Pengertian “jabirah” adalah bahan gips yang digunakan untuk merekatkan tulang-tulang yang patah biar menyatu kembali. Akhir-akhir ini sering disebut dengan istilah “habs”. Yang menjadi perbedaan disini adalah apakah seseorang yang salah satu anggota wudhunya –semisal lengan bawah atau dua kaki – terdapat gips, maka apakah ia boleh untuk mengusapnya. Hal tersebut-lah yang masih menjadi perbedaan pandangan di kalangan para fuqaha’. Dalam masalah ini mereka terbagi menjadi dua golongan.
Golongan pertama yang berpendapat, menyapu atau membasuh jabirah itu wajib sebagai ganti menyapu anggota yang wajib dibasuh. Pendapat ini berasal dari pendapat Fuqaha dalam kalangan madzhab Maliki, Hanbali, Abu Yusuf, Muhammad, Syi’ah Zaidiyah, Syi’ah Imamiyah dan kalangan Imam Hanafi. Imam Syafi’i menambahkan hendaknya jabirah itu dipasang dalam keadaan suci. Dan dari kalangan sahabat yang berpendapat demikian di antaranya Abdullah bin Umar.
Golongan kedua yang berpendapat menyapu jabirah tidak wajib dan tidak diperintahkan menyapunya. Pendapat ini adalah berasal dari dalam madzhab Zhahiri, sebagian kalangan dari Hanafiyah dan sebagian Fuqaha dalam madzhab Syi’ah Zaidiyah.
Adapun yang menjadi sebab perselisihan pendapat dalam masalah ini ialah kembali pada adanya Hadits-hadits yang sebagian Fuqaha menganggap hadits-hadits tersebut dapat dijadikan dalil dan menurut sebagian lagi tidak dapat dijadikan dalil.
Golongan pertama mengemukakan dalil-dalil dari hadits, riwayat dan qiyas. Dalil Hadits yang mereka kemukakan di antaranya hadits yang menerangkan keadaan orang yang meninggal dan mendapat luka di kepalanya. Rasulullah SAW. bersabda :
إِنّما كان يكفيه أن يتيمّــم ويعصب على جرحه خرقة ثمّ يمسح عليها ويغسل سائر جسده
Artinya : “Hanya cukup baginya, bahwa ia bertayammum, dan ia bebat atas lukanya dengan sehelai kain, lalu ia usap atas (bebatannya) itu dan ia memandikan seluruh badannya”. (HR Abu Daud, Daraquthni, dan Ibnu Majah dari Jabir).
Hadits ini menrangkan bahwa Rasulullah hanya memerintahkan membasuh di atas bebatan lukanya. Seandainya cara yang demikian itu belum cukup, niscaya Rasulullah menyuruh membuka bebatan itu. Hadits ini menunjukkan wajib membasuh jabirah. Hadits lain berbunyi :
فأمرني أن أمسح على الجبـــــائر .
Artinya: “Maka (beliau) memerintahkan aku bahwa aku menyapu jabirah”. (HR Daraquthni, Baihaqi dan Ibnu Majah, dari Ali bin Abi Thalib).
Dari pengertian hadits ini bahwa menyapu jabirah ini wajib, karena perintah di sini menunjukkan wajib.
Dan dalil lain yang mereka kemukakan dari riwayat-riwayat para sahabat, yang diantaranya dari yang di riwayatkan oleh Ibnu Umar bahwa beliau berwudlu hanya cukup menyapu atas bebatan luka pada anggota yang wajib dibasuh dalam berwudlu. Juga diriwayatkan dari Ibnu Umar bahwa beliau berwudlu hanya menyapu di atas ikatan jari-jari kakinya yang luka. Jadi dengan dua hadits tersebut dapatlah dikatakan menyapu jabirah itu wajib, karena kalau tidak ada dalil dari rasulullah tentunya beliau tidak memperkuatnya.
Dalil qiyas yang mereka kemukakan ialah dengan mengqiyaskan jabirah dengan sepatu, karena keduanya sulit dilepaskan kalau sepatu hanya cukup menyapunya saja tanpa melepaskannya, demikian pula jabirah.
Dalil golongan kedua ialah dari Al-Qur’an, dari firman Allah yang berbunyi :
لا يكلف الله نفسا الاّ وسعها
Artinya: “Alloh tidak membebani seseorang melainkan sesuai dengan kesanggupkannya”. (QS Al Baqarah : 286).
Dan dalil Hadits yang mereka kemukakan ialah Hadits yang berbunyi:
وما أمرتكم بأمر فأتوا منه مااستطعتم .
Artinya: “Dan apa yang kuperintahkan kepada kamu sesuatu perkara, maka perbuatlah dari padanya dengan sekuasa kamu”. (HR Bukhari dan Muslim dari Abu Hurairah).
Dari kedua dalil di atas, dapatlah dikatakan bahwa Allah tidak memerintahkan kepada seseorang melainkan menurut kemampuan dan kesanggupannya, sedangkan perbuatan- perbuatan yang tidak mampu dilaksanakan itu tidaklah wajib dikerjakan. Kalau menyapu dan membersihkan pembalut ini adalah sulit maka sesuai dengan keumuman pengertian ayat dan hadits di atas, dapatlah dikatakan bahwa menyapu dan membersihkan pembalut luka dan tulang yang patah ini tidak wajib.
Kritik yang ditujukan kepada dalil golongan pertama dikatakan, bahwa hadits Jabir itu di dalam sanadnya ada orang yang bernama Jubair bin Khariq, yang menurut Daraquthni dia adalah orang yang kurang kuat. Kritik ini dijawab bahwa Zahabi telah berkata: orang ini (Jubair) adalah orang yang benar, Ibnu Sakan memperkuat hadits ini.
Dan dikatakan tentang Hadits Ali bin Abi Thalib yang diriwayatkan oleh Amrin bin Khalid Wasithi yang menurut para ahli hadits bahwa orang ini adalah pendusta, dengan demikian hadits itu tidak dapat dijadikan dalil. Kritik inipun dijawab bahwa hadits Ali bin Abi Thalib dapat diperkuat dengan hadits Jabir dan dengan riwayat dari Abdullah bin Umar, dengan demikian dapat dijadikan dalil.
Dan mengenai riwayat Abdullah bin Umar dikatakan bahwa riwayat itu mauquf, dan juga kalau seandainya sampai kepada Rasulullah tidaklah juga menunjukkan wajib. Kritik ini dijawab sebagaimana dimaklumi bahwa Ibnu Umar selalu menghubungkan riwayat yang diterimanya kepada Rasulullah, dan beliau tidak akan berbuat sesuatu sebelum jelas hukumnya dengan bertanya. Sebagai contoh bahwa Ibnu Umar meliha Sa’ad bin Abi Waqqash menyapu sepatu dalam berwudlu, lalu beliau tanyakan kepada Umar bin Khatthab dan Umar menjawab memang Rasulullah berbuat demikian. Jadi berdasarkan demikian, perbuatan Ibnu Umar yang hanya menyapu di atas balutan luka ini, adalah memang perbuatan Rasulullah yang pernah dilihatnya. Dan kritik yang kedua lagi dijawab bahwa dalam hadits Jabir dan Ali, dengan tegas menunjukkan menyapu jabirah adalah wajib, bukan sunat, dan ini diperkuat lagi dengan riwayat Ibnu Umar.
Mengenai qiyas jabirah dengan sepatu menurut Ibnu Hazm qiyas yang demikian itu tidak dapat digunakan, karena:
1. Karena menyapu sepatu hanya berlaku dalam berwudlu sedang menyapu jabirah berlaku dalam semua hal.
2. Hukum menyapu sepatu hanya harus, yang artinya boleh memilih antara menyapunya atau melepasnya. Sedangkan menyapu jabirah hukumnya wajib. Jadi dengan alas an itu tidak dapat diqiyaskan menyapu sepatu dalam berwudlu itu hukumnya harus dengan menyapu jabirah dalam berwudlu yang hukumnya wajib.
Kritik ini dijawab :
1. Menyapu sepatu hanya berlaku dalam berwudlu dan menyapu jabirah tidak hanya berlaku dalam berwudlu. Dikatakan demikian bahwa dalam memakai sepatu tidak ada sesuatu yang menyulitkan. Lain halnya jabirah, karena itu tidak ada bedanya antara sepatu dan jabirah.
2. Menyapu sepatu juga hukumnya wajib kalau si pemakainya tidak ingin melepaskannya. Karena itu tidak ada perbedaan antara hukum menyapu sepatu dan jabirah, dan dapat dimaklumi menyapu sepatu itu untuk menghindari kesulitan dan lebih nyata lagi dalam masalah menyapu jabirah ini.
Kritik yang dituturkan kepada dalil golongan kedua, dikatakan bahwa ayat dan hadits yang mereka kemukakan sebagai dalil, agar menghindarkan segala sesuatu yang di luar kemampuan untuk melakukannya, memang dapat diterima. Namun kedua dalil ini tidak menunjukkan terhapusnya kewajiban menyapu jabirah, ini dijawab bahwa telah dikemukakan beberapa dalil baik dari hadits ataupun qiyas tentang wajibnya menyapu jabirah.
Maka setelah meneliti pendapat dan dalil-dalil dalam masalah ini, kemudian kritik serta jawabannya, maka menurut hemat kami pendapat pertamalah yang terkuat karena dalil yang mereka kemukakan dan juga lebih sesuai dengan jiwa hukum, karena Allah sekali-kali tidak mengubah hukumnya hanya apabila yang asli tidak dapat dilaksanakan, maka diperintahkan kepada penggantinya, demi memberikan kelonggaran bagi umat manusia.
Begitulah bagi orang yang sakit diperbolehkan bertayammum sebagai pengganti wudlunya, bagi orang yang memakai sepatu diperbolehkan menyapunya sebagai pengganti membasuh kaki, dan bagi yang luka atau patah tulangnya, diperbolehkan menyapu di atas balutannya sebagai pengganti membasuh anggota wudlu yang asli.
0 komentar :
Post a Comment
Terima kasih atas commentnya, Comment anda sangat bermanfaat bagi saya... Semoga bermanfaat.