Pendahuluan
Sebuah cara untuk mengecualikan sesuatu masalah dari nash yang telah ada karena dikehendaki maslahat umat, ialah menggunakan istihsan. Walaupun cara itu baru terkenal di masa para mujtahidin, sedang ta’rif yang konkrit lahir sesudah berlalu imam empat. Maka dalam makalah ini kita membicarakan istihsan itu agar lebih jelas gambarannya, walaupun hal ini bukan masalah yang baru.
Istihsan pada lughat bermakna :
عـدّى الشيئ حسـنا
“Menganggap baik (memandang baik) sesuatu”
Kebalikannya dinamakan istiqhah.
Dapat juga dinamakan istihsan :
طلب الأحسـن للإتبــــاع
“Mencari yang lebih baik untuk diikuti”
Seperi makna istihsan dalam ayat 17 QS. al-Zumar.
Menurut istilah para ahli hukum, istihsan diartikan dengan dua makna, yaitu :
a. Mempergunakan ijtihad dan segala daya pikir dalam menentukan sesuatu yang urusannya oleh syara’ diserahkan kepada pendapat-pendapat kita sendiri.
Seperti mut’ah yang tersebut dala firman Allah :
مـتــاعا بالـمعــروف حــقـا على المحســنـين
“Pemberian mut’ah menurut makruf adalah hak atas segala orang yang berbuat ihsan”. (QS. Al-Baqarah : 236)
Mut’ah dalam ayat ini diukur menurut keadaan si suami, kaya atau miskin, menurut makruf.
b. Dalil yang menyaingi qias atau meninggalkan qias dan menetapkan apa yang lebih bermanfaat bagi manusia
Istihsan dengan makna yang pertama tak ada seorangpun yang meno-laknya.
Asy-Syafi’i yang menolak sumber istihsan berkata :
أســتحســن فى المتعة ثــلا ثـــين درهـمــــا
“Saya memandang sebaiknya mut’ah itu tiga puluh dirham”.
Mengenai istihsan dalam arti pengertian yang kedua, yang diperselisihkan tentang boleh tidaknya kita mempergunakannya, sebagaimana para ulama berbeda-beda pendapat pula dalam menentukan definisinya.
Mereka yang menolaknya mengatakan bahwa istihsan itu ialah menetapkan suatu hukum berdasarkan hawa nafsu (syari’u bil-hawa).
Maka pihak yang mempergunakan sumber istihsan tidak langsung menge-mukakan dalil-dalil yang membuktikan bahwasannya istihsan itu adalah suatu hujjah, tetapi mereka berusaha menerangkan hakikat istihsan, yang menyebabkan golongan yang menolaknya mengakui bahwa tak ada istihsan yang diperselisih-kan itu terkecuali pada beberapa macam masalah.
B. Sejarah Perkembangan Sumber Istihsan
Sebelum Abu Hanifah mempergunakan istihsan, lebih dahulu istilah tersebut dipergunakan oleh ulama-ulama sebelumnya. Iyas ibn Mu’awiyah, seorang hakim dalam pemerintahan Amawiyah pernah berkata :
قيسوا القضاء ما صلح الناس فإذا فسدوا فاستحسنوا ما وجدت الـقضاء إلا يستحسن الناس
“Tidaklah saya menemukan qadhi, melainkan apa yang dipandang baik manusia”
Abu Hanifah memang terkenal sebagai seorang ahli hukum yang amat pandai mempergunakan sumber istihsan dan banyak masalah-masalahnya yang didasarkan kepada sumber itu, hingga hampir-hampirlah orang menamakannya imam istihsan sebagaimana orang-orang telah menamakannya imam ahlul ra’yi.
Muhammad Ibnul Hasan seorang murid Abu Hanifah berkata :
كان أبو حنيفة يناظر أصحابه فى المقاييس فينتصفون منه ويعـارضونه حتى إذا قـال : إستحسن لــم يلحق أحـد منهـم بكــثرة مـا يـورد فى الإستحسان فى مسائـل
“Adalah Abu Hanifah berdiskusi dengan sahabat-sahabatnya tentang qias. Mereka dapat membantahnya. Tetapi apabila Abu Hanifah mengatakan: “Saya beristihsan”, tidak ada lagi orang yang menandinginya, karena banyak dalil-dalil yang dikemukakan tentang istihsan dalam berbagai masalah”.
Kemudian murid-muridnya yang mencapai derajat ijtihad mengikuti jejaknya dan banyaklah masalah-masalah timbul dari mereka yang berdasarkan istihsan hingga memberi pengertian bahwa istihsan itu merupakan suatu dalil hukum dan menjadilah masalah-masalah yang berdasarkan istihsan merupakan suatu macam pengetahuan yang harus diketahui oleh para mujtahid.
Abu Hanifah sendiri tidak menegaskan definisi istihsan itu, hanya dipahamkan dari pendapatnya bahwa istihsan sebagai dalil-dalil hukum yang digunakan untuk menentang qias dan menguatkannya bila bertentangan dengan qias. Tetapi apakah yang dimaksud dengan istihsan ? Tidak kurang, terkecuali pada beberapa masalah yang merupakan hadis atau atsar.
Dia sering berkata :
لــولا الأ ثـر لــقـلت بـالقياس ، ولــولا الروايــة لــقـلت بـالقياس
“Andaikata tak ada atsar tentulah saya berpegang pada qias. Andaikata tak ada riwayat, tentulah saya berpegang kepada qias”.
Apa yang dinukilkan oleh Abu Hanifah, dinukilkan juga dari Imam Malik dan murid-muridnya. Imam Malik pernah berkata :
الإستحسان تسعة أعشار العلـــم
“Istihsan ialah sembilan persepuluh ilmu”
Asbagh, seorang murid Imam Malik berkata :
الإستحسان فى الـعلــم قـد يكـون أغلب من الـقـياس
“Istihsan dalam bidang ilmu terkadang-kadang lebih menang dari qias”.
Dalam kitab Ibthalul Istihsan, Asy-Syafi’i menerangkan dalil-dalil yang menegaskan bahwa para mufti tidak boleh berfatwa dengan istihsan, karena kalau dia berfatwa dengan istihsan berarti dia menyimpang dari Al-Qur'an, As-Sunnah, Al-Ijma; dan Qias, dan berarti dia mengikuti pendapatnya sendiri.
Dalam masalah ini Daud ibn Ali menyetujui pendapat Asy-Syafi’i, sebagaimana ulama-ulama Hanbaliyah menyetujui faham Abu Hanifah dan Malik.
Dalam kitab Risalah Al-Ushul, Daud berkata :
إن الحكم بالقياس لايجب والقول بالإستحسان لايجــوز
“Sesungguhnya menetapkan sesuatu dengan qias tidak wajib, dan memper-gunakan istihsan, tidak boleh”.
Shafiyuddin al-Baghdadi dalam kitabnya Qawa’idul Ushul dan Ibnu Qudamah al-Maqdisi dalam kitabnya Raudhatun Nazhir, menandaskan bahwa Ahmad ibn Hanbal menyetujui paham Hanifah dalam masalah ini.
Demikianlah perkembangan dalam fase pertama tentang kedudukan istihsan. Satu pihak mempergunakan istihsan untuk sesuatu dalil yang mereka kehendaki sedang mereka belum dapat menerangkan hakekatnya dan pihak yang lain menolaknya dengan alasan bahwasannya istihsan semata-mata menurut pikiran saja.
C. Pentingnya Sumber Istihsan
Istihsan ini walaupun tidak merupakan suatu dalil yang berdiri sendiri, namun dia menyingkapkan jalan yang ditempuh sebagian mujtahidin dalam menerapkan dalil-dalil syara’ dan kaidah-kaidahnya di ketika dalil-dalil itu bertentangan dengan kenyataan yang berkembang di dalam masyarakat. Hal ini untuk menghilangkan kesulitan dan kemudaratan serta menghasilkan kemanfaatan dengan jalan menerapkan dasar-dasar syariat dan sumber-sumbernya.
Istihsan adalah suatu dalil yang terkuat menunjukkan bahwa hukum Islam adalah suatu hukum yang berkembang dalam masyarakat yang diistilahkan dengan fiqh waq’i bukan suatu fiqh khayali yang merupakan fiqh bayangan sebagai yang digambarkan oleh sebagian orang yang tidak mengetahui hakekat fiqh Islam aau ingin menjauhkan manusia dari padanya.
Mudah-mudahan kita akan dapat mewujudkan ahli-ahli hukum yang pandai mempergunakan dasar istihsan dalam menghadapi perkembagan masyarakat Islam di Indonesia ini.
DAFTAR PUSTAKA
– Teungku Muhammad Hasbi Ash-Shiddieqy, Falsafah Hukum Islam, diedit oleh: H.Z. Fuad Hasbi Ash-Shiddieqy, PT. Pustaka Rizki Putra.
– Dr. Sobhi Mahmassani, Filsafat Hukum dalam Islam, alih bahasa : Ahmad Sudjono, SH.
0 komentar :
Post a Comment
Terima kasih atas commentnya, Comment anda sangat bermanfaat bagi saya... Semoga bermanfaat.