memberi kontribusi sebagai makalah pembanding dari sekian banyak aneka ragam makalah atau pemikiran yang telah ada tentang problematika nikah sirri, yang dalam hal ini penulis beri judul: Problematika Nikah Sirri Dalam Perspektif Hukum Positif Di Indonesia”.[1]

Pernikahan bagi umat Islam merupakan ikatan lahir batin antara seorang laki-laki dan seorang perempuan sebagai suami isteri berdasar akad nikah yang diatur dalam undang-undang dengan tujuan membentuk keluarga sakinah atau rumah tangga yang bahagia sesuai hukum Islam. Pernikahan adalah ikatan yang sangat kuat atau mitsaqon ghalidhan untuk mentaati perintah Allah dan melaksanakannya merupakan ibadah. Oleh karena itu, untuk menjaga kesucian lembaga perkawinan itu, maka perkawinan atau pernikahan bagi umat Islam hanya sah apabila dilakukan menurut hukum Islam dan keberadaannya perlu dilindungi oleh hukum negara.

Dalam perspektif hukum positif di Indonesia, perkawinan atau pernikahan bagi umat Islam, di samping harus dilakukan menurut hukum Islam, juga setiap perkawinan wajib dilangsungkan di hadapan dan dicatat oleh Pejabat Pencatat Nikah menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku. Perkawinan yang tidak dilakukan sesuai dengan ketentuan tersebut tidak mempunyai kekuatan hukum (vide Ps. 2 UU No.1/1974 jo. Ps.2 (1) PP. No.9/1975).

Pada kenyataannya tidak semua umat Islam Indonesia mematuhi ketentuan peraturan perundang-undangan tersebut, sehingga masih ada di antara masyarakat muslim dengan berbagai alasan melakukan pernikahan di bawah tangan, dalam arti pernikahan tersebut tidak dicatat oleh pejabat yang berwenang untuk itu. Fenomena semacam ini dalam masyarakat kita lebih dikenal dengan istilah nikah sirri.

B. PENGERTIAN NIKAH SIRRI

Dalam bahasa Indonesia istilah pernikahan sering disebut juga perkawinan. Perkawinan berasal dari kata “kawin” yang menurut bahasa artinya membentuk keluarga dengan lawan jenis; melakukan hubungan kelamin atau bersetubuh.[2]

Secara literal Nikah Sirri berasal dari bahasa Arab “nikah” yang menurut bahasa artinya mengumpulkan, saling memasukkan, dan digunakan untuk arti bersetubuh (wathi)[3]. Kata “nikah” sering dipergunakan untuk arti persetubuhan (coitus), juga untuk arti akad nikah.[4] Sedangkan kata Sirri berasal dari bahasa Arab “Sirr” yang berarti rahasia.[5] Dengan demikian beranjak dari arti etimologis, nikah sirri dapat diartikan sebagai pernikahan yang rahasia atau dirahasiakan. Dikatakan sebagai pernikahan yang dirahasiakan karena prosesi pernikahan semacam ini sengaja disembunyikan dari public dengan berbagai alasan, dan biasanya dihadiri hanya oleh kalangan terbatas keluarga dekat, tidak dipestakan dalam bentuk resepsi walimatul ursy secara terbuka untuk umum.

Apabila kita berpedoman dari pengertian etimologis nikah sirri sebagaimana tersebut di atas, maka setidaknya ada 3 (tiga) bentuk atau model nikah sirri yang dilakukan dalam masyakat, yaitu: Pertama: pernikahan antara seorang pria dengan seorang wanita yang sudah cukup umur yang dilangsungkan di hadapan dan dicatat oleh Pegawai Pencatat Nikah namun hanya dihadiri oleh kalangan terbatas keluarga dekat, tidak diumumkan dalam suatu resepsi walimatul ursy. Pernikahan model ini sengaja dilakukan secara diam-diam (sirri) dengan alasan misalnya calon suami isteri tersebut dua-duanya mendapat tugas belajar S2 ke luar negeri secara mendadak, sehingga untuk menjaga kehalalan hubungan mereka selama menjalani studi mereka segera dinikahkan secara sederhana di hadapan PPN. Kedua, pernikahan antara seroang pria dan seorang wanita yang masih di bawah umur menurut undang-undang, kedua-duanya masih bersekolah. Pernikahan ini atas inisiatif dari orang tua kedua belah pihak yang sepakat menjodohkan anak-anak mereka dengan tujuan untuk lebih memastikan perjodohan dan menjalin persaudaraan yang lebih akrab. Biasanya setelah akad nikah mereka belum kumpul serumah dulu. Setelah mereka tamat sekolah dan telah mencapai umur perkawinan, lalu mereka dinikahkan lagi secara resmi di hadapan PPN yang menurut istilah jawa disebut “munggah”. Pernikahan semacam ini pernah terjadi di sebagian daerah di Jawa Tengah pada tahun 1970an ke bawah. Ketiga, model pernikahan antara seroang pria dan seroang wanita yang sudah cukup umur menurut undang-undang akan tetapi mereka sengaja melaksanakan perkawinan ini di bawah tangan, tidak dicatatkan di KUA dengan berbagai alasan. Pernikahan ini mungkin terjadi dengan alasan menghemat biaya, yang penting sudah dilakukan menurut tatacara agama sehingga tidak perlu dicatatkan di KUA. Atau mungkin, walaupun orang kaya akan tetapi tidak mau repot dengan berbagai macam urusan aministrasi dan birokrasi sehingga lebih memilih nikah sirri saja. Pernikahan semacam ini juga mungkin terjadi, misalnya dalam beberapa kasus kawin poligami liar, pernikahan dilaksanakan tidak di hadapan dan dicatat oleh PPN karena tanpa sepengetahuan isteri pertama.

Dari tiga model pernikahan sirri tersebut di atas, pernikahan sirri model terakhir adalah yang paling relevan dengan topic bahasan dalam tulisan ini. Dengan demikian, yang dimaksud dengan Nikah Sirri dalam tulisan ini ialah suatu pernikahan yang tidak dicatatkan di Kantor Urusan Agama atau dengan kata lain disebut dengan Nikah di bawah tangan.

C. HUKUM MELAKUKAN PERKAWINAN

Ibnu Rusyd menjelaskan bahwa segolongan fuqaha’, yakni jumhur (mayoritas ulama) berpendapat bahwa nikah itu hukukmnya sunnah. Golongan zhahiriyah berpendapat bahwa nikah itu wajib. Para ulama Malikiyah mutaakhirrin berpendapat bahwa nikah itu wajib untuk sebagian orang, sunnah untuk sebagian lainnya dan mubah untuk segolongan yang lain.[6] Al-Jaziry mengatakan bahwa sesuai dengan keadaan orang yang melakukan perkawinan, hukum nikah berlaku untuk hukum-hukum syara’ yang lima, adakalanya wajib, haram, makruh, sunnah (mandub) dan adakalanya mubah. Ulama Syafiiyah mengatakan bahwa hukum asal nikah adalah mubah, di sampkng ada yang sunnat, wajib, haram dan makruh.[7] Di Indonesia umumnya memandang hukum asal melakukan perkawinan ialah mubah. Hal ini banyak dipengaruhi oleh pendapat ulama Syafi’iyah. Untuk mengetahui lebih jelas status masing-masing hukum nikah sesuai dengan kondisi al ahkam al khamsah, berikut ini akan ditelaah secara sekilas:

1. Melakukan Perkawinan Yang Hukumnya Wajib

Bagi orang yang telah mempunyai kemauan dan kemampuan untuk kawin dan dikhawatirkan akan tergelincir pada perbuatan zina seandainya tidak kawin maka hukum melakukan perkawinan bagi orang tersebut adalah wajib. Hal ini didasarkan pada rasionalitas hukum bahwa setiap muslim wajib menjaga diri untuk tidak berbuat yang terlarang. Jikan penjagaan diri itu harus dengan melakukan pernikahan, sedangkan menjaga diri itu wajib, maka hukum melakukan pernikahan itu wajib sesuai dengan kaidah: Sesuatu yang wajib tidak sempurna kecuali dengannya, maka sesuatu itu hukum wajib juga.

2. Melakukan Perkawinan Yang Hukumnya Sunnah

Bagi orang yang telah mempunyai kemauan dan kemampuan untuk melangsungkan perkawinan tetapi kalau tidak kawin tidak dikhawatirkan berbuat zina, maka hukum melakukan perkawinan bagi orang tersebut adalah sunnah.

3. Melakukan Perkawinan yang Hukumnya Haram

Bagi orang yang tidak mempunyai keinginan dan tidak mempunyai kemampuan serta tanggungjawab untuk melaksanakan kewajiban-kewajiban dalam rumah tangga sehigga bila melangsungkan perkawinan akan terlantarlah dirinya dan isterinya, maka hukum melakukan perkawinan bagi orang tersebut adalah haram.

4. Melakukan Perkawinan yang Hukumnya Makruh

Bagi orang yang mempunyai kemampuan untuk melakukan perkawinan juga cukup mempunyai kemampuan untuk menahan diri sehingga tidak memungkinkan dirinya terfgelincir berbuat zina sekiranya tidak kawin. Hanya saja orang ini tidak mempunyai keinginan yang kuat untuk dapat memenuhi kewajiban suami isteri dengan baik.

5. Melakukan Perkawinan Yang Hukumnya Mubah

Bagi orang yang mempunyai kemampuan untuk melakukannya, tetapi apabila tidak melakukannya tidak dikhawatirkan akan berbuat zina dan bila melakukannya juga tidak akan menterlantarkan isteri. Perkawinan orang tersebut hanya didasarkan untuk memenuhi kesenangan bukan dengan tujuan menjaga kehormatan agamanya dan membina keluarga sejahtera.

D. PERMASALAHAN PERKAWINAN SIRRI

Kalau kita perhatikan uraian tentang hukum keadaan orang menikah yang terdiri dari lima kategori hukum tersebut di atas, tidak ditemukan bahasan larangan hukum nikah sirri atau nikah di bawah tangan. Dengan demikian, hukum pernikahan sirri pada dasarnya juga tidak terlepas dari kategori hukum perkawinan tersebut, yaitu adakalanya wajib, sunnah, makruh dan sunnah. Sedangkan keadaan “sirri” dalam arti tidak dilangsungkan dan dicatatkan di hadapan PPN bukan menjadi factor penyebab sah atau tidaknya suatu perkawinan tersrebut.

Apabila kondisi seperti ini dihubungkan dengan ketentuan hukum perkawinan di Indonesia, tentu tidak sejalan dengan semangat ketentuan hukum positif Indonesia yang menentukan bahwa perkawinan di samping harus dilakukan secara sah menurut tatacara agamanya juga harus dicatat oleh pejabat yang berwenang (vide Ps. 2 ayat (1) dan (2) UU No.1 Th.1974, jo. Ps. 4 dan Ps.5 ayat (1) dan (2) KHI. Permasalahannya adalah, bagaimanakah penerapan hukum perkawinan terhadap masayarakat muslim Indonesia, dan bagaimana kedudukan nikah sirri dalam perspektif hukum positif Indonesia?

D. PEMBAHASAN MASALAH

Untuk membahas permasalahan atau problematika nikah sirri dalam perspektif hukum positif di Indonesia, perlu kita telaah dua hal pokok yakni factor penyebab nikah sirri dan kedudukan hukum nikah sirri dalam perspektif hukum positif.

1. Faktor Penyebab Nikah Sirri

Fenomena pernikahan di bawah tangan atau nikah sirri bagi umat Islam di Indonesia masih terbilang banyak. Bukan saja dilakukan oleh kalangan masyarakat bawah, tapi juga oleh lapisan masyarakat menengah keatas. Kondisi demikian terjadi karena beberapa factor yang melatarbelakanginya. Tentu saja untuk mengetahui berapa besar persentase pelaku nikah sirri dan factor apa saja yang menjadi pemicu terjadinya pernikahan sirri tersebut masih memerlukan penelitian yang seksama. Akan tetapi secara umum nikah sirri dapat disebabkan oleh beberapa factor, yaitu:

a. Kurangnya Kesadaran Hukum Masyarakat

Masih banyak di antara masyarakat kita yang belum memahami sepenuhnya betapa pentingnya pencatatan perkawinan. Kalaupun dalam kenyataannya perkawinan itu dicatatkan di KUA sebagian dari mereka boleh jadi hanya sekedar ikut-ikutan belaka; menganggapnya sebagai tradisi yang lazim dilakukan oleh masyarakat setempat; atau pencatatan perkawinan itu hanya dipandang sekedar soal administrasi; belum dibarengi dengan kesadaran sepenuhnya akan segi-segi manfaat dari pencatatan perkawinan tersebut.

Permasalahannya ialah, mengapa begitu rendah kesadaran hukum sebagian masyarakat kita, dan bagaimana upaya kita untuk meningkatkan kesadaran hukum bagi mereka, semua itu tentu merupakan tanggung jawab kita bersama. Kalau suatu kelompok masyarakat dalam suatu wilayah hukum di Indonesia belum mempunyai kesadaran hukum yang tinggi, hal ini tentu bukan semata-mata kesalahan masyarakat itu sendiri melainkan juga disebabkan kurang maksimalnya peran dan upaya lembaga pemerintahan yang ada, dalam hal ini Departeman Agama dan Pemerintah Daerah setempat kurang intensif memberikan edukasi terhadap masyarakat tentang betapa pentingnya mencatatkan perkawinan mereka.

Di wilayah Kabupaten Tapanuli Utara, rendahnya kesadaran hukum masyarakat akan pentingnya mencatatkan perkawinan dapat kita lihat di beberapa desa yang mayoritas penduduknya muslim di Kecamatan Pahae Jae, ternyata ada banyak masyarakat yang perkawinannya tidak dicatat oleh KUA setempat. Hal ini dapat diketahui dengan jelas, dengan banyaknya masyarakat yang mengajukan permohonan itsbat nikah ke Pengadilan Agama setempat untuk mendapatkan pengesahan perkawinan mereka secara hukum Negara.

Banyaknya perkara permohonan isbat nikah tersebut tidak terlepas dari usaha pimpinan Pengadilan Agama Tarutung yang telah berupaya mengadakan penyuluhan hukum terutama di daerah kecamatan tertentu yang mayoritas masyarakatnya beragama Islam yaitu di Kecamatan Pahae Jae. Melihat antusiasme masyarakat untuk mendapatkan pegnesahan nikah mereka di Pengadilan Agama setelah memperoleh pemahaman hukum tersebut, menunjukkan bahwa kesadaran hukum masyarakat justeru mulai bangkit. Diharapkan dimulai dari meningkatnya kesadaran tersebut merupakan awal yang baik bagi terciptanya kesadaran masyarakat secara keseluruhan di kawasan daerah tersebut. Karena dengan kesadaran ini setidaknya kalau mereka menikahkan anak-anaknya nanti tidak akan mengulangi lagi kesalahan yang sama yang pernah mereka lakukan.

Dengan demikian, rendahnya tingkat kesadaran hukum masyarakat seperti itu perlu ditingkatkan melalui kegiatan penyuluhan hukum baik secara formal yang dilakukan oleh lembaga instansi terkait maupun secara informal melalui para penceramah di forum pengajian majelis ta’lim dan lain sebagainya.

b. Sikap Apatis Sebagian Masyarakat Terhadap Hukum

Sebagian masyarakat ada yang bersikap masa bodoh terhadap ketentuan peraturan yang menyangkut perkawinan. Kasus pernikahan Syekh Puji dengan perempuan di bawah umur bernama Ulfah sebagaimana terkuak di media massa merupakan contoh nyata sikap apatis terhadap keberlakuan hukum Negara. Dari pemberitaan yang ada, dapat kita pahami terdapat dua hal yang diabaikan oleh Syekh Puji yaitu, pertama, pernikahan tersebut merupakan poligami yang tidak melalui izin di pengadilan, dan kedua, beliau tidak mau mengajukan permohonan dispensasi kawin meskipun sudah jelas calon isteri tersebut masih di bawah umur.

Sikap apatisme semacam itu, terutama yang dilakukan oleh seorang public figure, sungguh merupakan hambatan besar bagi terlaksananya keberlakuan hukum. Karena apa yang dilakukan oleh seorang tokoh biasanya akan dicontoh oleh mereka yang mengidolakannya. Oleh karena itu penanganan secara hukum atas kasus yang menimpa Syekh Puji adalah tepat agar tidak menjadi preseden yang buruk bagi bangsa Indonesia yang saat ini sedang berusaha memposisikan supremasi hukum.

c. Ketentuan Pencatatn Perkawinan Yang Tidak Tegas

Sebagaimana kita ketahui, ketentuan pasal 2 UU No.1 / 1974 merupakan azas pokok dari sahnya perkawinan. Ketentuan ayat (1) dan (2) dalam pasal tersebut harus dipahami sebagai syarat kumulatif, bukan syarat alternative sahnya suatu perkawinan. Dari fakta hukum dan/atau norma hukum tersebut sebenarnya sudah cukup menjadi dasar bagi umat Islam terhadap wajibnya mencatatkan perkawinan mereka. Akan tetapi ketentuan tersebut mengandung kelemahan karena pasal tersebut multi tafsir dan juga tidak disertai sanksi bagi mereka yang melanggarnya. Dengan kata lain ketentuan pencatatan perkawinan dalam undang-undang tersebut bersifat tidak tegas.

Itulah sebabnya beberapa tahun terakhir pemerintah telah membuat RUU Hukum Terapan Pengadilan Agama Bidang Perkawinan yang sampai saat ini belum disahkan di parlemen. Dalam RUU tersebut kewajiban pencatatan perkawinan dirumuskan secara tegas dan disertai sanksi yang jelas bagi yang melanggarnya.

Pasal 4 RUU menegaskan: setiap perkawinan wajib di catat oleh PPN berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Kemudian pasal 5 ayat (1) menyatakan: untuk memenuhi ketentuan pasal 4, setiap perkawinan wajib dilangsungkan di hadapan PPN. Kewajiban pencatatan sebagaimana ketentuan pasal 4 dan pasal 5 ayat (1) tersebut disertai ancaman pidana bagi yang melanggarnya.

Ketentuan pidana yang menyangkut pelanggaran pencatatn perkawinan tersebut dinyatakan dalam Pasal 141 RUU tersebut menyebutkan: setiap orang yang dengan sengaja melangsungkan perkawinan tidak di hadapan PPN sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 (1) dipidana dengan pidana denda paling banyak 6.000.000,- (enam juta rupiah) atau hukumuan kurungan paling lama 6 (enam) bulan.

Pasal 145 RUU menyatakan: PPN yang melanggar kewajibannya sebagaimana dimaksud dalam pasal 4 dikenai hukuman kurungan paling lama 1 (satu) tahun atau denda paling banyak Rp 12.000.000,- (dua belas juta rupiah).

Pasal 146 RUU menyatakan: setiap orang yang melakukan kegiatan perkawinan dan bertindak seolah-olah sebagai PPN dan/atau wali hakim sebagaimana dimaksud dalam pasal 4 dan pasal 21 dipidana penjara paling lama 3 (tiga) tahun.

Dengan demikian, ketidak-tegasan ketentuan pencatatan dalam undang-undang yang berlaku selama ini masih memberi ruang gerak yang cukup luas bagi pelaksanaan nikah sirri bagi sebagian masyarakat yang melakukannya dan menjadi salah satu factor penyebab terjadinya pernikahan sirri.

d. Ketatnya Izin Poligami

UU No.1/1974 menganut azas monogami, akan tetapi masih memberikan kelonggaran bagi mereka yang agamanya mengizinkan untuk melakukan poligami (salah satunya agama Islam) dengan persyaratan yang sangat ketat. Seseorang yang hendak melakukan poligami hanrus memenuhi sekurang-kurangnya salah satu syarat alternative yang ditentukan secara limitative dalam undang-undang., yaitu:

  1. isteri tidak dapat menjalankan kewajibannya sebagai isteri;
  2. isteri mendapat cacat badan atau penyakit yang tidak dapat disembuhkan;
  3. isteri tidak dapat melahirkan keturunan (ps.4 ayat (2) UU 1/1974)

Sebaliknya pengadilan akan mempertimbangkan dan akan memberi izin poligami bagi seseorang yang memohonnya apabila terpenuhi syarat kumulatif sebagai berikut:

  1. adanya persetujuan dari isteri/isteri-siterinya;
  2. adanya kepastian bahwa suami mampu menjamin keperluan-keperluan hidup isteri-siteri dan anak-anak mereka;
  3. adanya jaminan bahwa suami akan berlaku adil terhadap isteri dan anak-anak mereka;

Yang dimaksud mampu menjamin keperluan hidup bagi isteri-isteri dan anak-anaknya adalah sangat relative sifatnya. Demikian pula suami akan berlaku adil terhadap isteri-isteri dan anak-anaknya adalah sangat subjektif sifatnya, sehingga penilaian terhadap dua persyaratan tersebut terakhir akan bergantung pada rasa keadilan hakim sendiri.

Bila kita telaah sulitnya untuk dipenuhinya syarat-syarat tersebut di atas oleh seorang suami, maka hal tersebut dapat menimbulkan: perkawinan “clandestine” dan hidup bersama (samenleven). Perkawinan “clandestine” adalah perkawinan yang pelangsungannya secara sah memenuhi syarat, akan tetapi terdapat cacat yuridis di dalamnya.[8] Misalnya seorang calon suami dalam pemberitahuan kehendak kawin mengaku jejaka atau menggunakan izin palsu.

Ketatnya izin poligami juga menyebabkan yang bersangkutan lebih memilih nikah di bawah tangan atau nikah sirri karena pelangsungan (tata cara) pernikahan di bawah tangan lebih sederhana dan lebih cepat mencapai tujuan yaitu kawin itu sendiri.

Khusus bagi pegawai negeri baik sipil maupun militer, untuk dapat poligami kecuali harus memenuhi syarat tersebut di atas juga harus memperoleh izin atasan yang berwenang, sesuai dengan PP No.10/1983 tentang Izin Perkawinan dan Perceraian bagi PNS jo. PP 45/1990.. Demikian pula bagi TNI harus memperoleh izin dari atasannya sesuai dengan peraturan yang berlaku, sehingga bagi yang bersangkutan wajib menempuh proses panjang.

Sulit dan lamanya proses serta hambatan berupa birokrasi dalam pemberian izin memang bertujuan untuk memperkuat secara selektif akan perkenan poligami bagi PNS serta menghindari kesewenang-wenangan dalam hal kawin lebih dari satu, sehingga PNS diharapkan jadi contoh dan teladan yang baik sesuai dengan fungsinya sebagai abdi Negara dan abdi masyarrakat. Akibat larangan berpoligami atau sulitnya memperoleh izin poligami justru membuka pintu pelacuran, pergundikan, hidup bersama dan poligami illegal.[9]

Menurut Soetojo, dengan berlakunya UU 1/1974 angka kawin lebih dari satu (poligami: Pen) menunjukkan menurun drastis[10] namun poligami illegal dengan segala bentuknya semakin banyak, yang disebabkan oleh:[11]

1. tidak adanya kesadaran hukum yang tinggi dari masyarakat;

2. bagi mereka yang terikat oleh pengetatan tertentu karena kedinasannya dibayangi oleh rasa takut kepada atasan di samnping prosedurnya yang terlalu lama dan sulit;

3. tidak adanya tindakan yang tegas terhadap poligami illegal;

Bentuk poligami illegal yang banyak dijumpai dalam masyarakat ialah:

1. hidup bersama tanpa ikatan perkawinan yang sah dan sering dikenal dengan sebutan: hidup bersama, pergundikan, wanita simpanan;

2. bagi mereka yang beragama Islam, melakukan poligami tanpa pencatatan nikah.

Hasil penelitian Soetojo tersebut terakhir menunjukkan bahwa ketatnya izin poligami merupakan salah satu factor timbulnya pernikahan di bawah tangan, atau pernikahan yang tidak dicatat, alias nikah sirri.

2. Kedudukan Hukum Nikah Sirri Dalam Pespektif Hukum Positif

Dari sudut pandang hukum yang berlaku di Indonesia, nikah sirri merupakan perkawinan yang dilakukan tidak sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Sebagaimana kita pahami bahwa berdasarkan ketentuan Pasal 2 ayat (1) dan (2) UU No.1/1974 Jo. Pasal 4 dan Pasal 5 ayat (1) dan (2) KHI, suatu perkawinan di samping harus dilakukan secara sah menurut hukum agama, juga harus dicatat oleh pejabat yang berwenang. Dengan demikian, dalam perspektif peraturan perundang-undangan, nikah sirri adalah pernikahan illegal dan tidak sah.

Bagi kalangan umat Islam Indonesia, ada dua persyaratan pokok yang harus dikondisikan sebagai syarat kumulatif yang menjadikan perkawinan mereka sah menurut hukum positif, yaitu: pertama, perkawinan harus dilakukan menurut hukum Islam, dan kedua, setiap perkawinan harus dicatat. Pencatatan perkawinan tersebut dilakukan oleh PPN sesuai UU No.22/1946 jo. UU No.32/1954. Dengan demikian, tidak terpenuhinya salah satu dari ketentuan dalam pasal 2 tersebut menyebabkan perkawinan batal atau setidaknya cacat hukum dan dapat dibatalkan.

Akan tetapi kalau ketentuan pasal tersebut masih dipahami sebagai syarat alternative, maka perkawinan dianggap sah meskipun hanya dilakukan menurut hukum agama dan tidak dicatatkan di KUA. Permasalahan hukum mengenai sah atau tidaknya suatu perkawinan yang tidak dicatatkan akan selalu menjadi polemic berkepanjangan bila ketentuan undang-undangnya sendiri tidak mengaturnya secara tegas. Dalam arti kewajiban pencatatan tersebut harus dinyatakan secara tegas dan disertai sanksi bagi yang melanggarnya.

Bagi umat Islam, kepentingan pencatatan itu sendiri sebenarnya mempunyai dasar hukum Islam yang kuat mengingat perkawinan adalah suatu ikatan perjanjian luhur dan merupakan perbuatan hukum tingkat tinggi. Artinya, Islam memandang perkawinan itu lebih dari sekedar ikatan perjanjian biasa. Dalam Islam, perkawinan itu merupakan perjanjian yang sangat kuat (mitsaqan ghalidhan). Bagaimana mungkin sebuah ikatan yang sangat kuat dipandang enteng? Mengapa logika sebagian umat Islam terhadap wajibnya pencatatan perkawinan seperti mengalami distorsi? Perlu kita yakinkan kepada umat Islam bahwa pencatatan perkawinan hukumnya wajib syar’i. Sungguh sangat keliru apabila perkawinan bagi umat Islam tidak dicatatkan sesuai dengan ketentuan hukum yang berlaku. Sedangkan ikatan perjanjian biasa, misalnya semacam utang piutang di lembaga perbankan atau jual beli tanah misalnya saja perlu dicatat, mengapa ikatan perkawinan yang merupakan perjanjian luhur dibiarkan berlangsung begitu saja tanpa adanya pencatatan oleh pejabat yang berwenang. Adalah ironi bagi umat Islam yang ajaran agamanya mengedepankan ketertiban dan keteraturan tapi mereka mengebaikannya.

Allah SWT berfirman dalam QS. An Nisa’ Ayat: 59 yang berbunyi sebagai berikut:

يا ايها الذين امنوا اطيعواالله و اطيعوا الرسو ل و اولى الأ مر منكم

Artinya : Wahai orang yang beriman taatlah kepada Allah dan taatlah kepada Rasul dan Ulil Amri diantara kalian.

Berdasarkan dalil Firman Allah SWT tersebut di atas, dapat ditarik garis tegas tentang adanya beban hukum “wajib” bagi orang-orang yang beriman untuk taat kepada Allah dan taat kepada Rasul SAW dan juga taat kepada Ulil Amri. Sampai pada tahapan ini kita semua sepakat bahwa sebagai umat yang beriman memikul tanggung jawab secara imperative (wajib) sesuai perintah Allah SWT tersebut. Akan tetapi ketika perintah taat kepada Ulil Amri diposisikan sebagai wajib taat kepada pemerintah, otomatis termasuk di dalamnya perintah untuk mentaati peraturan perundang-undangan yang berlaku mengenai pencatatan pernikahan, maka oleh sebagian umat Islam sendiri terjadi penolakan terhadap pemahaman tersebut sehingga kasus pernikahan di bawah tangan masih banyak terjadi dan dianggap sebagai hal yang tidak melanggar ketentuan hukum syara’. Permasalahan masih banyaknya nikah sirri di kalangan umat Islam adalah terletak pada pemahaman makna siapakah yang dimaksud Ulil Amri dalam ayat tersebut di atas. Ada banyak pendapat mengenai siapakah ulil amri itu, antara lain ada yang mengatakan bahwa ulil amri adalah kelompok Ahlul Halli Wa Aqdi dan ada pula pendapat yang mengatakan bahwa ulil amri adalah pemerintah. Dalam tulisan ini, penulis tidak ingin memperdebatkan tentang siapakah Ulil Amri itu. Yang perlu dikedepankan adalah bahwa pemahaman terhadap hukum Islam itu harus komprehensif sesuai dengan katakteristik hukum Islam itu sendiri.

Komprehensifitas (dari hukum Islam) itu dapat dilihat dari keberlakuan hukum dalam Islam di mayarakat, sebagaimana yang dikemukakan oleh Yusuf Qardhawi, yaitu bahwa: Hukum tidak ditetapkan hanya untuk seseorang individu tanpa keluarga, dan bukan ditetapkan hanya untuk satu keluarga tanpa masyarakat, bukan pula untuk satu masyarakat secara terpisah dari masyarakat lainnya dalam lingkup umat Islam, dan ia tidak pula ditetapkan hanya untuk satu bangsa secara terpisah dari bangsa-bangsa di dunia yang lainnya, baik bangsa penganut agama ahlulkitab maupun kaum penyembah berhala (paganis).[12]

Dalam konteks ini perlu kiranya memahami penalaran hukum pada ayat tersebut di atas secara komprehensif. Oleh sebab itu, pendekatan terhadap penalaran makna Ulil Amri dalam hubungannya dengan kewajiban pencatatan perkawinan bagi umat Islam, dapat kita pahami bahwa Undang-Undang Negara Republik Indonesia Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan dan peraturan perundangan lainnya yang berkaitan dengan itu adalah merupakan produk legislasi nasional yang proses pembuatannya melibatkan berbagai unsur mulai dari Pemerintah, DPR, Ulama dan kaum cerdik pandai serta para ahli lainnya yang keseluruhannya merupakan Ahlul Halli wal Aqdi. Dengan demikian, apabila Undang-undang memerintahkan perkawinan harus dicatat, maka wajib syar’i hukumnya bagi umat Islam di Indonesia untuk mengikuti ketentuan undang-undang tersebut.

Pernikahan bagi umat Islam adalah sebuah keniscayaan dan ia merupakan sesuatu yang haq. Oleh karena pernikahan adalah suatu kebenaran (haq) dalam Islam, maka perlu ada nizham atau system hukum yang mengaturnya. Sungguh sangat relevan penulis nukilkan Atsar dari Sayyidina Ali bin Abi Thalib, r.a.:

الحق بلا نظام سيغلبه الباطل باالنظام

ِArtinya : Sesuatu yang hak tanpa nizham (system aturah hukum yang baik) akan dikalahkan oleh kebatilan dengan nizham.

E. PENUTUP

Dari uraian di atas dapat diturunkan beberapa kesimpulan bahwa pernikahan sirri atau pernikahan tanpa pencatatan baik nikah tunggal maupun karena poligami, adalah pernikahan yang illegal, Ini terjadi disebabkan kurangnya pemahaman hukum dan minimnya kesadaran hukum dari sebagian masyarakat akan pentingnya pencatatan perkawinan mereka. Pernikahan di bawah tangan tidak mempunyai kekuatan hukum. Jadi, pernikahan sirri merupakan perbuatan hukum yang tidak mempunyai kekuatan hukum dalam sebuah Negara hukum bernama Indonesia. Oleh sebab itu masyarakat Islam Indonesia harus menghindari praktek perkawinan di bawah tangan atau nikah sirri.

Masyarakat Islam Indonesia perlu diyakinkan bahwa pencatatan perkawinan adalah wajib hukumnya, bukan saja dipandang dari perspektif hukum positif melainkan juga dalam perspektif hukum Islam itu sendiri.

Perkawinan adalah awal terbentuknya rumah tangga yang merupakan unit masyarakat terkecil dari sebuah bangsa besar Indonesia. Oleh karena itu penguatan aturan hukum perkawinan merupakan keniscayaan bagi bangsa Indonesia. Pandangan masyarakat terhadap “nikah sirri adalah perbuatan yang sah-sah saja” perlu diluruskan agar tidak menjadi preseden bagi generasi masa depan. Wallahu a’lam bis shawab.

Penulis

Jasmani Muzajin, SH


* Penulis adalah Hakim Pengadilan Agama Kotabumi.

[1] Judul makalah tersebut merupakan pengembangan dari sebuah tema tentang PROBLEMATIKA NIKAH SIRRI yang diberikan oleh PTA Medan ketika penulis masih bertugas di Pengadilan Agama Tapanuli Utara.

[2] Abd.Rahman Gazaly, Fiqh Munakahat, Jakarta, Kencana, 2006, hlm 7

[3] Lihat Muhammad bin Ismail Al-Kahlany, Subul Al Salam, Bandung; Dahlan, tt, Jilid 3 hlm 109

[4] Op Cit

[5] Abddullah bin Nuh dan Umar Bakri, Kamus Arab Indonesia Inggris, Jakarta, Penerbit Mutiara, MCMLXXIV, hlm132

[6] Abd.Rahman Gazaly, Op Cit, hlm 16

[7] Ibid, hlm 18

[8] Prof.DR.R.Soetojo Prawirohamidjojo, Pluralisme Dalam Perundang-undangan Perkawinan di Indonesia, Airlangga University Press, Surabaya, 1994, hlm 51

[9] Ibid, hlm 53

[10] Hasil penelitian Soetojo dapat dilihat pada tabel I dan II, dalam tabel penelitian tersebut mengambil sample kodya Surabaya antara tahun 1976 s.d. 1985. Terlihat penurunan cukup drastis yaitu pada tahun 1976 nikah sebanyak 9345 poligami 50 dan pada tahun 1985 nikah sebanyak 10604 poligami 3, sebagaimana dimuat dalam buku: Pluralisme Dalam Peraturan Perundang-undangan Perkawinan di Indonesia, hlm 169

[11] Ibid

[12]Yusuf Qardhawi, Pengantar Kajian Islam: Studi Analistik Komprehensif Tentang Pilar-pilar Substansial, Karakteristik, Tujuan dan Sumber Acuan Islam, diterjemahkan oleh Setiawan Budi Utomo, Cet.4, Jakarta, Pustaka Alkautsar, 2000, hal 156

0 komentar :

Post a Comment

Terima kasih atas commentnya, Comment anda sangat bermanfaat bagi saya... Semoga bermanfaat.