Monday, September 10, 2012

DILEMA PENYELESAIAN PERKARA PERMOHONAN PENETAPAN ASAL USUL ANAK DI PENGADILAN AGAMA

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Realita yang berkembang saat ini, banyak sekali akibat yang ditimbulkan oleh peristiwa hukum terhadap anak-anak yang dilahirkan dari perkawinan dibawah tangan bagi isteri yang dipoligami dan upaya hukum apa yang dapat dilakukan agar anak-anak hasil pernikahan poligami dibawah tangan ini mempunyai kekuatan hukum dan menimbulkan hak-hak keperdataan yang dapat mengukuhkan status anak-anak tersebut.

Berkenaan dengan permasalahan tersebut diatas, penulis mencoba menawarkan solusi dengan mengajukan permohonan penetapan asal-usul anak. Akan tetapi dalam praktek di lapangan, penyelesaian dengan cara seperti ini sangatlah dilematis, karena akan berbenturan dengan Permohonan Pengesahan Nikah.

B. Rumusan Masalah

  1. Dalam pemeriksaan permohonan penetapan asal-usul seorang anak, apakah harus dibuktikan sampai pada soal sah tidaknya pernikahan orang tua dari anak yang dimohonkan asal-usulnya, atau cukup didasarkan pada pengakuan orang tua bahwa anak dimaksud adalah anak yang lahir dari pernikahan kedua orang tua tersebut;
  2. Jika pemeriksaan permohonan penetapan asal-usul seorang anak digali sampai pada persoalan sah tidaknya pernikahan kedua orang tua anak dimaksud, apakah hal ini tidak terlalu berlebihan, karena untuk mengetahui sah tidaknya pernikahan seseorang itu adalah kompetensi permohonan Pengesahan Nikah;
  3. Jika pemeriksaan permohonan penetapan asal-usul seorang anak cukup didasarkan pada pengakuan kedua orang tuanya (tentu saja didukung alat bukti) tanpa mengungkap sah tidaknya pernikahan, apakah tidak memberikan peluang untuk terjadinya penyelundupan hukum bagi anak yang lahir dari perkawinan poligami dibawah tangan yang Itsbat Nikahnya ditolak oleh Pengadilan Agama.

BAB II

PEMBAHASAN

Menurut hukum perdata yang berlaku di Indonesia, penetapan asal usul anak dapat dilakukan secara sukarela dan pengakuan yang dipaksakan. Pengakuan anak secara sukarela adalah pernyataan sebagaimana yang ditentukan dalam hukum perdata bahwa seorang ayah dan ibunya atau ibunya mengakui seorang anak yang lahir dari seorang ibunya itu betul anak dari hasil hubungan biologis mereka dan hubungan itu tidak dalam ikatan perkawinan yang sah, serta bukan karena hubungan zina dan sumbang. Sedangkan pengakuan yang dipaksakan adalah pengakuan yang terjadi karena adanya putusan hakim dalam suatu gugatan asal usul seorang anak. Hal ini berkaitan dengan Pasal 287 Ayat (2) Kitab Undang-undang Hukum Perdata di mana disebutkan apabila terjadi salah satu kejahatan sebagaimana tersebut dalam Pasal 285-288, 294 atau 322 Kitab Undang-undang Hukum Pidana, maka atas kejahatan itu dapat diajukan ke Pengadilan. Berdasarkan bukti-bukti yang kuat, hakim dapat menetapkan bahwa laki-laki yang berbuat jahat itu sebagai bapak yang sah dari seorang anak yang lahir dari perbuatan jahatnya.

Sebernarnya dalam Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan telah mencantumkan penetapan asal usul anak menjadi kewenangan lembaga Peradilan Agama. Oleh karena adanya Peraturan Mahkamah Agung RI Nomor 1 Tahun 1977 yang masih membatasi kewenangan Peradilan Agama, maka penetapan asal usul anak itu masih dilaksanakan oleh Pengadilan Negeri. Baru setelah lahirnya Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama pada tanggal 29 Desember 1989 kewenangan tentang penetapan asal usul anak bagi yang beragama Islam menjadi kewenangan Peradilan Agama. Penetapan asal usul anak bagi yang beragama Islam berlaku hukum perdata Islam dan diselesaikan oleh lembaga Peradilan Agama. Penetapan atau putusan Pengadilan Agama menjadi dasar bagi Kantor Catatan Sipil untuk mengeluarkan akta kelahiran anak bagi yang memerlukannya.

Perkara penetapan asal usul anak termasuk perkara volunteer. Oleh karena itu,pemeriksaannya sama dengan pemeriksaan perkara volunteer yang lain dengan produk penetapan, bukan putusan, perkara penetapan asal usul anak dapat menjadi perkara contentious jika ada pihak-pihak yang dijadikan tergugat dalam perkara tersebut. Jika perkara penetapan asal usul anak diajukan dengan cara contentious, maka pemeriksaannya dilaksanakan dengan cara pembuktian yang lengkap (istbat nasab bil bayyinah) tidak lagi dengan cara pemeriksaan yang lazim berlaku dalam perkara volunteer atau prosedur penetapan asal usul anak dengan pengakuan (istbat nasab bil ikrar). Dalam pemeriksaan perkara penetapan perkara volunteer yang lain. Dalam pemeriksaan perkara penetapan asal usul anak yang harus dibuktikan adalah syarat-syarat pengakuan sebagaimana yang telah diuraikan di atas, bukan benar tidaknya pengakuan itu. Apabila syarat-syarat telah ditetapkan oleh hukum Islam sudah terpenuhi, maka sahlah pengakuan tersebut. Jika salah satu syarat tidak terpenuhi, maka pengakuan tersebut tidak dapat dibenarkan dan permohonan penetapan asal usul anak yang diajukan itu ditolak.

Salah satu kompetensi absolut Peradilan Agama sebagaimana yang tertuang didalam penjelasan pasal 49 ayat (2) Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 yang telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 3 tahun 2006, kemudian disempurnakan dengan Undang-Undang Nomor 50 Tahun 2009 adalah penetapan asal-usul seorang anak. Tentang asal usul anak ini telah diatur dalam Pasal 55 Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 jo Pasal 103 Kompilasi Hukum Islam.

Di dalam Pasal 55 ayat (2) Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 ayat (1) dijelaskan bahwa asal-usul seorang anak hanya dapat dibuktikan dengan akta kelahiran. Kemudian pada ayat (2) nya disebutkan bahwa, Bila akta kelahiran tersebut dalam ayat (1) tidak ada, maka Pengadilan dapat mengeluarkan penetapan tentang asal-usul seorang anak setelah diadakan pemeriksaan yang teliti berdasarkan bukti-bukti yang memenuhi syarat.

Kalau dicermati secara mendalam bunyi pasal 55 ayat (2) tersebut diatas, terkandung makna bahwa dalam memeriksa perkara permohonan asal usul anak harus benar-benar memperhatikan kondisi riil di lapangan apakah anak yang dimohonkan asal-usulnya itu benarbenar anak yang lahir dari hasil perkawinan antara laki-laki dan perempuan yang mengaku sebagai ayah ibu dari anak tersebut atau sekedar anak yang diakui oleh laki-laki dan perempuan yang mengaku sebagai ayah ibunya.

Dalam konteks pengertian perkawinan diatas, ada dua persepsi yang dapat dikembangkan yaitu apakah perkawinan dimaksud adalah perkawinan yang telah memenuhi syarat formil dan materiil ataukah pernikahan yang hanya memenuhi unsur sebagaimana dimaksud pada pasal 14 Kompilasi Hukum Islam yaitu adanya:

1. Kedua calon mempelai,

2. Wali Nikah,

3. Dua orang saksi dan

4. Ijab Kabul.

Bagi praktisi hukum yang berprinsip pernikahan harus memenuhi syarat formil dan materiil, maka tertutp peluang bagi pihak-pihak yang ingin memohonkan penetapan asal-usul anak yang diperoleh dari hasil pernikahan Poligami dibawah tangan, karena dalam Pasal 9 Undangundang Nomor 1 Tahun 1974 disebutkan bahwa seorang yang masih terikat tali perkawinan dengan orang lain tidak dapat kawin lagi, kecuali telah diizinkan oleh Pengadilan. Akan tetapi bagi yang berpedoman bahwa sahnya pernikahan adalah apabila telah terpenuhi unsure a, b, c, d tersebut diatas, maka peluang untuk memohonkan penetapan asal-usul anak sangat besar karena anak yang dilahirkan dari perkawinan yang telah memenuhi unsur sebagaimana yang dimaksud pasal 14 Kompilasi Hukum Islam adalah merupakan anak sah. Hal ini sesuai dengan Pasal 42 Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 Jo. Pasal 99 Kompilasi Hukum Islam.

Kedua pola pikir diatas cenderung mengarah pada pola pemeriksaan perkara Pengesahan Nikah dan jika hal ini dipedomani, maka akan timbul kerancuan dimana wilayah Pengesahan Nikah dan dimana pula yang menjadi wilayah Asal-usul anak.

Adapun bagi praktisi hukum yang berprinsip bahwa pemeriksaan penetapan asal-usul anak cukup didasarkan pada pengakuan orang tuanya saja (tentu saja ya didukung bukti), maka akan terbuka peluang untuk terjadinya penyelundupan hukum bagi orang-orang yang melegalkan. Poligami dibawah tangan karena sepanjang anak hasil poligami dibawah tangan tersebut diakui oleh orang tuanya yang dikuatkan dengan kesaksian orang-orang yang tahu akan keberadaan pasangan suami isteri yang melahirkan anak tersebut, maka anak tersebut akan memperoleh hak-hak keperdataan seperti layaknya anak yang lahir dari pasangan suami isteri yang pernikahannya dicatat didalam Register Akta Nikah.

Berpijak dari dua gambaran tersebut diatas, maka dalam menyelesaikan perkara Penetapan Asal-usul anak ini timbul semacam dilema, apakah dalam pemeriksaannya harus mengungkap sah tidaknya pernikahan orang tua anak tersebut atau cukup diperiksa sebatas pengakuan orang tuanya. Sebab kalau diungkap sampai soal sah tidaknya pernikahan orang tua dari anak dimaksud, maka hal ini masuk wilayah Pengesahan Nikah. Sebaliknya kalau hanya dibatasi pada pengakuan orang tuanya saja, maka akan menimbulkan terjadinya penyelundupan hukum yang berakibat timbulnya hukum baru dalam bidang keperdataan.

BAB III

PENUTUP

A. Kesimpulan

1. Perkara Permohonan Penetapan Asal-usul anak merupakan salah satu kompetensi absolute Pengadilan Agama yang penyelesaiannya masih bersifat Dilematis

2. Dikatakan dilematis karena disatu sisi Asal-usul anak itu sama dengan perkara Pengesahan Nikah dan disisi lain perkara tersebut mempunyai wilayah bidang garap sendiri yang konsekuensinya harus diselesaikan dengan acara tersendiri, bukan dengan acara yang berlaku pada pengesahan Nikah.

3. Kalau diselesaikan dengan acara yang berlaku pada pemeriksaan Asal-usul anak, maka akan memudahkan terjadinya penyelundupan hukum.

DAFTAR PUSTAKA

Manan, Abdul. Aneka Masalah Hukum Perdata Islam di Indonesia, Jakarta : Kencana, 2008.

Manan, Abdul. Penerapan Hukum Acara Perdata di Lingkungan Peradilan Agama, Jakarta : Kencana, 2008.

M. Fauzan. Pokok-Pokok Hukum Acara Perdata Peradilan Agama dan Mahkamah Syar’iyah di Indonesia, Jakarta : Kencana, 2007.

M. Zein, Satria Efendi. Problematika Hukum Keluarga Islam Kontemporer, Jakarta : Kencana, 2004.