Thursday, October 18, 2012

Ber-Qurban Untuk Orang Yang Telah Meninggal Dunia


Jika sebelum meninggal dunia orang tersebut berwasiat untuk disembelihkan hewan qurban atau ia mewaqafkan barang waqafan dengan tujuan berqurban, semua ulama' sepakat memperbolehkan menyembelihkan hewan qurban untuk orang tersebut. Yang masih diperselisihan hukumnya adalah apabila sebelum meninggal orang tersebut tidak berwasiat atau mewaqafkan sesuatu untuk disembelihkan hewan qurban, kemudian ada orang yang ingin menyembelihkan hewan qurban untuknya dan dari uangnya sendiri. 

Dalam masalah ini terdapat dua pendapat ;

1.      Menurut pendapat yang ashoh dari kalangan madzhab syafi'i hal tersebut tidak diperbolehkan dengan alasan bahwa berqurban merupakan ibadah yang bertujuan untuk mendekatkan diri pada Alloh (Taqorrub Ilalloh), selain itu berquban itu menyerupai penebusan jiwa seorang manusia, karena itulah pelaksanaannya harus dengan seizin orangnya. Sebagaimana firman Alloh :

وَأَنْ لَيْسَ لِلْإِنْسَانِ إِلَّا مَا سَعَى

"Dan bahwasanya seorang manusia tiada memperoleh selain apa yang telah diusahakannya". (An-Najm ; 39)

Hukum Memakan Daging Hewan Qurban Sendiri

Pertama,
Tidak diperbolehkan bagi orang yang berqurban untuk memakan daging hewan qurbannya sendiri jika qurban yang dikerjakan adalah qurban wajib. Begitu pula tidak diperbolehkan memakan daging hewan qurban yang ia qurbankan untuk orang lain, termasuk untuk orang yang sudah meninggal dunia atau orang tersebut murtad sewaktu pelaksanaan qurban.

Sedangkan apabila qurban yang dikerjakan adalah qurban sunat, maka diperbolehkan ikut memakan daging tersebut berdasarkan peng-qiyas-an pada firman Alloh ; 

فَكُلُوا مِنْهَا وَأَطْعِمُوا الْبَائِسَ الْفَقِيرَ

"Maka makanlah sebagian daripadanya dan (sebagian lagi) berikanlah untuk dimakan orang-orang yang sengsara dan fakir". (Al-Hajj : 28)

Sebagian ulama' madzhab Safi'i dan sebagian ulama' salaf berpendapat bahwa memakan daging qurban tersebut hukumnya wajib berdasarkan dhohir ayat diatas. Namun mayoritas ulama' madzhab Syafi'i menyatakan bahwa perintah tersebut tidak wajib dengan pertimbangan ayat lainnya, yaitu ;

وَالْبُدْنَ جَعَلْنَاهَا لَكُمْ مِنْ شَعَائِرِ اللَّهِ

"Dan telah Kami jadikan untuk kamu unta-unta itu sebahagian dari syi'ar Allah". (Al-Hajj : 36)

Dari ayat ini mereka berkesimpulan bahwa sesuatuyang dijadikan untuk kita, berarti kita boleh memilih antara mengerjakannya atau tidak. Sedangkan menurut pendapat yang mayoritas kalangan ulama' madzhab Syafi'i hukum memakan daging qurban sunat adalah sunat untuk tujuan tabarruk (mendapatkan keberkahan), dan ini juga merupakan pendapat Imam Malik dan Abu Hanifah . Pendapat ini dikuatkan dengan hadits Nabi ;

عَنْ أَبِي عُبَيْدٍ، مَوْلَى ابْنِ أَزْهَرَ، قَالَ: شَهِدْتُ العِيدَ مَعَ عُمَرَ بْنِ الخَطَّابِ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ، فَقَالَ: " هَذَانِ يَوْمَانِ نَهَى رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عَنْ صِيَامِهِمَا: يَوْمُ فِطْرِكُمْ مِنْ صِيَامِكُمْ، وَاليَوْمُ الآخَرُ تَأْكُلُونَ فِيهِ مِنْ نُسُكِكُمْ

"Dari Abu 'Ubaid , budak Ibnu Azhar, ia berkata; "Saya menyaksikan Ied bersama Umar bin Khatthab . Dia berkata; 'Ada dua hari yang Rasulullah shollallohu 'alaihi wasallam melarang untuk berpuasa; hari raya Idul Fitri kalian ini, dan hari di mana kalian memakan binatang kurban kalian". (Shohih Bukhori, no.1990)

Kedua,
Dalam satu hadits disebutkan ;

كَانَ رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِذَا كَانَ يَوْمُ الْفِطْرِ لَمْ يَخْرُجْ حَتَّى يَأْكُلَ شَيْئًا , وَإِذَا كَانَ الْأَضْحَى لَمْ يَأْكُلْ شَيْئًا حَتَّى يَرْجِعَ , وَكَانَ إِذَا رَجَعَ أَكَلَ مِنْ كَبِدِ أُضْحِيَّتِهِ

"Ketika hari raya Idul Fitri, Rosululloh tidak keluar dulu sebelum makan sesuatu, dan ketika hari raya qurban beliau tidak memakan apapun sampai keluar. Saat kembali, beliau memakan hati dari hewan qurbannya". (As-Sunan Al-Kubro Lil-Baihaqi, no.6161).

Berdasarkan hadits diatas ulama' menyatakan kesunatan untuk memakan hati hewan qurbannya sebagaimana yang dilakukan oleh Rosululloh.Adapun hikmah pemilihan hati dari hewan tersebut adalah tafa'ul (mengharapkan kebaikan) bisa masuk surga, sebab makanan pertama yang dihidangkan kepada penghuni surga adalah hati ikan sebagaimana diriwayatkan oleh Imam Bukhori ;

أَوَّلُ طَعَامٍ يَأْكُلُهُ أَهْلُ الجَنَّةِ زِيَادَةُ كَبِدِ حُوتٍ 

"Makanan yang pertama dimakan oleh penghuni surga adalah hati dari ikan".

Ketiga,
Menurut qoul jadid (pendapat Imam Syafi'i yang baru) dan ini merupakan pendapat yang mu'tamad dalam madzhab Syafi'i batasan maksimal daging yang boleh dimakan adalah sepertiganya, sedangkan menurut qoul qodim batasannya adalah separuhnya. Dan yang paling afdhol adalah hanya memakan sedikit saja dari daging qurbannya, dan mensedekahkan kelebihannya. 

Keempat,
Imam Rofi'i menyatakan bahwa orang yang berqurban mendapatkan pahala mengerjakan qurban secara keseluruhan, sedangkan pahala sedekah yang ia dapatkan tergantung dari berapa daging yang tersisa jika ia ikut memakannya. Pendapat ini juga didukung oleh Imam Nawawi sebagaimana yang beliau sebutkan dalam kitab Al-Majmu'. Wallohu A'lam  

Referensi :
1. Tuhfatul Muhtaj, Juz : 9 Hal ; 363-365
2. Nihayatul Muhtaj, Juz : 8 Hal : 141-142
3. Mughnil Muhtaj, Juz : 6 Hal : 134
4. Asnal Matholib, Juz : 1 Hal : 545
5. Hasyiyah Al-Jamal, Juz : 5 Hal : 260
6. Hasyiyah Qulyubi Wa Umairoh, Juz : 4 Hal : 255
7. Al-Majmu' Syarah Al-Muhadzdzab, Juz : 8 Hal : 419
8. Tafsir Al-Munir, Juz : 17 Hal : 196
9. Shohih Bukhori, Juz : 8 Hal : 113

Sumber : Fiqih Kontemporer
Oleh : Assubky Al Masyriq, Choirul Amanah, Kudung Khantil Harsandi Muhammad dan Siroj Munir

Hukum Mengirimkan Qurban Keluar Daerah


Terdapat perbedaan pendapat dikalangan ulama' mengenai hukum memindahkan qurban kedaerah diluar daerah orang yang berqurban, perbedaan pendapat ini didasarkan pada perbedaan pendapat ulama' seputar hukum memindahkan zakat.

Sebagian ulama' madzhab Syafi'i melarang pemindahan qurban keluar daerah.Yang dimaksud dalam pelarangan ini adalah memindahkan kadar daging qurban yang wajib disedekahkan kepada faqir miskin. Alasannya adalah bahwa orang-orang fakir miskin sangat mengharapkan pemberian daging hewan tersebut, sebagaimana dijelaskan dalam Fatwa yang dikeluarkan oleh Imam Romli. Sedangkan menurut sebagian ulama' lainnya hukum pemindahan tersebut diperbolehkan, dan mereka mengklaim bahwa ini adalah pendapat yang shohih.

Dari tinjauan madzhab lain, ulama'-ulama' madzhab Hanafi menyatakan bahwa qurban yang dipindah ketempat lain itu sudah mencukupi, namun pemindahan tersebut hukumnya makruh, kecuali jika pemindahan itu bertujuan untuk diberikan kepada kerabatnya atau orang yang yang lebih membutuhkan. Adapun menurut madzhab Maliki, apabila pemindahan tersebut mencapai jarak diperbolehkannya qoshor atau jarak yang lebih jauh lagi, maka hal tersebut tidak diperbolehkan kecuali jika tempat yang dituju lebih membutuhkan daripada tempat penyembelihan qurban. Kalau tempat yang dituju lebih membutuhkan maka bagian yang paling banyak wajib dikirimkan kedaerah tersebut, sedangkan yang ditempati cukup mendapat sedikit dari daging itu saja.

Jadi, meskipun sebagian ulama' memperbolehkan untuk memindahkan daging qurban ketempat lain,alangkah lebih bijaksananya, jika ditempat tersebut masih ada yang membutuhkan, dagingnya dibagikan ditempat tersebut, kecuali jika ada daerah yang lebih membutuhkan daripada daerah tersebut. Wallohu A'lam.

Referensi :
1. Al Majmu' Syarah Muhadzdzab, Juz : 8  Hal : 425
2. Hasyiyah As-Syibromilsi Ala Nihayatul Muhtaj, Juz : 8  Hal : 142
3. Asnal Matholib, Juz : 1  Hal : 547
4. Mughnil Muhtaj, Juz : 6  Hal : 135
5. Kifayatul Akhyar, Juz : 2  Hal: 242
6. Fatawi Ar-Romli, Juz : 4  Hal : 68
7. Al-Fiqhul Islami Wa Adillatuhu, Juz : 4  Hal : 2742

Sumber: Fiqh Kontemporer
Oleh     : Kudung Khantil Harsandi Muhammad dan Siroj Munir)


Monday, October 15, 2012

Definisi Qurban Dan Hukumnya


A.     Definisi Qurban
Pengertian qurban secara terminologi syara' tidak ada perbedaan, yaitu hewan yang khusus disembelih pada saat Hari Raya Qurban ('Idul Al-Adha 10 Dzul Hijjah) dan hari-hari tasyriq (11,12, dan 13 Dzul Hijjah) sebagai upaya untuk mendekatkan diri (taqarrub) kepada Allah SWT.
Dalam Islam qurban disyariatkan pada tahun kedua Hijriah. Saat itu Rasulullah keluar menuju masjid untuk melaksanakan shalat 'Idul Adha dan membaca khutbah `Id. Setelah itu beliau berqurban dua ekor kambing yang bertanduk dan berbulu putih.

B.     Hukum Berqurban
Hukum berqurban adalah sunnah muakkadah bagi kita artinya kesunnahan yang sangat ditekankan namun bagi Rasulullah Saw berqurban adalah wajib sebagai kekhususan beliau. Kesunnahan tadi terbagi dua ada kalanya sunnah kifayah yaitu bagi tiap-tiap muslim yang sudah baligh, berakal, memiliki kemampuan untuk berqurban dan hidup dalam satu keluarga. Artinya jika ada salah satu anggota keluarga berqurban, maka gugurlah tuntutan untuk berqurban dari tiap-tiap anggota keluarga itu. Namun tentunya yang mendapat pahala qurban adalah khusus bagi orang yang melakukannya.Dan ada kalanya hukum qurban sunnah 'ain yaitu bagi mereka yang hidup seorang diri, tidak memiliki sanak saudara. Atau dengan kata lain sunnah 'ain adalah sasaran kesunnahannya ditujukan pada indifidu atau personal semata.
Yang dimaksud 'memiliki kemampuan' disini adalah orang yang memiliki harta yang cukup untuk dibuat qurban dan cukup untuk memenuhi kebutuhannya pada hari raya Idul Adha dan hari-hari Tasyriq. Bahkan Imam As Syafi'i berkata, "Saya tidak memberi dispensasi / keringanan sedikitpun pada orang yang mampu berqurban untuk meninggalkannya". Maksud perkataan ini adalah makruh bagi orang yang mampu berqurban, tapi tidak mau melaksanakannya (lihat: Iqna' II/278)
Meskipun hukum qurban adalah sunnah, namun suatu ketika bisa saja berubah menjadi wajib, yaitu jika dinadzarkan. Maka konsekwensinya jika sudah menjadi qurban wajib dia dan keluarga yang dia tanggung nafkahnya tidak boleh mengambil atau memakan sedikitpun dari daging qurban tersebut.

C.     Waktu Pelaksanaan Kurban
Waktu pelaksanaan kurban adalah seusai melakukan sholat Idul Adha, 10 Dzul Hijjah sampai terbenamnya matahari pada akhir hari Tasyriq yaitu 13 Dzul Hijjah. Jadi tersedia waktu selama empat hari.Sedangkan teknis penyembelihan hewan kurban, orang yang berkurban boleh melakukannya sendiri, sebagaimana hal ini dilakukan oleh Rasulullah saw. Boleh pula penyembelihannya diwakilkan kepada yang lebih ahli, sebagaimana beliau mengizinkan sayyidina Ali bin Abi Thalib untuk menyembelih hewan kurban beliau. Dan jika penyembelihan itu diwakilkan kepada orang lain, maka dianjurkan kepada orang yang berkurban untuk menyaksikan proses penyembelihan, sebagaimana perintah Beliau kepada puterinya As Sayyidah Fatimah.Pembagian kurban.Daging kurban disyaratkan untuk dibagikan mentah, agar oleh si penerima yang berhak, dapat digunakan sesuka hatinya atau menjualnya. Maka tidak cukup dengan mengundang fakir miskin dan disuguhkan kepada mereka masakan dengan daging kurban tersebut.
Mengenai pembagian daging kurban, asalkan bukan kurban nadzar, maka orang yang berkurban berhak mengambil sebagian daging kurban dan selebihnya dibagikan (disedekahkan) kepada fakir miskin. Sebagian ulama berpendapat, daging kurban didistribusikan menjadi 3 bagian, sepertiga dimakan oleh yang berkurban, sepertiga lagi untuk disimpan oleh yang berkurban dan sepertiga yang lain disedekahkan kepada fakir miskin atau orang lain. Sementara imam Syafi’I dalam qoul jadidnya berpendapat, sepertiga untuk dimakan sendiri dan dua pertiganya untuk disedekahkan.
Adapun salafush shalih mereka menyukai membagi tiga bagian, sepertiga untuk dimakan sendiri, sepertiga disedekahkan kepada fakir miskin dan sepertiga lagi dihadiahkan kepada orang yang kaya.Sementara menurut pendapat Imam Ibnu Qasim Al Ghizi, yang paling utama adalah menyedekahkan seluruh daging kurban tersebut, kecuali sekedar beberapa suapan saja bagi yang berkurban untuk mendapat keberkahan (At Tabarruk) dengan kurban itu.
Adanya hak orang yang berkurban mengambil daging kurbannya itu tidaklah mengurangi nilai ibadah kurbannya. Oleh karena nilai kurbannya telah terwujud pada proses penyembelihan, penumpahan darah hewan kurban. Perbuatan yang dilarang dalam hal ini adalah menjual daging kurban sekalipun kulitnya atau memberikan upah berupa sebagian daging kurban kepada orang yang diserahi menyembelih.
Tapi jika kurban itu dinadzarkan, seperti dia mengatakan: “ wajib kepadaku agar aku berkurban untuk Allah”, atau “Aku bernadzar akan berkurban”, atau, “ binatang ini aku jadikan sebagai kurban”, maka dengan kalimat-kalimat itu dia telah dianggap bernadzar atau dengan kata lain menjadi wajib baginya berkurban, dan dalam hal ini, dia tidak boleh nantinya setelah disembelih untuk mengambil bagian dari daging kurbannya sekalipun sedikit, demikian pula tidak boleh mengambilnya orang-orang yang berada dalam tanggungan nafakahnya, seperti anak dan isterinya.

D.     Kesunnahan saat menyembelih.
Disunnahkan pada saat menyembelih beberapa hal, diantaranya: membaca basmalah dan sholawat kepada Rasulullah sebelum menyembelih, menghadap ke kiblat dan binatang kurban juga dihadapkan ke kiblat, mengucapkan takbir 3 kali sebelum basmalah atau sesudahnya, seperti dikatakan imam Al Mawardi dan juga disunnahkan untuk berdoa agar kurban tersebut diterima oleh Allah, seperti dia berdoa: “ Ya Allah inilah kurban dariMu dan untukMu, maka terimalah kurban ini”, maksudnya adalah “ Ya Allah binatang kurban ini sebagai nikmat dariMu kepadaku dan aku mendekatkan diriku kepadaMu dengannya maka terimalah ini” Disunnahkan bagi yang hendak berkurban untuk tidak memotong rambutnya, bulu ketiak dan kukunya pada tanggal 10 Dzul Hijjah sampai dia menyembelih binatang kurbannya.

E.      Binatang yang dikurbankan
Binatang yang dikurbankan adalah ternak tertentu yang telah ditentukan oleh syari’, yaitu kambing, sapi (lembu) dan onta. Satu kambing untuk satu orang, sedangkan satu sapi dan onta cukup untuk 7 orang. Artinya boleh berkurban secara patungan tetapi terbatas untuk sapi dan onta, masing-masing untuk 7 orang. Ini adalah pendapat imam Syafi’I, Ahmad, Sufyan Ats Tsauri dan Ibnul Mubarak, disasarkan pada hadits Abu Dawud dari Jabir bin Abdillah, Rasulullah bersabda (yang artinya):“ Seekor sapi patungan dari tujuh orang dan seekor onta juga patungan dari tujuh orang “.
Dan yang paling utama adalah berkurban dengan onta, kemudian sapi dan kemudian kambing. Onta disyaratkan berumur 5 tahun yang menginjak ke 6 tahun. Sapi berumur 2 tahun yang menginjak ke 3 tahun. Domba (kibas) berumur 1 tahun menginjak ke 2 tahun dan kambing kacang berusia 2 tahun menginjak ke 3 tahun.Jika dilihat dari warna bulu binatang kurban, maka yang paling utama adalah yang berwarna putih kemudian kuning kemudian cokelat muda (seperti warna tanah) kemudian merah kemudian belang (hitam putih) kemudian hitam.
Juga disyaratkan binatang-binatang tersebut tidak cacat, seperti: salah satu matanya picek yang tampak atau buta, atau kakinya timpang atau pincang yang jelas kepincangannya, atau binatang itu terkena penyakit yang jelas sehingga tampak kurus atau dagingnya rusak karena penyakit itu, atau telinganya putus atau sebagiannya atau diciptakan memang tanpa telinga atau semua ekornya atau sebagiannya terputus, maka kesemuanya ini menjadikan kurbannya tidak cukup (tidak sah).
Tapi jika binatang itu tidak bertanduk atau tanduknya pecah atau dua buah pelirnya terputus, tetap dibolehkan berkurban dengan binatang tersebut. Dan dikatakan sudah cukup dan sah. Wallahu A’lam .Maraji’: Kitab Hasyiyah Al Baijuri juz II, hal. 295-302 dan sumber lain.

F.      Pertanyaan Seputar Qurban
a.       Pertanyaan: Apakah boleh si pemotong qurban untuk mengambil bagian kaki dan kepala qurban itu ?
Jawaban: Yang dimaksud si pemotong qurban dalam hal ini tentu adalah orang yang diwakilkan untuk memotong atau menyembelihnya bukan pemilik qurban itu sendiri. Jika si pemotong diberikan kaki dan kepala atau kulit sebagai upah pemotongan, maka hukumnya tidak boleh. Karena dengan demikian berarti bagian itu dijual. Sedang orang yang menjual bagian qurbannya maka tidak ada udhiyah / qurban baginya, atau dengan kata lain tidak sah qurbannya.
Adapun memberikan si pemotong kepala dan kaki atau kulit tadi sebagai shadaqah atau hadiah yang tidak dikaitkan dengan pemotongan, sedang upahnya dibayar tersendiri dan ditanggung yang berqurban, maka boleh dan tidak ada larangan padanya.
Dalam kitab Busyral Karim (II/128) disebutkan, "Tidak boleh menjual sedikitpun bagian dari qurban dan tidak boleh memberikan si pemotong bagian qurban sebagai upahnya walaupun kulit. Tetapi ongkos atau upah pemotongan itu ditanggung oleh orang yang berqurban". Oleh karena itu sebaiknya bagi panitia Qurban, selain menerima qurban juga memberitahukan bahwa orang yang berqurban harus membayar upah pemotongannya.
b.      Pertanyaan: Bolehkah orang yang sudah menerima daging qurban kemudian menjualnya kepada orang lain?.
Jawaban: bagi orang yang berqurban, tidak boleh menjual sedikitpun bagian dari qurbannya. Adapun orang yang menerima qurban, jika dia adalah faqir miskin maka setelah qurban itu berada di tangannya jadilah itu haknya seperti daging biasa. Oleh karenanya boleh orang yang faqir atau miskin tadi menjualnya, tetapi harus dijual kepada orang islam.Adapun orang kaya, jika mereka dikirimi atau diberikan qurban, maka dia hanya boleh mempergunakan daging tadi sebagai makanan atau jamuan atau disedekahkan kepada orang lain. Tidak boleh dia menjualnya. (Busyral Karim II/128)
c.       Pertanyaan: Yang diharamkan untuk makan daging qurban/aqiqah yang wajib atau nadzar, apakah khusus bagi orang yang qurban/aqiqah saja, ataukah juga keluarganya yang masih wajib dinafkahi?
Jawaban: Yang diharamkan adalah orang yang qurban/aqiqah wajib atau nadzar dan juga orang yang wajib dinafkahinya, termasuk anak dan isterinya. Referensi: Al Baajuri II/300
d.      Pertanyaan : daging qurban wajib setelah diterima oleh yang berhak kemudian diberikan kembali kepada orang yang qurban, apakah orang yang qurban tidak boleh memakan daging tersebut?
Jawaban: Boleh, karena daging itu sudah dimiliki oleh orang yang berhak tadi, dan setelah dimilikinya maka dia berhak menggunakan daging itu untuk apapun. Jadi jika diberikan lagi kepada orang yang berkurban maka boleh-boleh saja dan boleh memakannya, karena sekarang daging itu sudah tidak menjadi daging kurban lagi, tetapi menjadi daging hibbah atau shodaqah. Referensi : Al Baajuri II/302
e.       Pertanyaan : apakah dibolehkan memindahkan hewan qurban dari daerahnya orang yang berqurban ke daerah lain?
Jawaban: Boleh, baik hewan tersebut sudah disembelih atau belum.Referensi: Kifaayatul Akhyar II/242, Itsmidul ‘Ainain hal.78
f.        Pertanyaan: Bolehkan menjual tanduk dan kikil (teracak, jawa) dari hewan qurban wajib untuk ongkos orang yang mengurusinya?
Jawaban: Tidak boleh, sekalipun dari hewan qurban sunnah.Referensi: Al Baajuri II/311, I’anatuth Thalibin II/333
g.       Pertanyaan : Bolehkah aqiqah untuk salah seorang anak sekaligus diniati sebagai qurbannya anak tersebut?
Jawaban: kalau aqiqah dan qurbannya itu sama-sama sunnah dan kambingnya satu, dalam hal ini ada perbedaan pendapat, menurut imam Ibnu Hajar Al Haitami tidak boleh sedangkan imam Ar Romli mengatakan boleh. Begitu pula jika kambingnya dua atau lebih tapi diniati sekaligus, artinya tidak ditentukan mana yang untuk aqiqah dan mana yang untuk qurban, maka juga khilaf antara ulama seperti diatas.Tapi kalau kambingnya dua atau lebih dan masing-masing ditentukan, mana yang untuk aqiqah dan mana yang untuk qurban maka sah/ boleh, tidak ada khilaf antara ulama.Referensi: Al Baajuri II/304, Al Qulyubi IV/255, Itsmidul ‘Ainain hal.77
h.      Pertanyaan: Bolehkah kulit kambing kurban dimiliki (diambil) oleh sebagian orang dari panitia kurban, yang juga mereka telah memperoleh pembagian dagingnya?
Jawaban: Boleh kulit kambing diberikan kepada mereka, dalam hal ini yang dilarang baik dalam kurban wajib atau sunnah, adalah menjual sebagian daging atau kulit kurban atau menjadikan kulit atau kikilnya sebagai upah (ongkos) bagi yang mengurusi penyembelihan.Referensi: Al Baajuri II/302

Thursday, October 11, 2012

Mana Lebih Afdhal, Haji Kesekian Kali atau Bersedekah?


Seperti kita ketahui bersama bahwa haji merupakan salah satu rukun Islam, sebagaimana sholat dan zakat. Setiap orang yang sudah muslim yang mampu wajib melaksanakannya. Perhatikan Ali Imrah ayat 97 “…mengerjakan haji adalah kewajiban manusia terhadap Allah, yaitu bagi orang yang sanggup mengadakan perjalanan ke Baitullah”. Haji sendiri fardhunya sekali dalam seumur hidup. Adapun haji selanjutnya sunnah hukumnya. Lantas lebih utama mana melaksanakan pengulangan dalam ibadah haji dengan amal atau shodaqah yang mempunyai fungsi sosial jauh lebih luas? semisal pembangunan madrasah, pembangunan jembatan atau mushalla.Memang banyak tipe manusia, bermacam rupa pola pikirnya. Ada yang telah mampu dan memenuhi syarat haji tetapi tidak juga melaksanakan kewajibannya. Ada yang –sebenarnya- belum memenuhi syarat dan belum mampu, tetapi memaksakan diri untuk melaksanakannya. Dan adalagi yang telah menunaikan haji tetapi merasa belum puas sehingga mengulang lagi melaksanakan haji untuk yang kedua kali atau yang kesekian kalinya.

Sedangkan orang yang berulang-ulang pergi haji juga bermacam-macam motifnya. Ada yang merasa haji pertamanya tidak sah sebab tidak memenuhi rukunnya, sehingga memerlukan pergi haji lagi guna mengqadhanya. Ada pula haji yang kedua untuk menghajikan kedua orang tuanya. Ada pula yang beralasan kurang puas dengan haji yang pertama. Jika alasannya ‘puas-tidak puas’ tentunya ini berhubungan dengan kemantapan di hati. Entah merasa kurang khusu’ atau memang merasa ketagihan dengan pengalaman bathin ketika haji pertama. Memang perlu dicatat banyak sekali haduts yang menerangkan keutamaan haji misalnya:

أن رسول الله صلى الله عليه وسلم قال: العمرة كفارة لما بينهما والحج المبرور ليس له جزاء الا الجنة (متفق عليه)

Rasulullah saw bersabda: Umrah ke umrah itu menghapus dosa antar keduanya, dan haji yang mabrur tidak ada balasannya kecuali surge.(Muttafaq Alaih) dan masih banyak lagi hadits semacam ini.

Jika demikian, pertanyaa lebih afdhal mana menggunakan dana untuk mengulang haji dan amal yang bermanfaat umum? Jawabannya tergantung dari mana sudut pandangnya. Karena masing-masing memiliki dalil fadhilah, dan keduanya bisa dibenarkan. Namun hendaknya perlu dipertimbangkan satu kaedah fiqih yang berbunyi:

المتعدى أفضل من القاصر

Amal yang mberentek (manfaatnya meluas) lebih afdhal dari amal yang terbatas.

Artinya, amal yang jelas-jelas memiliki manfaat lebih luas lebih afdhal dari pada amal yang hanya memuaskan diri sendiri. Oleh karena itu Imam Syaf’ir pernah berujar “menuntut ilmu lebih utama dari pada sholat sunnah”. Dengan kata lain menuntut ilmu yang manfaatnya dapat dirasakan oleh orang banyak, lebih utama dari pada sholat sunnah yang pahalanya hanya dirasakan untuk individu.

Meski demikian, namanya juga manusia sering kali terkalahkan oleh ego pribadinya. apalagi jika ia memiliki legitimasi dalil keagamaan ataupun dalil social yang lain. Seolah apa yang ia lakukan adalah sebuah kebenaran. Oleh karena itu, jawaban dari pertanyaan ini adanya di dalam hati. Karena banyak sekali orang yang mementingkan diri sendiri. Yang penting dirinya masuk surga tak peduli saudara dan tetangga masuk neraka. Seperti halnya mereka yang tega kenyang sendiri sementara tetangga dan keluarga lain kelaparan.

Sumber:
http://www.nu.or.id/a,public-m,dinamic-s,detail-ids,11-id,34574-lang,id-c,syariah-t,Mana+Lebih+Afdhal++Haji+Kesekian+Kali+atau+Bersedekah+-.phpx
Fiqih Keseharian Gus Mus

Menghianati Pancasila dan NKRI adalah Tindakan Bughat

Hari kesaktian pancasila adalah sebutan untuk mengingatkan bangsa Indonesia akan tragedy sejarah penghianatan bangsa yang dilakukan oleh suatu kelompok yang ingin mengubah Pancasila sebagai dasar Negera Kesatuan Republik Indonesia dengan komunisme sebagai dasar Negara Indonesia. Momentum ini seharusnya menjadi pelajaran bagi segenap bangsa bahwa segala upaya penggantian dasar NKRI dan usaha menyingkirkan Pancasila merupakan sebuah tindakan penghianatan terhadap bangsa. Dan dengan ‘kesaktian’-nya, Pancasila akan menindak tegas hal tersebut. Karena Pancasila dengan segenap butir-butirnya merupakan hasil kesepakatan bersama para pendiri Negara Indonesia yang telah disesuaikan dengan karakter bangsa dan telah terbukti hingga kini .

Dengan demikian uapaya penggantian Pancasila dengan ideologi lainnya apapun (namanya) merupakan bentuk perlawanan kepada pemerintah Indonesia yang sah. Sebagaimana termaktub dalam الإمــامــة الــعــظــمـى عند اهل السنة والجماعة
 
ذَهَـــبَ غَــالِــبُ أهْـــلِ الــسُّــنـَّـةِ وَالــجَــمَــاعَــةِ إلَـَى أنـَّــهُ لا يَــجُــوزُ الــخُـــرُوجُ عَــلـَـى أئِــمَّــةِ الــظُّـلْــمِ وَالــجَــوْرِ بِــالــسَّــيْــفِ مَــا لـَـمْ يَـصِــلْ بِــهِــمْ ظُــلـْـمُــهُــمْ وَجَـــوْرُهـُـمْ إلـَى الـكـُـفْــرِ البـَـوَاحِ أوْ تـَـرْكِ الــصَّــلاةِ وَالــدَّعـْـــوَةِ إلـَـيــهَــا أوْ قِــيـَـادَةِ الأُمـَّـةِ بِــغـَـيْــرِ كِــتـَـابِ اللهِ تـَــعــالـَى كـَـمـَـا نـَـصَّــتْ عَــلَــيــهـَـا الأحَــادِيــثُ الــسَّــابِـــقـَـةُ فَِــي أسْــبَــابِ الــعَـــزْلِِ

Mayoritas golongan ahlussunnah wal jama’ah berpendapat bahwa tidak diperbolehkan membangkang terhadap pemimpin-pemimpin yang dhalim dan menyeleweng dengan jalan memerangi selama kedhaliman dan penyelewengannya tidak sampai kepada kekufuran yang jelas atau meninggalkan shalat dan da’wah kepadanya atau memimpin umat tanpa berdasarkan kitab Allah sebagaimana dijelaskan oleh hadits-hadits yang sudah lalu dalam menerangkan sebab-sebab pemecatan imam.

Dari keterangan di atas dapat disimpulkan bahwa, jika membangkang dari pemerintahan yang dhalim saja tidak boleh apalagi membangkan dari pemerintah Indonesia yang sah dengan mengganti pancasial yang telah terbukti mengamankan bangsa ini dari perpecahan dan pertikaian.

Walaupun usaha penggantian itu bertujuan menjadikan Indonesia lebih baik. Karena sesungguhnya tujuan menjadi lebih baik itu masih bersifat wahm (asumsi) , sedangkan keadaan yang baik ini yang sudah berjalan hingga kini (dari 1945-2012) bersifat pasti. Maka berlakulah kaedah dar’ul mafasid muqaddamun ala jalbil mashalih. Apalagi jika penggantian itu dipastikan membawa keburukan. Demikian diterangkan oleh Syaikh Abdul Qadir Audah dalam al-Tasyri’ al-Jina’

ومع ان العدالة شرط من شروط الامامة الا ان الرأي الراجح في المذاهب الاربعة ومذهب الشيعة الزيدية هو تحريم الخروج على الامام الفاسق الفاجر ولو كان الخروج للامر بالمعروف والنهي عن المنكر لان الخروج على الامام يؤدي عادة الى ماهو انكر مما فيه وبهذا يمتنع النهي عن المنكر لان مشروطه لايؤدي الانكار الى ماهو انكر من ذلك الى الفتن وسفك الدماء وبث الفساد واضطراب البلاد واضلال العباد وتوهين الامن وهدم النظام

Memang sikap adil merupakan salah satu syarat-syarat menjadi imam / pemimpin, hanya saja pendapat yang  egar (unggul) dalam kalangan madzhab empat dan madzhab Syi’ah Zaidiyyah mengharamkan bertindak  egar terhadap imam yang fasik lagi curang walaupun  egar itu dengan dalih amar ma’ruf nahi munkar. Karena  egar kepada imam biasanya akan mendatangkan suatu keadaan yang lebih munkar dari pada keadaan sekarang. Dan sebab alasan ini maka tidak diperbolehkan mencegah kemungkaran, karena persyaratan mencegah kemungkaran harus tidak mendatangkan fitnah, pembunuhan, meluasnya kerusakan, kekacauan  egara, tersesatnya rakyat, lemah keamanan dan rusaknya stabilitas. 

Bahkan dalam literatur fiqih usaha pembinasaan Pancasila sebagai dasar Negara sah Republik Indoneia dapat dikategorikan sebagai tindakan pembangkangan bughot. Yaitu menyalahi imam (pemerintah) yang adil dengan cara memberontak dan tidak menta’atinya serta menolak segala perintahnya. Demikian diterangkan dalam Kifayatul Akhyar

والباغي فى اصطلاح العلماء هو المخالف للإمام العدل الخارج عن طاعته بامتناعه من اداء ما وجب عليه ...

Demikian juga sebaliknya jika perubahan faham Pancasila bagi bangsa Indonesia adalah sebuah kemadharatan yang nyata. Maka usaha dan perjuangan menyelamatkan Pancasila dan melanggengkan sesuatu yang bersifat baik hukumnya fardhu kifayah. Seperti yang dijelaskan dalam kitab كشاف القناع

وَمِنْ فُرُوْضِ الْكَفَايَاتِ الأَمْرُ بِالْمَعْرُوْفِ وَالنَّهْيُ عَنِ الْمُنْكَرِ

Diantara fardlu kifayah yaitu memerintahkan kebajikan dan melarang kemungkaran.

Sumber:
http://www.nu.or.id/a,public-m,dinamic-s,detail-ids,11-id,40049-lang,id-c,syariah-t,Menghianati+Pancasila+dan+NKRI+adalah+Tindakan+Bughat-.phpx
Redaktur: Ulil Hadrawy

Hukum TKI Ilegal dan Gajinya


Sebuah hadits Rasulullah menerangkan betapa sebuah usaha yang sangat payah dan hina jauh lebih utama dari pada meminta-minta.

 عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ وَالَّذِي نَفْسِي بِيَدِهِ لَأَنْ يَأْخُذَ أَحَدُكُمْ حَبْلَهُ فَيَحْتَطِبَ عَلَى ظَهْرِهِ خَيْرٌ لَهُ مِنْ أَنْ يَأْتِيَ رَجُلًا فَيَسْأَلَهُ أَعْطَاهُ أَوْ مَنَعَهُ. (متفق عليه واللفظ للبخاري)

Bila diangan-angan hadits di atas sangat memihak kaum buruh yang dengan gigih berusaha mencari nafkah demi menutupi kebutuhan keluarga. Walaupun terkadang pekerjaan itu ternilai hina dan mengandung bahaya. Demikian telah wajar terjadi di Negara kita.

Sulitnya ekonomi dan rendahnya upah tenaga kerja di dalam negeri telah mendorong banyak orang untuk bekerja di luar negeri sebagai TKI  (Tenaga Kerja Indonesia) dengan berbagai cara.

Di antara mereka menempuh cara-cara illegal, misalnya dengan dokumen-dokumen palsu atau dengan menggunakan visa kunjungan. Fakta ini telah menyisakan permasalahan yang menyangkut hukum Islam mengenai statusnya sebagai TKI illegal atau tidak resmi dan gaji yang diperolehnya.

Bagaimanakah hukum TKI illegal dan gajinya tersebut?
Hukum bekerja sebagai TKI (Tenaga Kerja Indonesia) dengan menempuh cara-cara illegal atau tidak resmi adalah tetap sah dan gajinya tetap halal.

Tetapi penggunaan cara-cara illegal atau tidak resmi yang terlarang menurut agama tetap haram. Hal ini diqiyaskan dengan larangan jual beli ketika adzan Jum’at dikumandangkan bagi orang yang berkewajiban shalat jum’at.

Dengan kata lain jual beli yang dilakukan adalah tetap sah, tetapi hukumnya menjadi haram karena melanggar larangan.

Begitu yang termaktub dalam Al-Majmu’ Syarhul Muhaddzab

 قال الشافعي في «الأم» والأصحاب إذا تبايع رجلان ....... من أهل فرضها أو أحدهما من أهل فرضها ....... وإن كان بعد جلوسه على المنبر وشروع المؤذن في الأذان حرم البيع على المتبايعين جميعـاً سواء كانا من أهل الفرض أو أحدهما، ولا يبطل البيع

Demikian pula dalam Khasyiyah Bujairami

قوله أولى من قوله ويحرم الخ لأنه لا يلزم من الحرمة عدم الصحة كالبيع وقت نداء الجمعة فإنه صحيح مع الحرمة.


Sumber:
http://www.nu.or.id/a,public-m,dinamic-s,detail-ids,11-id,40201-lang,id-c,syariah-t,Hukum+TKI+Ilegal+dan+Gajinya-.phpx
Keputusan Rakernas  Lembaga Bahtsul Masail di Cibubur 2007 Redaktur: Ulil Hadrawy

5 Rahasia Shalat Maktubah



Shalat adalah ibadah terpenting bagi seorang muslim. Shalat menjadi tolak ukur kesalehan seseorang. Bahkan shalat merupakan amal kunci bagi segala amal lainnya. Meski demikian jarang sekali orang mengerti bahwa masing-masing waktu shalat yang lima itu mengandung hikmah dan memiliki sejarah masing-masing.Shalat Subuh adalah shalat pertama kali yang dilakukan oleh Nabi Adam As. Dua rakaat Subuh dijalankan oleh Nabi Adam di bumi setelah diturunkan dari surga. Waktu itu pertama kalinya Nabi Adam melihat kegelapan. Begitu gelapnya sehingga ia merasakan ketakutan yang amat sangat. Namun kemudian kegelapan itu secara lamban mulai sirna mengusir rasa takut, dan perlahan terbitlah terang. Itulah pergantian waktu malam menuju pagi. Oleh karenanya, dua rakaat Subuh dilaksanakan sebagai rasa syukur atas sirnanya kegelapan pengharapan atas datangnya kecerahan.

Nabi Ibrahim As adalah orang pertama yang melaksanakan shalat Dhuhur. Empat rakaat dhuhur dilaksanakan, ketika Allah menggantikan Ismail yang rencananya disembelih sebagai kurban dengan seekor domba. Ini terjadi tatkala siang, tatkala matahari bergeser sedikit dari titik tengahnya. Empat rekaat itu menunjukkan beberapa perasaan Nabi Ibrahim. Satu raka’at adalah penanda kesyukuran atas digantikannya Ismail. Satu reka’at karena kegembiraan, satu raka’at untuk mencari keridhaan Allah dan satu raka’at lagi sebagai rasa syukur atas domba pemberian Allah swt.

Kemudian riwayat shalat Ashar berhubungan erat dengan Nabi Yunus As. ketika diselamatkan oleh Allah dari perut ikan Hut. Hut adalah nama ikan yang menelan nabi Yunus mengarungi lautan. Dikisahkan bahwa bentuk ikan hut hampir menyerupai burung, namun tanpa sayap. Ketika di dalam perut hut itu Nabi Yunus As merasakan empat macam kegelapan, gelap karena kekhawatiran hasya, gelap di dalam air, gelap malam dan gelap di dalam perut ikan. Demikianlah Nabi Yunus As keluar ketika matahari mulai condong kebarat dan shalatlah beliau empat rekaat sebagai penanda tebebas dari empat macam kegelapan itu
Sedangkan tiga rakaat shalat Maghrib mempunyai sejarahnya sendiri yang tiak bisa dilepaskan dari nabi Isa As. ketika berhasil keluar dari kaumnya di penghujung senja. Tiga rakaat sangat bermakna bagi Nabi Isa As. Satu rakaat menandai perjuangan beliau menegakkan tauhid dan menafikan semua bentuk sesembahan keculai Allah. Satu raka’at untuk menafikan hinaan dan tuduhan kaumnya atas ibundanya yang melahirkannya tanpa ayah. Dan ini sekaligus menunjukkan betapa ketuhanan itu hanya milik Allah semata yang Maha Kuasa, inilah makna satu rekaat yang terakhir.
Dihilangkannya empat kesedihan yang menimpa Nabi Musa As. oleh Allah swt ketika meninggalkan kota Madyan menjadi sejarah ditetapkannya shalat Isya empat rekaat. Tercatat empat kesedihan itu berhubungan dengan istrinya, saudaranya yang bernama Harun, anak-anaknya, dan kesedihan karena kekuasaan Fir’aun. Dan ketika semua kesedihan itu diangkat oleh Allah swt di waktu malam, Nabi Musapun melaksanakan shalat empat rakaat sebagai rasa syukur atas segalanya.
Demikianlah semua hikmah yang melatar belakangi lima shalat fardhu yang diwajibkan kepada semua orang muslim hingga kini sesuai dengan tuntunan syariah.
Sumber  :
Syarah Sulamun Najah Redaktur : Ulil Hadrawy
http://www.nu.or.id/a,public-m,dinamic-s,detail-ids,10-id,39953-lang,id-c,ubudiyyah-t,5+Rahasia+Shalat+Maktubah-.phpx


Nama Baru Setelah Pulang Haji


Diantara tradisi yang berlaku di masyarakat kita dalam ibadah haji adalah nama baru yang ‘didapat’ dari tanah suci. Nama baru ini tentunya sangat islami dan berbau Arab. Misalkan Abdul Rasyid atau Rasyidah sebagai nama pengganti Sugiarmo atau Supangati. Sebenarnya perubahan nama ini tidak harus dilakukan setelah menjalankan ibadah haji, bisa kapan saja waktunya. Akan tetapi sebagaian masyarakat lebih senang menjadikan ibadah haji sebagai momentum perubahan nama. Dengan harapan meningkatkan semangat peribadatan.
Dalam pandangan fqih perubahan nama itu adakalanya wajib, sunnah dan atau mubah. Perubahan nama bisa menjadi wajib apabila namanya yang selama ini digunakan terlarang (haram), seperti Abdusysyaithan (hamba setan) atau Abdul Ka’bah. Dan hukumnya sunnah, apabila namanya yang sudah ada itu makruh (dibenci), seperti nama Himar, Monyong, dan Pencor.  Dan adakalanya hukumnya mubah apabila namanya itu tidak haram, juga tidak makruh semisal Sani, Midi dan lain sebagainya. Sebagaimana diterangkan dalam Tanwir al-Qulub
وَيَجِبُ تَغْيِيْرُ اْلأَسْمَاءِ الْمُحَرَّمَةِ وَيُسْتَحَبُّ تَغْيِيْرُ اْلأَسْمَاءِ الْمَكْرُوْهَةِ.
Mengubah nama-nama yang haram itu hukumnya wajib, dan nama-nama yang makruh hukumnya sunah.
Demikian juga disebutkan dalam Hasyiyah al-Bajuri
وَيُسَنُّ أَنْ يُحَسِّنَ اسْمَهُ لِخَبَرِ أَنَّكُمْ تُدْعَوْنَ يَوْمَ الْقِيَامَةِ بِأَسْمَائِكُمْ وَأَسْمَاءِ أَبَائِكُمْ فَحَسِّنُوْا أَسْمَائَكُمْ إِلَى أَنْ قَالَ: وَتُكْرَهُ اْلأَسْمَاءُ الْقَبِيْحَةُ كَحِمَارٍ وَكُلِّ مَا يُتَطَيَّرُ نَفْيُهُ أَوْ إِثْبَاتُهُ وَتَحْرُمُ التَّسْمِيَّةُ بِعَبْدِ الْكَعْبَةِ أَوْ عَبْدِ الْحَسَنِ أَوْ عَبْدِ عَلِيٍّ وَيَجِبُ تَغْيِيْرُ اْلاسْمِ الْحَرَامِ عَلَى اْلأَقْرَبِ  لِأَنَّهُ مِنْ إِزَالَةِ الْمُنْكَرِ وَإِنْ تَرَدَّدَ الرَّحْمَانِيُّ فِيْ وُجُوْبِهِ وَنَدْبِهِ .
Dan disunahkan memperbagus nama sesuai dengan Hadis: “Kamu sekalian akan dipanggil pada hari kiamat dengan nama-nama kalian dan nama-nama bapak kalian, maka perbaguskanlah nama-nama kalian”. Dimakruhkan nama-nama yang berarti jelek, seperti himar (keledai) dan setiap nama yang diprasangka buruk (tathayyur) penafian atau penetapannya .. Haram menamai dengan Abdul Ka’bah, Abdul Hasan atau Abdu Ali (Hamba Ka’bah, Hamba Hasan atau Hamba Ali). Menurut pendapat yang lebib benar wajib mengubah nama yang haram, karena berarti menghilangkan kemungkaran, walaupun al-Rahmani ragu-ragu apakah mengubah nama demikian, wajib atau sunah.
 Sumber:
Ahkamul Fuqaha Keputusan Muktamar ke-8 di Jakarta 12 Muharram 1352 H,Redaktur: Ulil Hadrawy
http://www.nu.or.id/a,public-m,dinamic-s,detail-ids,10-id,40066-lang,id-c,ubudiyyah-t,Nama+Baru+Setelah+Haji-.phpx

Monday, September 10, 2012

DILEMA PENYELESAIAN PERKARA PERMOHONAN PENETAPAN ASAL USUL ANAK DI PENGADILAN AGAMA

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Realita yang berkembang saat ini, banyak sekali akibat yang ditimbulkan oleh peristiwa hukum terhadap anak-anak yang dilahirkan dari perkawinan dibawah tangan bagi isteri yang dipoligami dan upaya hukum apa yang dapat dilakukan agar anak-anak hasil pernikahan poligami dibawah tangan ini mempunyai kekuatan hukum dan menimbulkan hak-hak keperdataan yang dapat mengukuhkan status anak-anak tersebut.

Berkenaan dengan permasalahan tersebut diatas, penulis mencoba menawarkan solusi dengan mengajukan permohonan penetapan asal-usul anak. Akan tetapi dalam praktek di lapangan, penyelesaian dengan cara seperti ini sangatlah dilematis, karena akan berbenturan dengan Permohonan Pengesahan Nikah.

B. Rumusan Masalah

  1. Dalam pemeriksaan permohonan penetapan asal-usul seorang anak, apakah harus dibuktikan sampai pada soal sah tidaknya pernikahan orang tua dari anak yang dimohonkan asal-usulnya, atau cukup didasarkan pada pengakuan orang tua bahwa anak dimaksud adalah anak yang lahir dari pernikahan kedua orang tua tersebut;
  2. Jika pemeriksaan permohonan penetapan asal-usul seorang anak digali sampai pada persoalan sah tidaknya pernikahan kedua orang tua anak dimaksud, apakah hal ini tidak terlalu berlebihan, karena untuk mengetahui sah tidaknya pernikahan seseorang itu adalah kompetensi permohonan Pengesahan Nikah;
  3. Jika pemeriksaan permohonan penetapan asal-usul seorang anak cukup didasarkan pada pengakuan kedua orang tuanya (tentu saja didukung alat bukti) tanpa mengungkap sah tidaknya pernikahan, apakah tidak memberikan peluang untuk terjadinya penyelundupan hukum bagi anak yang lahir dari perkawinan poligami dibawah tangan yang Itsbat Nikahnya ditolak oleh Pengadilan Agama.

BAB II

PEMBAHASAN

Menurut hukum perdata yang berlaku di Indonesia, penetapan asal usul anak dapat dilakukan secara sukarela dan pengakuan yang dipaksakan. Pengakuan anak secara sukarela adalah pernyataan sebagaimana yang ditentukan dalam hukum perdata bahwa seorang ayah dan ibunya atau ibunya mengakui seorang anak yang lahir dari seorang ibunya itu betul anak dari hasil hubungan biologis mereka dan hubungan itu tidak dalam ikatan perkawinan yang sah, serta bukan karena hubungan zina dan sumbang. Sedangkan pengakuan yang dipaksakan adalah pengakuan yang terjadi karena adanya putusan hakim dalam suatu gugatan asal usul seorang anak. Hal ini berkaitan dengan Pasal 287 Ayat (2) Kitab Undang-undang Hukum Perdata di mana disebutkan apabila terjadi salah satu kejahatan sebagaimana tersebut dalam Pasal 285-288, 294 atau 322 Kitab Undang-undang Hukum Pidana, maka atas kejahatan itu dapat diajukan ke Pengadilan. Berdasarkan bukti-bukti yang kuat, hakim dapat menetapkan bahwa laki-laki yang berbuat jahat itu sebagai bapak yang sah dari seorang anak yang lahir dari perbuatan jahatnya.

Sebernarnya dalam Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan telah mencantumkan penetapan asal usul anak menjadi kewenangan lembaga Peradilan Agama. Oleh karena adanya Peraturan Mahkamah Agung RI Nomor 1 Tahun 1977 yang masih membatasi kewenangan Peradilan Agama, maka penetapan asal usul anak itu masih dilaksanakan oleh Pengadilan Negeri. Baru setelah lahirnya Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama pada tanggal 29 Desember 1989 kewenangan tentang penetapan asal usul anak bagi yang beragama Islam menjadi kewenangan Peradilan Agama. Penetapan asal usul anak bagi yang beragama Islam berlaku hukum perdata Islam dan diselesaikan oleh lembaga Peradilan Agama. Penetapan atau putusan Pengadilan Agama menjadi dasar bagi Kantor Catatan Sipil untuk mengeluarkan akta kelahiran anak bagi yang memerlukannya.

Perkara penetapan asal usul anak termasuk perkara volunteer. Oleh karena itu,pemeriksaannya sama dengan pemeriksaan perkara volunteer yang lain dengan produk penetapan, bukan putusan, perkara penetapan asal usul anak dapat menjadi perkara contentious jika ada pihak-pihak yang dijadikan tergugat dalam perkara tersebut. Jika perkara penetapan asal usul anak diajukan dengan cara contentious, maka pemeriksaannya dilaksanakan dengan cara pembuktian yang lengkap (istbat nasab bil bayyinah) tidak lagi dengan cara pemeriksaan yang lazim berlaku dalam perkara volunteer atau prosedur penetapan asal usul anak dengan pengakuan (istbat nasab bil ikrar). Dalam pemeriksaan perkara penetapan perkara volunteer yang lain. Dalam pemeriksaan perkara penetapan asal usul anak yang harus dibuktikan adalah syarat-syarat pengakuan sebagaimana yang telah diuraikan di atas, bukan benar tidaknya pengakuan itu. Apabila syarat-syarat telah ditetapkan oleh hukum Islam sudah terpenuhi, maka sahlah pengakuan tersebut. Jika salah satu syarat tidak terpenuhi, maka pengakuan tersebut tidak dapat dibenarkan dan permohonan penetapan asal usul anak yang diajukan itu ditolak.

Salah satu kompetensi absolut Peradilan Agama sebagaimana yang tertuang didalam penjelasan pasal 49 ayat (2) Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 yang telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 3 tahun 2006, kemudian disempurnakan dengan Undang-Undang Nomor 50 Tahun 2009 adalah penetapan asal-usul seorang anak. Tentang asal usul anak ini telah diatur dalam Pasal 55 Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 jo Pasal 103 Kompilasi Hukum Islam.

Di dalam Pasal 55 ayat (2) Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 ayat (1) dijelaskan bahwa asal-usul seorang anak hanya dapat dibuktikan dengan akta kelahiran. Kemudian pada ayat (2) nya disebutkan bahwa, Bila akta kelahiran tersebut dalam ayat (1) tidak ada, maka Pengadilan dapat mengeluarkan penetapan tentang asal-usul seorang anak setelah diadakan pemeriksaan yang teliti berdasarkan bukti-bukti yang memenuhi syarat.

Kalau dicermati secara mendalam bunyi pasal 55 ayat (2) tersebut diatas, terkandung makna bahwa dalam memeriksa perkara permohonan asal usul anak harus benar-benar memperhatikan kondisi riil di lapangan apakah anak yang dimohonkan asal-usulnya itu benarbenar anak yang lahir dari hasil perkawinan antara laki-laki dan perempuan yang mengaku sebagai ayah ibu dari anak tersebut atau sekedar anak yang diakui oleh laki-laki dan perempuan yang mengaku sebagai ayah ibunya.

Dalam konteks pengertian perkawinan diatas, ada dua persepsi yang dapat dikembangkan yaitu apakah perkawinan dimaksud adalah perkawinan yang telah memenuhi syarat formil dan materiil ataukah pernikahan yang hanya memenuhi unsur sebagaimana dimaksud pada pasal 14 Kompilasi Hukum Islam yaitu adanya:

1. Kedua calon mempelai,

2. Wali Nikah,

3. Dua orang saksi dan

4. Ijab Kabul.

Bagi praktisi hukum yang berprinsip pernikahan harus memenuhi syarat formil dan materiil, maka tertutp peluang bagi pihak-pihak yang ingin memohonkan penetapan asal-usul anak yang diperoleh dari hasil pernikahan Poligami dibawah tangan, karena dalam Pasal 9 Undangundang Nomor 1 Tahun 1974 disebutkan bahwa seorang yang masih terikat tali perkawinan dengan orang lain tidak dapat kawin lagi, kecuali telah diizinkan oleh Pengadilan. Akan tetapi bagi yang berpedoman bahwa sahnya pernikahan adalah apabila telah terpenuhi unsure a, b, c, d tersebut diatas, maka peluang untuk memohonkan penetapan asal-usul anak sangat besar karena anak yang dilahirkan dari perkawinan yang telah memenuhi unsur sebagaimana yang dimaksud pasal 14 Kompilasi Hukum Islam adalah merupakan anak sah. Hal ini sesuai dengan Pasal 42 Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 Jo. Pasal 99 Kompilasi Hukum Islam.

Kedua pola pikir diatas cenderung mengarah pada pola pemeriksaan perkara Pengesahan Nikah dan jika hal ini dipedomani, maka akan timbul kerancuan dimana wilayah Pengesahan Nikah dan dimana pula yang menjadi wilayah Asal-usul anak.

Adapun bagi praktisi hukum yang berprinsip bahwa pemeriksaan penetapan asal-usul anak cukup didasarkan pada pengakuan orang tuanya saja (tentu saja ya didukung bukti), maka akan terbuka peluang untuk terjadinya penyelundupan hukum bagi orang-orang yang melegalkan. Poligami dibawah tangan karena sepanjang anak hasil poligami dibawah tangan tersebut diakui oleh orang tuanya yang dikuatkan dengan kesaksian orang-orang yang tahu akan keberadaan pasangan suami isteri yang melahirkan anak tersebut, maka anak tersebut akan memperoleh hak-hak keperdataan seperti layaknya anak yang lahir dari pasangan suami isteri yang pernikahannya dicatat didalam Register Akta Nikah.

Berpijak dari dua gambaran tersebut diatas, maka dalam menyelesaikan perkara Penetapan Asal-usul anak ini timbul semacam dilema, apakah dalam pemeriksaannya harus mengungkap sah tidaknya pernikahan orang tua anak tersebut atau cukup diperiksa sebatas pengakuan orang tuanya. Sebab kalau diungkap sampai soal sah tidaknya pernikahan orang tua dari anak dimaksud, maka hal ini masuk wilayah Pengesahan Nikah. Sebaliknya kalau hanya dibatasi pada pengakuan orang tuanya saja, maka akan menimbulkan terjadinya penyelundupan hukum yang berakibat timbulnya hukum baru dalam bidang keperdataan.

BAB III

PENUTUP

A. Kesimpulan

1. Perkara Permohonan Penetapan Asal-usul anak merupakan salah satu kompetensi absolute Pengadilan Agama yang penyelesaiannya masih bersifat Dilematis

2. Dikatakan dilematis karena disatu sisi Asal-usul anak itu sama dengan perkara Pengesahan Nikah dan disisi lain perkara tersebut mempunyai wilayah bidang garap sendiri yang konsekuensinya harus diselesaikan dengan acara tersendiri, bukan dengan acara yang berlaku pada pengesahan Nikah.

3. Kalau diselesaikan dengan acara yang berlaku pada pemeriksaan Asal-usul anak, maka akan memudahkan terjadinya penyelundupan hukum.

DAFTAR PUSTAKA

Manan, Abdul. Aneka Masalah Hukum Perdata Islam di Indonesia, Jakarta : Kencana, 2008.

Manan, Abdul. Penerapan Hukum Acara Perdata di Lingkungan Peradilan Agama, Jakarta : Kencana, 2008.

M. Fauzan. Pokok-Pokok Hukum Acara Perdata Peradilan Agama dan Mahkamah Syar’iyah di Indonesia, Jakarta : Kencana, 2007.

M. Zein, Satria Efendi. Problematika Hukum Keluarga Islam Kontemporer, Jakarta : Kencana, 2004.