Perkembangan kegiatan bisnis yang telah melahirkan jenis-jenis kejahatan baru, maka hukum pidana moderen telah menggambarkan bahwa, dalam lingkungan sosial ekonomi atau dalam lalu lintas perekonomian, seorang pelanggar hukum pidana tidak selalu perlu melakukan kejahatan secara fisik, karena perbuatan korporasi selalu diwujudkan melalui perbuatan manusia (direksi; manajemen), sehingga pelimpahan pertanggung jawaban manajemen (manusia; natural person), menjadi perbuatan korporasi (badan hukum, legal person) yang dilakukan dalam lalu lintas kemasyarakatan1. Selain itu, bentuk pengakuan terhadap lahirnya jenis-jenis tindak pidana baru (khususnya yang dilakukan oleh korporasi), telah diakui juga oleh organisasi Persatuan Bangsa-Bangsa (PBB), dengan disahkannya UN Convention against Transnational Organized Crime (2000) yang dianggap sebagai ancaman pada The integrity of national financial industries
Apabila meninjau lebih dalam mengenai ”kejahatan korporasi”, maka pengertian dasar dari “kejahatan korporasi” menurut Black’s Law Dictionary menjelaskan bahwa, “any criminal offense committed by and hence chargeable to a corporation because of activities of its officers or employees (e.g., price fixing, toxic waste dumping), often referred to as “white collar crime”.2 (Kejahatan korporasi adalah tindak pidana yang dilakukan oleh dan oleh karena itu dapat dibebankan pada suatu korporasi karena aktivitas-aktivitas pegawai atau karyawannya (seperti penetapan harga, pembuangan limbah), sering juga disebut sebagai “kejahatan kerah putih”). Sedangkan menurut John Braithwaite menjelaskan bahwa, conduct of a corporation, or employees acting on behalf of a corporation, which is proscribed and punishable by law.3
Pendapat-pendapat di atas, telah didukung dengan pandangan Simpson yang menjelaskan bahwa ada tiga ide pokok dari definisi Braithwaite mengenai kejahatan korporasi. Seperti :4
1. Tindakan ilegal dari korporasi dan agen-agennya berbeda dengan perilaku kriminal kelas sosioekonomi bawah dalam hal prosedur administrasi. Oleh karena itu, yang digolongkan kejahatan korporasi tidak hanya tindakan kejahatan atas hukum pidana,tetapi juga pelanggaran atas hukum perdata dan administrasi.
2. Korporasi (sebagai "subyek hukum perorangan "legal persons") dan perwakilannya termasuk sebagai pelaku kejahatan (as illegal actors), dimana dalam praktik yudisialnya, bergantung pada antara lain kejahatan yang dilakukan, aturan dan kualitas pembuktian dan penuntutan.
3. Motivasi kejahatan yang dilakukan korporasi bukan bertujuan untuk keuntungan pribadi, melainkan pada pemenuhan kebutuhan dan pencapaian keuntungan organisasional, sehingga memungkinkan motif tersebut ditopang pula oleh norma operasional (internal) dan sub-kultur organisasional.
Menurut Loebby Loqman, yang dimaksud dengan korporasi adalah suatu kumpulan dagang yang sudah berbadan hukum.5 Sedangkan Gillies berpandangan bahwa, korporasi atau perusahaan yakni orang atau manusia di mata hukum yang mampu melakukan sesuatu sebagaimana yang dilakukan oleh manusia, maka diakui oleh hukum seperti memiliki kekayaan, melakukan kontrak, dan dapat dipertanggung jawabkan atas kejahatan yang dilakukan.6
Apabila meninjau pandangan Subekti, maka badan hukum atau korporasi itu misalnya, suatu perkumpulan dagang yang berbentuk perseroan terbatas, perserikatan orang atau yayasan, atau bentuk-bentuk korporasi.7 Selain itu, lahirnya korporet sebagai pelaku kejahatan menurut Wirjono Prodjodikoro berasal dari perkumpulan-perkumpulan dari orang-orang, yang sebagai badan hukum turut serta dalam pergaulan hidup kemasyarakatan, timbul gejala-gejala dari perkumpulan itu, yang apabila dilakukan oleh oknum, terang masuk perumusan berbagai tindak pidana. Dalam hal ini, sebagai perwakilan, yang kena hukuman pidana adalah oknum lagi, yaitu orang-orang yang berfungsi sebagai pengurus dari badan hukum, seperti seorang direktur dari suatu perseroan terbatas, yang dipertanggungjawabkan. Sedangkan mungkin sekali seorang direktur itu hanya melakukan saja putusan dari dewan direksi, sehingga timbul dan kemudian merata gagasan, bahwa juga suatu perkumpulan sebagai badan tersendiri dapat dikenakan hukuman pidana sebagai subyek suatu tindak pidana.8
Berdasarkan atas tindakan-tindakan anggota direksi atau pejabat korporasi yang mengambil tindakan untuk kepentingan dan keuntungan bagi korporasi, maka terdapat doktrin dalam hukum korporasi yang melindungi para direktur yang beritikad baik tersebut sebagaimana terdapat dalam teori Business Judgment Rule yang merupakan salah satu teori yang sangat popular untuk menjamin keadilan bagi para direktur yang mempunyai itikad baik.9
Penerapan doktrin di atas, memiliki tujuan untuk mencapai keadilan, khususnya bagi para direktur sebuah perusahaan terbatas dalam melakukan suatu keputusan bisnis.10
Meninjau pada Kitab Undang-Undang Hukum Pidana Indonesia (KUHP) yang pada masa ini masih berlaku dan dijadikan payung hukum pidana, maka Kitab Undang-Undang Hukum Pidana secara tegas belum menerapkan prinsip-prinsip kejahatan korporasi (korporasi sebagai pelaku). Oleh karena itu. Walaupun demikian, Kitab Undang-Undang Hukum Pidana telah mengatur mengenai pengurus korporasi yang melakukan “kejahatan korporasi” dengan atas nama korporasi atau perusahaan. Hal ini dapat dilihat pada Pasal 398 KUHP yang menjelaskan bahwa jika seorang pengurus atau komisaris perseroan terbatas, maskapai andil Indonesia atau perkumpulan korporasi yang dinyatakan dalam keadaan pailit atau yang diperintahkan penyelesaian oleh pengadilan, diancam dengan pidana penjara paling lama satu tahun empat bulan dan “jika yang bersangkutan turut membantu atau mengizinkan untuk melakukan perbuatan-perbuatan yang bertentangan dengan anggaran dasar, sehingga oleh karena itu seluruh atau sebagian besar dari kerugian diderita oleh perseroan, maskapai, atau perkumpulan…”. Walaupun demikian, pada perkembangannya korporasi mulai diposisikan sebagai subyek hukum pidana dengan ditetapkannya Undang-Undang Darurat Nomor. 7 Tahun 1955 Tentang Pengusutan, Penuntutan dan Peradilan Tindak Pidana Ekonomi, Undang-Undang Nomor 11 PNPS Tahun 1964 Tentang Pemberantasan Kegiatan Subversi, Undang-Undang Nomor 38 Tahun 2004 Tentang Jalan, Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1999 Tentang Lingkungan Hidup, Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 jo. Undang-Undang Nomor 21 Tahunn 2002 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.
Daftar Pustaka :
1. Mardjono Reksodiputro, “Tindak Pidana Korporasi dan Pertanggungjawabannya-Perubahan Wajah Pelaku Kejahatan di Indonesia” (Pidato Dies Natalis ke-47 PTIK), Juni 1993.
2. Henry Campbell Black, Black’s Law Dictionary, West Publishing Co., St. Paul, Minnessota, 1990, ed.6, hal. 339.
3. Sally S. Simpson, Strategy, Structure and Corporate Crime, 4 Advances in Criminological Theory, 1993), hal. 171.
4. Sally S. Simpson, Ibid.
5. H Loebby Loqman,, Kapita Selekta Tindak Pidana di Bidang Perekonomian, Datacom, Jakarta, 2005, hal. 3.
6. M Arief Amrullah, Kejahatan Korporasi, Bayumedia, Jawa Timur, 2006, hal. 211-212.. M Arief Amrullah, Ibid, hal. 201.
8. Wirjono Prodjodikoro, Asas-asas Hukum Pidana di Indonesia, Ed.2, Cet.6, Eresco, Bandung, 1989, hal. 55.
9. Dennis J. Block, Nancy R. Barton dan Stephen A. Radin, The Business judgment Rule Fiduciary Duties of Corporate Directors, Prentice Hall law & Business, Third edition, 1990, hal 4
10. Dennis J. Block, Nancy R. Barton dan Stephen A. Radin, Ibid.
* Karya tulis ini telah disusun, ditulis dan telah dianalisa oleh Rizky Harta Cipta SH. MH
0 komentar :
Post a Comment
Terima kasih atas commentnya, Comment anda sangat bermanfaat bagi saya... Semoga bermanfaat.