Saturday, December 10, 2011

Hibah Dan Wasiat (Kajian Kompilasi Hukum Islam, Fiqih Dan Kitab Undang-Undang Hukum Perdata)

Hibah dan wasiat adalah perbuatan hukum yang mempunyai arti dan peristiwa yang berbeda dan sekilas tampaknya begitu sepele apabila dilihat dari perbuatan hukum dan peristiwanya sendiri. Meskipun tampaknya sepele tetapi apabila pelaksanaannya tidak dilakukan dengan cara-cara yang benar dan untuk menguatkan atau sebagai bukti tentang peristiwa hukum yang sepele tadi, padahal khasanah materi hukum Islam dibidang hibah dan wasiat ini bukan hukum ciptaan manusia, tetapi hukumnya ditetapkan Allah SWT dan RasulNya(Al-Baqarah ayat 177 dan ayat 182).Dalam Undang-undang Nomor 3 Tahun 2006 tentang perubahan atas Undang-undang Nomor 7 Tahun 1989 Tentang Peradilan Agama (UUPA) dan kompilaasi HukumIslam (KHI) kata wasiat disebut lebih dahulu dari kata hibah, tetapi didalam kitab-kitab fiqih dan KUH Perdata hukum hibah lebih dahulu dibahas, baru kemudian wasiat. Tidak prinsip memang antara yang lebih dahulu disebut atau dibahas antara hukum hibah dan hukum wakaf, namun sistematika pembahasan terhadapmateri tersebut dalam tnini hukum hibah dan hukum wakaf dimulai membahas hibah, perbuatan hukum yang berlakunya setelah kematian pemberi wasiat.Hibah dam wasiat berdasarkan hukumislam dalam konteks kompetensi absolut Badan-badan Peradilan di Indonesia adalah kewenangan Peradilan Agama (pasal 49 ayat(1) UUPA, sedang hibah dan wasiat didalam KHI merupakan pedoman bagi hakim Pengadilan Agama khususnya untuk menyelesaikan masalah-masalah berkenan bidang hukum yang terdapat didalamnya (Inpres nomor 1 Tahun 1990).

Hibah dan wasiat yang dirumuskan dalam pasal demi pasal KHI tidak lepas dari kitab-kitab fiqih dan justru memang bersumber dari al-Quran, hadist dan kitab-kitab fiqih. Mengaitkan materi KHI dengan kajian fiqih dalam tulisan ini, karena hibah dan wasiat yang dimuat dalam KHI bukanlah suatu ketentuan yang final dan telah mencakup permasalahan hibah dan wasiat. Disebutkan dalam impres, bahwa KHI merupakan pedoman yang mengisyaratkan patokan umum yang memerlukan perkembangan dan pengkajian lebih lanjut yang tidak lain pengembangannya merujuk pada kajian fiqih, karena dalam kitab fiqih dijelaskan latar belakang dan lahirnya pendapat Ulama Fiqih terhadap obyek yang dikaji dan segala kemungkinan yang akan timbul, sehingga dengan merujuk kepada kitab-kitab fiqih merupakan dasar untuk mengembangkan dan menafsirkan lebih lanjut hasil kajian yang sudah ada.

Disamping itu sudah menjadi kodrat, bahwa hukum yang dirumuskan dalam peraturan perundang-undangan, termasuk dalam hal ini KHI tidak menampung permasalahan hukum yang timbul dalam kehidupan manusia, yang senantiasa berubah dengan membaur permasalahan yang baru, apalagi hibah dan wasiat yang belum diatur dalam KHI hanya terdiri beberapa pasal yang tidak menutup kemungkinan permasalahan hukum di bidang hibah dan wasiat belum diatur yang memerlukan penafsiran hukum dalam penerapannya. Hampir setiap hukum yang diatur dalam peraturan prundangundangan tidak mampu menampung permasalahan hukum yang berakselerasi dengan perkembangan masyarakat. Wajarlah kalau dikatakan hukum berjalan tertatih-tatih dibelakang perkembangan zaman, karena hukum tidak mampu mengantisipasi perkembangan yang terjadi dalam kehidupan manusia. Bagaimanapun lengkapnya suatu kitab hukum, tidak mampu mengantisipasi persoalan hukum yang timbul dalam kehidupan masyarakat. Adalah suatu kodrat, bahwa kehidupan dan perilaku pergaulan manusia secara kontinyu mengalami perubahan. Para ahli ilmu sosial mengajarkan, bahwa sesungguhnya tidak ada masyarakat yang statis, tidak bergerak, melainkan yabg ada adalah masyarakat manusia yang secara terus menerus mengalami perubahan. Hanya saja gerak perubahan dari masyarakat yang lain, ada yang cepat, tetapi ada pula yang lambat. Hal ini merupakan ciri dari kehidupan masyarakat. W. Fridmann yang diikuti oleh Teuku Muhammad Radhi, SH. mengatakan, tempo dari perubahan-perubahan sosial pada zaman ini telah berakselerasi pada titik dimana asumsi-asumsi pada hari ini mungkin tidak berlaku dalam beberapa tahun yang akan datang (Teuku Muhammad Radhi, SH, 1981 : 8). Ibnu Kholdun (1332-1440) mengatakan, bahwa keadaan umat manusia, adat kebiasaan dan peradabannya tidaklah pada suatu gerak dan khittoh yang tetap, melainkan berubah dan berbeda-beda sesuai dengan perubahan zaman dan tempat, maka keadaan ini terjadi pula pada dunia dan negara. Sungguh sunnatullah berlaku pada hamba-hambaNya (Subhi Mahmassani, 1981 , 160).

Adapun tulisan ini menyisipkan pembahasan hibah dan wasiat dalam KUH Perdata dimaksudkan untuk memberikan gambaran tentang ketentuan yang terdapat dalam hukum Islam dengan ketentuan yang diatur dalam KUH Perdata, sebab wasiat dan hibah yang diatur dalam KUH Perdata tidak lepas dari pengaruh hukum Islam. Meskipun atas pengaruh hukum Islam, tetapi berbeda nilai idiilnya dengan hukum islam, karena dalam KUH Perdata hibah dan wasiat digolongkan perjanjian cuma-cuma yang tidak mengandung unsur kasih sayang dan tolong menolong. sedangkan dalam hal islam perbuatan hukumnya dilihat dari kamul khomsah pada assanya sunnah (Al-Baqoroh ayat 177 dan 180). Hibah dalam KUH Perdata merupakan bagian dari hukum perjanjian dan digolongkan perjanjian untuk memberikan atau menyerahkan sesuatu diwaktu hidupnya (Subekti,1991,1).

Pada asasnya suatu perjanjian adalah bersifat timbal balik, seseorang menyanggupi memenuhi prestasi disebabkan dia akan menerima kontra prestasi dari pihak lain. Meskipun hibah termasuk hokum perjanjian cuma-cuma, karena hanya ada prestasi dari satu pihak saja (Penghibah), sedangkan penerima hibah tidak ada kewajiban untuk memberikan kontra prestasi kepada penghibah. Dikatakan diwaktu hidupnya untuk membedakan hibah dengan testamen atau hibah antara suami istri dalam islam diperbolehkan. Hibah dalam KUH perdata tidak boleh ditarik kembali, sedang dalam islam dapat ditarik kembali, khusus hibah orangtua kandung kepada anak kandungnya.Hibah dan Wasiat dalam KUH Perdata (BW)Materi hukum tentang hibah dan wasiat dalam KUH Perdata sendiri bukan diambil dari codex justinianus carpus juris civilis yang menurut para sejarah sebagai sumber hokum modern dan bukan pula hibah dan wasiat diambil dari kitab undang-undang hasil imajinasi napolion yang dimuat dalam codex napolion yang merupakan sal usul KUH perdata (BW), tetapi codex napolion justru ide dasarnya ditranformasikan dari kitab fiqih karya imam Asy-Syarkowi yang kemudian dalam aplikasinya terdapat perbedaan yang mendasar antara hibah dan wasiat dalam KUH Perdata dengan hibah dan wasiat dalam hukum Islam. Masih melekat dikalangan dunia hukum, bahwa hukum modern selalu dikaitkan dengan negara Eropa, karena memang sejarah hukum senantiasa dikaitkan dengan hukum Romawi, mengingat pengaruh hukum Romawi terhadap perkembangan hukum pada negaranegaradi Eropa sangat besar, khususnya dibidang hukum perdata yang dikembangkan melalui hukum universal atau hukum umum (jus comune, jus gentium). Jus comune atau jus gentium ini merupakan codex justinianusyang pada abad ke VI dikodifikasikan sebagai sebuah hukum tertulis oleh Negara-negara Eropa pada abad ke XV dan abad ke XVI. Codex justinianus khususnya hukum perdata menjadi sumber utama dari hukum perdata modern(Theo Huibers, 1990:34).Meskipun Codex Justinianus khususnya dibidang hukum perdata yang dikatakan menjadi sumber utama dari hukum perdata modern, namun BW (KUH Perdata) yang sekarang berlaku di Indonesia yang doberlakukan berdasarkan pasal II Aturan peralihan UUD 1945 adalah bersumber dan meniru kitab fiqih hasil karya Ulama Islam.Kitab fiqih mazhab sudah ada sejak tahun 800 M sedangkan BW Eropa baru pada awal abad XIX M, yakni berdasarkan code napolion yang disusun setelah napolion kembalidari bermukim di Mesir selama kurang lebih 15 bulan antara Bulan Mei 1798 sampai bulan Agustus 1799. Sejarah KUH Perdata (BW) Indonesia sendiri adalah mengikuti kodeifikasi BW di negeri Belanda (1838), sedangkan BW belanda mengikuti BW perancis yang terkenal code napolion (1807). Adapun kodifikasi Hukum Perancis yang merupakan cikal bakal hukum perdata modern Eropa sekarang sesungguhnya berpangkal pada 2 (dua) sumber yaitu Hukum Romawi dan Hukum Islam, hukum Romawi terkenal dengan kodifikasi Yustinianus (483-565) yang disebut Codex Justinianus atau justinianus corpus juris civilis. Sedangkan hukum fiqih Islam diambil oleh Napolion dan dimuat dalam Code napolion berasal dari kitab fiqih susunan Abudalah Asy-Syarkowi (1737-1812 M).Pada waku Napolion menduduki Kairo Mesir, jabatan Asy-Syarkowi adalah Syaikhul Azhar yang diminya napolion membantu hokum Perancis, yaitu Portalis, Tronchet, Bigot De Preameneu dan Mallevilie yang keempatnya adalah para Sarjana Hukum Prancis yang turut Napolion ke Mesir. Hasil karya tim hukum Prancis tersebut yang dibantu oleh Imam Asy-Syarkowi inilah BW Prancis disusun tersebar di nagar-negara Eropa yang dikatakan sumber hukum modern, termasuk yang diadopsi belanda dan diberlakukan pada negara jajahannya termasuk Indonesia yang sampai sekarang BW Belanda tersebut masih berlaku positif di Indonesia yang dikenal dengan KUH Perdata, padahal di Belanda sendiri KUH Perdata tersebut sudah dilakukan perubahan. Oleh karena itu tidak aneh kalau dalam KUH Perdata memuat atau membicarakan materi hukum hibah dan wasiat dalam pasal-pasalnya yang tidak lain adalah diambil dari kitab fiqih Imam Asy-Syarkowi, meskipun telah dilakukan perubahan yang justru telah bertentangan dengan ketentuan hibah dan wasiat dalam hokum Islam. pasal 874 sampai dengan pasal 1022 KUH Perdata tentang wasiat dan hibah adalah berdasarkan pada prinsipprinsip kitab fiqih. pasal 1666 sampai dengan pasal 1693 KUH Perdata adalah tentang hibah mendekati persamaan dengan yang dibahas dalam kitab fiqih, kecuali dalam syarat-syarat tertentu ada perbedaan yang mendasar. Kalau diteruskan lagi mengkaji isi KUH Perdata dengan kitab fiqih, maka tentang penitipan barang dalam pasal 1729 KUHPerdata merupakan terjemahan bebas dalam kitab fikih tentang wadiah (penitipan barang) berdasarkan Firman Allah SWT dalam surat An-Nisa ayat (58) (Hasbullah bakry, 1985:9).Hibah dan Wiasiat dalam Islam Ketentuan tentang hokum hibah dan wasiat adalah berdasarkan dalil dalam Al-Qur’an dan hadits, sehingga semua Ulama fiqih sepakat (Ijma) tentang ditetakannya wasiat dan hibah. Ketentuan wasian dalam Al-Qur’an disebutkan antara lain dalam Surat Al-Baqoro ayat 180, An-Nisa ayat 12 dan ayat 58, sedangkan dalam Hadits adalah hadits Bukhiri Muslim.

Ketentuan hibah disebutkan surat Al-Baqoroh ayat 177 dan surat Al-Maidah ayat 2, sedangkan hadits adalah hadits yang diriwayatkan oleh Imam Bukhori dan Imam Muslim. Hibah dan wasiat sendiri pada dasarnya untuk tujuan yang baik, karena pada asasnya adalah pemberian dari seseorang kepada orang lain tanpa mengharapkan pahala dari Allah SWT. Faktor yang paling dalam disyariatkan hibah dan wasiat ini adalah faktor kemanusiaan, keikhlasan dan ketulusan dari penghibah yang berwasiat. Kalapun akan di bedakannya hanya waktu pelaknasaannya, yaitu hibah dilaksanakan semasa penghibah masih hidup, sedang wasiat dilaksanakan setelah pewasiat wafat. Dikatakan hibah dan wasiat pada asanya adalah pemberian seseorang kepada orang lain tanpa mengharapkan pahala dari Allah SWT karena arti harfiah dari 2 (dua) kata ini mendekati arti yang sama. wasiat artinya menjadikan, menaruh belas kasihan, berpesan menyambung, memerintah, mewajibkan. Sedangkan hibah diartikan pemberian tanpa syarat tanpa mengharapkan pahala dari Allah SWT. Oleh karena itu oleh mazhab Maliki hibah sama dengan hadiah, hibah menurut mazhab Syafi’i adalah pemberian untuk menghormati atau memuliakan seseorang tanpa bermaksud mengharapkan pahala dari Allah SWT. Menurut mazhab Syafi’i hibah mengandung dua pengertian, yaitu pengertian umum dan khusus, pengertian umum mencakup hadiah dan sedekah dan pengertian khusus yang disebut hibah apabila pemberian tersebut tidak bermaksud menghormati atau memuliakan dan mengharapkan ridho Allah SWT. Jika pemberian(hadiah) tersebut bermaksud menghormati atau memuliakan yang diberi disebut hadiah, jika pemberian mengharapkan ridho Allah SWT atau menolong untuk menutupi kesusahannya disebut sedekah. Hibah dan wasiat dilihat dari Hikmatu Al-Tasyri (Filsafat Hukum Islam) adalah untuk memenuhi hasrat berbuat bagi umat islam yang beriman kepada Allah SWT (Al-Baqoroh ayat 177). Hibah dan wasiat adalah hak mutlak pemilik harta yang akan dihibahkan atau yang akan diwasiatkan karena hukum Islam mengakui hak bebas pilih (Free Choise) dan menjamin bagi setiap muslim dalam melakukan perbuatan hukum terhadap haknya (Khiyar Fil-kasab). Oleh karena itu apabila (misalnya) ayah atau ibu dari anak akan menghibahkan atau mewasiatkan hartanya, maka tidak seorangpun dapat menghalanginya, karena sedekat-dekatnya hubungan anak dengan ayanya masih lebih dekat ayahnya itu dengan dirinya sendiri, Syari’at Islam hanya menolong hak anak dengan menentukan jangan sampai hibah dan wasiat melebihi 1/3 (sepertiga) dari harta atau jangan sampai kurang 2/3 (dua pertiga) dari warisan ayah yang menjadi hak anak. Oleh karena itu pula wasiat selalu didahulukan dari pembagian waris, tingkat fasilitasnya sama dengan membayar zakat atau hutang (jika ada) berkenaan dengan perbuatan hukum dan peristiwa hukum elaksanaan hibah dan wasiat yang tampak sepele sehingga karena dianggap sepele cenderung dilakukan tanpa perlu dibuatkan akta sebagai alat bukti. Memang hukum hibah ansich tidak menimbulkan masalah hukum, karena hibah ansich adalah pemberian yang bersifat final yang tidak ada seorangpun yang ikut campur, namun apabila hibah dikaitkan dengan wasiat apabila wasiat behubungan dengan kewarisan, maka akan menimbulkan masalah hukum.Walaupun hibah dan wasiat berdasarkan hukum Islam merupakan salah satu tugas pokok atau wewenang Peradilan Agama(pasal 49 Undang-undang Nomor 3 tahun 2006), namun diantara perkara yang diajukan ke Pengadilan Agama jarang sekali, bahkan hampir tidak ada yang diselesaikan melalui Pengadilan Agama dibandingkan dengan perkara perceraian dan yang assesoir dengan perkara perceraian, seperti pemeliharaan anak, nafkah anak, harta bersama dan lain-lain serta perkara kewarisan. hal ini mungkin karena hibah dan wasiat dianggap perbuatan baik, maka tidak diperlukan akta sebagai alat buktiatau nilai objek hibah dan wasiat tidak bernilai ekonomi tinggi, atau mungkin sudah dilakukan menurut ketentuan hukum yang berlaku, dan kemungkinan lain karena tidak memiliki bukti (walaupun terjadi sengketa), maka tidak diselesaikan melalui Pengadilan Agama. Dengan demikian sulit mendapatkan putusan yang bernilai yurisprudensi (stare decicis) tentang penemuan hukum oleh hakim dibidang wasiat dan hibah ini untuk dianalisis dan kajian ilmia serta diuji dari metode dan teori hukum Islam.

Hibah dan wasiat yang diatur dalam KHI dimuat dalam Bab V (wasiat pasal 194-209) dan Bab VI (hibah pasal 210-214). Ketentuan wasiat yang diatur didalamnya menyangkut mereka yang berhak untuk berwasiat, jenis-jenis wasiat, hal-hal lain yang boleh dan tidakboleh dalam wasiat. Sedangkan ketentuan hibah diatur secara singkat yang terdiri dari 4 pasal. Meskipun ketentuan wasiat dan hibah telah diatur dalam KHI yang notabene merupakan transformasi dari ketentua syari’ah dan fiqih, namun karena jarang terjadi sengketa yang sampai diselesaikan di Pengadilan Agama, maka dengan sendirinya belum ada permasalahan hukum yang timbul diluar yang ditentukan dalam KHI. lain halnya kalau dilihat dari pembahasan dalam kitab-kitab fiqih yang begitu detail dan antipatifnya pendapat Ulama Fiqih tentang kemungkinan-kemungkinan masalah yang timbul, sehingga lazim terjadi perbedaan pendapat diantara Ulama fiqih dalam mengkaji setiap permasalahan yang terjadi. Hibah yang diatur dalam pasal 210 KHI dan fiqih dibatasi sebanyak-banyaknya 1/3 harta benda dari harta benda yang merupakan hak penghibah, malah Ibu Abbas yang diriwayatkan oleh Imam Bukhori dan Muslim menganjurkan sebanyak-banyaknya 1/4 dari seluruh harta. yaitu pemberian benda secara sukarela dan tanpa imbalan dari seseorang kepada orang lain yang masih hidup untuk dimiliki. Pengertian hibah dalam kajian fiqih adalah pemberian sesuatu untuk menjadi milik orang lain dengan maksud untuk berbuat baik yang dilaksanakan semasa hidupnya tanpa imbalan dan tanpa illat (karena sesuatu). Definisi yang diatur dalam KHI dan yang terdapat dalam kitab fiqih pada dasarnya tidak ada perbedaan, namun dalam kajian fiqih dijelaskan pengertian shadaqah dan illat untuk mengharapkan pahala dari Allah SWT, sedangkan hadiah semata-mata untuk memuliakan orang yang diberi hadiah yang dampaknya akan melahirkan saling mengasihi(tahaaduu tahaabuu). dalam KHI disyaratkan penghibah sudah berumur sekurang-kurangnya 21 tahun, berakal sehat tanpa paksaan yang sama maknanya dengan kajian fiqih, bahwa anak kecil dan wali tidak sah menghibahkan, karena belum cukup umur (ahliyatul ada’al-kamilah) dan bagi wali karena benda yang dihibahkan bukan miliknya.Pelaksanaan hibahdisyaratkan ijab kabul, sedangkan dalam shadaqah dan hadiah tidak disyaratkan ijab kabul.

Dalam pasal 211 KHI disebutkan hibah orang tua kepada anaknya dapat diperhitungkan sebagai warisan. Maksud dapat diperhitungkan berarti harta yang dihibahkan dapat dijadikan bagian waris yang bagian waris sendiri dapat lebih kecil karena karena sudah mendapatkan hibah. Dalam fiqih hak anak terhadap orang tuannya dapat diperoleh dari 2 jalan, yaitu hibah atau hibah wasiat dan waris. Pasal 212 KHI disebutkan hibah kepada anak dapat ditarik kembali. Ketentuan ini merupakan garis hukum islam berdasarkan hadits Rasulullah yang diwriwayatkan oleh Ibnu Umar dan Ibnu Abbas yang pada intinya dapat dicabut secara sepihak, tetapi ketentuan ini tidak mudah dilaksanakan apabila harta hibah sudah berganti tangan dalam bentuk benda lain. Oleh karena itu Ulama fiqih berpendapat apabila benda hibah masih dimiliki anak atau masih bergabung dengan milik orang tuanya dapat dicabut, tetapi apabila sudah bercampur dengan harta miliknya, istrinya atau dengan harta orang lain tidak dapat dicabut kembali. pasal 213 KHI hibah yang diberikan pada pemberi hibah dalam keadaan sakit yang dekat dengan kematiannya harus mendapat persetujuan ahli warisnya. Ketentuan ini menurut kajian fiqih orang yang sakit dapat menghibahkan 1/3 hartanya dengan dianalogkan dengan wasiat dengan dasar istishhabul-hal menganggap tetap berlakunya sesuatu yang sama karena ijma, menetapkan orang yang sakit boleh menghibahkan hartanya.Hukum Hibah dan wasiatWasiat yang diatur dalam 194 pasal 209 KHI yang disebutkan diatas memuat mereka yang berhak untuk berwasiat, bentuk wasiat, jenis-jenis wasiat, hal-hal lain yang boleh dan tidak boleh dalam wasiat. Perbedaan hibah dan wasiat dilaksanakan setelah kematian pemberi wasiat (pasal 194 ayat (3) KHI). Ketentuan ini disepakati oleh Imam 4 mazdhab (Maliki,Hanafi,Hambali, dan Al-Syafi’i). melaksanakan hibah hukumna sunnah dan hukum berwasiat menurut Imam emapt mazdhab pada asanya sunah berdasarkan kata yuridu (arab) dala hadits yang diriwayatkan Imam Maliki dari An-Nafi sebagai berikut :”Tidak ada hak bagi seorang Muslim yang mempunyai sesuatu yang (yuridis) ingin diwasiatkannya yang sampai bermalam dua malam, maka wasiat itu wajib tertulis baginya”. Para Imam empat mazdhab berpendapat bahwa berwasiat hendaknya sunah dengan alasan, karena tidak ada dalil yang menyatakan Rasulullah SAW dan para sahabatnya melaksanakanya. Namun demikian wasiat dapat beralih hukumnya wajib, mubah, dan makruh bahkan haram tergantung pada maksud dan tujuannya.1.Wajib apabila selama hidupnya belum melunasi kewajibannya terhadap Allah SWT, misalnya membayar kifarat, zakat atau haji maupun kewajiban terhadap manusia, misalnya hutang dan lainnya.2.Sunah adalah berwasiat kepada kerabat yang tidak mendapat warisan.3.Haram apabila berwasiat untuk hal-hal yang dilarang oleh agama.4.Makruh apabaila yang berwasiat mengenai hal-hal yang dibenci agama.5.Mubah apabila berwasiat untuk kaum kerabat atau orang lain yang berkecukupan Sehubungan wasiat wajib atau wasiat wajibah adala wasiat yang dianggap ada walaupun yang sesungguhnya tidak ada karena demi kemaslahatan. Wasiat wajibah ini bersifat Ijtihadiyyah, karena tidak ada nash yang shorih, sehingga yang berkenaan dengan rukun dan syarat sah dan batalnya wasiat wajibah merupakan lapangan kajian hukum. dasar hukum wasiat wjibah adala firman Allah SWT dalam surat Al-Baqoroh ayat 180, sehingga para ulama setelah masa tabi’in seperti Sa’idbin Musayyab, hasan bashri, Thawus, Imam Ahmad bin Hamabal, daud Az-Zhahiri,Ibu jarir Al-Tobari Ishaq bin Rahawaih, Ibnu hazm dan lain-lain berdasarkan hal ayat tersebut berpendapat wajib untuk berwasiat kepada kerabat yang tidak berhak mendapat waris karena terhijab oleh ahli waris yang lainnya. Tersebut bersifat muhkam, yang tetap berlaku bagi kerabat yang tidak mendapat bagian waris.

Apabila seorang meninggal tanpa meninggalkan wasiat wajibah, Ibnu Hazm Cs membatasi hanya pada cucu sebanyak bagian ayah atau ibunya apabila keduanya masih hidupdan tidak boleh lebih dari 1/3 harta (Ibrahim Husen, 1985:24). Sebagaimana yang diketahui dalam hukum waris bahwa menurut pendapat jumhur posisi cucu di hijab oleh anak pewaris sehingga cucu yang orang tuanya (ayah atau ibu) meninggal dunia dihijab oleh pamannya (saudara ayah atau ibu) sedangkan pendapat lain yang tidak mu’tamad, tetapi mencerminkan rasa keadilan berpendapat seseorang yang meninggalkan anak tidak putus hak kewarisan anak atas hak orang tuanya yang meninggal dunia lebih dahulu dari orang tuannya, tetapi tetap tersambung meneruskan juarinnya (keturunannya). Tetapi berbeda ketentuannya antara wasiat wajibat dengan ahli waris pengganti (plaatsvervangend erfgenaam). Wasiat wajibah maksimal mendapat 1/3 bagian berdasarkan hadits Sa’ad bin Abi Waqqosh, bahkan menurut Ash-Shon’ani pengarang kitab Subulussalam para ulama sepakat membatasi wasiat 1/3. Kalaupun akan mewasiatkan hartanya lebih dari 1/3 harus seizin ahli waris. Tanpa seizin ahli waris wasiat lebih dari 1/3 batal demi hukum. Sedangkan porsi atau hak yang diperolehpada ahli waris pengganti tergantu pada posisi ahli waris yang diganti, mungkin pada posisi mendapat bagian lebih banyak atau pada posisi mendapat bagian lebih sedikit. Tetapi apabila memperhatikan ketentuan ahli waris pengganti dengan wasiat wajibah diukur dari rasa keadilan, maka menggunakan dasar ahli waris pengganti lebih adil dari pada berdasarkan berdasarkan wasiat wajibah. Tidak adil dirasakan dalam ketentuan fiqih, bahwa paman menghijab anak saudaranya yang mininggal lebih dahulu, padahal andaikan dia masih hidup tentu posisinya sama dengan saudaranya itu (paman dari anak-anaknya). Dengan dasar rasa keadilan sebagai jalan mewujudkan keadilan inilah ketentuan ahli waris pengganti yang bersifat ijtihadiyah menjadi ketentuan kewarisan yang diatur dalam pasal 185 KHI. Pelaksanaan Putusan Peradilan Agama Pemberian harta melalui hibah dan wasiat, baik kepada ahli waris maupun kerabat dan orang lain dapat melindungi hak yang bersangkutan dari ahli waris yang lain. Misalnya seorang suami yang telah bercerai dengan istrinya dan mempunyai anak keturunan. Kemudian suami kawin lagi dengan perempuan lain (istri yang kedua) dan mempunyai anak. Dalam kasus ini apabila suaminya meninggal tentu ada hak waris anak dari istri yang telah bercerai dengannya,sedangkan anaknya tersebut sebelumnya telah diberi harta ketika bercerai dari ibunya. Agar anak dari istri yang keduanya terlindungi dari pembagian waris yang akan mengurangi jumlah bagiannya (karena anak dari istri yang diceraikan masih berhak atas harta peninggalan ayahnya), maka melaui hibah ini suami dapat menghibahkan hartanya kepada anak dari istri yang keduanya tersebut, sehingga dengan demikian anak tersebut mendapat perlehan memadai. Selain dari itu sering terjadi dalam perkara perceraian, suami istri menghibahkan harta bersama misalna tanah berikut bangunan rumah diatasnya kepada salah satu pihak dari suami atau istri atau kepada anak-anaknya. Putusan Pengadilan Agama tentang hibah tersebut tentu perlu ditindaklanjuti oleh para pejabat yang diberi wewenang atau instansiterkait dengan persoalan benda tidak bergerak. Tetapi putusan ini sayangnya tidak serta merta dapat dilaksanakan, mengapa? Karena apabila akan dilakukan balik nama terhadap benda yang dihibahkan berdasarkan putusan Pengadilan Agama tersebut masih harus mensyaratkan menyertakan pihak penerima hibah dan pemberi hibah serta syarat-syarat administratif lainnya, misalnya KTP atau surat kuasa, karena pejabat atau instansi yang berangkutan terikat pada Peraturan Perundang-undangan tentang pertanahan atau hukum perjanjian. Kalau dikaji lebih lanjut penyelesaian perkara di Peradilan Agama dengan menggunakan hukum acara yang berlaku berdasarkan Pasal 54 UUPA sesungguhnya banyak tidak relevan dengan kaakteristik perkara yang menjadi wewenang Peradilan Agama.

Salah satu contoh yang tidak relevan adalah ketentuan eksekusi yang diatur dalam HIR atau Rbg, karena ketentuan eksekusi yang diatur dalam HIR atau Rgb adalah menyangkut perkara sengketa milik, hutang piutang dan ganti rugi adalah dengan lelang, sdangkan perkara yang diselesaikan oleh Peradilan Agama sama sekali tidak menyentuh perkara sengketa milik, hutang piutang dan ganti rugi. Pelaksanaan putusan Pengadilan Agama dengan memperhatikan ciri-ciri eksekusi lelang, sesungguhnya tidak perlu dengan lelang dan memang tidak melalui lelang, tetapi putusan Pengadilan Agama ditindaklanjuti oleh instansi yang terkait dengan pokok perkara yang diputuskan oleh Pengadilan Agama. Masalahnya belum ada peraturan perundang-undangan atau setidak-tidaknya perlu SKB antara Mahkamah Agung RI sebagai penyelenggaraan kekuasaan kehakiman dan merupakan Pengadilan Negara tertinggi dari keempat lingkungan peradilan (UU Nomor 4 Tahun 2004 tentang kekuasaan kehakiman) dengan lembaga atau instansi pemerintah untuk menindaklanjuti putusan-putusan Pengadilan Agama. Putusan pengadilan deklarator, konstitutif maupun kondemnator pada asasnya melahirkan hukum baru terhadap peristiwa hukuhm yang diputuskan. Oleh karena itu mestinya dengan putusan Pengadilan Agama dalam perkara yang terkait dengan hibah atau harta kekayaan lainnya, instansi yang bersangkutan atau pejabat yang menangani harta kekayaan, misalnya Notaris, PPAT atau BPN terikat isi putusan pengadilan in casu Pengadilan Agama yang mempunyai kekuatan mengikat kepada para pihak dan pihak lain. Apabila putusan Pengadilan Agama dalam perkara hibah ini tidak mempunyai kekuatan mengikat kepada para pihak dan pihak lain, maka dapat saja yang bersangkutan mempersulit atau mengingkari putusan tersebut, bahkan mengesampingkan putusan. Wallahu A’lamu-showab.

Problematika Pembagian Harta Warisan Suami Menikah Lebih Dari Satu Kali (Studi Perbandingan Antara Hukum Islam Dengan Hukum Perdata BW)

Bahwa dalam pembagian harta warisan baik itu menurut hukum Islam maupun hukum perdata BW, yang lebih diutamakan adalah orang yang mempunyai hubungan darah (nasab) dengan pewaris, sesuai dalam pasal 832 KUH perdata dan pasal 174 KHI serta dalam surat An-Nisa ayat 7. Maka isteri dan anak-anaknya sangatlah berperan dalam pembagian warisan. Dan pembagian warisan antara kedua hukum yaitu hukum waris Islam dan hukum waris perdata BW berbeda karena adanya perbedaan asas yang dipakai.Pembagian warisan untuk suami menikah lebih dari satu kali sering menimbulkan masalah yaitu apa yang menjadi problematika kewarisan suami menikah lebih dari satu kali, bagaimana pembagian harta warisan suami menikah lebih dari satu kali menurut hukum Islam dan hukum perdata BW.

Sedangkan tujuan yang ingin dicapai dari penulisan ini adalah :
Untuk mengetahui problematika kewarisan suami menikah lebih dari satu kali.
Untuk mengetahui pembagian harta warisan suami menikah lebih dari satu kali menurut hukum Islam dan Hukum perdata BW.

Adapun metodelogi penulisan yang penulis gunakan ada tiga macam yaitu pertama pendekatan masalah yang berbentuk yuridis normatif, metodelogi yang kedua yaitu sumber data dan analisa data meliputi data sekunder penulis menggunakan study pustaka (library research) dan data hukum primer diantaranya dari bahan-bahan hukum yang mengikat yaitu al-quran dan hadist, KUHPerdata, KHI dan peraturan hukum lainnya. Dan yang terakhir teknik analisa data yang menggunakan analisa data deskriptif kualitatif.

Problematika kewarisan yang timbul dengan adanya praktek poligami yang tidak dicatat menurut peraturan perundang-undangan, karena bertentangan dengan ketentuan hukum Islam dan UU No. 1 Tahun 1974 pasal 2 ayat 2 mengatakan, yaitu apabila suami meninggal dunia, maka hak kewarisan isteri dan anak-anak yang ditinggalkan sebagai ahli waris menjadi hilang. Dan perkawinan tersebut secara hukum dianggap tidak pernah ada dan terjadi.

Menurut Hukum Islam bahwa akibat hukum kewarisan suami menikah lebih dari satu kali (poligami) secara legal, jika suami yang berpoligami tersebut meninggal dunia, maka pembagian harta bersama dalam perkawinannya adalah separuh harta bersama yang diperoleh dengan isteri pertama dan separuh harta bersama yang diperoleh dengan isteri kedua dan masing-masing terpisah dan tidak ada percampuran harta. Kecuali jika diadakan perjanjian khusus mengenai harta bersama tersebut, sebelum atau sesudah aqad perkawinan dilangsungkan, sebagaimana dinyatakan dalam pasal 45 Kompilasi Hukum Islam.

Sedangkan pembagian harta warisan suami menikah lebih dari satu kali (poligami) menurut hukum Islam, sama besarnya antara isteri pertama dengan isteri kedua, ketiga dan keempat terhadap bagian masing-masing, asal mereka mempunyai anak, maka bagian isteri yang seharusnya 1/8, berhubung isterinya ada dua maka 1/8 dibagi 2 menjadi 1/16, sebaliknya berbeda jika salah satu isteri tidak mempunyai anak maka bagian isteri adalah 1/4, sedangkan bagian anak-anaknya baik dari isteri pertama, kedua, ketiga dan keempat, jika anak perempuan hanya seorang maka mendapat bagian 1/2 tetapi jika ada dua atau lebih maka mendapat bagian 2/3 tetapi jika anak perempuan bersama dengan anak laki-laki maka bagian anak laki-laki tersebut adalah dua banding satu (2:1).

Menurut hukum perdata BW bahwa dalam perkawinan untuk kedua kali atau selanjutnya, berlakulah demi hukum persatuan harta kekayaan secara bulat antara suami dan isteri kedua atau selanjutnya, selama dalam perjanjian perkawinan tidak diadakan ketentuan lain sesuai dalam pasal 180 KUHPerdata.

Sedangkan pembagian harta warisan suami menikah lebih dari satu kali menurut hukum perdata BW yaitu bagian untuk isteri dalam perkawinan yang kedua kali atau selanjutnya ialah tidak boleh lebih besar dari bagian anak-anaknya pada perkawinan pertama atau tidak boleh lebih besar dari ¼ yakni dibatasi dengan ¼ bagian saja. Sedangkan bagian anak-anaknya baik anak dari perkawinan pertama, kedua, atau selanjutnya yaitu sama dengan bagian isteri kedua yaitu dibatasi dengan ¼ bagian , dengan tidak membedakan jenis kelamin antara anak laki-laki maupun anak perempuan dan urutan kelahiran dari anak tersebut.

Pada akhir penulisan ini ada beberapa saran yang dapat dijadikan sebagai bahan pertimbangan, dalam pembagian harta warisan khususnya harta bersama dalam perkawinan poligami terhadap para ahli warisnya, hendaknya dilakukan sesuai dengan ketentuan hukum yang berlaku hal ini untuk mencegah adanya perselisihan antara para ahli waris yang ada

Setahu saya, istri mendapat 1/4 atau 1/8 yang menjadi patokan adalah suami yang meninggal bukan istri. istri ada anak atau tidak baik istri pertama, kedua atau seterusnya tidak ada masalah, kalau suami yang meninggal ada anak maka istri semuanya sepakat mendapat 1/8 tidak akan berbeda mereka.

Status Hukum Anak Hasil Perkawinan Campuran Berdasarkan Hukum Indonesia

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar belakang

Perkawinan campuran telah merambah seluruh pelosok Tanah Air dan kelas masyarakat. Globalisasi informasi, ekonomi, pendidikan, dan transportasi telah menggugurkan stigma bahwa kawin campur adalah perkawinan antara ekspatriat kaya dan orang Indonesia.[2] Menurut survey yang dilakukan oleh Mixed Couple Club, jalur perkenalan yang membawa pasangan berbeda kewarganegaraan menikah antara lain adalah perkenalan melalui internet, kemudian bekas teman kerja/bisnis, berkenalan saat berlibur, bekas teman sekolah/kuliah, dan sahabat pena. Perkawinan campur juga terjadi pada tenaga kerja Indonesia dengan tenaga kerja dari negara lain.[3] Dengan banyak terjadinya perkawinan campur di Indonesia sudah seharusnya perlindungan hukum dalam perkawinan campuran ini diakomodir dengan baik dalam perundang-undangan di indonesia.

Dalam perundang-undangan di Indonesia, perkawinan campuran didefinisikan dalam Undang-undang No.1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, pasal 57 :

”Yang dimaksud dengan perkawinan campuran dalam Undang-undang ini ialah perkawinan antara dua orang yang di Indonesia tunduk pada hukum yang berlainan, karena perbedaan kewarganegaraan dan salah satu pihak berkewarganegaraan Indonesia.”

Selama hampir setengah abad pengaturan kewarganegaraan dalam perkawinan campuran antara warga negara indonesia dengan warga negara asing, mengacu pada UU Kewarganegaraan No.62 Tahun 1958. Seiring berjalannya waktu UU ini dinilai tidak sanggup lagi mengakomodir kepentingan para pihak dalam perkawinan campuran, terutama perlindungan untuk istri dan anak.

Barulah pada 11 Juli 2006, DPR mengesahkan Undang-Undang Kewarganegaraan yang baru. Lahirnya undang-undang ini disambut gembira oleh sekelompok kaum ibu yang menikah dengan warga negara asing, walaupun pro dan kontra masih saja timbul, namun secara garis besar Undang-undang baru yang memperbolehkan dwi kewarganegaraan terbatas ini sudah memberikan pencerahan baru dalam mengatasi persoalan-persoalan yang lahir dari perkawinan campuran.

Persoalan yang rentan dan sering timbul dalam perkawinan campuran adalah masalah kewarganegaraan anak. UU kewarganegaraan yang lama menganut prinsip kewarganegaraan tunggal, sehingga anak yang lahir dari perkawinan campuran hanya bisa memiliki satu kewarganegaraan, yang dalam UU tersebut ditentukan bahwa yang harus diikuti adalah kewarganegaraan ayahnya. Pengaturan ini menimbulkan persoalan apabila di kemudian hari perkawinan orang tua pecah, tentu ibu akan kesulitan mendapat pengasuhan anaknya yang warga negara asing.

B. Identifikasi Masalah

Dengan lahirnya UU Kewarganegaraan yang baru, sangat menarik untuk dikaji bagaimana pengaruh lahirnya UU ini terhadap status hukum anak dari perkawinan campuran, berikut komparasinya terhadap UU Kewarganegaraan yang lama. Secara garis besar perumusan masalah adalah sebagai berikut :

Bagaimana pengaturan status hukum anak yang lahir dari perkawinan campuran sebelum dan sesudah lahirnya UU Kewarganegaraan yang baru?

Apakah kewarganegaraan ganda ini akan menimbulkan masalah bagi anak?


BAB II

PEMBAHASAN

ANAK SEBAGAI SUBJEK HUKUM

Definisi anak dalam pasal 1 angka 1 UU No.23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak adalah :

“Anak adalah seseorang yang belum berusia 18 (delapan belas) tahun, termasuk anak yang masih dalam kandungan.”

Dalam hukum perdata, diketahui bahwa manusia memiliki status sebagai subjek hukum sejak ia dilahirkan. Pasal 2 KUHP memberi pengecualian bahwa anak yang masih dalam kandungan dapat menjadi subjek hukum apabila ada kepentingan yang menghendaki dan dilahirkan dalam keadaan hidup.[4] Manusia sebagai subjek hukum berarti manusia memiliki hak dan kewajiban dalam lalu lintas hukum. Namun tidak berarti semua manusia cakap bertindak dalam lalu lintas hukum. Orang-orang yang tidak memiliki kewenangan atau kecakapan untuk melakukan perbuatan hukum diwakili oleh orang lain. Berdasarkan pasal 1330 KUHP, mereka yang digolongkan tidak cakap adalah mereka yang belum dewasa, wanita bersuami, dan mereka yang dibawah pengampuan. Dengan demikian anak dapat dikategorikan sebagai subjek hukum yang tidak cakap melakukan perbuatan hukum. Seseorang yang tidak cakap karena belum dewasa diwakili oleh orang tua atau walinya dalam melakukan perbuatan hukum. Anak yang lahir dari perkawinan campuran memiliki kemungkinan bahwa ayah ibunya memiliki kewarganegaraan yang berbeda sehingga tunduk pada dua yurisdiksi hukum yang berbeda. Berdasarkan UU Kewarganegaraan yang lama, anak hanya mengikuti kewarganegaraan ayahnya, namun berdasarkan UU Kewarganegaraan yang baru anak akan memiliki dua kewarganegaraan. Menarik untuk dikaji karena dengan kewarganegaraan ganda tersebut, maka anak akan tunduk pada dua yurisdiksi hukum.

PENGATURAN MENGENAI ANAK DALAM PERKAWINAN CAMPURAN

Menurut Teori Hukum Perdata Internasional

Menurut teori hukum perdata internasional, untuk menentukan status anak dan hubungan antara anak dan orang tua, perlu dilihat dahulu perkawinan orang tuanya sebagai persoalan pendahuluan[5], apakah perkawinan orang tuanya sah sehingga anak memiliki hubungan hukum dengan ayahnya, atau perkawinan tersebut tidak sah, sehingga anak dianggap sebagai anak luar nikah yang hanya memiliki hubungan hukum dengan ibunya.

Sejak dahulu diakui bahwa soal keturunan termasuk status personal[6]. Negara-negara common law berpegang pada prinsip domisili (ius soli) sedangkan negara-negara civil law berpegang pada prinsip nasionalitas (ius sanguinis).[7] Umumnya yang dipakai ialah hukum personal dari sang ayah sebagai kepala keluarga (pater familias) pada masalah-masalah keturunan secara sah. Hal ini adalah demi kesatuan hukum dalam keluarga dan demi kepentingan kekeluargaan, demi stabilitas dan kehormatan dari seorang istri dan hak-hak maritalnya.[8] Sistem kewarganegaraan dari ayah adalah yang terbanyak dipergunakan di negara-negara lain, seperti misalnya Jerman, Yunani, Italia, Swiss dan kelompok negara-negara sosialis.[9]

Dalam sistem hukum Indonesia, Prof.Sudargo Gautama menyatakan kecondongannya pada sistem hukum dari ayah demi kesatuan hukum dalam keluarga, bahwa semua anak–anak dalam keluarga itu sepanjang mengenai kekuasaan tertentu orang tua terhadap anak mereka (ouderlijke macht) tunduk pada hukum yang sama. Kecondongan ini sesuai dengan prinsip dalam UU Kewarganegaraan No.62 tahun 1958.[10]

Kecondongan pada sistem hukum ayah demi kesatuan hukum, memiliki tujuan yang baik yaitu kesatuan dalam keluarga, namun dalam hal kewarganegaraan ibu berbeda dari ayah, lalu terjadi perpecahan dalam perkawinan tersebut maka akan sulit bagi ibu untuk mengasuh dan membesarkan anak-anaknya yang berbeda kewarganegaraan, terutama bila anak-anak tersebut masih dibawah umur


Menurut UU Kewarganegaraan No.62 Tahun 1958

1. Permasalahan dalam perkawinan campuran

Ada dua bentuk perkawinan campuran dan permasalahannya:
Pria Warga Negara Asing (WNA) menikah dengan Wanita Warga Negara Indonesia (WNI)

Berdasarkan pasal 8 UU No.62 tahun 1958, seorang perempuan warga negara Indonesia yang kawin dengan seorang asing bisa kehilangan kewarganegaraannya, apabila selama waktu satu tahun ia menyatakan keterangan untuk itu, kecuali apabila dengan kehilangan kewarganegaraan tersebut, ia menjadi tanpa kewarganegaraan. Apabila suami WNA bila ingin memperoleh kewarganegaraan Indonesia maka harus memenuhi persyaratan yang ditentukan bagi WNA biasa.[11] Karena sulitnya mendapat ijin tinggal di Indonesia bagi laki laki WNA sementara istri WNI tidak bisa meninggalkan Indonesia karena satu dan lain hal( faktor bahasa, budaya, keluarga besar, pekerjaan pendidikan,dll) maka banyak pasangan seperti terpaksa hidup dalam keterpisahan.[12]

Wanita Warga Negara Asing (WNA) yang menikah dengan Pria Warga Negara Indonesia (WNI)

Indonesia menganut azas kewarganegaraan tunggal sehingga berdasarkan pasal 7 UU No.62 Tahun 1958 apabila seorang perempuan WNA menikah dengan pria WNI, ia dapat memperoleh kewarganegaraan Indonesia tapi pada saat yang sama ia juga harus kehilangan kewarganegaraan asalnya. Permohonan untuk menjadi WNI pun harus dilakukan maksimal dalam waktu satu tahun setelah pernikahan, bila masa itu terlewati , maka pemohonan untuk menjadi WNI harus mengikuti persyaratan yang berlaku bagi WNA biasa.[13] Untuk dapat tinggal di Indonesia perempuan WNA ini mendapat sponsor suami dan dapat memperoleh izin tinggal yang harus diperpanjang setiap tahun dan memerlukan biaya serta waktu untuk pengurusannya. Bila suami meninggal maka ia akan kehilangan sponsor dan otomatis keberadaannya di Indonesia menjadi tidak jelas Setiap kali melakukan perjalanan keluar negri memerlukan reentry permit yang permohonannya harus disetujui suami sebagai sponsor.[14] Bila suami meninggal tanah hak milik yang diwariskan suami harus segera dialihkan dalam waktu satu tahun.[15] Seorang wanita WNA tidak dapat bekerja kecuali dengan sponsor perusahaan. Bila dengan sponsor suami hanya dapat bekerja sebagai tenaga sukarela. Artinya sebagai istri/ibu dari WNI, perempuan ini kehilangan hak berkontribusi pada pendapatan rumah tangga.
2. Anak hasil perkawinan campuran

Indonesia menganut asas kewarganegaraan tunggal, dimana kewarganegaraan anak mengikuti ayah, sesuai pasal 13 ayat (1) UU No.62 Tahun 1958 :

“Anak yang belum berumur 18 tahun dan belum kawin yang mempunyai hubungan hukum kekeluargaan dengan ayahnya sebelum ayah itu memperoleh kewarga-negaraan Republik Indonesia, turut memperoleh kewarga-negaraan Republik Indonesia setelah ia bertempat tinggal dan berada di Indonesia. Keterangan tentang bertempat tinggal dan berada di Indonesia itu tidak berlaku terhadap anak-anak yang karena ayahnya memperoleh kewarga-negaraan Republik Indonesia menjadi tanpa kewarga-negaraan.”

Dalam ketentuan UU kewarganegaraan ini, anak yang lahir dari perkawinan campuran bisa menjadi warganegara Indonesia dan bisa menjadi warganegara asing :
Menjadi warganegara Indonesia.

Apabila anak tersebut lahir dari perkawinan antara seorang wanita warga negara asing dengan pria warganegara Indonesia (pasal 1 huruf b UU No.62 Tahun 1958), maka kewarganegaraan anak mengikuti ayahnya, kalaupun Ibu dapat memberikan kewarganegaraannya, si anak terpaksa harus kehilangan kewarganegaraan Indonesianya.[16] Bila suami meninggal dunia dan anak anak masih dibawah umur tidak jelas apakah istri dapat menjadi wali bagi anak anak nya yang menjadi WNI di Indonesia. Bila suami (yang berstatus pegawai negeri)meningggal tidak jelas apakah istri (WNA) dapat memperoleh pensiun suami.[17]

Menjadi warganegara asing.

Apabila anak tersebut lahir dari perkawinan antara seorang wanita warganegara Indonesia dengan warganegara asing.[18] Anak tersebut sejak lahirnya dianggap sebagai warga negara asing sehingga harus dibuatkan Paspor di Kedutaan Besar Ayahnya, dan dibuatkan kartu Izin Tinggal Sementara (KITAS) yang harus terus diperpanjang dan biaya pengurusannya tidak murah. Dalam hal terjadi perceraian, akan sulit bagi ibu untuk mengasuh anaknya, walaupun pada pasal 3 UU No.62 tahun 1958 dimungkinkan bagi seorang ibu WNI yang bercerai untuk memohon kewarganegaraan Indonesia bagi anaknya yang masih di bawah umur dan berada dibawah pengasuhannya, namun dalam praktek hal ini sulit dilakukan.

Masih terkait dengan kewarganegaraan anak, dalam UU No.62 Tahun 1958, hilangnya kewarganegaraan ayah juga mengakibatkan hilangnya kewarganegaraan anak-anaknya yang memiliki hubungan hukum dengannya dan belum dewasa (belum berusia 18 tahun atau belum menikah). Hilangnya kewarganegaraan ibu, juga mengakibatkan kewarganegaraan anak yang belum dewasa (belum berusia 18 tahun/ belum menikah) menjadi hilang (apabila anak tersebut tidak memiliki hubungan hukum dengan ayahnya).[19]

Menurut UU Kewarganegaraan Baru Pengaturan Mengenai Anak Hasil Perkawinan Campuran

Undang-Undang kewarganegaraan yang baru memuat asas-asas kewarganegaraan umum atau universal. Adapun asas-asas yang dianut dalam Undang-Undang ini sebagai berikut:[20]
- Asas ius sanguinis (law of the blood) adalah asas yang menentukan kewarganegaraan seseorang berdasarkan keturunan, bukan berdasarkan negara tempat kelahiran.
- Asas ius soli (law of the soil) secara terbatas adalah asas yang menentukan kewarganegaraan seseorang berdasarkan negara tempat kelahiran, yang diberlakukan terbatas bagi anak-anak sesuai dengan ketentuan yang diatur dalam Undang-Undang ini.
- Asas kewarganegaraan tunggal adalah asas yang menentukan satu kewarganegaraan bagi setiap orang

- Asas kewarganegaraan ganda terbatas adalah asas yang menentukan kewarganegaraan ganda bagi anak-anak sesuai dengan ketentuan yang diatur dalam Undang-Undang ini.

Undang-Undang ini pada dasarnya tidak mengenal kewarganegaraan ganda (bipatride) ataupun tanpa kewarganegaraan (apatride). Kewarganegaraan ganda yang diberikan kepada anak dalam Undang-Undang ini merupakan suatu pengecualian.[21]

Mengenai hilangnya kewarganegaraan anak, maka hilangnya kewarganegaraan ayah atau ibu (apabila anak tersebut tidak punya hubungan hukum dengan ayahnya) tidak secara otomatis menyebabkan kewarganegaraan anak menjadi hilang.[22]

Kewarganegaraan Ganda Pada Anak Hasil Perkawinan Campuran

Berdasarkan UU ini anak yang lahir dari perkawinan seorang wanita WNI dengan pria WNA, maupun anak yang lahir dari perkawinan seorang wanita WNA dengan pria WNI, sama-sama diakui sebagai warga negara Indonesia.[23]

Anak tersebut akan berkewarganegaraan ganda , dan setelah anak berusia 18 tahun atau sudah kawin maka ia harus menentukan pilihannya.[24] Pernyataan untuk memilih tersebut harus disampaikan paling lambat 3 (tiga) tahun setelah anak berusia 18 tahun atau setelah kawin.[25]

Pemberian kewarganegaraan ganda ini merupakan terobosan baru yang positif bagi anak-anak hasil dari perkawinan campuran. Namun perlu ditelaah, apakah pemberian kewaranegaraan ini akan menimbulkan permasalahan baru di kemudian hari atau tidak. Memiliki kewarganegaraan ganda berarti tunduk pada dua yurisdiksi.

Indonesia memiliki sistem hukum perdata internasional peninggalan Hindia Belanda. Dalam hal status personal indonesia menganut asas konkordasi, yang antaranya tercantum dalam Pasal 16 A.B. (mengikuti pasal 6 AB Belanda, yang disalin lagi dari pasal 3 Code Civil Perancis). Berdasarkan pasal 16 AB tersebut dianut prinsip nasionalitas untuk status personal. Hal ini berati warga negara indonesia yang berada di luar negeri, sepanjang mengenai hal-hal yang terkait dengan status personalnya , tetap berada di bawah lingkungan kekuasaan hukum nasional indonesia, sebaliknya, menurut jurisprudensi, maka orang-orang asing yang berada dalam wilayah Republik indonesia dipergunakan juga hukum nasional mereka sepanjang hal tersebut masuk dalam bidang status personal mereka.[26] Dalam jurisprudensi indonesia yang termasuk status personal antara lain perceraian, pembatalan perkawinan, perwalian anak-anak, wewenang hukum, dan kewenangan melakukan perbuatan hukum, soal nama, soal status anak-anak yang dibawah umur.[27]

Bila dikaji dari segi hukum perdata internasional, kewarganegaraan ganda juga memiliki potensi masalah, misalnya dalam hal penentuan status personal yang didasarkan pada asas nasionalitas, maka seorang anak berarti akan tunduk pada ketentuan negara nasionalnya. Bila ketentuan antara hukum negara yang satu dengan yang lain tidak bertentangan maka tidak ada masalah, namun bagaimana bila ada pertentangan antara hukum negara yang satu dengan yang lain, lalu pengaturan status personal anak itu akan mengikuti kaidah negara yang mana. Lalu bagaimana bila ketentuan yang satu melanggar asas ketertiban umum[28] pada ketentuan negara yang lain.

Sebagai contoh adalah dalam hal perkawinan, menurut hukum Indonesia, terdapat syarat materil dan formil yang perlu dipenuhi. Ketika seorang anak yang belum berusia 18 tahun hendak menikah[29] maka harus memuhi kedua syarat tersebut. Syarat materil[30] harus mengikuti hukum Indonesia sedangkan syarat formil[31] mengikuti hukum tempat perkawinan dilangsungkan. Misalkan anak tersebut hendak menikahi pamannya sendiri (hubungan darah garis lurus ke atas), berdasarkan syarat materiil hukum Indonesia hal tersebut dilarang (pasal 8 UU No.1 tahun 1974), namun berdasarkan hukum dari negara pemberi kewarganegaraan yang lain, hal tersebut diizinkan, lalu ketentuan mana yang harus diikutinya.

Hal tersebut yang tampaknya perlu dipikirkan dan dikaji oleh para ahli hukum perdata internasional sehubungan dengan kewarganegaraan ganda ini. Penulis berpendapat karena undang-undang kewarganegaraan ini masih baru maka potensi masalah yang bisa timbul dari masalah kewarganegaraan ganda ini belum menjadi kajian para ahli hukum perdata internasional.

Kritisi terhadap UU Kewarganegaraan yang baru

Walaupun banyak menuai pujian, lahirnya UU baru ini juga masih menuai kritik dari berbagai pihak. Salah satu pujian sekaligus kritik yang terkait dengan status kewarganegaraan anak perkawinan campuran datang dari KPC Melati (organisasi para istri warga negara asing).

“Ketua KPC Melati Enggi Holt mengatakan, Undang-Undang Kewarganegaraan menjamin kewarganegaraan anak hasil perkawinan antar bangsa. Enggi memuji kerja DPR yang mengakomodasi prinsip dwi kewarganegaraan, seperti mereka usulkan, dan menilai masuknya prinsip ini ke UU yang baru merupakan langkah maju. Sebab selama ini, anak hasil perkawinan campur selalu mengikuti kewarganegaraan bapak mereka. Hanya saja KPC Melati menyayangkan aturan warga negara ganda bagi anak hasil perkawinan campur hanya terbatas hingga si anak berusia 18 tahun. Padahal KPC Melati berharap aturan tersebut bisa berlaku sepanjang hayat si anak.[32]

Penulis kurang setuju dengan kritik yang disampaikan oleh KPC Melati tersebut. Menurut hemat penulis, kewarganegaraan ganda sepanjang hayat akan menimbulkan kerancuan dalam menentukan hukum yang mengatur status personal seseorang. Karena begitu seseorang mencapat taraf dewasa, ia akan banyak melakukan perbuatan hukum, dimana dalam setiap perbuatan hukum tersebut, untuk hal-hal yang terkait dengan status personalnya akan diatur dengan hukum nasionalnya, maka akan membingungkan bila hukum nasional nya ada dua, apalagi bila hukum yang satu bertentangan dengan hukum yang lain. Sebagai contoh dapat dianalogikan sebagai berikut :

“Joko, pemegang kewarganegaraan ganda, Indonesia dan Belanda, ia hendak melakukan pernikahan sesama jenis. Menurut hukum Indonesia hal tersebut dilarang dan melanggar ketertiban hukum, sedangkan menurut hukum Belanda hal tersebut diperbolehkan. Maka akan timbul kerancuan hukum mana yang harus diikutinya dalam hal pemenuhan syarat materiil perkawinan khususnya.”

Terkait dengan persoalan status anak, penulis cenderung mengkritisi pasal 6 UU Kewarganegaraan yang baru, dimana anak diizinkan memilih kewarganegaraan setelah berusia 18 tahun atau sudah menikah. Bagaimana bila anak tersebut perlu sekali melakukan pemilihan kewarganegaraan sebelum menikah, karena sangat terkait dengan penentuan hukum untuk status personalnya, karena pengaturan perkawinan menurut ketentuan negara yang satu ternyata bertentangan dengan ketentuan negara yang lain. Seharusnya bila memang pernikahan itu membutuhkan suatu penentuan status personal yang jelas, maka anak diperbolehkan untuk memilih kewarganegaraannya sebelum pernikahan itu dilangsungkan. Hal ini penting untuk mengindari penyelundupan hukum, dan menghindari terjadinya pelanggaran ketertiban umum yang berlaku di suatu negara.


BABIII

KESIMPULAN

Anak adalah subjek hukum yang belum cakap melakukan perbuatan hukum sendiri sehingga harus dibantu oleh orang tua atau walinya yang memiliki kecakapan. Pengaturan status hukum anak hasil perkawinan campuran dalam UU Kewarganegaraan yang baru, memberi pencerahan yang positif, terutama dalam hubungan anak dengan ibunya, karena UU baru ini mengizinkan kewarganegaraan ganda terbatas untuk anak hasil perkawinan campuran.

UU Kewarganegaraan yang baru ini menuai pujian dan juga kritik, termasuk terkait dengan status anak. Penulis juga menganalogikan sejumlah potensi masalah yang bisa timbul dari kewarganegaraan ganda pada anak. Seiring berkembangnya zaman dan sistem hukum, UU Kewarganegaraan yang baru ini penerapannya semoga dapat terus dikritisi oleh para ahli hukum perdata internasional, terutama untuk mengantisipasi potensi masalah.

Perdebatan Pengertian Walad Dalam Kewarisan Islam

Perdebatan menghijab atau tidak keberadaan anak perempuan terhadap saudara kandung pewaris untuk memperoleh bahagian harta warisan adalah berangkat dari substansi pengertian kata walad sebagaimana yang disebutkan oleh Qur’an Surat an- Nisa ayat 176.Dalam bidang kewarisan pendapat yang popular di kalangan para ahli hukum Islam adalah anak perempuan tidak menghijab atau menghalangi saudara kandung dari pewaris untuk memperoleh harta warisan.Al-Qurtubi dalam tafsirnya al-Jami’ li Ahkam al-Quran menjelaskan Jumhur Ulama berpendapat bahwa anak perempuan tidak menjadi penghalang bagi saudara laki-laki si pewaris untuk mendapat harta warisan, sedangkan anak laki-laki pewaris dianggap menjadi penghalang bagi saudara laki-laki si pewaris untuk mendapat harta waris, alasannya adalah ayat 176 an-Nisa yang artinya “ Mereka akan minta fatwa kepadamu. Katakanlah : Allah member fatwa kepadamu tentang kalalah, yaitu laki-laki mati (padahal) tidak ada baginya walad (anak) tetapi ada baginya seorang saudara perempuan, maka saudara perempuan ini dapat separoh dari apa yang ia tinggalkan dan saudara laki-laki itu jadi warisnya pula jika tidak ada baginya walad (anak).Jika saudara perempuan dua orang maka mereka berdua dapat dua pertiga dari apa yang ia tinggalkan dan jika mereka itu adalah laki-laki dan perempuan, maka yang laki –laki dapat bagian dua bahagian perempuan”

Dalam ayat tersebut ditegaskan bahwa jika seseorang meninggal dunia dan ia tidak mempunyai anak, maka baik saudara laki-laki maupun sudara perempuan dari yang meninggal itu mendapat bahagian dari harta peninggalan si mayit. Berdasarkan argumentum a contrario atau Mafhum mukhalafah dari ayat tersebut menunjukan “bahwa jika seseorang meninggal dunia dan mempunyai anak (walad) maka saudara kandung dari si mayit terhijab untuk mendapatkan bagian harta peninggalan si mayit.Sekarang persoalannya adalah apa yang dimaksud dengan kata walad (anak) dalam ayat tersebut yang menghijab bagi saudara kandung si pewaris untuk memperoleh harta waris ?

Menurut Jumhur Ulama bahwa yang dimaksud dengan walad (anak) dalam ayat tersebut adalah khusus anak laki-laki, dalam arti tidak mencakup anak perempuan.Dengan demikian keberadaan anak perempuan tidak menghijab saudara kandung si pewaris, sehingga masing-masing dari mereka mendapat bahagian dari harta peninggalan si mayit.

Berbeda dengan pendapat Jumhur tersebut diatas, Ibnu Abbas menafsirkan bahwa kata walad dalam ayat 176 surat an-Nisa adalah mencakup anak laki-laki dan anak perempuan alasanya antara lain adalah kata walad dan yang seakar dengannya dipakai dalam al-Qur’an bukan saja untuk anak laki-laki saja tetapi juga untuk anak perempuan.Misalnya dalam ayat 11 surat an-Nisa Allah berfirman dengan memakai kata awlad ( jama’ dari walad) yang artinya “ Allah wajibkan kamu tentang awlad (anak-anak kamu) buat seorang anak laki-laki adalah seperti bahagian dua anak perempuan.

Kata awlad dalam ayat tersebut mencakup anak laki-laki dan anak perempuan.Sejalan dengan pengertian tersebut, maka kata walad dalam ayat 176 surat an-Nisa tersebut diatas juga mencakup anak laki-laki dan anak perempuan.Menurut pendapat ini, baik anak laki-laki maupun anak perempuan masing-masing menghijab atau menghalangi saudara kandung si pewaris untuk mendapatkan bahagian harta peninggalan.Dan pendapat inilah yang sekarang dipegangi oleh Mahkamah Agung dengan putusan-putusanya.

Pengesahan (Itsbat) Pengangkatan Anak

Sejak diundangkan UU No. 3 Tahun 2006 tentang Perubahan atas UU Nomor 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama pada tanggal 20 Maret 2006, Pengadilan Agama secara yuridis formal baru memiliki kewenangan untuk memeriksa dan mengadili permohonan pengangkatan anak sesuai dengan hukum Islam (Penjelasan UU No. 3 Tahun 2006 angka 37 Pasal 49 huruf a nomor 20). Sementara sebelum lahirnya UU Nomor 3 Tahun 2006, perkara permohonan pengangkatan anak hanya menjadi kewenangan Pengadilan Negeri.

Sebelum lahirnya UU No. 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak, yang mengatur tentang pengangkatan anak, yaitu Pasal 39, 40, dan 41, hukum pengangkatan anak yang digunakan oleh Pengadilan Negeri bersumber dari hukum perdata barat yang akibat hukumnya bertentangan dengan hukum Islam.

Pengangkatan anak dalam istilah hukum perdata barat disebut adopsi. Sumber hukum adopsi adalah Staatsblad Tahun 1917 Nomor 129 tanggal 29 Maret 1917, yang merupakan satu-satunya pelengkap bagi BW yang memang tidak mengenal masalah adopsi. BW hanya mengatur masalah adopsi atau pengangkatan anak luar kawin. Yang perlu dicatat adalah bahwa adopsi yang diatur dalam ketentuan Staatsblad tersebut adalah hanya berlaku bagi masyarakat Tionghoa.

Ketentuan tentang pengangkatan anak sebagaimana diatur dalam Staatsblad Nomor 129 Tahun 1917 Pasal 5 s.d 15 antara lain:

a. Suami istri atau duda yang tidak mempunyai anak laki-laki yang sah dalam garis laki-laki baik keturunan dari kelahiran atau keturunan karena pengangkatan. Orang demikian diperbolehkan mengangkat anak laki-laki sebagai anaknya;

b. Seorang janda (cerai mati) yang tidak mempunyai anak laki-laki dan tidak dilarang oleh bekas suaminya dengan suatu wasiyat; (Pasal 5 )

c. Yang boleh diangkat adalah anak Tionghoa laki-laki yang tidak beristri dan tidak beranak dan tidak sedang dalam status diangkat oleh orang lain. (Pasal 6)

d. Usia yang diangkat harus 18 tahun lebih muda dari suami dan 15 tahun lebih muda dari istri; (Pasal 7 ayat 1)

e. Adopsi harus dilakukan atas kata sepakat;

f. Pengangkatan anak harus dilakukan dengan akta notaris; (Pasal 10)

g. Pengangkatan terhadap anak perempuan dan pengangkatan dengan cara tidak membuat akta otentik batal demi hukum ( Pasal 15 ayat 2 ). Di samping itu, adopsi atas tuntutan oleh pihak yang berkepentingan juga dapat dinyatakan batal;

h. Suatu adopsi tidak dapat dibatalkan dengan kesepakatan para pihak ( Pasal 15 ayat 1 ). Pasal tersebut merupakan penyimpangan dari ketentuan Pasal 1338 ayat (2) KUH Perdata ( BW ) yang menyatakan bahwa suatu perjanjian yang dibuat secara sah dapat dibatalkan dengan sepakat para pihak yang membuat perjanjian yang bersangkutan.

i. Secara yuridis formal, motif tidak ada ketentuannya. Akan tetapi, secara kultural motif pengangkatan anak dalam sistem adat Tionghoa agar dapat meneruskan keturunan, agar dapat menerima abu leluhur, dan sebagai pancingan agar dapat memperoleh keturunan laki-laki.

j. Akibat hukum pengangkatan anak tersebut, antara lain:

1) Pasal 12 memberikan ketentuan, bahwa adopsi menyebabkan anak angkat tersebut berkedudukan sama dengan anak sah dari perkawinan orang tua yang mengangkatnya. Termasuk, jika yang mengangkat anak tersebut seorang janda, anak angkat (adoptandus) tersebut harus dianggap dari hasil perkawinan dengan almarhum suaminya.

2) Adopsi menghapus semua hubungan kekeluargaan dengan keluarga asal, kecuali dalam hal:

a) Penderajatan kekeluargaan sedarah dan semenda dalam bidang perkawinan;

b) Ketentuan pidana yang didasarkan atas keturunan;

c) Mengenai perhitungan biaya perkaradan penyanderaan;

d) Mengenai pembuktian dengan saksi;

e) Mengenai saksi dalam pembuatan akta autentik.

3) Oleh karena akibat hukum adopsi menyebabkan hubungan kekeluargaan dengan keluarga asalnya menjadi hapus, maka hal ini berakibat juga pada hukum waris, yaitu: anak angkat tidak lagi mewaris dari keluarga sedarah asalnya, sebaliknya sekarang mewaris dari keluarga ayah dan ibu yang mengadopsi dirinya.

Ketentuan-ketentuan asal mengenai adopsi tersebut kini memang tidak berlaku secara konsisten. Seiring dengan perkembanagan zaman pelaksanaannya pun mengalami perubahan. Menurut J. Satrio setidaknya ada dua perubahan mendasar dari penerapan ketentuan adopsi tersebut, yaitu:

a. Keberlakuan Staatsblad nomor 129 tahun 1917 kini tidak lagi berlaku bagi golongan Tionghoa;

b. Anak yang diangkat tidak hanya anak laki-laki saja tetapi juga anak perempuan. (Satrio, 2000: 245)

Sementara menurut hukum Islam, pengangkatan anak tidak dapat menyebabkan hubungan nasab antara anak angkat dengan orang tua angkat, dan tidak memutuskan hubungan nasab antara anak angkat dengan orang tua kandungnya. Dalam sejarah, Rasulullah saw pernah mengangkat Zaid bin Haritsah sebagai anak angkat beliau. Sesuai dengan tradisi yang berlaku di masyarakat Arab pada saat itu, maka beliau menganggap Zaid sebagai anak kandung dan memanggilnya dengan nama Zaid bin Muhammad. Kemudian Al-Qur’an menanamkan nilai-nilai, bahwa pengangkatan anak tidak dapat menyebabkan hubungan nasab anak angkat dengan orangtua angkat, sehingga tidak ada larangan untuk menikahi bekas istri anak angkat (Q.S. Al-Ahzab (33): 4-5; 37).

Kondisi yang demikian ini mengakibatkan orang-orang Islam tidak terjamin hak-hak sipilnya dalam melakukan pengangkatan anak sesuai dengan hukum Islam sebelum lahirnya UU Nomor 3 Tahun 2006. Akibatnya, banyak di antara orang-orang Islam yang melakukan pengangkatan anak di luar pengadilan sesuai dengan hukum Islam.

Sebelum lahirnya UU Nomor 3 Tahun 2006, sebenarnya telah lahir UU Nomor 23 Tahun 2002, dalam mana terdapat pasal-pasal yang mengatur tentang pengangkatan anak, yang sesuai dengan hukum Islam. Dalam Pasal 39 ayat (2) diatur bahwa pengangkatan anak tidak memutuskan hubungan darah antara anak yang diangkat dan orang tua kandungnya. Kemudian dalam ayat (3) diatur bahwa calon orang tua angkat harus seagama dengan agama yang dianut oleh calon anak angkat. Namun demikian, Peraturan Pemerintah tentang Pelaksanaan Pengangkatan Anak baru diundangkan pada 3 Oktober 2007, yaitu melalui PP Nomor 54 Tahun 2007. Sebelum lahirnya UU Nomor 23 Tahun 2002, Mahkamah Agung telah mengeluarkan beberapa aturan terkait pengangkatan anak, di antaranya SEMA No. 2 Tahun 1979 dan SEMA No. 6 Tahun 1983. Sedangkan setelah lahirnya UU No. 23 Tahun 2002, Mahkamah Agung mengeluarkan SEMA No. 3 Tahun 2005 dan SEMA No. 2 Tahun 2009. Namun demikian, SEMA yang dikeluarkan sebelum lahirnya UU No. 23 Tahun 2002 juga tidak mengatur tentang akibat hukum pengangkatan anak yang sesuai dengan hukum Islam. Akibatnya, banyak di kalangan orang-orang Islam yang melakukan pengangkatan anak di luar pengadilan sesuai dengan hukum Islam.

Praktek-praktek pengangkatan anak yang dilakukan oleh orang-orang Islam di luar pengadilan tersebut dalam perkembangannya memerlukan perlindungan hukum dan kepastian hukum untuk menjamin hak-hak yang timbul akibat pengangkatan anak. Oleh karena itu, perkara itsbat (pengesahan) pengangkatan anak yang dilakukan oleh orang-orang Islam sebelum lahirnya UU Nomor 3 Tahun 2006, perlu diakomodir oleh Pengadilan Agama.

Persoalannya kemudian adalah ke mana permohonan pengesahan (itsbat) pengangkatan anak diajukan dan hal-hal apa saja yang perlu diperiksa dalam perkara permohonan itsbat pengangkatan anak?

Terkait dengan masalah pengangkatan anak, terdapat beberapa aturan hukum yang perlu diperhatikan, di antaranya adalah SEMA No. 2 Tahun 1979, UU Nomor 4 tahun 1979, SEMA No. 6 Tahun 1983, Keputusan Menteri Sosial RI Nomor 41/HUK/KEP/VII/1984, UU No. 23 Tahun 2002, SEMA No. 3 Tahun 2005, UU No. 12 Tahun 2006, PP No. 54 tahun 2007, dan SEMA No. 2 Tahun 2009. Dari berbagai aturan tersebut harus dipilah mana yang masih berlaku setelah lahirnya PP Nomor 54 Tahun 2007, dan mana yang tidak bertentangan dengan prinsip hukum Islam dalam pengangkatan anak.

Permohonan pengesahan (itsbat) pengangkatan anak ini diajukan ke Pengadilan Agama yang daerah hukumnya meliputi tempat tinggal/domisili anak yang diangkat. Domisili anak tersebut dijelaskan dalam lampiran SEMA Nomor 6 Tahun 1983 angka IV sebagai berikut:

  1. Domisili anak mengikuti domisili orang tuanya
  2. Anak yang orang tuanya bercerai mengikuti kediaman walinya. Karena perceraian dalam Islam tidak menyebabkan hilangnya kekuasaan orang tua atas anak, maka bagi anak yang orang tuanya bercerai mengikuti orang tua yang memiliki hak asuh anak, atau orang tua yang mengasuh anak tersebut.
  3. Anak di luar nikah mengikuti tempat tinggal/tempat kediaman ibunya.
  4. Anak yang dibesarkan oleh selain orang tuanya mengikuti domisili yang sehari-hari merawat anak tersebut.

Pemeriksaan terhadap perkara permohonan itsbat pengangkatan anak lebih menekankan pada terjadinya peristiwa pengangkatan anak, baik kapan peristiwa itu terjadi, apa status anak angkat pada saat itu, berapa umur dan apa agama anak angkat pada saat itu, berapa umur dan apa agama orang tua angkat pada saat itu, bagaimana kondisi orang tua kandung pada saat itu, bagaimana kondisi orang tua angkat pada saat itu, apakah ada persetujuan dari orang tua kandung, apa motif orang tua kandung memberikan persetujuan pengangkatan anak pada saat itu, apa motif orang tua angkat melakukan pengangkatan anak pada saat itu, di mana peristiwa pengangkatan anak itu terjadi, bagaimana kondisi anak angkat selama ini, dan bagaimana hubungan antara anak angkat dengan orang tua angkat selama ini.

Perlu dicatat bahwa dengan penetapan pengadilan tentang itsbat pengangkatan anak, maka hak-hak yang timbul akibat pengangkatan anak menjadi memiliki kekuatan hukum, seperti hak untuk mendapatkan bagian harta peninggalan maksimal 1/3 dari jumlah harta peninggalan melalui wasiat wajibah, baik bagi anak angkat maupun bapak angkat. Oleh karena itu, hakim harus lebih berhati-hati dalam memeriksa perkara ini untuk menghindari adanya upaya penyelundupan hukum yang hanya berorientasi untuk memperoleh bagian harta peninggalan.

Adapun amar penetapan istbat pengangkatan anak dapat dirumuskan sebagai berikut “Menyatakan sah pengangkatan anak yang dilakukan oleh Pemohon bernama……bin/binti…....., alamat…………terhadap anak laki-laki/perempuan bernama…………bin/binti..........., umur…………di................. pada..........................”

Problematika Nikah Sirri Dalam Perspektif Hukum Positif Di Indonesia

Oleh : Jasmani Muzajin*

A. PENDAHULUAN

Pada suatu sore hari Jumat tanggal 30 Oktober 2009, pimpinan memberi tugas kepada penulis untuk membuat sebuah tulisan tentang problematika nikah sirri. Tulisan tersebut harus sudah selesai hari Senin pagi tanggal 2 Nopember 2009 karena akan dibawa oleh pimpinan ke dalam forum rapat kerja Pengadilan Agama se Sumut tahun 2009. Atas perintah tersebut penulis merasa mendapat kehormatan sekaligus tantangan, sehingga dengan segala keterbatasan dan minimnya waktu, penulis berusaha sedemikian rupa sehingga tersusunlah makalah yang sangat sederhana ini. Namun demikian penulis berharap bahwa sumbangan pemikiran yang sedikit dan sederhana ini dapat memberi kontribusi sebagai makalah pembanding dari sekian banyak aneka ragam makalah atau pemikiran yang telah ada tentang problematika nikah sirri, yang dalam hal ini penulis beri judul: Problematika Nikah Sirri Dalam Perspektif Hukum Positif Di Indonesia”.[1]

Pernikahan bagi umat Islam merupakan ikatan lahir batin antara seorang laki-laki dan seorang perempuan sebagai suami isteri berdasar akad nikah yang diatur dalam undang-undang dengan tujuan membentuk keluarga sakinah atau rumah tangga yang bahagia sesuai hukum Islam. Pernikahan adalah ikatan yang sangat kuat atau mitsaqon ghalidhan untuk mentaati perintah Allah dan melaksanakannya merupakan ibadah. Oleh karena itu, untuk menjaga kesucian lembaga perkawinan itu, maka perkawinan atau pernikahan bagi umat Islam hanya sah apabila dilakukan menurut hukum Islam dan keberadaannya perlu dilindungi oleh hukum negara.

Dalam perspektif hukum positif di Indonesia, perkawinan atau pernikahan bagi umat Islam, di samping harus dilakukan menurut hukum Islam, juga setiap perkawinan wajib dilangsungkan di hadapan dan dicatat oleh Pejabat Pencatat Nikah menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku. Perkawinan yang tidak dilakukan sesuai dengan ketentuan tersebut tidak mempunyai kekuatan hukum (vide Ps. 2 UU No.1/1974 jo. Ps.2 (1) PP. No.9/1975).

Pada kenyataannya tidak semua umat Islam Indonesia mematuhi ketentuan peraturan perundang-undangan tersebut, sehingga masih ada di antara masyarakat muslim dengan berbagai alasan melakukan pernikahan di bawah tangan, dalam arti pernikahan tersebut tidak dicatat oleh pejabat yang berwenang untuk itu. Fenomena semacam ini dalam masyarakat kita lebih dikenal dengan istilah nikah sirri.

B. PENGERTIAN NIKAH SIRRI

Dalam bahasa Indonesia istilah pernikahan sering disebut juga perkawinan. Perkawinan berasal dari kata “kawin” yang menurut bahasa artinya membentuk keluarga dengan lawan jenis; melakukan hubungan kelamin atau bersetubuh.[2]

Secara literal Nikah Sirri berasal dari bahasa Arab “nikah” yang menurut bahasa artinya mengumpulkan, saling memasukkan, dan digunakan untuk arti bersetubuh (wathi)[3]. Kata “nikah” sering dipergunakan untuk arti persetubuhan (coitus), juga untuk arti akad nikah.[4] Sedangkan kata Sirri berasal dari bahasa Arab “Sirr” yang berarti rahasia.[5] Dengan demikian beranjak dari arti etimologis, nikah sirri dapat diartikan sebagai pernikahan yang rahasia atau dirahasiakan. Dikatakan sebagai pernikahan yang dirahasiakan karena prosesi pernikahan semacam ini sengaja disembunyikan dari public dengan berbagai alasan, dan biasanya dihadiri hanya oleh kalangan terbatas keluarga dekat, tidak dipestakan dalam bentuk resepsi walimatul ursy secara terbuka untuk umum.

Apabila kita berpedoman dari pengertian etimologis nikah sirri sebagaimana tersebut di atas, maka setidaknya ada 3 (tiga) bentuk atau model nikah sirri yang dilakukan dalam masyakat, yaitu: Pertama: pernikahan antara seorang pria dengan seorang wanita yang sudah cukup umur yang dilangsungkan di hadapan dan dicatat oleh Pegawai Pencatat Nikah namun hanya dihadiri oleh kalangan terbatas keluarga dekat, tidak diumumkan dalam suatu resepsi walimatul ursy. Pernikahan model ini sengaja dilakukan secara diam-diam (sirri) dengan alasan misalnya calon suami isteri tersebut dua-duanya mendapat tugas belajar S2 ke luar negeri secara mendadak, sehingga untuk menjaga kehalalan hubungan mereka selama menjalani studi mereka segera dinikahkan secara sederhana di hadapan PPN. Kedua, pernikahan antara seroang pria dan seorang wanita yang masih di bawah umur menurut undang-undang, kedua-duanya masih bersekolah. Pernikahan ini atas inisiatif dari orang tua kedua belah pihak yang sepakat menjodohkan anak-anak mereka dengan tujuan untuk lebih memastikan perjodohan dan menjalin persaudaraan yang lebih akrab. Biasanya setelah akad nikah mereka belum kumpul serumah dulu. Setelah mereka tamat sekolah dan telah mencapai umur perkawinan, lalu mereka dinikahkan lagi secara resmi di hadapan PPN yang menurut istilah jawa disebut “munggah”. Pernikahan semacam ini pernah terjadi di sebagian daerah di Jawa Tengah pada tahun 1970an ke bawah. Ketiga, model pernikahan antara seroang pria dan seroang wanita yang sudah cukup umur menurut undang-undang akan tetapi mereka sengaja melaksanakan perkawinan ini di bawah tangan, tidak dicatatkan di KUA dengan berbagai alasan. Pernikahan ini mungkin terjadi dengan alasan menghemat biaya, yang penting sudah dilakukan menurut tatacara agama sehingga tidak perlu dicatatkan di KUA. Atau mungkin, walaupun orang kaya akan tetapi tidak mau repot dengan berbagai macam urusan aministrasi dan birokrasi sehingga lebih memilih nikah sirri saja. Pernikahan semacam ini juga mungkin terjadi, misalnya dalam beberapa kasus kawin poligami liar, pernikahan dilaksanakan tidak di hadapan dan dicatat oleh PPN karena tanpa sepengetahuan isteri pertama.

Dari tiga model pernikahan sirri tersebut di atas, pernikahan sirri model terakhir adalah yang paling relevan dengan topic bahasan dalam tulisan ini. Dengan demikian, yang dimaksud dengan Nikah Sirri dalam tulisan ini ialah suatu pernikahan yang tidak dicatatkan di Kantor Urusan Agama atau dengan kata lain disebut dengan Nikah di bawah tangan.

C. HUKUM MELAKUKAN PERKAWINAN

Ibnu Rusyd menjelaskan bahwa segolongan fuqaha’, yakni jumhur (mayoritas ulama) berpendapat bahwa nikah itu hukukmnya sunnah. Golongan zhahiriyah berpendapat bahwa nikah itu wajib. Para ulama Malikiyah mutaakhirrin berpendapat bahwa nikah itu wajib untuk sebagian orang, sunnah untuk sebagian lainnya dan mubah untuk segolongan yang lain.[6] Al-Jaziry mengatakan bahwa sesuai dengan keadaan orang yang melakukan perkawinan, hukum nikah berlaku untuk hukum-hukum syara’ yang lima, adakalanya wajib, haram, makruh, sunnah (mandub) dan adakalanya mubah. Ulama Syafiiyah mengatakan bahwa hukum asal nikah adalah mubah, di sampkng ada yang sunnat, wajib, haram dan makruh.[7] Di Indonesia umumnya memandang hukum asal melakukan perkawinan ialah mubah. Hal ini banyak dipengaruhi oleh pendapat ulama Syafi’iyah. Untuk mengetahui lebih jelas status masing-masing hukum nikah sesuai dengan kondisi al ahkam al khamsah, berikut ini akan ditelaah secara sekilas:

1. Melakukan Perkawinan Yang Hukumnya Wajib

Bagi orang yang telah mempunyai kemauan dan kemampuan untuk kawin dan dikhawatirkan akan tergelincir pada perbuatan zina seandainya tidak kawin maka hukum melakukan perkawinan bagi orang tersebut adalah wajib. Hal ini didasarkan pada rasionalitas hukum bahwa setiap muslim wajib menjaga diri untuk tidak berbuat yang terlarang. Jikan penjagaan diri itu harus dengan melakukan pernikahan, sedangkan menjaga diri itu wajib, maka hukum melakukan pernikahan itu wajib sesuai dengan kaidah: Sesuatu yang wajib tidak sempurna kecuali dengannya, maka sesuatu itu hukum wajib juga.

2. Melakukan Perkawinan Yang Hukumnya Sunnah

Bagi orang yang telah mempunyai kemauan dan kemampuan untuk melangsungkan perkawinan tetapi kalau tidak kawin tidak dikhawatirkan berbuat zina, maka hukum melakukan perkawinan bagi orang tersebut adalah sunnah.

3. Melakukan Perkawinan yang Hukumnya Haram

Bagi orang yang tidak mempunyai keinginan dan tidak mempunyai kemampuan serta tanggungjawab untuk melaksanakan kewajiban-kewajiban dalam rumah tangga sehigga bila melangsungkan perkawinan akan terlantarlah dirinya dan isterinya, maka hukum melakukan perkawinan bagi orang tersebut adalah haram.

4. Melakukan Perkawinan yang Hukumnya Makruh

Bagi orang yang mempunyai kemampuan untuk melakukan perkawinan juga cukup mempunyai kemampuan untuk menahan diri sehingga tidak memungkinkan dirinya terfgelincir berbuat zina sekiranya tidak kawin. Hanya saja orang ini tidak mempunyai keinginan yang kuat untuk dapat memenuhi kewajiban suami isteri dengan baik.

5. Melakukan Perkawinan Yang Hukumnya Mubah

Bagi orang yang mempunyai kemampuan untuk melakukannya, tetapi apabila tidak melakukannya tidak dikhawatirkan akan berbuat zina dan bila melakukannya juga tidak akan menterlantarkan isteri. Perkawinan orang tersebut hanya didasarkan untuk memenuhi kesenangan bukan dengan tujuan menjaga kehormatan agamanya dan membina keluarga sejahtera.

D. PERMASALAHAN PERKAWINAN SIRRI

Kalau kita perhatikan uraian tentang hukum keadaan orang menikah yang terdiri dari lima kategori hukum tersebut di atas, tidak ditemukan bahasan larangan hukum nikah sirri atau nikah di bawah tangan. Dengan demikian, hukum pernikahan sirri pada dasarnya juga tidak terlepas dari kategori hukum perkawinan tersebut, yaitu adakalanya wajib, sunnah, makruh dan sunnah. Sedangkan keadaan “sirri” dalam arti tidak dilangsungkan dan dicatatkan di hadapan PPN bukan menjadi factor penyebab sah atau tidaknya suatu perkawinan tersrebut.

Apabila kondisi seperti ini dihubungkan dengan ketentuan hukum perkawinan di Indonesia, tentu tidak sejalan dengan semangat ketentuan hukum positif Indonesia yang menentukan bahwa perkawinan di samping harus dilakukan secara sah menurut tatacara agamanya juga harus dicatat oleh pejabat yang berwenang (vide Ps. 2 ayat (1) dan (2) UU No.1 Th.1974, jo. Ps. 4 dan Ps.5 ayat (1) dan (2) KHI. Permasalahannya adalah, bagaimanakah penerapan hukum perkawinan terhadap masayarakat muslim Indonesia, dan bagaimana kedudukan nikah sirri dalam perspektif hukum positif Indonesia?

D. PEMBAHASAN MASALAH

Untuk membahas permasalahan atau problematika nikah sirri dalam perspektif hukum positif di Indonesia, perlu kita telaah dua hal pokok yakni factor penyebab nikah sirri dan kedudukan hukum nikah sirri dalam perspektif hukum positif.

1. Faktor Penyebab Nikah Sirri

Fenomena pernikahan di bawah tangan atau nikah sirri bagi umat Islam di Indonesia masih terbilang banyak. Bukan saja dilakukan oleh kalangan masyarakat bawah, tapi juga oleh lapisan masyarakat menengah keatas. Kondisi demikian terjadi karena beberapa factor yang melatarbelakanginya. Tentu saja untuk mengetahui berapa besar persentase pelaku nikah sirri dan factor apa saja yang menjadi pemicu terjadinya pernikahan sirri tersebut masih memerlukan penelitian yang seksama. Akan tetapi secara umum nikah sirri dapat disebabkan oleh beberapa factor, yaitu:

a. Kurangnya Kesadaran Hukum Masyarakat

Masih banyak di antara masyarakat kita yang belum memahami sepenuhnya betapa pentingnya pencatatan perkawinan. Kalaupun dalam kenyataannya perkawinan itu dicatatkan di KUA sebagian dari mereka boleh jadi hanya sekedar ikut-ikutan belaka; menganggapnya sebagai tradisi yang lazim dilakukan oleh masyarakat setempat; atau pencatatan perkawinan itu hanya dipandang sekedar soal administrasi; belum dibarengi dengan kesadaran sepenuhnya akan segi-segi manfaat dari pencatatan perkawinan tersebut.

Permasalahannya ialah, mengapa begitu rendah kesadaran hukum sebagian masyarakat kita, dan bagaimana upaya kita untuk meningkatkan kesadaran hukum bagi mereka, semua itu tentu merupakan tanggung jawab kita bersama. Kalau suatu kelompok masyarakat dalam suatu wilayah hukum di Indonesia belum mempunyai kesadaran hukum yang tinggi, hal ini tentu bukan semata-mata kesalahan masyarakat itu sendiri melainkan juga disebabkan kurang maksimalnya peran dan upaya lembaga pemerintahan yang ada, dalam hal ini Departeman Agama dan Pemerintah Daerah setempat kurang intensif memberikan edukasi terhadap masyarakat tentang betapa pentingnya mencatatkan perkawinan mereka.

Di wilayah Kabupaten Tapanuli Utara, rendahnya kesadaran hukum masyarakat akan pentingnya mencatatkan perkawinan dapat kita lihat di beberapa desa yang mayoritas penduduknya muslim di Kecamatan Pahae Jae, ternyata ada banyak masyarakat yang perkawinannya tidak dicatat oleh KUA setempat. Hal ini dapat diketahui dengan jelas, dengan banyaknya masyarakat yang mengajukan permohonan itsbat nikah ke Pengadilan Agama setempat untuk mendapatkan pengesahan perkawinan mereka secara hukum Negara.

Banyaknya perkara permohonan isbat nikah tersebut tidak terlepas dari usaha pimpinan Pengadilan Agama Tarutung yang telah berupaya mengadakan penyuluhan hukum terutama di daerah kecamatan tertentu yang mayoritas masyarakatnya beragama Islam yaitu di Kecamatan Pahae Jae. Melihat antusiasme masyarakat untuk mendapatkan pegnesahan nikah mereka di Pengadilan Agama setelah memperoleh pemahaman hukum tersebut, menunjukkan bahwa kesadaran hukum masyarakat justeru mulai bangkit. Diharapkan dimulai dari meningkatnya kesadaran tersebut merupakan awal yang baik bagi terciptanya kesadaran masyarakat secara keseluruhan di kawasan daerah tersebut. Karena dengan kesadaran ini setidaknya kalau mereka menikahkan anak-anaknya nanti tidak akan mengulangi lagi kesalahan yang sama yang pernah mereka lakukan.

Dengan demikian, rendahnya tingkat kesadaran hukum masyarakat seperti itu perlu ditingkatkan melalui kegiatan penyuluhan hukum baik secara formal yang dilakukan oleh lembaga instansi terkait maupun secara informal melalui para penceramah di forum pengajian majelis ta’lim dan lain sebagainya.

b. Sikap Apatis Sebagian Masyarakat Terhadap Hukum

Sebagian masyarakat ada yang bersikap masa bodoh terhadap ketentuan peraturan yang menyangkut perkawinan. Kasus pernikahan Syekh Puji dengan perempuan di bawah umur bernama Ulfah sebagaimana terkuak di media massa merupakan contoh nyata sikap apatis terhadap keberlakuan hukum Negara. Dari pemberitaan yang ada, dapat kita pahami terdapat dua hal yang diabaikan oleh Syekh Puji yaitu, pertama, pernikahan tersebut merupakan poligami yang tidak melalui izin di pengadilan, dan kedua, beliau tidak mau mengajukan permohonan dispensasi kawin meskipun sudah jelas calon isteri tersebut masih di bawah umur.

Sikap apatisme semacam itu, terutama yang dilakukan oleh seorang public figure, sungguh merupakan hambatan besar bagi terlaksananya keberlakuan hukum. Karena apa yang dilakukan oleh seorang tokoh biasanya akan dicontoh oleh mereka yang mengidolakannya. Oleh karena itu penanganan secara hukum atas kasus yang menimpa Syekh Puji adalah tepat agar tidak menjadi preseden yang buruk bagi bangsa Indonesia yang saat ini sedang berusaha memposisikan supremasi hukum.

c. Ketentuan Pencatatn Perkawinan Yang Tidak Tegas

Sebagaimana kita ketahui, ketentuan pasal 2 UU No.1 / 1974 merupakan azas pokok dari sahnya perkawinan. Ketentuan ayat (1) dan (2) dalam pasal tersebut harus dipahami sebagai syarat kumulatif, bukan syarat alternative sahnya suatu perkawinan. Dari fakta hukum dan/atau norma hukum tersebut sebenarnya sudah cukup menjadi dasar bagi umat Islam terhadap wajibnya mencatatkan perkawinan mereka. Akan tetapi ketentuan tersebut mengandung kelemahan karena pasal tersebut multi tafsir dan juga tidak disertai sanksi bagi mereka yang melanggarnya. Dengan kata lain ketentuan pencatatan perkawinan dalam undang-undang tersebut bersifat tidak tegas.

Itulah sebabnya beberapa tahun terakhir pemerintah telah membuat RUU Hukum Terapan Pengadilan Agama Bidang Perkawinan yang sampai saat ini belum disahkan di parlemen. Dalam RUU tersebut kewajiban pencatatan perkawinan dirumuskan secara tegas dan disertai sanksi yang jelas bagi yang melanggarnya.

Pasal 4 RUU menegaskan: setiap perkawinan wajib di catat oleh PPN berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Kemudian pasal 5 ayat (1) menyatakan: untuk memenuhi ketentuan pasal 4, setiap perkawinan wajib dilangsungkan di hadapan PPN. Kewajiban pencatatan sebagaimana ketentuan pasal 4 dan pasal 5 ayat (1) tersebut disertai ancaman pidana bagi yang melanggarnya.

Ketentuan pidana yang menyangkut pelanggaran pencatatn perkawinan tersebut dinyatakan dalam Pasal 141 RUU tersebut menyebutkan: setiap orang yang dengan sengaja melangsungkan perkawinan tidak di hadapan PPN sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 (1) dipidana dengan pidana denda paling banyak 6.000.000,- (enam juta rupiah) atau hukumuan kurungan paling lama 6 (enam) bulan.

Pasal 145 RUU menyatakan: PPN yang melanggar kewajibannya sebagaimana dimaksud dalam pasal 4 dikenai hukuman kurungan paling lama 1 (satu) tahun atau denda paling banyak Rp 12.000.000,- (dua belas juta rupiah).

Pasal 146 RUU menyatakan: setiap orang yang melakukan kegiatan perkawinan dan bertindak seolah-olah sebagai PPN dan/atau wali hakim sebagaimana dimaksud dalam pasal 4 dan pasal 21 dipidana penjara paling lama 3 (tiga) tahun.

Dengan demikian, ketidak-tegasan ketentuan pencatatan dalam undang-undang yang berlaku selama ini masih memberi ruang gerak yang cukup luas bagi pelaksanaan nikah sirri bagi sebagian masyarakat yang melakukannya dan menjadi salah satu factor penyebab terjadinya pernikahan sirri.

d. Ketatnya Izin Poligami

UU No.1/1974 menganut azas monogami, akan tetapi masih memberikan kelonggaran bagi mereka yang agamanya mengizinkan untuk melakukan poligami (salah satunya agama Islam) dengan persyaratan yang sangat ketat. Seseorang yang hendak melakukan poligami hanrus memenuhi sekurang-kurangnya salah satu syarat alternative yang ditentukan secara limitative dalam undang-undang., yaitu:

  1. isteri tidak dapat menjalankan kewajibannya sebagai isteri;
  2. isteri mendapat cacat badan atau penyakit yang tidak dapat disembuhkan;
  3. isteri tidak dapat melahirkan keturunan (ps.4 ayat (2) UU 1/1974)

Sebaliknya pengadilan akan mempertimbangkan dan akan memberi izin poligami bagi seseorang yang memohonnya apabila terpenuhi syarat kumulatif sebagai berikut:

  1. adanya persetujuan dari isteri/isteri-siterinya;
  2. adanya kepastian bahwa suami mampu menjamin keperluan-keperluan hidup isteri-siteri dan anak-anak mereka;
  3. adanya jaminan bahwa suami akan berlaku adil terhadap isteri dan anak-anak mereka;

Yang dimaksud mampu menjamin keperluan hidup bagi isteri-isteri dan anak-anaknya adalah sangat relative sifatnya. Demikian pula suami akan berlaku adil terhadap isteri-isteri dan anak-anaknya adalah sangat subjektif sifatnya, sehingga penilaian terhadap dua persyaratan tersebut terakhir akan bergantung pada rasa keadilan hakim sendiri.

Bila kita telaah sulitnya untuk dipenuhinya syarat-syarat tersebut di atas oleh seorang suami, maka hal tersebut dapat menimbulkan: perkawinan “clandestine” dan hidup bersama (samenleven). Perkawinan “clandestine” adalah perkawinan yang pelangsungannya secara sah memenuhi syarat, akan tetapi terdapat cacat yuridis di dalamnya.[8] Misalnya seorang calon suami dalam pemberitahuan kehendak kawin mengaku jejaka atau menggunakan izin palsu.

Ketatnya izin poligami juga menyebabkan yang bersangkutan lebih memilih nikah di bawah tangan atau nikah sirri karena pelangsungan (tata cara) pernikahan di bawah tangan lebih sederhana dan lebih cepat mencapai tujuan yaitu kawin itu sendiri.

Khusus bagi pegawai negeri baik sipil maupun militer, untuk dapat poligami kecuali harus memenuhi syarat tersebut di atas juga harus memperoleh izin atasan yang berwenang, sesuai dengan PP No.10/1983 tentang Izin Perkawinan dan Perceraian bagi PNS jo. PP 45/1990.. Demikian pula bagi TNI harus memperoleh izin dari atasannya sesuai dengan peraturan yang berlaku, sehingga bagi yang bersangkutan wajib menempuh proses panjang.

Sulit dan lamanya proses serta hambatan berupa birokrasi dalam pemberian izin memang bertujuan untuk memperkuat secara selektif akan perkenan poligami bagi PNS serta menghindari kesewenang-wenangan dalam hal kawin lebih dari satu, sehingga PNS diharapkan jadi contoh dan teladan yang baik sesuai dengan fungsinya sebagai abdi Negara dan abdi masyarrakat. Akibat larangan berpoligami atau sulitnya memperoleh izin poligami justru membuka pintu pelacuran, pergundikan, hidup bersama dan poligami illegal.[9]

Menurut Soetojo, dengan berlakunya UU 1/1974 angka kawin lebih dari satu (poligami: Pen) menunjukkan menurun drastis[10] namun poligami illegal dengan segala bentuknya semakin banyak, yang disebabkan oleh:[11]

1. tidak adanya kesadaran hukum yang tinggi dari masyarakat;

2. bagi mereka yang terikat oleh pengetatan tertentu karena kedinasannya dibayangi oleh rasa takut kepada atasan di samnping prosedurnya yang terlalu lama dan sulit;

3. tidak adanya tindakan yang tegas terhadap poligami illegal;

Bentuk poligami illegal yang banyak dijumpai dalam masyarakat ialah:

1. hidup bersama tanpa ikatan perkawinan yang sah dan sering dikenal dengan sebutan: hidup bersama, pergundikan, wanita simpanan;

2. bagi mereka yang beragama Islam, melakukan poligami tanpa pencatatan nikah.

Hasil penelitian Soetojo tersebut terakhir menunjukkan bahwa ketatnya izin poligami merupakan salah satu factor timbulnya pernikahan di bawah tangan, atau pernikahan yang tidak dicatat, alias nikah sirri.

2. Kedudukan Hukum Nikah Sirri Dalam Pespektif Hukum Positif

Dari sudut pandang hukum yang berlaku di Indonesia, nikah sirri merupakan perkawinan yang dilakukan tidak sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Sebagaimana kita pahami bahwa berdasarkan ketentuan Pasal 2 ayat (1) dan (2) UU No.1/1974 Jo. Pasal 4 dan Pasal 5 ayat (1) dan (2) KHI, suatu perkawinan di samping harus dilakukan secara sah menurut hukum agama, juga harus dicatat oleh pejabat yang berwenang. Dengan demikian, dalam perspektif peraturan perundang-undangan, nikah sirri adalah pernikahan illegal dan tidak sah.

Bagi kalangan umat Islam Indonesia, ada dua persyaratan pokok yang harus dikondisikan sebagai syarat kumulatif yang menjadikan perkawinan mereka sah menurut hukum positif, yaitu: pertama, perkawinan harus dilakukan menurut hukum Islam, dan kedua, setiap perkawinan harus dicatat. Pencatatan perkawinan tersebut dilakukan oleh PPN sesuai UU No.22/1946 jo. UU No.32/1954. Dengan demikian, tidak terpenuhinya salah satu dari ketentuan dalam pasal 2 tersebut menyebabkan perkawinan batal atau setidaknya cacat hukum dan dapat dibatalkan.

Akan tetapi kalau ketentuan pasal tersebut masih dipahami sebagai syarat alternative, maka perkawinan dianggap sah meskipun hanya dilakukan menurut hukum agama dan tidak dicatatkan di KUA. Permasalahan hukum mengenai sah atau tidaknya suatu perkawinan yang tidak dicatatkan akan selalu menjadi polemic berkepanjangan bila ketentuan undang-undangnya sendiri tidak mengaturnya secara tegas. Dalam arti kewajiban pencatatan tersebut harus dinyatakan secara tegas dan disertai sanksi bagi yang melanggarnya.

Bagi umat Islam, kepentingan pencatatan itu sendiri sebenarnya mempunyai dasar hukum Islam yang kuat mengingat perkawinan adalah suatu ikatan perjanjian luhur dan merupakan perbuatan hukum tingkat tinggi. Artinya, Islam memandang perkawinan itu lebih dari sekedar ikatan perjanjian biasa. Dalam Islam, perkawinan itu merupakan perjanjian yang sangat kuat (mitsaqan ghalidhan). Bagaimana mungkin sebuah ikatan yang sangat kuat dipandang enteng? Mengapa logika sebagian umat Islam terhadap wajibnya pencatatan perkawinan seperti mengalami distorsi? Perlu kita yakinkan kepada umat Islam bahwa pencatatan perkawinan hukumnya wajib syar’i. Sungguh sangat keliru apabila perkawinan bagi umat Islam tidak dicatatkan sesuai dengan ketentuan hukum yang berlaku. Sedangkan ikatan perjanjian biasa, misalnya semacam utang piutang di lembaga perbankan atau jual beli tanah misalnya saja perlu dicatat, mengapa ikatan perkawinan yang merupakan perjanjian luhur dibiarkan berlangsung begitu saja tanpa adanya pencatatan oleh pejabat yang berwenang. Adalah ironi bagi umat Islam yang ajaran agamanya mengedepankan ketertiban dan keteraturan tapi mereka mengebaikannya.

Allah SWT berfirman dalam QS. An Nisa’ Ayat: 59 yang berbunyi sebagai berikut:

يا ايها الذين امنوا اطيعواالله و اطيعوا الرسو ل و اولى الأ مر منكم

Artinya : Wahai orang yang beriman taatlah kepada Allah dan taatlah kepada Rasul dan Ulil Amri diantara kalian.

Berdasarkan dalil Firman Allah SWT tersebut di atas, dapat ditarik garis tegas tentang adanya beban hukum “wajib” bagi orang-orang yang beriman untuk taat kepada Allah dan taat kepada Rasul SAW dan juga taat kepada Ulil Amri. Sampai pada tahapan ini kita semua sepakat bahwa sebagai umat yang beriman memikul tanggung jawab secara imperative (wajib) sesuai perintah Allah SWT tersebut. Akan tetapi ketika perintah taat kepada Ulil Amri diposisikan sebagai wajib taat kepada pemerintah, otomatis termasuk di dalamnya perintah untuk mentaati peraturan perundang-undangan yang berlaku mengenai pencatatan pernikahan, maka oleh sebagian umat Islam sendiri terjadi penolakan terhadap pemahaman tersebut sehingga kasus pernikahan di bawah tangan masih banyak terjadi dan dianggap sebagai hal yang tidak melanggar ketentuan hukum syara’. Permasalahan masih banyaknya nikah sirri di kalangan umat Islam adalah terletak pada pemahaman makna siapakah yang dimaksud Ulil Amri dalam ayat tersebut di atas. Ada banyak pendapat mengenai siapakah ulil amri itu, antara lain ada yang mengatakan bahwa ulil amri adalah kelompok Ahlul Halli Wa Aqdi dan ada pula pendapat yang mengatakan bahwa ulil amri adalah pemerintah. Dalam tulisan ini, penulis tidak ingin memperdebatkan tentang siapakah Ulil Amri itu. Yang perlu dikedepankan adalah bahwa pemahaman terhadap hukum Islam itu harus komprehensif sesuai dengan katakteristik hukum Islam itu sendiri.

Komprehensifitas (dari hukum Islam) itu dapat dilihat dari keberlakuan hukum dalam Islam di mayarakat, sebagaimana yang dikemukakan oleh Yusuf Qardhawi, yaitu bahwa: Hukum tidak ditetapkan hanya untuk seseorang individu tanpa keluarga, dan bukan ditetapkan hanya untuk satu keluarga tanpa masyarakat, bukan pula untuk satu masyarakat secara terpisah dari masyarakat lainnya dalam lingkup umat Islam, dan ia tidak pula ditetapkan hanya untuk satu bangsa secara terpisah dari bangsa-bangsa di dunia yang lainnya, baik bangsa penganut agama ahlulkitab maupun kaum penyembah berhala (paganis).[12]

Dalam konteks ini perlu kiranya memahami penalaran hukum pada ayat tersebut di atas secara komprehensif. Oleh sebab itu, pendekatan terhadap penalaran makna Ulil Amri dalam hubungannya dengan kewajiban pencatatan perkawinan bagi umat Islam, dapat kita pahami bahwa Undang-Undang Negara Republik Indonesia Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan dan peraturan perundangan lainnya yang berkaitan dengan itu adalah merupakan produk legislasi nasional yang proses pembuatannya melibatkan berbagai unsur mulai dari Pemerintah, DPR, Ulama dan kaum cerdik pandai serta para ahli lainnya yang keseluruhannya merupakan Ahlul Halli wal Aqdi. Dengan demikian, apabila Undang-undang memerintahkan perkawinan harus dicatat, maka wajib syar’i hukumnya bagi umat Islam di Indonesia untuk mengikuti ketentuan undang-undang tersebut.

Pernikahan bagi umat Islam adalah sebuah keniscayaan dan ia merupakan sesuatu yang haq. Oleh karena pernikahan adalah suatu kebenaran (haq) dalam Islam, maka perlu ada nizham atau system hukum yang mengaturnya. Sungguh sangat relevan penulis nukilkan Atsar dari Sayyidina Ali bin Abi Thalib, r.a.:

الحق بلا نظام سيغلبه الباطل باالنظام

ِArtinya : Sesuatu yang hak tanpa nizham (system aturah hukum yang baik) akan dikalahkan oleh kebatilan dengan nizham.

E. PENUTUP

Dari uraian di atas dapat diturunkan beberapa kesimpulan bahwa pernikahan sirri atau pernikahan tanpa pencatatan baik nikah tunggal maupun karena poligami, adalah pernikahan yang illegal, Ini terjadi disebabkan kurangnya pemahaman hukum dan minimnya kesadaran hukum dari sebagian masyarakat akan pentingnya pencatatan perkawinan mereka. Pernikahan di bawah tangan tidak mempunyai kekuatan hukum. Jadi, pernikahan sirri merupakan perbuatan hukum yang tidak mempunyai kekuatan hukum dalam sebuah Negara hukum bernama Indonesia. Oleh sebab itu masyarakat Islam Indonesia harus menghindari praktek perkawinan di bawah tangan atau nikah sirri.

Masyarakat Islam Indonesia perlu diyakinkan bahwa pencatatan perkawinan adalah wajib hukumnya, bukan saja dipandang dari perspektif hukum positif melainkan juga dalam perspektif hukum Islam itu sendiri.

Perkawinan adalah awal terbentuknya rumah tangga yang merupakan unit masyarakat terkecil dari sebuah bangsa besar Indonesia. Oleh karena itu penguatan aturan hukum perkawinan merupakan keniscayaan bagi bangsa Indonesia. Pandangan masyarakat terhadap “nikah sirri adalah perbuatan yang sah-sah saja” perlu diluruskan agar tidak menjadi preseden bagi generasi masa depan. Wallahu a’lam bis shawab.

Penulis

Jasmani Muzajin, SH


* Penulis adalah Hakim Pengadilan Agama Kotabumi.

[1] Judul makalah tersebut merupakan pengembangan dari sebuah tema tentang PROBLEMATIKA NIKAH SIRRI yang diberikan oleh PTA Medan ketika penulis masih bertugas di Pengadilan Agama Tapanuli Utara.

[2] Abd.Rahman Gazaly, Fiqh Munakahat, Jakarta, Kencana, 2006, hlm 7

[3] Lihat Muhammad bin Ismail Al-Kahlany, Subul Al Salam, Bandung; Dahlan, tt, Jilid 3 hlm 109

[4] Op Cit

[5] Abddullah bin Nuh dan Umar Bakri, Kamus Arab Indonesia Inggris, Jakarta, Penerbit Mutiara, MCMLXXIV, hlm132

[6] Abd.Rahman Gazaly, Op Cit, hlm 16

[7] Ibid, hlm 18

[8] Prof.DR.R.Soetojo Prawirohamidjojo, Pluralisme Dalam Perundang-undangan Perkawinan di Indonesia, Airlangga University Press, Surabaya, 1994, hlm 51

[9] Ibid, hlm 53

[10] Hasil penelitian Soetojo dapat dilihat pada tabel I dan II, dalam tabel penelitian tersebut mengambil sample kodya Surabaya antara tahun 1976 s.d. 1985. Terlihat penurunan cukup drastis yaitu pada tahun 1976 nikah sebanyak 9345 poligami 50 dan pada tahun 1985 nikah sebanyak 10604 poligami 3, sebagaimana dimuat dalam buku: Pluralisme Dalam Peraturan Perundang-undangan Perkawinan di Indonesia, hlm 169

[11] Ibid

[12]Yusuf Qardhawi, Pengantar Kajian Islam: Studi Analistik Komprehensif Tentang Pilar-pilar Substansial, Karakteristik, Tujuan dan Sumber Acuan Islam, diterjemahkan oleh Setiawan Budi Utomo, Cet.4, Jakarta, Pustaka Alkautsar, 2000, hal 156