وَمَا أَرْسَلْنَاكَ إِلَّا رَحْمَةً لِّلْعَالَمِينَ
”Kami mengutus engkau hanya bertujuan memberi rahmat bagi alam semesta.” (QS. Al-Anbiya': 107)
وَمَا أَنزَلْنَا عَلَيْكَ الْكِتَابَ إِلاَّ لِتُبَيِّنَ لَهُمُ الَّذِي اخْتَلَفُواْ فِيهِ وَهُدًى وَرَحْمَةً لِّقَوْمٍ يُؤْمِنُونَ
”Dan Kami tidak menurunkan kepadamu Al-Kitab (Al Qur'an) ini, melainkan agar kamu dapat menjelaskan kepada mereka apa yang mereka perselisihkan itu dan menjadi petunjuk dan rahmat bagi kaum yang beriman.” (QS. AI-Nahl: 64)
Oleh sebab itu, agar keamanan dan kesejahteraan (kemaslahatan) umat manusia di dunia dan di akhirat dapat terwujud maka segala ikhtiar yang dilakukan umat manusia di muka bumi harus selalu sejalan dengan tuntunan syariat.
Untuk memenuhi tuntutan dan kepentingan manusia serta merespon berbagai dinamika kehidupan, maka setiap pengambilan keputusan harus memenuhi kriteria kepentingan umum (maslahah ‘ammah) yang dibenarkan oleh syara'.
Penggunaan maslahah ‘ammah sebagai tolok ukur dan pertimbangan untuk menetapkan suatu kebijaksanaan sangat diperlukan untuk menghindari kemungkinan penggunaan maslahah ‘ammah tidak pada tempatnya, seperti untuk menuruti hawa nafsu, kesewenang-wenangan dan menuruti kepentingan pribadi atau ke1ompok tertentu dengan menggunakan dalih untuk kepentingan umum.
Dengan menggunakan maslahah ‘ammah sebagai pertimbangan untuk menetapkan setiap kebijakan, maka setiap kebijakan yang ditetapkan tidak akan menimbulkan kerugian atau menyalahi kepentingan umat manusia secara luas.
Masalah
Dalam suasana pembangunan yang berkembang sangat dinamik dewasa ini, selalu ditemukan istilah ‘kepentingan umum’. Meskipun disadari bahwa tujuan pembangunan pada hakikatnya adalah untuk menciptakan kesejahteraan masyarakat luas dan dilakukan dengan sebanyak mungkin menyediakan sarana dan fasilitas untuk kepentingan umum, diakui atau tidak, ternyata dalam pelaksanaan pembangunan, batasan untuk kepentingan umum ini sering menjadi tidak jelas dan tidak sesuai dengan pengertian yang sesungguhnya.
Kepentingan umum akhirnya berkembang dalam perspektif yang beragam; ada kepentingan umum menurut versi pengambil keputusan (umara), atau kepentingan umum menurut ‘selera’ sebagian kedl kelompok masyarakat, dan kepentingan umum yang dipersepsi oleh masyarakat.
Kenyataan yang demikian membawa akibat dan dampak negatif dalam pembangunan. Pemakaian alasan "untuk kepentingan umum" tanpa berpedoman pada maslahah ‘ammah yang dibenarkan oleh syara' akan melahirkan bentuk penyimpangan terhadap hukum syariat dan tindakan sewenang-wenang terhadap kelompok masyarakat lemah oleh golongan masyarakat yang kuat.
فَاحْكُم بَيْنَ النَّاسِ بِالْحَقِّ وَلَا تَتَّبِعِ الْهَوَى فَيُضِلَّكَ عَن سَبِيلِ اللَّهِ
“Maka tegakkanlah hukum di antara manusia secara benar dan janganlah Anda mengikuti hawa nafsu, yang akan menjerumuskan Anda pada k£sesatan, jauh dari jalan Allah. "(QS. Shad: 26)
فَأَمَّا مَن طَغَى وَآثَرَ الْحَيَاةَ الدُّنْيَا فَإِنَّ الْجَحِيمَ هِيَ الْمَأْوَى
“Maka siapa saja yang bertindak tirani dan memilih kehidupan dunia, maka neraka jahim layak untuk menjadi tempat tinggalnya.” (QS. An-Nazi’at: 27-28)
وَلَوِ اتَّبَعَ الْحَقُّ أَهْوَاءهُمْ لَفَسَدَتِ السَّمَاوَاتُ وَالْأَرْضُ وَمَن فِيهِنَّ
“Andaikan kebenaran mengikuti keinginan mereka, niscaya langit, bumi dan segala isinya akan binasa/rusak/hancur.” (QS Al-Mukminun: 71)
Kedudukan maslahah ‘ammah sebagai dasar pertimbangan pengambilan kebajikan perlu diaktualisasikan sebagai landasan untuk menyikapi masalah sosial yang berkembang di tengah masyarakat. Penggunaan maslahah ‘ammah dirasakan sudah menjadi kebutuhan untuk memperkaya dan melengkapi landasan pembuatan keputusan dan kebijaksanaan dari berbagai kasus sosial yang berkaitan dengan dalih kepentingan umum –khususnya dalam pelaksanaan pembangunan yang sering terjadi selama ini.
Untuk menghindari kemudharatan dan dampak negatif pembangunan, maka maslahah ‘ammah dipandang penting dijadikan acuan untuk menyamakan persepsi tunggal terhadap wujud dan makna kepentingan umum dalam konteks pembangunan. Dengan maslahah ‘ammah berarti masyarakat telah merealisasikan tujuan syariat.
Ruang Lingkup
Maslahah ‘ammah adalah sesuatu yang mengandung nilai manfaat dilihat dari kepentingan umat manusia dan tiadanya nilai madharat yang terkandung di dalam, baik yang dihasilkan dari kegiatan jalbul manfa'ah (mendapatkan manfaat) maupun kegiatan daf’ul mafsadah (menghindari kerusakan).
Maslahah ‘ammah harus selaras dengan tujuan syariat, yaitu terpeliharanya lima hak dan jaminan dasar manusia (al-ushul al-khamsah), yang meliputi: keselamatan keyakinan agama, keselamatan jiwa (dan kehormatan), keselamatan akal, keselamatan keluarga dan keturunan, dan keselamatan hak milik.
Dalam kitab Al-Mustashfa I: 284-286 ditegaskan bahwa maslahah pada intinya adalah ungkapan tentang penarikan nanfaat dan penolakan bahaya. Maksudnya adalah proteksi (perlindungan) terhadap tujuan hukum (syara'). Tujuan hukum bagi manusia itu ada lima; yaitu agar hukum memproteksi jiwa, akal, keturunan, dan harta mereka. Segala indakan memelihara agama, jiwa, akal, keturunan dan harta mereka, segala tindakan yang menjamin terlindunginya lima prinsip tujuan hukum di atas itu disebut "maslahah". Sedangkan semua tindakan yang mengabaikan lima prinsip tujuan tersebut itu disebut kerusakan (mafsadah) dan menolak kerusakan itu juga maslahah".
Maslahah ‘ammah harus benar-benar untuk kepentingan umum, tidak untuk kepentingan khusus (perorangan). Adapun sesuatu yang membawa manfaat dan meniadakan madharat hanya menguntungkan ltau untuk kepentingan pihak-pihak tertentu bukanlah termasuk maslahah ‘ammah.
Maslahah ‘ammah tidak boleh mengorbankan kepentingan umum lain yang sederajat apalagi yang lebih besar. Maslahah ‘ammah harus bersifat haqiqiyah (nyata) dan tidak wahmiyah (hipotesis). Karena itu, untuk menentukan maslahah ‘ammah harus dilakukan melalui kajian yang cermat atau penelitian, musyawarah dan ditetapkan secara bersama-sama.
Maslahah ‘ammah tidak boleh bertentangan dengan al-Qur' an, hadis, ijma' dan qiyas. Karena itu, setiap kebijakan yang diambil dengan dalih untuk kepentingan umum tetapi bertentangan dengan landasan tersebut di atas harus ditolak.
(Keputusan Bahtsul Masa’il Muktamar ke-29 NU di Tasikmalaya, Jawa Barat, 1 Rajab 1415 H / 4 Desember 1994)
Sumber: http://nu.or.id/
0 komentar :
Post a Comment
Terima kasih atas commentnya, Comment anda sangat bermanfaat bagi saya... Semoga bermanfaat.