Umumnya masyarakat berpandangan, sengketa hanya bisa diselesaikan melalui jalur peradilan. Pendapat tersebut tidak seluruhnya benar. Perlu diketahui, jalur peradilan bukanlah satu-satunya cara untuk menyclesaikan sengketa. Banyak cara yang bisa ditempuh dalam menyelesaikan sengketa tanpa harus melalui proses persidangan di pengadilan, di antaranya adalah mediasi.
Mediasi adalah salah satu alternatif penyelesaian sengketa di luar pengadilan dengan menggunakan jasa seorang mediator atau penengah, sama seperti konsiliasi (tim penyusun Kamus Hukum Ekonomi FLIPS, 1997, Kamus Ekonomi FLIPS, Jakarta: Flips Project, hlm. 111).
Menurut Gary Goodpaster, "Mediasi adalah proses negosiasi pemecahan masalah di mana pihak luar yang tidak memihak (impartial) dan netral bekcrja dengan pihak yang bersengketa untuk membantu mereka memperoleh kesepakatan perjanjian dengan memuaskan". (Rachmadi Usman, SH., Pilihan Penyelesaian Sengketa di Luar Pengadilan, (Bandung: Citra Aditya Bakti, 2003, hlm. 79).
Jadi, mediasi adalah suatu proses di mana kedua belah pihak yang bersengketa atau lebih menunjuk pihak ketiga yang netral dan impartial untuk membantu mereka dalam mendiskusikan penyelesaian sengketa dan mencoba menggugah para pihak untuk menegosiasikan suatu penyelesaian dari sengketa. Selain itu, mediasi bersifat pribadi, rahasia, dan kooperatif dan tidak terikat dengan aturan-aturan formal sebagaimana proses penyelesaian sengketa melalui pengadilan.
Mediasi yang dilakukan oleh para pihak dengan bantuan mediator bertujuan untuk mencapai kesepakatan kedua belah pihak yang saling menguntungkan (win-win solution) dan memuaskan bagi pihak-pihak yang bersengketa serta bersifat problem solving, bukan untuk mencari kalah menang (win or loss). Karena itu, dalam suatu mediasi, mediator hanya menjadi fasilitator yang membantu para pihak dalam mengklarifikasi kebutuhan dan keinginan-keinginan mereka, menyiapkan panduan membantu para pihak dalam meluruskan perbedaan-perbedaan pandangan dan bekerja untuk suatu yang dapat diterima para pihak dalam penyelesaian yang mengikat.
Mediator berbeda dengan hakim atau arbiter dalam kewenangannya menyelesaikan sengketa. Menurut Gary Goodpaster, mediator tidak berwenang memutuskan sengketa para pihak, melainkan hanya membantu para pihak dalam menyelesaikan persoalan-persoalan, dan itu pun jika para pihak menguasakan kepadanya untuk membantu penyelesaian sengketa.
Mediasi sebagai salah satu alternative dispute resolution (ADR) sudah lama dikenal dalam Islam, khususnya dalam bidang perkawinan. Mediasi tersebut dilakukan dengan bantuan hakamain yang ditunjuk dari kerabat kedua belah pihak sebagaimana Surah an-Nina' ayat 35. Pengangkatan hakamain dalam penyelesaian sengketa perkawinan khususnya syiqaq juga telah diintegrasikan dalam proses beracara di Pengadilan Agama. Hal itu dibuktikan dengan diaturnya masalah pengangkatan hakamain dalam Kompilasi Hukum Islam Pasal 76 Ayat (2). Namun, pada kenyataannya jarang sekali atau hampir tidak ada hakim mengangkat hakamain sebagaimana maksud pasal tersebut di atas.
Mahkamah Agung RI melalui Peraturan Mahkamah Agung RI Nomor 01 Tahun 2008 telah mengintegrasikan mediasi ke dalam proses beracara di pengadilan sebagai salah satu instrumen untuk mengatasi penumpukan perkara.
Pasal 4 peraturan ini, mengisyaratkan bahwa seluruh sengketa perdata yang diajukan ke pengadilan tingkat pertama wajib terlebih dahulu diupayakan penyelesaian damai dengan bantuan mediator kecuali sengketa yang diselesaikan melalui proses pengadilan niaga, pengadilan hubungan industrial, keberatan atas putusan badan penyelesaian sengketa konsumen dan keberatan atas putusan komisi persaingan usaha. Sengketa perdata yang dimaksud dalam pasal ini termasuklah sengketa perkawinan.
Penerapan Peraturan Mahkamah Agung RI ini dalam proses penyelesaian sengketa perkawinan sejalan dengan Hukum Islam, di mana perceraian adalah suatu perbuatan yang paling dibenci sebagaimana hadis yang diriwayatkan oleh Ibnu Umar ra.:
Artinya: Dari Ibnu Umar ra. Bersabda Rasulullah SAW. "Perbuatan yang halal yang paling dibenci Allah adalah thalaq (cerai). (HR. Abu Daud dan Ibnu Majah dan disahkan oleh Hakim) [Imam Muhammad bin Isma'il al-Kahlaany, Sublu al-Salam, Dahlam, Bandung, tth., hlm. 168]
Bahkan Pasal 7 Ayat (1) perma ini telah mewajibkan hakim untuk memerintahkan kepada para pihak yang bersengketa untuk menyelesaikan sengketa tersebut melalui mekanisme mediasi. Selain itu, Pasal 2 Ayat (4) mengharuskan hakim memasukkan hasil mediasi ke dalam pertimbangan hukumnya dan jika tidak menempuh prosedur mediasi dianggap sebagai pelanggaran terhadap Pasal 130 HIR/154 RBg yang berakibat putusan batal demi hukum sebagaimana Pasal 2 Ayat (3) Perma ini. Dengan demikian, mediasi sebagai alternatif penyelesaian sengketa di luar persidangan menjadi suatu keharusan dalam penyelesaian sengketa perdata.
Diwajibkannya mediasi khususnya dalam sengketa perkawinan seperti perceraian membawa manfaat yang besar bagi para pihak, karena melalui mediasi akan dicapai kesepakatan dan solusi yang memuaskan dan terselesaikannya problem yang menjadi penyebab keretakan rumah tangga sehingga keutuhan rumah tangga tetap terjaga. Namun perlu diingat, bahwa sengketa perkawinan (perceraian) yang diajukan ke Pengadilan tidak jarang saat hari persidangan yang telah ditentukan hanya dihadiri oleh satu pihak saja yaitu pihak Penggugat/Pemohon atau Tergugat/Termohon tidak diketahui alamat pastinya. Di sinilah akan muncul permasalahan, apakah persidangan ditunda untuk memanggil Tergugat/Termohon atau pihak yang tidak hadir sebagaimana Pasal 127 HIR/151 RBg, atau ditunda untuk mediasi.
Pada kenyataannya, ada dua pandangan yang sementara ini muncul terhadap perkara ghoib atau perkara yang salah satu pihaknya tidak hadir saat sidang pertama; pertama: ditunda untuk memanggil ulang pihak yang tidak hadir, dan; dan untuk perkara ghoib tidak ada mediasi kedua: ditunda untuk mediasi.
Kelompok pertama berpendapat, jika salah satu pihak tidak hadir pada saat sidang pertama, maka persidangan ditunda untuk memanggil ulang pihak yang tidak hadir sebagaimana ketentuan Pasal 127 HIR/151 RBg dan jika tetap tidak hadir, maka proses mediasi tidak dilakukan, begitu pula dalam hal perkara ghoib.
Kelompok kedua berpendapat, sidang ditunda untuk mediasi, terlepas apakah kedua belah pihak hadir saat sidang pertama atau hanya salah satu pihak saja yang hadir. Pandangan kelompok kedua ini didasari pada Pasal 2 Ayat (3) dan (4) Peraturan Mahkamah Agung RI No. 01 Tahun 2008.
Dalam hal ini, penulis lebih cenderung kepada pendapat kelompok pertama. Kecenderungan itu didasari pada beberapa alasan:
Pertama: Mediasi dilakukan jika ada dua belah pihak atau lebih yang bersengketa atau beda pendapat dan keduanya bersepakat untuk menyelesaikan sengketa atau beda pendapat tersebut di luar pengadilan melalui bantuan mediator yang ditunjuk oleh kedua belah pihak. Artinya, kedua belah pihak harus sepakat untuk mediasi, dan mediasi tidak akan terjadi jika hanya ada satu pihak saja. Bagaimana akan dilakukan mediasi jika salah satu pihak tidak pernah hadir/datang. Dan bagaimana pula seorang mediator bisa membantu para pihak menyelesaikan sengketanya, jika mediator hanya bisa mendengarkan satu pihak saja karena ketidakhadiran pihak lainnya. Dengan demikian, sangat mustahil bisa tercapai kesepakatan-kescpakatan yang merupakan win win solution.
Kedua: Pasal 7 Ayat (1) dan (2) Peraturan Mahkamah Agung RI No. 01 Tahun 2008 menyebutkan: "(1) Pada hari sidang yang telah ditentukan yang dihadiri kedua belah pihak, hakim mewajibkan kedua para pihak menempuh mediasi, (2) Ketidakhadiran pihak turut tergugat tidak menghalangi pelaksanaan mediasi". Pada Pasal 7 Ayat (1) sudah sangat jelas disebutkan "yang dihadiri kedua belah pihak", artinya, hakim baru dapat mewajibkan mediasi kepada para pihak jika kedua belah pihak hadir saat persidangan Mafhum al-mukhalafah dari Ayat (1) adalah jika salah satu pihak tidak hadir, maka hakim tidak dapat mewajibkan mediasi. Sementara Ayat (2) merupakan pengecualian bagi Turut Tergugat bukan Tergugat, karena pihak yang sebenarnya bersengketa adalah Penggugat dan Tergugat.
Ketiga: Tidak menempuhnya mediasi oleh hakim karena alasan salah satu pihak tidak pernah hadir pada hari-hari sidang yang telah ditentukan bukanlah merupakan pelanggaran terhadap Pasal 130 HIR/154 RBg sebagaimana Pasal 2 Ayat (3). Sebab tidak ditempuhnya mediasi dalam kasus ini bukanlah atas kehendak dan kemauan hakim yang memeriksa dan menyelesaikan perkara tersebut, akan tetapi lebih dikarenakan ketidakinginan salah satu pihak (pihak Tergugat) untuk mempertahankan hak-haknya. Walaupun demikian, hakim tetap berusaha mendamaikan dan menasihati pihak yang hadir. Jadi di dalam pertimbangannya hakim cukup menyebutkan bahwa mediasi tidak dapat dilaksanakan karena Tergugat tidak pernah hadir pada hari-hari sidang yang telah ditentukan.
Keempat: Pasal 19 mengisyaratkan keterpisahan mediasi dengan litigasi. Jika sidang ditunda untuk mediasi sementara pada sidang tersebut salah satu pihak tidak hadir, maka secara tidak langsung telah menjadikan mediasi sebagai bagian dari hukum acara. Padahal kita tahu bahwa mediasi adalah alternatif penyelesaian sengketa di luar pengadilan dan mekanisme-nya sudah pasti berbeda dan terpisah dari mekanisme dan proses litigasi.
Kelima: Jika tetap dipaksakan mediasi sementara salah satu pihak tidak pernah hadir, maka akan timbul kesan bahwa berlarut-larutnya penyelesaian perkara. Coba bayangkan, berapa lama waktu yang diperlukan oleh para pencari keadilan yang pihak tergugatnya tidak diketahui alamatnya yang jelas dan pasti (ghoib) jika tetap harus menempuh mediasi.
Untuk selanjutnya, alangkah baiknya jika ada petunjuk pelaksanaan terhadap mediasi dalam perkara perceraian, sehingga tidak ada lagi perbedaan dalam penerapan mediasi di Pengadilan Agama.
0 komentar :
Post a Comment
Terima kasih atas commentnya, Comment anda sangat bermanfaat bagi saya... Semoga bermanfaat.