A. PENDAHULUAN
Masalah yang terus muncul dalam kehidupan sosial adalah jika terjadi suatu penyelarasan relasi antara teori hukum dan perubahan sosial (modernisasi-pembangunan). Hukum yang diasumsikan tidak akan mengalami perubahan ternyata juga menuntut adanya adaptabilitas hukum ketika ia menghadapi perubahan sosial. Bahkan, karena dampak yang ditimbulkan oleh perubahan sosial begitu hebat, hal itu menyebabkan hukum menjadi teralienasi. Akibatnya, muncul kebutuhan baru akan suatu filsafat hukum yang mampu merespon perubahan sosial.
Ya, perubahan sosial tidak bisa dihindarkan dari kehidupan yang nyata, seperti asumsi dan pandangan sebagian muslim bahwa hukum Islam adalah sesuatu yang sakral dan eternal. Sehingga muncul asumsi bahwa perubahan sosial harus menyesuaikan dengan hukum Islam, bukan sebaliknya, perubahan sosial mempengaruhi penetapan hukum. Sebuah fenomena yang menjadikan munculnya penilaian bahwa hukum Islam adalah hukum yang memiliki validitas abadi.[1]
Untuk menyikapi sakralitas dan keabadian hukum Islam, maka dilakukan penangguhan terlebih dahulu sifat hubungan yang seolah-olah transendent, antara Islam (sebagai agama) dengan formalisasi hukum Islam, yang selama ini dikenal sebagai syari’ah. Oleh Abdullah Ahmed an-Na’im, syari’ah bukanlah Islam itu sendiri, melainkan ia hanyalah interpretasi terhadap nash yang pada dasarnya dipahami dalam konteks historis tertentu,[2] atau istilah Sahal Mahfud, merupakan sebuah refleksi dari hukum Islam.
Fenomena tersebut terjadi pada hukum kewarisan Islam di Indonesia yang mengalami perdebatan diantara “Madzhab Nasional”, sebutan istilah dari Hasbi ash-Shiddieqy yang kemudian dilakukan perubahan oleh Hazairin menjadi “Madzhab Indonesia”, suatu konsep yang jelas mengantisipasi ide Fiqh Indonesia sebagaimana yang pernah ditawarkan oleh Hasbi ash-Shidieqy.[3] Dengan meminjam dari hasil penelitian Drs. H. Firdaus Muhammad Arwan, SH. MH,[4] Hakim PTA Pontianak, ada beberapa hal dalam penyusunan Kompilasi Hukum Islam (KHI) khususnya tentang ahli waris pengganti yang kurang jelas pengaturannya dan dapat menimbulkan penafsiran yang berbeda. Di antara sumber perdebatan yang terjadi antara lain tentang :
· Apakah penggantian ahli waris bersifat tentatif atau imperatif.
· Apakah ahli waris pengganti hanya berlaku bagi ahli waris garis ke bawah atau juga berlaku bagi ahli waris garis menyamping.
· Apakah ahli waris pengganti menduduki kedudukan orang tuanya secara mutlak, atau secara relatif.
Dalam makalah ini, penulis lebih menarik pembahasan yang ditawarkan oleh Firdaus Muhammad A. tersebut yang sebelumnya pernah dilakukan sebuah penelitian pada Hakim Kalimantan Barat. Dengan alasan, wacana tentang ahli waris pengganti sejak diundangkannya KHI pada tanggal 22 Juli 1991 hingga sekarang selalu berkutat pada perbedaan sebagaimana tersebut di atas. Tidak hanya itu, bahkan beliau memberikan solusi pemecahannya untuk meminimalisir terjadinya multi-interpretasi jika nantinya KHI diperlukan harus dirubah.
B. PENGERTIAN AHLI WARIS PENGGANTI
Istilah ahli waris pengganti dalam bahasa Belanda disebut dengan plaatsvervulling. Penggantian tempat dalam hukum waris disebut dengan penggantian ahli waris, yaitu meninggal dunianya seseorang dengan meninggalkan cucu yang orangtuanya telah meninggal terlebih dahulu. Cucu ini menggantikan posisi orangtuanya yang telah meninggal untuk mendapatkan warisan dari kakek atau neneknya.
Besarnya bagian yang seharusnya diterima oleh cucu adalah sejumlah bagian yang seharusnya diterima orangtuanya jika mereka masih hidup. Istilah penggantian tempat ini hanya dikenal dalam hukum barat (BW) dan hukum adat namun tidak dikenal dalam hukum Islam.
Menurut Raihan A. Rasyid[5], istilah ahli waris pengganti dibedakan antara orang yang disebut “ahli waris pengganti” dan “pengganti ahli waris”. Menurutnya, ahli waris pengganti adalah orang yang sejak semula bukan ahli waris tetapi karena keadaan tertentu ia menjadi ahli waris dan menerima warisan dalam status sebagai ahli waris. Misalnya, pewaris tidak meninggalkan anak tetapi meninggalkan cucu laki-laki atau perempuan dari anak laki-laki.
Sedangkan pengganti ahli waris adalah orang yang sejak semula bukan ahli waris tetapi karena keadaan tertentu dan pertimbangan tertentu mungkin menerima warisan namun tetap dalam status bukan sebagai ahli waris. Misalnya, pewaris meninggalkan anak bersama cucu baik laki-laki maupun perempuan yang orang tuanya meninggal lebih dahulu daripada pewaris. Keberadaan cucu disini sebagai pengganti ahli waris.
Apa yang disebut dengan plaatsvervulling dalam KUHPerdata, wasiat wajibah dalam undang-undang Mesir dan pasal 185 KHI oleh Raihan A.Rasyid dinamakan pengganti ahli waris, bukan ahli waris pengganti. Namun demikian, apapun sebutannya, yang pasti dalam KHI digunakan sebutan ahli waris pengganti.
Dalam kitab Faraid klasik yang termuat dalam kitab fiqih, telah mengenal ahli waris yang meninggal lebih dahulu dari pewaris yang di gantikan kedudukannya oleh anak keturunannya. Namun istilah yang digunakan bukan ahli waris pengganti, Apapun istilahnya pada hakekatnya sama, namun tidak mutlak. Menurutnya, yang mempunyai kedudukan sebagai ahli waris Pengganti hanya keturunan dari anak laki-laki yang meninggal lebih dahulu dari Pewaris, yakni hanya cucu laki-laki dan cucu perempuan dari keturunan anak laki-laki (Ibnul-Ibni dan Bintul-Ibni) yang dapat menerima warisan dari kakeknya, itu pun bagiannya telah ditentukan secara pasti baik sebagai ashobah maupun dzawil-furudl. Contoh, bintu ibnin jika menerima bersama seorang anak perempuan maka mendapat bagian 1/6. sedangkan cucu laki-laki maupun cucu perempuan dari keturunan anak perempuan (Ibnul-Binti dan Bintul-Binti) tidak dapat menerima bagian warisan dari kakek/neneknya karena termasuk dzawul Arham.
C. KONSEP AHLI WARIS PENGGANTI DALAM SISTEM HUKUM
Konsep ini mengetengahkan beberapa pandangan yang berbeda dari berbagai kalangan baik akademisi, praktisi dan ulama yang pro dan kontra tentang ahli waris pengganti sebagai bagian kewarisan yang sah menurut hukum. Misalnya perdebatan dikalangan peserta Rakernas tahun 2009 di Palembang, diawali dengan presentasi Habiburrahman (Hakim Agung MA) yang mengritik pemikiran Hazairin bahwa Hazairin sebagai anak hukum adat yang menginduk kepada Van Vollenhoven dan Snouck Hourgronje. Di bukunya, Hazairin mengaku sebagai mujtahid tetapi tulisan-tulisannya tidak mencerminkan layaknya mujtahid.[6] Oleh karenanya, Hazairin dianggap tidak layak untuk menafsirkan ketentuan ahli waris pengganti berdasarkan hukum adat.
Kemudian menuai respon beragam oleh peserta salah satunya seperti Mukhsin Asyrof, KPTA Palembang mengungkapkan ketentuan ahli waris pengganti meskipun tidak disebutkan dalam fiqih sebagaimana wasiat wajibah namun ini dimaksudkan untuk memberikan keadilan kepada para ahli waris. Sementara K.H. Azhar Basyir yang memimpin rapat penyusunan KHI menyebutkan bahwa pasal ahli waris pengganti ini disahkan melalui kesepakatan para ulama.
Ahli Waris Pengganti Perspektif Hazairin.
Konsep ahli waris pengganti menurut Hazairin[7] merupakan hasil pemikirannya dalam menafsirkan kata mawali yang ada dalam al-Qur’an surah an-Nisa’ ayat 33 :
وَلِكُلٍّ جَعَلْنَا مَوَالِيَ مِمَّا تَرَكَ الْوَالِدَانِ وَالأقْرَبُونَ وَالَّذِينَ عَقَدَتْ أَيْمَانُكُمْ فَآتُوهُمْ نَصِيبَهُمْ
Terjemahannya, “Bagi tiap-tiap harta peninggalan dari harta yang ditinggalkan ibu bapak dan karib kerabat, Kami jadikan pewaris-pewarisnya. Dan (jika ada) orang-orang yang kamu telah bersumpah setia dengan mereka, maka berilah kepada mereka bahagiannya. Sesungguhnya Allah menyaksikan segala sesuatu.”
Secara bebas Hazairin menerangkan bahwa teks Ayat 33 Surah an-Nisa mengandung makna bahwa Allah mengadakan mawali[8] untuk si fulan dari harta peninggalan orangtua dan keluarga dekat (serta allazina ‘aqadat aymanukum) dan bahwa untuk itu berikanlah kepada mawali itu (hak yang menjadi) bagiannya. Fulan dianggap sebagai ahli waris, karena diiringkan dengan kata walidan dan aqrabun yang menjadi pewaris. Apabila yang menjadi pewaris adalah orangtua (ayah atau ibu), ahli waris adalah anak dan atau mawali anak, demikian menurut Hazairin. Jika anak-anak itu masih hidup, tentu merekalah yang secara serta merta mengambil warisan berdasarkan Ayat 11 Surah an-Nisa.[9]
Ketentuan ini oleh Hazairin sesuai dengan sistem kewarisan yang dikehendaki dalam Islam yang menganut azas bilateral.[10] Berbeda dengan Bangsa Arab yang menganut azas patrilineal[11] akibat interaksi budaya yang mempengaruhinya. Dengan demikian, konteks Indonesia lebih tepat dengan sistem kewarisan Islam berdasarkan asas bilateral, seperti umumnya yang telah berjalan di masyarakat Jawa dan sekitarnya.
Ada dua syarat yang harus dipenuhi mawali tampil sebagai ahli waris, yaitu: 1) orang yang menghubungkan antara mawali dengan pewaris harus telah meninggal lebih dahulu, dan 2) antara mawali dengan pewaris terdapat hubungan darah. Dengan adanya syarat hubungan darah ini, maka bagi janda dan duda tidak mempunyai mawali. Mawali-mawali tersebut meliputi :
a. Mawali untuk anak, baik laki-laki maupun perempuan
b. Mawali untuk saudara, baik laki-laki maupun perempuan
c. Mawali untuk ibu, dan
d. Mawali untuk ayah
Ahli Waris Pengganti Perspektif KUHPerdata
. Mewaris secara tidak langsung atau mewaris karena penggantian (plaatsvervulling) pada dasarnya menggantikan kedudukan ahli waris yang telah lebih dulu meninggal dari pewaris diatur dalam Pasal 841 s/d 848 KUH Perdata. Ahli waris pengganti dalam KUHPerdata menduduki kedudukan orang tuanya secara mutlak, artinya, segala hak dan kewajiban orang tuanya yang berkenaan dengan warisan beralih kepadanya.
Dalam KUHPerdata dikenal tiga macam penggantian (representatie) yaitu[12] :
a) Penggantian dalam garis lurus ke bawah tiada batas.
b) Penggantian dalam garis ke samping.
c) Penggantian dalam garis ke samping menyimpang.
Ahli Waris Pengganti Perspektif UU Mesir
Dalam Undang-undang Mesir[13] dikatakan, bahwa jika mayat tidak memberikan suatu wasiat kepada keturunan dari anak laki-lakinya yang telah mati pada saat masih hidup atau mati bersamanya meskipun secara hukum, warisan dari peninggalannya seperti bagian yang berhak diterima oleh si anak laki-laki ini, maka diwajibkanlah wasiat wajibah untuk keturunan dari anak laki-laki ini pada harta peninggalan ayahnya sesuai ketentuan anak laki-laki ini dalam batas-batas sepertiga.
Wasiat wajibah diberikan terbatas kepada cucu pewaris yang orang tuanya telah meninggal dunia lebih dahulu dan mereka tidak mendapatkan bagian harta warisan disebabkan kedudukannya sebagai zawil arham atau terhijab oleh ahli waris lain.[14]
Menurut pandangan ini, cucu pewaris yang mendapatkan bagian warisan dari ayahnya yang meninggal lebih dahulu dari kakeknya berdasarkan ketentuan wasiat wajibah bukan ahli waris pengganti yang menduduki posisi ayahnya sebagai ahli waris sebagaimana tersebut di atas. Oleh karenanya bagiannya tidak lebih dari sepertiga dari harta peninggalan. Ketentuan wasiat wajibah ini dengan mempertimbangkan mengingat cucu pewaris adalah termasuk kerabat dekat (aqrabuun) dan tidak terjadi gesekan yang mengakibatkan putusnya tali silaturrahim antar keluarga. Pendapat ini memahami sebagaimana dalam al-Qur’an surat al-Baqarah ayat 180.[15]
Prinsip ini sebagaimana yang dipahami dalam konsep kewarisan Islam di Indonesia selama ini yang cenderung mengikuti madzhab jumhur ulama fiqh seperti as-Syafi’i dan al-Maliki. Menurutnya, bagian waris hanya dapat dibagikan kepada dzawil furudh dan ashobah, selain itu, jika keduanya tidak ada, maka diserahkan harta peninggalan tersebut kepada baitul mal. Dengan asumsi bahwa, harta yang diserahkan ke baitul mal lebih manfaat karena untuk kepentingan umum dan oranng banyak dari pada diserahkan kepada kerabat (dzawul arham) keluarga pewaris yang bersifat individu.
Ahli Waris Pengganti Perspektif KHI
Dalam Kompilasi Hukum Islam (KHI) adalah diberikannya hak seorang ahli waris yang telah meninggal dunia kepada keturunannya yang masih hidup. Aturan ini tercantum dalam Pasal 185 KHI yang bunyi lengkapnya adalah sebagai berikut :
a) Ahli waris yang meninggal dunia lebih dahulu dari pada si pewaris, maka kedudukannya dapat digantikan oleh anaknya, kecuali mereka yang tersebut dalam Pasal 173.
b) Bagian ahli waris pengganti tidak boleh melebihi dari bagian ahli waris yang sederajat dengan yang diganti.
Dilihat dari tujuannya, pembaharuan hukum kewarisan tersebut dimaksudkan untuk menyelesaikan masalah dan menghindari sengketa. Dalam kaitannya dengan hal ini, Soepomo dalam bukunya bahkan mengatakan bahwa munculnya institusi pergantian tempat didasarkan pada aliran pemikiran bahwa harta benda dalam keluarga sejak semula memang disediakan sebagai dasar material keluarga dan turunannya. Jika seorang anak meninggal sedang orangtuanya masih hidup, anak-anak dari orang yang meninggal dunia tersebut akan menggantikan kedudukan bapaknya sebagai ahli waris harta benda kakeknya.
Namun demikian, KHI juga memberi batasan bahwa harta yang didapat oleh sang cucu bukanlah keseluruhan dari harta yang seharusnya didapat sang ayah, melainkan hanya 1/3 bagiannya saja. Hal ini dapat dipahami dari pasal 185 ayat (2) dengan mengungkapkan ‘tidak boleh melebihi’. Yang secara tidak langsung telah memberi batasan bagian yang diterima. Walaupun demikian, dalam pembaharuan yang terjadi di beberapa Negara muslim lainnya seperti Mesir, Tunisia dan Pakistan, dalam konteks ini sang cucu bisa berlaku menghabiskan seluruh warisan ayahnya yang beralih kepadanya karena sang ayah sudah meninggal dunia terlebih dahulu.[16]
Secara tegas dalam Buku Pedoman Pelaksanaan Tugas dan Administrasi Peradilan Agama[17] tentang azas ahli waris langsung dan azas ahli waris Pengganti.
1) Ahli waris langsung (eigen hoofed) adalah ahli waris yang disebut dalam Pasal 174 KHI.
2) Ahli waris Pengganti (plaatvervulling) adalah ahli waris yang diatur berdasarkan pasal 185 KHI, yaitu ahli waris pengganti/keturunan dari ahli waris yang disebutkan pada pasal 174 KHI. Diantara ahli waris pengganti yang disebutkan dalam Buku II adalah :
a) Keturunan dari anak mewarisi bagian yang digantikannya.
b) Keturunan dari saudara laki-laki/perempuan (sekandung, seayah dan seibu) mewarisi bagian yang digantikannya.
c) Kakek dan nenek dari pihak ayah mewarisi bagian dari ayah, masing-masing berbagi sama.
d) Kakek dan nenek dari pihak ibu mewarisi bagian dari ibu, masing-masing berbagi sama.
e) Paman dan bibi dari pihak ayah beserta keturunannya mewarisi bagian dari ayah apabila tidak ada kakek dan nenek pihak ayah.
f) Paman dan bibi dari pihak ibu beserta keturunannya mewarisi bagian dari ibu apabila tidak ada kakek dan nenek pihak ibu. Selain yang tersebut di atas tidak termasuk ahli waris pengganti.[18]
Seiring dengan perkembangannya azas persamaan hak dan kedudukan (equal rightand equal status) maka ketentuan pasal 185 KHI. yang menegaskan: “Ahli Waris yang meninggal lebih dahulu dari pada si pewaris maka kedudukannya dapat digantikan oleh anaknya”, kalimat ‘anaknya’ tersebut dapat dipahami bahwa baik keturunan dari anak laki-laki maupun anak perempuan yang telah meninggal lebih dahulu dari orang tuanya mempunyai kedudukan yang sama.
Dari rumusan bunyi pasal 185 yang mengatur tentang ahli waris pengganti timbul beberapa permasalahan yang mengundang silang pendapat, antara lain mengenai:
a. Apakah penggantian ahli waris bersifat tentatif atau imperatif.
b. Apakah jangkaun garis hukum penggantian ahli waris hanya berlaku untuk ahli waris garis lurus ke bawah atau juga berlaku untuk ahli waris garis menyamping.
c. Apakah ahli waris pengganti menduduki kedudukan orang tuanya secara mutlak atau secara relatif.
D. ANALISIS DAN PEMECAHANNYA[19]
a. Sifat Penggantian Ahli Waris.
Rumusan pasal 185 ayat (1) yang menggunakan kalimat “dapat digantikan” memunculkan ketidakpastian tampilnya ahli waris pengganti. Kata “dapat” mengandung pengertian yang bersifat fakultatif atau tentatif sehingga bisa ditafsirkan ada ahli waris yang mungkin dapat digantikan dan ada yang mungkin tidak dapat digantikan.[20]
Terhadap sifat tentatif-nya pasal 185 ini menurut Raihan A.Rasyid[21] justeru merupakan pengaturan yang tepat sekali, sebab tujuan dimasukkannya penggatian ahli waris dalam KHI karena melihat kenyataan dalam beberapa kasus, adanya rasa kasihan terhadap cucu pewaris. Artinya penerapan ketentuan penggantian ahli waris ini bersifat kasuistis, sehingga fungsi hakim sangat menentukan dalam menetapkan dapat digantikan atau tidak dapat digantikannya ahli waris.
Pendapat Raihan ini menunjukkan masih kuatnya pengaruh sistem kewarisan Jumhur yang cenderung berbentuk patrilineal sehingga penggantian waris ini semata-mata dipandang sebagai jalan keluar atas rasa belas kasihan kepada cucu yang ditinggal mati orang tuanya lebih dahulu dari pewaris, bukan didasarkan atas statusnya sebagai anggota kerabat.
Pendapat Raihan ini mendapat kritik dari Ahmad Zahari[22] yang mengatakan bahwa pendapat seperti itu sebagai bentuk diskriminatif dan tidak adil. Selain itu jika penentuan penggantian ahli waris digantungkan kepada pertimbangan hakim, maka akan menimbulkan ketidakpastian hukum. Sifat tentatifnya pasal 185 menurut Ahmad Zahari, harus dimaknai bukan digantungkan kepada pertimbangan hakim, melainkan digantungkan kepada kehendak ahli waris pengganti, apakah ia akan menempatkan posisi yang telah disediakan atau tidak.
Lanjut Raihan, Pemberian hak kepada ahli waris pengganti merupakan kebijakan yang sangat baik dan sejalan dengan misi Islam sebagai rahmatan lil ‘alamin. Menurutnya, pemberian hak kepada ahli waris pengganti ini merupakan penggambaran atas fenomena ketidakadilan yang terjadi di masyarakat, sehingga sepantasnya apabila cucu diberikan bagian dari harta warisan kakek atau neneknya.
Pandangan Raihan di atas ada benarnya, namun kiranya tidak tepat jika pemberian hak kewarisan kepada ahli waris pegganti semata-mata didasarkan atas rasa belas kasihan karena faktor ekonomi. Jika pemberian hak mewaris itu didasarkan oleh faktor ekonomi tentu al-Qur’an membatasi pemberian hak kewarisan hanya kepada ahli waris yang ekonominya lemah, sedangkan ahli waris yang ekonominya kuat tidak perlu diberikan hak, namaun pada kenyataannya al-Qur’an menetapkan tidak demikian.
Al-Qur’an dalam menetapkan hak kewarisan tidak hanya terbatas kepada ahli waris yang miskin saja, melainkan juga kepada ahli waris yang kaya. Meskipun orang tua pewaris kaya raya, sementara anak-anak pewaris sangat miskin, al-Qur’an telah menetapkan hak bagi orang tua pewaris. Demikian juga sebaliknya, meskipun anak-anak pewaris kaya raya sedangkan orang tuanya sangat miskin, Al-Quran tetap memberikan hak kepada anak-anak pewaris.
Ini membuktikan bahwa Al-Qur’an dalam menetapkan pemberian hak kewarisan kepada seseorang bukan digantungkan kepada kondisi ekonomi, melainkan didasarkan kepada kedudukannya sebagai anggota kerabat. Adapun faktor ekonomi sebagaimana dikemukakan oleh Raihan, hal itu hanyalah menjadi penguat perlunya memberikan hak kepada ahli waris pengganti.
Persoalan lain akibat sifat tentaifnya aturan ahli waris pengganti adalah dapat menimbulkan ketidakkonstannya kedudukan ahli waris pengganti ketika mempunyai dua kedudukan. Cucu laki-laki dari anak laki-laki yang ditinggal mati ayahnya bisa mempunyai dua kedudukan sekaligus yaitu sebagai ahli waris ashabah dan sebagai ahli waris pengganti. Apabila cucu tersebut diberikan kebebasan untuk memilih, sudah tentu akan memilih kedudukan yang lebih menguntungkan.
Sebagai contoh misalnya, seorang cucu laki-laki dari anak laki-laki mewarisi bersama delapan orang anak perempuan. Jika cucu menempati kedudukan ahli waris pengganti dan diberikan kedudukan sama seperti anak laki-laki, maka bagian yang diterima 2/10 (asal masalah 2+8=10), sedangkan jika diberi bagian tidak boleh melebihi bagian bibinya, maka bagian yang diterima akan lebih kecil yakni paling banyak 1/9 (asal masalah 1+8=9).
Bagian cucu akan menjadi lebih besar apabila cucu menempati kedudukaannya selaku ashabah yaitu mendapat bagian 1/3, sedang yang 2/3 untuk delapan anak perempuan selaku zawil furudl. Apabila cucu diberikan kebebasan untuk memilih sudah barang tentu cucu akan memilih menempati kedudukannya sebagai ashabah.
Kebolehan untuk memilih seperti ini tentu dirasa tidak adil oleh anak perempuan, sebab kalau saja saudaranya (anak laki-laki pewaris) tidak meninggal lebih dahulu, maka mereka bersama-sama menduduki kedudukan ashabah bil ghair sehingga bagian anak laki-laki hanya 2/10 dan anak perempuan 1/10.
Menempatkan cucu sebagai ashabah dengan menerima bagian 1/3 tentu dirasa tidak adil, sebab bagian yang diterima jauh lebih besar dari bagian ayahnya jika masih hidup yakni 2/10. Oleh karena itu hak opsi yang dikemukakan oleh Ahmad Zahari bahwa ahli waris pengganti boleh memilih antara menempatkan atau tidak menempatkan dirinya sebagai ahli waris pengganti dapat menimbulkan ketidakadilan di samping mengakibatkan adanya ketidakpastian hukum.
Adanya opsi dalam satu tatanan hukum akan menghilangkan sifat keuniversalan sebuah aturan dan menimbulkan ketidakpastian hukum. Dalam membuat suatu aturan harus selalu diupayakan dapat diberlakukan secara konstan dalam kondisi dan situasi papun untuk mewujudkan kepastian hukum.
Satu-satunya cara untuk mengatasi problem tentang kedudukan ahli waris pengganti ini adalah dengan memberlakukan penggantian ahli waris secara imperatif yakni setiap ahli waris yang meninggal lebih dahulu daripada pewaris harus digantikan oleh anak-anaknya. Mereka tidak diberi peluang untuk memilih kedudukan mana yang menguntungkan, sebab jika diberikan peluang untuk itu, maka pasti akan ada ahli waris lain yang dirugikan. Adapun cara yang ditempuh untuk merubah sifat tentatifnya pasal 185 ayat (1) adalah dengan menghilangkan kata “dapat“ sehingga berbunyi: “Ahli waris yang meninggal lebih dahulu dari pada si pewaris kedudukannya digantikan oleh anaknya, kecuali mereka yang tersebut dalam pasal 173”. Dengan merubah bunyi pasal tersebut, maka tidak ada lagi opsi untuk memilih bagian yang menguntungkan dan tidak ada lagi penentuan ahli waris pengganti digantungkan kepada pertimbangan hakim. Dengan demikian, maka sifat diskrimainatif, ketidakadilan dan ketidakpastian hukum dapat teratasi. Sebelum dilakukannya perubahan atas bunyi pasal 185 KHI, kiranya Mahkamah Agung dapat mengeluarkan peraturan mengenai petunjuk penerapan pasal 185 ayat (1) dengan memberlakukannya secara imperatif.
b. Jangkauan Garis Hukum Penggantian Ahli Waris.
Permasalahan lain berkaitan dengan ahli waris pengganti adalah apakah penggantian ahli waris hanya berlaku bagi ahli waris garis lurus ke bawah atau juga berlaku untuk ahli waris garis menyamping.
Terhadap masalah ini, Raihan[23] berpendapat bahwa penggantian ahli waris hanya diberlakukan dalam garis lurus ke bawah, itupun jika ahli warisnya hanya antara anak dan cucu. Raihan menambahkan, pemberlakuan yang lebih luas ke garis menyamping dapat diberlakukan dengan syarat mendapat persetujuan dari ahli waris lain yang akan berkurang bagiannya.
Pendapat berbeda dikemukakan oleh Idris Djakfar dan Taufiq Yahya.[24] Menurut mereka, jangkauan penggantian ahli waris meliputi seluruh garis hukum, baik garis ke bawah maupun menyamping. Sebagaimana telah dimaklumi bahwa sistem kewarisan KHI berbetuk bilateral, maka sebagai konsekuensinya tidak ada pembedaan kedudukan antara laki-laki dan perempuan sampai garis hukum manapun. Oleh karena itu jika KHI konsisten menghapuskan diskriminasi tersebut, maka mau tidak mau jangkauan penggantian ahli waris ini harus meliputi seluruh garis hukum.
Apabila KHI memandang adanya ketidak-adilan yang dirasakan oleh cucu dari anak perempuan yang menurut Jumhur tidak mendapat bagian karena berstatus zawil arham, atau oleh cucu perempuan dari anak laki-laki karena terhijab oleh anak laki-laki, tentunya KHI juga harus memandang adanya ketidakadilan terhadap sepupu (anak perempuan paman) yang tidak dapat menerima bagian akibat adanya anak laki-laki paman. Mereka merupakan orang-orang yang sama-sama tidak bernasib baik dilahirkan sebagai perempuan.
Mengenai jangkauan keberlakuan penggantian ahli waris ini, sebenarnya telah terakomodir dalam bunyi pasal 185 ayat (1) yang menyatakan: “Ahli waris yang meninggal lebih dahulu dari pada si pewaris, maka kedudukannya dapat digantikan oleh anaknya”. Apabila dicermati bunyi pasal tersebut, polemik tentang hal ini tidak perlu terjadi karena secara harfiah sudah memberikan makna bahwa jangkauan penggantian ahli waris itu meliputi seluruh garis hukum baik ke bawah maupun menyamping. Pemahaman demikian, dapat diperoleh dengan menyimak dua kata kunci yang ada pada pasal tersebut yaitu kata “ahli waris” dan kata “anaknya”.
Dari segi bahasa kata ahli waris merupakan lafal “nakirah“ yang mencakup seluruh ahli waris tidak terbatas kepada ahli waris tertentu. Dengan demikian, maka kata anaknya memberi pengerian anak dari semua ahli waris baik dari garis ke bawah maupun menyamping.
Apabila dalam suatu ketentuan hukum tidak ditemukan adanya pembatasan atas keumumannya, maka keumuman itu yang diberlakukan. Dengan berpedoman kepada keumuman lafal tersebut, maka cucu, maupun sepupu meskipun sampai jauh mereka dapat menjadi ahli waris pengganti.
Kesimpulan ini didukung oleh tidak dikenalnya zawil arham dalam KHI. Dengan tidak dikenalnya zawil arham memberi petunjuk bahwa semua kerabat pewaris dapat tampil sebagai ahli waris melalui penggantian ahli waris sepanjang tidak terhijab oleh ahli waris yang lebih utama. Oleh karena itu anak-anak saudara laki-laki maupun anak-anak saudara perempuan baik laki-laki atau perempuan serta anak-anak paman baik laki-laki maupun perempuan dapat menjadi ahli waris pengganti.
c. Kedudukan Ahli waris Pengganti dan Bagiannya.
Permasalahan kedudukan ahli waris pengganti timbul akibat adanya pembatasan bagian sebagaimana diatur dalam pasal 185 ayat (2) yang menyatakan: “Bagian ahli waris pengganti tidak boleh melebihi bagian ahli waris yang sederajat dengan yang diganti”. Yang menjadi permasalahan, mengapa dalam pasal ini menggunakan kalimat “yang sederajat”, tidak mencukupkan dengan kalimat “Bagian ahli waris pengganti tidak boleh melebihi bagian ahli waris yang diganti” dengan menghilangkan kalimat ‘yang sederajat’.
Terjadi perbedaan pendapat dalam memaknai maksud pasal 185 ayat (2). Ahmad Zahari[25] berpendapat makna sederajat itu meliputi tempat, kedudukan dan hak-hak tanpa batas dan tanpa diskriminasi antara laki-laki dan perempuan, sehingga ahli waris pengganti menempati kedudukan orang tuanya secara mutlak.
Penggantian tempat artinya menggantikan tempat orang tuanya, dan penggantian derajat artinya menggantikan derajat laki-laki dengan laki dan derajat perempuan dengan perempuan, sedangkan penggantian hak artinya menggantikan hak sesuai dengan hak yang dimiliki orang tuanya.
Jika orang tua yang digantikan itu laki-laki, maka ahli waris pengganti menduduki kedudukan dan menerima hak sebagai laki-laki meskipun ahli waris pengganti itu sendiri perempuan. Sebaliknya jika orang tua yang digantikan itu perempuan, maka ahli waris pengganti menduduki kedudukan dan menerima hak sebagai perempuan meskipun ahliwaris pengganti itu sendiri laki-laki. Pendapat Ahmad Zahari ini sama dengan konsep mawalinya Hazairin.
Sedangkan pendapat lain, di antaranya Syaifuddin (Hakim PA Binjai) menyatakan, yang dimaksud sederajat adalah jihat kekerabatannya sama dan dihubungkan oleh orang yang sama tanpa membedakan laki-laki dan perempuan[26], misalnya anak sederajat dengan anak, saudara sederajat dengan saudara dan sebagainya. Dengan penafsiran ini maka bagian ahli waris pengganti tidak boleh melebihi dari bagian anggota kerabat yang sederajat jihatnya, seperti cucu laki-laki dari anak laki yang menggantikan kedudukan ayahnya tidak boleh melebihi bagian bibinya (anak perempuan pewaris) karena kedudukan bibi sederajat dengan ayahnya. Pendapat demikian sama dengan pendapat beberapa hakim agama di lingkungan PTA Kalimantan Barat.
Pendapat Syafuddin dan para hakim agama Kalimantan Barat ini dikritik oleh Ahmad Zahari[27] dengan menyatakan bahwa cara seperti itu tidak sesuai dengan arti penggantian yang seharusnya, bersifat diskriminatif dan menimbulkan ketidakpastian hukum.
Perbedaan pendapat di atas disebabkan perbedaan penggunaan metode penemuan hukum. Ahmad Zahari cenderung menggunakan metode penafsiran komparasi (comparatief) dengan membandingkan kepada pendapat Hazairin, sedangkan Syaifuddin dan para hakim agama Kalimantan Barat menggunakan metode penafsiran gramatikal dengan melihat susunan kalimatnya.
Kedua penafsiran ini secara ilmiah dapat diterima, tetapi tidak mungkin keduanya sesuai dengan apa yang dikehendaki oleh KHI. Jika tidak ada penafsiran lain, pastilah hanya satu di antara keduanya yang sesuai.
Apabila mendasarkan kepada kaidah umum bahwa setiap penggantian mempunyai konsekuensi menggantikan segala sesuatu yang ada pada orang yang digantikan baik kedudukan, hak maupun kewajibannya, maka pendapat Ahmad Zahari dipandang lebih logis. Namun apakah demikian yang dikehendaki oleh KHI, atau barangkali pendapat Syaifuddin dan para hakim agama Kalimantan Barat yang lebih sesuai. Untuk mengetahui hal tersebut perlu memperhatikan latar belakang dibuatnya aturan itu, atau dengan kata lain perlu dilakukan penafsiran historis.
Menurut Yahya Harahap salah seorang yang terlibat langsung dalam mempersiapkan sekaligus merumuskan KHI menyatakan, bahwa diadakannya aturan ahli waris pengganti adalah untuk memenuhi rasa keadilan dan perikemanusiaan di mana seorang tidak wajar dihukum untuk tidak mendapatkan warisan dari kakeknya hanya karena orang tuanya telah meninggal lebih dahulu[28]. Pendapat tersebut hampir sama dengan yang dikemukakan oleh Raihan A.Rasyid sebagaimana telah dikemukakan di atas.
Drs. H. Taufiq, SH. M.Hum mantan Wakil Ketua Mahkamah Agung R.I yang juga terlibat dalam penyusunan KHI memberikan penjelasan bahwa pada saat disusunnya KHI terjadi perdebatan yang hangat antara pihak yang kental memegangi pendapat Jumhur dengan pihak yang menghendaki perubahan dengan mengadopsi sebagian pendapat Hazairin.
Dengan adanya perbedaan pendapat itu, maka hasil maksimal yang diperoleh sebagaimana tertuang dalam KHI.
Memperhatikan latar belakang pengaturan ahli waris pengganti di atas, maka pendapat Syaifuddin dan para hakim agama Kalimantan Barat lebih sesuai dengan maksud bunyi pasal 185 ayat (2) KHI.
Terlepas dari penafsiran di atas, yang pasti pemberian bagian kepada ahli waris pengganti dalam KHI merupakan solusi atas ketidakadilan yang selama ini terjadi akibat pemberlakuan hukum kewarisan yang cenderung patrininealistik. Sebagai jalan tengah antara pihak yang menghendaki perubahan dengan pihak yang mempertahankan kemapanan, kiranya wajar jika bagian ahli waris pengganti (untuk sementara) dibatasi sebesar bagian saudara yang digantikan.
Dengan memperhatikan beberapa segi negatif atas pembatasan seperti itu, maka seyogyanya penggantian ahli waris itu bersifat mutlak. Artinya ahli waris pengganti selalu menduduki kedudukan orang yang digantikan dan mendapat bagian sebesar bagian yang seharusnya diterima apabila ia hidup.
E. PENUTUP
Perbedaan tentang eksistensi ahli waris pengganti selalu muncul dalam setiap diskusi mengenai hukum kewarisan di Indonesia, sumber permasalahan terletak pada sifat tentatifnya penggantian ahli waris, kedudukan ahli waris pengganti, dan jangkauan keberlakuan penggantian ahli waris. Akibat dari perbedaan sudut pandang tersebut mengakibatkan tidak adanya kepastian hukum serta dapat menimbulkan ketidakadilan akibat digunakannya opsi yang menguntungkan.
Sebuah aturan yang ideal adalah apabila ketentuan yang ada tidak mengundang multi tafsir sehingga kepastian hukum dapat diperoleh dan keadilan dapat terwujud. Untuk mengatasi permasalahan ini, seyogyanya kententuan tentang ahli waris pengganti dalam KHI ditinjau kembali dengan merubah beberapa prinsip yang menjadi sumber perdebatan.
Perubahan dimaksud adalah merubah sifat tentatifnya penggantian ahli waris menjadi sifat imperatif. Ahli waris pengganti harus didudukan dalam kedudukan orang tuanya tanpa adanya hak opsi dan diberikan bagian sama dengan yang digantikan. Selain itu jangkaun penggantian ahli waris harus meliputi garis hukum ke bawah dan menyamping.
F. DAFTAR PUSTAKA
1. Al-Quran al-karim
2. Abdullah Ahmed an-Na’im, Dekonstruksi Syari’ah: Wacana Kebebasan Sipil, Hak Asasi Manusia dan Hubungan Internasional dalam Islam, (Yogyakarta: LKIS, 1994).
3. Abu Zahrah, Ushul al-Fiq, Kairo, Dar al-Fikri al-Arabiah, t.t.
4. Abdullah Siddik, Hukum Kewarisan Islam, Jakarta, Wijaya, 1980.
5. Ahmad Azhar Basyir, Corak Lokal Dalam Hukum Positif, Sebuah Tinjauan Filosofis, dalam Cik Hasan Basri, Hukum Islam Dalam Tatanan Masyarakat Indonesia, Jakarta, Logos Wacana Ilmu, 1998.
6. Ahmad Zahari, Tiga versi Hukum Kewarisan Islam, (Syafi’i, Hazairin dan KHI), Pontianak, Romeo Grafika, 2006.
7. Ali Parman, Kewarisan dalam Al-Qur’an, Suatu Kajian Hukum Dengan Pendekatan Tafsir Tematik, Jakarta, Raja Grafindo Persada, 1995.
8. Amir Syarifuddin, Pelaksanaan Hukum Kewarisan islam Dalam Lingkungan Adat Minangkabau, Jakarta, Gunung Agung, 1984.
9. Amir Nurruddin, Ijtihad Umar Ibn al-Khattab, Studi tentang Perubahan Hukum dalam Islam, Jakarta, Rajawali Press, 1987.
10. Anwar Haryono, Hukum Islam Keluasan dan Keadilannya, Jakarta, Bulan Bintang 1968.
0 komentar :
Post a Comment
Terima kasih atas commentnya, Comment anda sangat bermanfaat bagi saya... Semoga bermanfaat.