Monday, October 17, 2011

Perjanjian Bukan Lagi Sumber Sengketa

Di dalam perkembangan masyarakat yang komplek seperti sekarang ini, kita sering menyaksikan dan mendengarkan, baik melalui media informasi maupun di dalam pergaulan masyarakat, ada seseorang yang dengan teganya melakukan penyiksaan, pencurian bahkan pembunuhan kepada rekannya atau kerabatnya yang disebabkan persoalan hutang piutang atau persoalan yang berasal dari perjanjian yang telah mereka lakukan.

Tulisan ini akan berusaha menjelaskan dan menerangkan kepada setiap pembaca mengenai hal-hal yang penting yang harus diketahui dalam melakukan sebuah perjanjian.
Mengingat, walaupun perjanjian sangat sederhana dan biasa dilakukan oleh masyarakat, tetapi tidak sedikit permasalahan besar muncul akibat perjanjian yang disebabkan kurangnya pengetahuan dari perjanjian yang telah mereka sepakati.

Sebelum kita melangkah lebih jauh hendaknya perlu diketahui bahwa sebuah perjanjian dilandasi oleh tiga azas yaitu :

1. Azas konsensualitas, seperti tercantum dalam pasal 1320 KUHPDT yang berarti setiap perjanjian timbul apabila telah adanya kesepakatan dari para pihak yang melakukan perjanjian tersebut;

2. Azas kekuatan mengikat, seperti tercantum dalam pasal 1338 KUHPDT yang berarti setiap perjanjian yang telah dibuat akan berlaku mengikat seperti Undang-Undang terhadap pihak-pihak yang telah melakukan perjanjian tersebut;

3. Azas kebebasan berkontrak yang berarti setiap orang bebas menentukan isi perjanjian dan bebas memilih dengan siapa Ia melakukannya, asalkan tidak bertentangan dengan Undang-Undang serta kepentingan umum.

Secara umum ada dua syarat yang menentukan sahnya sebuah perjanjian yaitu :

1. Syarat subjektif yaitu tidak terpenuhinya persyaratan ini mengakibatkan sebuah perjanjian dapat dibatalkan. Syarat ini terbagi atas :

a. Adanya kesepakatan tercantum dalam pasal 1320 KUHPDT yang berarti perjanjian harus dilakukan dengan kesepakatan kedua belah pihak. Kesepakatan dapat terlihat dari adanya pemberian dan penerimaan hak dan kewajiban antara para pihak. Kesepakatan tidak berlaku apabila dilakukan dengan penipuan, pemaksaan, kekhilafan atau pemalsuan. Hal ini dilandasi dengan adanya Pasal 1321, 1323, 1324, 1325, 1326, 1327 serta 1328 KUHPDT;

b. Cakap, seperti yang tercantum dalam Pasal 1330 KUHPDT, yang berarti seseorang yang melakukan perjanjian harus dianggap mampu, seperti telah dewasa, tidak sakit ingatan, tidak dalam pengampuan atau tidak sedang dicabut haknya;

2. Syarat objektif yaitu tidak terpenuhinya persyaratan ini mengakibatkan perjanjian batal demi hukum atau dianggap tidak pernah ada. Syarat objektif ini terbagi atas :

a. Hal tertentu [objek perjanjian], seperti yang tercantum dalam Pasal 1333 dan Pasal 1334 KUHPDT, yang berarti setiap objek yang diperjanjikan harus ditentukan terlebih dahulu. Seperti jenis, kualitas atau kuantitas dari barang atau jasa yang dijadikan objek perjanjian. Selain itu, objek yang diperjanjikan harus bersifat halal yang berarti tidak bertentangan dengan kepentingan umum, norma dan hukum yang berlaku;

b. Suatu sebab yang halal, seperti tercantum dalam Pasal 1335, 1336 serta Pasal 1337 KUHPDT, yang berarti setiap orang yang terlibat dalam sebuah perjanjian harus memiliki tujuan yang tidak bertentangan dengan kepentingan umum, norma-norma yang berkembang dan hukum positif yang berlaku. Contoh, dilarang melakukan perjanjian untuk meledakkan sebuah bahan peledak yang bertujuan negatif.

Setelah perjanjian dibuat, maka kita harus mengetahui pada saat apa perjanjian tidak dapat diberlakukan lagi. Di dalam KUHPDT terutama bab 4 buku 3 pasal 1381 dapat membantu kita untuk menentukan pada saat kapan perjanjian sudah tidak berlaku lagi.

Ada beberapa hal yang dapat kita ambil sebagai ukuran sebuah perjanjian dapat dikatakan tidak berlaku lagi, diantaranya :

1. Telah adanya pembayaran atau pelaksanaan dari isi perjanjian;

2. Adanya pembaharuan perikatan atau perjanjian yang mengakibatkan terhapusnya isi perjanjian sebelumnya,seperti yang tercantum dalam Pasal 1413 KUHPDT;

3. Adanya perjumpaan utang, ini berarti sejumlah hutang piutang dapat diselisihkan antara utang satu dengan yang lainya apabila diantara pihak yang melakukan hutang piutang sama-sama memiliki tagihan antara satu dengan lainya, seperti yang tercantum dalam Pasal 1425 KUHPDT;

4. Adanya pembebasan hutang atau perjanjian oleh orang atau pihak yang memiliki hak dalam suatu perjanjian, seperti yang tercantum dalam bagian 6 buku 3 KUHPDT;

5. Musnahnya barang yang menjadi objek perjanjian. Perlu diketahui, bahwa musnahnya objek perjanjian bukan disengaja dan bukan bertujuan untuk melepaskan kewajiban dalam melaksanakan isi perjanjian, seperti yang tercantum dalam Pasal 1444 KUHPDT;

6. Adanya pembatalan perjanjian karena isi perjanjian telah bertentangan dengan hukum positif yang berlaku ataupun telah bertentangan dengan kepentingan umum, seperti yang dijelaskan dalam bagian 8 Buku 3 KUHPDT;

7. Perjanjian yang telah dibuat telah memasuki waktu kadaluarsa. Biasanya waktu kadaluarsa ditentukan oleh Undang-Undang atau didasarkan atas persyaratan-persyaratan yang telah ditentukan dalam perjanjian kedua belah pihak.

Setelah mengetahui secara umum dan singkat mengenai unsur-unsur penting dari sebuah perjanjian dan faktor-faktor penghapus dari sebuah perjanjian yang telah dibuat oleh kedua belah pihak, maka penulis menyarankan, supaya para pihak yang mengadakan perjanjian memperhatikan hal-hal seperti di bawah ini :

1. Sebelum kita melakukan sebuah perjanjian hendaknya harus dipahami mengenai hak dan kewajiban yang akan didapatkan oleh masing-masing pihak.

2. Hendaknya setiap perjanjian yang akan dibuat dilakukan secara tertulis, terperinci, bersaksi atau bermaterai, apabila isi dan pelaksanaan dari perjanjian merupakan hal penting dan besar. Hal ini bertujuan untuk menghindari sengketa dari kedua belah pihak di kemudian hari.

3. Hendaknya di dalam isi perjanjian dicantumkan penyelesaian alternatif, apabila sengketa yang berkaitan dengan perjanjian yang telah disepakati terjadi. Hal ini bertujuan supaya setiap sengketa yang mungkin terjadi dapat diselesaikan secara baik-baik dan tidak merugikan kedua belah pihak yang bersengketa.

4. Hendaknya setiap pihak dalam melaksanakan hak dan kewajibannya, seperti yang telah disepakati dalam perjanjian.

5. Hendaknya setiap pihak yang menyepakati perjanjian tersebut dapat melakukannya dengan itikad baik.

Dengan adanya pengetahuan mengenai unsur-unsur penting yang ada dalam sebuah perjanjian, seperti yang telah dijelaskan di atas, diharapkan masyarakat secara umum dapat melakukan perjanjian, melaksanakan isi perjanjian, serta menyelesaikan sengketa yang timbul karena perjanjian secara bijak dan dewasa. Mengingat dalam setiap perjanjian selalu memiliki hak dan kewajiban yang harus dilaksanakan oleh pihak-pihak yang menyepakati perjanjian tersebut.

Dengan alasan demikian, perjanjian yang telah disepakati, tidak dapat lagi dijadikan alasan perpecahan atau pun pertentangan diantara pergaulan antar individu di dalam masyarakat.

*Artikel telah disusun, dan telah ditulis oleh Rizky Harta Cipta SH. MH,

0 komentar :

Post a Comment

Terima kasih atas commentnya, Comment anda sangat bermanfaat bagi saya... Semoga bermanfaat.