Muhammad, shalawat dan salam atasnya dan keluarganya, adalah manusia pilihan. Manusia sempurna yang tak punya titik noda selama hidupnya. Yang banyak dipuji terutama adalah akhlaqnya. Alläh sendiri memujinya sebagai di atas akhlaq yang agung, atau dalam bahasa arabnya wa innaka la’lá khuluqin ‘azhiem(in). Tak pernah ada buku yang jujur yang membahas kejelekannya.
Beliau memimpin agama, memimpin negara, memimpin kaumnya. Kecerdasannya nomor satu, kecakapannya luar biasa, kemahirannya bermain pedang tak ada tandingan. Musuhnya menggelarinya dengan al-amiin, si tulus hati, yang dapat dipercaya. Kita belum pernah berjumpa dengannya, tapi setiap hari kita menyebut namanya, mendoakan selamat dan rahmat untuknya. Kita panggil beliau dengan panggilan junjungan kita (sedang kita sendiri belum pernah menemuinya). Pantaskah beliau mendapatkan penghargaan demikian tinggi?
Pakaian beliau sederhana, namun pantas. Wajah beliau berseri-seri, cerah ceria, cermin wajah yang tak pernah mengeluh. Bersikap baik kepada siapa pun, mencintai anak-anak, tidak pernah bermuka cemberut di hadapat orang lain. Senyum tulusnya mampu memompakan semangat hidup siapa saja yang bertemu dengannya. Ucapan salam serta tegur sapanya selalu mendahului orang yang berpapasan dengannya. Beliau akan berusaha menjadi orang yang paling awal dalam berbuat kebajikan.
Muhammad, shalawat dan salam atasnya dan keluarganya, berbicara dengan fasih, tidak bertele-tele, efektif, dan efisien. Seakan mutiara kalimat-kalimat yang keluar dari mulutnya. Logis dan sistematis. Beliau menghindari perkataan yang sia-sia. Beliaulah yang pernah bersabda, “Berkatalah yang baik, atau diam!”. Dan, setiap yang beliau perintahkan selalu beliau contohkan terlebih dahulu.
Sombong adalah salah satu perkara yang beliau benci. Penghormatan yang berlebihan tidak beliau inginkan. Padahal, kalau diperintahkan, semua pengikutnya rela bersujud di hadapannya. Bahkan menyambut kedatangannya sambil berdiri pun tidak diinginkannya. Muhammad, shalawat dan salam atasnya dan keluarganya, suka duduk-duduk di serambi masjid bersama-sama kaum miskin, umatnya yang dia cintai dengan sepenuh hati. Beliau suka makan bersama janda-janda miskin dalam satu piring.
Kebijaksanaannya tak ada tanding. Sebagai kepala negara dan hakim, beliau pernah menghukum terpidana dengan memberinya sekantung kurma, hanya gara-gara terpidana itu orang yang paling miskin di kampungnya. “Kamu harus membayarnya dengan berpuasa dua bulan berturut-turut, kata Nabi.
“Demi Alläh, saya tidak kuat ya Rasul,” kata sahabat tadi.
“Kalau begitu berilah makan empat puluh fakir miskin!”
“Dari mana saya memiliki makanan itu, buat keluarga saya sendiri saja rasanya masih kekurangan,” jawab sang sahabat.
Muhammad mengambil sekantung kurma, diberikannya kepada sahabat itu dan berkata, “Berikanlah kepada empat puluh orang miskin di tempatmu sebagai denda atas dosa yang kau lakukan!”
“Ya Rasulalläh, saya kesulitan untuk mencari yang lebih miskin dari saya di kampung saya itu,” dengan menghiba sahabat tadi menjawab.
Muhammad, yang wajahnya selalu ramah dan tersenyum itu akhirnya berkata, “Pulanglah, dan berikanlah sekantung kurma itu kepada keluargamu sebagai ganti hukumanmu melanggar larangan Alläh.”
Itulah Muhammad, ahli hukum, strategi, politik, kekasih Alläh dan manusia. Tak pernah ia ingin diperlakukan berlebih oleh kaumnya. Tak pernah mau ia disanjung-sanjung bagai raja. Selalu ia berkata atas perintah Alläh, “Saya adalah manusia seperti kalian, kalian adalah umat terbaik yang dikeluarkan untuk manusia, memerintahkan berbuat baik dan mencegah kejahatan, juga mengimani Alläh… Saya diutus untuk menyempurnakan kemuliaan akhlaq.”
Beliau menjahit sendiri pakaiannya yang robek, menambal sepatunya yang perlu diperbaiki, sendiri, mencuci pakaiannya sendiri. Beliau adalah orang yang paling aktif memenuhi janjinya, paling dapat dipegang segala ucapannya, penyambung tali silaturahim, paling penyayang dan bersikap lemah lembut terhadap orang lain, paling bagus pergaulannya. Tidak pernah berbuat kekejian, juga tidak pernah menganjurkannya, beliau tersenyum kalau ada yang membuat sahabatnya tersenyum, kagum terhadap sesuatu yang membuat sahabatnya kagum, sabar dan bijaksana dalam menanggapi kekerasan dan kekasaran perkataan orang lain. Beliau pernah mempercepat shalat saat menjadi imam karena mendengar anak kecil yang menangis, supaya ibunya tidak terganggu.
Beliau, nabi yang mulia itu, pernah lama sekali bangun dari sujud, hanya karena Hasan dan Husein, cucu yang sangat disayanginya, bermain kuda-kudaan di atas punggungnya, beliau tidak ingin cucunya jatuh terjerembab. Beliaulah yang mengirimkan roti kepada nenek tua yang suka melemparinya dengan kotoran saat nabi lewat di depan rumah nenek itu, sewaktu ia sakit.
Pantas kalau kita semua merindukannya. [..]
By Nimal Fata
0 komentar :
Post a Comment
Terima kasih atas commentnya, Comment anda sangat bermanfaat bagi saya... Semoga bermanfaat.