A. PENDAHULUAN
Tak seorangpun pernah membayangkan bahwa peralihan kedemorasi di Indonesia akan lancar, tetapi ada awalnya sejumlah kecil reformis, termasuk Gus Dur, sepenuhnya memahami besarnya tugas ini. Oleh karena itu, masuk akal orang merasa kecewa dengan masa kepresidenan Gus Dur, tetapi mengingat keadaan dimana Gus Dur yang harus melaksanakan, ia sebenarnya lebih banyak pujian dari pada yang telah di berikan pada umumnya.
Hampir tak ada orang yang memahami tingkat tekanan yang dialami oleh presiden dari suatu bangsa yang besar pada awal peralihan dari perintahan otoriter mileter ke demokrasi. Kebanyakan orang akan ambruk oleh karena tekanan seperti itu yang biasa berbentuk intimidasi pada setiap tingkat digaungkan dengan adanya harapan yang terlalu tinggi dan sumber daya yang sangat terbatas. Dalam hal ini, Gus Dur mempunyai sejumlah sifat yang jarang ditemui sekaligus dalam diri seseoarang. Ia seorang idealis dalam hal apa yang ingin dicapainya dan nilai-nilai yang diagungkannya secara konsisten sepanjang hidupnya. Tetapi ia juga seorang realis disertai perasaan yang tajam mengenai real politik. Keyakinannya bahwa “politik adalah seni tentang hal-hal yang mungkin cocok bagi masa transisi”. Karena masa ini memang biasanya berantakan dan tak dapat dilalui tanpa kompromi terus-menerus.[1]
Itulah gambaran awal tentang karakter Abdurrahman Wahid atau sering dipanggil dengan sebutan Gus Dur. Beliau lahir di Jombang pada tahun 1940, beliau juga, sejak masa remaja banyak tertarik pada pemikiran kritis, sehingga menurut pandangan M.Arief bahwa pemikiran forum demokrasi ini yaitu liberalisme, demokrasi dan universalisme.[2]
B. Karakter Politik Pemerintahan Gus Dur
Abdurrahman Wahid [Gus Dur] tampaknya selalu menjadi pembicaraan menarik dalam wacana palitik di tanah air. Menilai Gus Dur saat ini tentu berbeda dengan sosok Gus Dur sebelum menjadi presiden. Ketika Gus Dur berada di luar kekuasaan, ia dikenal sebagai tokoh demokrasi yang egaliter, dan berani menyuarakan aspirasi rakyat yang tertindas banyak masyarakat yang tertindas pada masa Orde Baru, mengadukan nasibnya pada Gus Dur. Keberpihakanya pada masyarakat tertindas pada waktu itu, membuat namanya semakin harum. Lewat kejujuran dan keberanian, menyeruakan kebenaran waktu itu, membuat ia dicintai oleh rakyat dari berbagai lapisan. Sebaliknya, dimata penguasa, Gus Dur tokoh yang dibenci dan harus dipinggirkan dari panggung politik.[3]
Kini, tampaknya sudah terjadi banyak perubahan dalam sikap dan tindakan politik Gus Dur setelah ia diberi kekuasaan oleh rakyat. Dalam menghadapi perbedaan pendapat dan kritik dari masyarakat, Gus Dur cenderung kurang akomodatif. Bahkan ada kesan muncul sikap otoriter terhadap lawan-lawan politiknya. Tindakan main pecat, usir dan marah-marah terhadap orang yang tidak sejalan dengan keinginanya, tentu sangat bertentangan dengan teori yang ia perjuangkan selama ini. Hal ini dikarenakan terlalu banyak persoalan-persoalan yang harus diselesaikan dengan pemikiran yang kritis dan jernih.[4]
Salah satu ciri dari kepribadiannya, Gus Dur adalah sosok yang tidak terlalu memperhatikan penampilan di muka para elite politik, sebaliknya ia lebih menunjukkan idealismenya dan ketulusannya. Namun jal ini kurang benar apabila mengingat ia seorang presiden dari sebuah demokrasi yang besar. Sebagai ciri pribadi, rasa tidak senang Gus Dur akan semua bentuk kepura-puraan memang mengagumkan dan merupakan salah satu dari sifat-sifatnya yang menarik perhatian. Sebenarnya “kenakalannya” berasal dari kebiasaannya mengempiskan kepura-puraan.[5]
Sering sekali, ia membuat pernyataan di muka umum mengenai sesuatu yang sangat disenanginya – yang isinya dianggapnya sudah jelas – tetapi sebenarnya dengan melakukan hal ini seolah-olah sedang melakukan sabotase terhadap dirinya sendiri karena ia tidak memikirkan apa yang dipikirkannya. Dengan demikian, ia membuka peluang terhadap serangan-serangan dari lawan-lawan politiknya, yang dipandang sebagai orang yang berbuat semaunya dan tidak bertanggung jawab.
Selain tidak menyukai penampilan, Gus Dur juga mempunyai kecenderungan untuk berkomentar mengenai masalah-masalah yang disenanginya sehingga kadang-kadang terlihat ia bukan lagi seorang yang memiliki visi mengenai hal itu, tetapi justru terkesan sebagai orang yang otoriter. Misalnya, ia sering mengutarakan kekecewaannya terhadap media Indonesia.
Terhadap tuduhan bahwa ia telah bersikap otoriter, suatu alasan kuat dapat digunakan untuk menentang gugatan tersebut, yaitu bahwa kelemahan Gus Dur disebabkan oleh ketidak mampuannya untuk bernegosiasi dengan keras dan mencapai kesepakatan dengan musuh-musuh politiknya. Misalnya, ia sering berlawanan dengan para jenderal ketika ia sebenarnya dapat dengan mudah menggunakan mereka untuk memperkokoh kekuasaannya.[6]
Dari sinilah kita dapat menilai sejauh mana karakter Gus Dur dalam dunia politik pemerintahan Indonesia, walaupun memang kita akui banyak sekali polemik yang dihadapinya dan merupakan sebuah pemerintahan warisan Orde Baru, akan tetapi nilai luhur komitmen jujur dan ketulusannya dapat menjadi sebuah cerminan bagi kita untuk lebih memperbaiki bagaimana seharusnya bangsa ini kita arahkan. Salah satu nilai yang kita akui, beliau adalah seorang yang mempunyai keteladanan yang luhur dalam memegang niat kepribadian untuk persatuan bangsa.
C. Menilai Komitmen Politik Gus Dur
Bagi awam, barangkali tindakan politik Gus Dur termasuk yang paling sulit dipahami. Ada kesan Gus Dur sering melawan arus, kontroversial, dan bahkan membingungkan. Sejak Or-Ba hingga kini, gagasan-gagasan yang dilontarkannya memang terkesan aneh dan berani. Banyak orang memuji dengan kecemerlangan pemikiran Gus Dur, karena dengan nilai tulus dan jujur. Selain itu, lepas dari setuju atau tidak terhadap pemikirannya, yang jelas Gus Dur memiliki komitmen tinggi pada keutuhan persatuan dan kesatuan bangsa. Namun disisi lain, banyak pula yang tidak setuju dengan gus Dur dan bahkan mereka mengecam tindakan politiknya yang dianggap sangat membingungkan. Kebingungan masyarakat dalam menilai politiknya semakin lengkap dengan munculnya pernyataan, bahwa ia tidak lagi mendukung Megawati sebagai calon presiden. Padahal, selama ini masyarakat yakin Gus Dur paling gigih mendukung Megawati. Ia sebagai deklarator PKB merupakan kekuatan merupakan kekuatan penting dalam memberi dukungan kepada PDI Perjuangan. Selain itu, Gus Dur juga dikenal sebagai sahabat karib yang senantiasa memberi dukungan moral bagi Megawati, di saat suka maupun duka. Sehingga cukup mengagetkan dengan munculnya pernyataan Gus Dur yang tak memberi dukungan lagi kepada Megawati.[7]
Dalam pengamatan lain, salah satu kepribadian Gus Dur adalah keyakinannya yang kuat akan nasib sehingga ia juga yakin bahwa ia harus mencoba melakukan hal-hal yang besar. Dalam perjalanan hidupnya, ia berada dalam suatu lingkungan di mana ia hampir tidak mempunyai tandingan dalam hal pengetahuan dan minat. Sebagai hasilnya, Gus Dur mempunyai kepercayaan diri yang sangat besar sehingga banyak orang yang berpendapat bahwa besarnya kepercayaan dirinya itu bisa membahayakan dirinya. Namun demikian, ia juga sangat rendah hati dan benar-benar tak pernah berpretensi. Sebagai presiden, ia hampir tidak mempunyai waktu untuk hal-hal protokoler bagi seorang kepala negara suatu negeri demokrasi ketiga terbesar dunia. Bagi Gus Dur, yang paling dihargainya dalam diri teman-temannya adalah sikap tanpa pretensi dan ketulusan.[8]
Banyak momen-momen kontroversi gus Dur terjadi oleh karena adanya kombinasi kebiasaan tinggi hati untuk menyemangati dirinya dan kebiasaan lainnya untuk mengemukakan secara langsung apa yang ada dibenaknya. Kesemuanya ini masih diperparah oleh tingginya rasa humor. Ketika segalanya beres dan teratur, gus Dur akan menjadi teman yang menyenangkan dan oleh karena itulah ia mempunyai banyak teman. Tetapi ketika ada yang tidak beres, maka hal-hal seperti ini hanyalah merugikan dirimya.
Keluhan yang sering ditujukan kepadanya setelah menjadi presiden adalah bahwa dia tidak bisa mengapresiasi keseriusan suatu keadaan. Bagi mereka yang dekat dengannya, hal ini tidaklah benar oleh karena ia selalu menganggap serius masalah-masalah yang dihadapinya. Namun demikian, memang ia punya sifat untuk selalu berusaha membuat agar bebannya tidak terasa berat dan juga untuk kejenakaan pikirannya, meringankan tekanan yang dihadapinya dalam setiap keadaan. Tanpa berbuat demikian, tak mungkin baginya untuk menghadapi keadaan seperti itu.
Dengan demikian, tidak semua orang memang setuju dengan tindakan dan langkah politiknya. Hal ini juga disadari sepenuhnya olehnya. Bahkan gus Dur mengakui berbagai kelemahan pada dirinya. Ia juga tulus dan jujur mengakui, matanya ‘buta’ namun hatinya tidak. Padahal, saat ini banyak orang yang memiliki mata yang sehat tapi hatinya buta, sehingga muncullah berbagai tindakan serakah dan menghalalkan segala cara.
Analisis lain, menurut Greg Barton bahwa Gus Dur dalam kursi pemerintahan Indonesia mempunyai berbagai macam problem yang harus diselesaikan terutama tantangan dari dalam (elite politik) dan bangsa Indonesia pada umumnya. Tantangan yang dihadapi oleh Gus Dur sudah jelas, tetapi setidaknya ada selusin hal yang perlu di selesaikan. Bila di tinjau satu persatu, jelaslah bahwa presiden Indonesia yang pertama dipilih secara demokratis ini memang menghadapi tantangan yang bukan han ya lebih besar melainkan juga lebih tak tampak di mata banyak orang, yaitu:
- Harapan yang terlalu besar
Harapan jutaan ograng Indonesia yang menyambut dengan penuh semanagat naiknya Gus Dur sebagai presiden ternyata terlalu besar dan tidak pada temapatnya. Hal ini terjadi oleh karena di bawah pimpinan Soekarno dan Soeharto, kedudukan presiden telah membentuk suatu mitis – dengan meminjam gambaran monarki tradisional Asia Tengggara, maka presiden adalah negara dan negara adalah presiden. Terlebih lagi, harapan orang mengenai apa yang akan mereka peroleh dari demokrasi dan beberapa cepat mereka akan memperoleh hal itu jauh dari masuk akal.
Ada asumsi yang meluas, bahkan diantara mereka yang seharusnya tahu lebih baik mengenai hal ini, bahwa selama tahun pertamanya presiden yang baru ini berhasil membawa perdamaian ke Provinsi- Provinsi yang bergolak, membangun kembali kepercayaan investor, menggulung praktek korupsi dan penyalahgunaan hukum yang telah berlangsung selama beberapa dasa warsa, mengendalikan militer, mengembalikan pertumbuhan ekonomi, dan pada umumnya mengantar Indonesia ke suatu periode kesejahteraan baru.
- Lawan-lawan yang kuat
Munculnya sinisme dan “keletihan akan reformasi” diperburuk oleh adanya kelompok-kelompok lawan yang kuat bagi presiden. Sebagian dari mereka bermusuhan benar-benar karena mereka menganggap Gus Dur sebagai saingan.
- Masyarakat sipil yang lemah
Lawan-lawan gerakan reformasi mempunyai perlengkapan yang memadai dan terorganisasi baik, tetapi demikian dengan mereka yang berpihak pada reformasi. Salah satu warisan rezim otoriter Soeharto adalah masyarakat sipil yang telah diperlemah. Memang, menurut kebijakan konvensional, Indonesia belum sampai pada tahap yang memungkinkannya untuk melakukan peralihan yang mulus ke demokrasi. Kelas menengah dan masyarakat sipil yang berkaitan dengan itu masih terlalu kecil untuk dapat memiliki sarana yang diperlukan untuk mempopulerkan demokrasi dan mendirikan institusi dan budaya check and balances yang sangat diperlukan agar demokrasi bisa hidup subur.
- Pers yang dipenuhi oleh politik
Salah satu bidang yang satu bidang yang paling banyak memperlihatka kelemahan masyarakat sipil adalah dikuasanyamedia oleh kepentingan politik.
Namun,hal ini bukanlah satu-satunya faktor penentu oleh karena intumidasi dan ancaman kekerasan juga penting dalam mempegaruhi garis yang diambil oleh banyak penerbit dan jurnalis individual. Dalam beberapa hal,intimidasi mengambil bentuk serangan oleh preman-preman yang bertindak atas nama kaum Islam radikal.
- Kekurangan modal politik
Sejak awal, masalah terbesar Gus Dur adalah kurangnya modal politik. Memang hal ini dapat diduga sebelumnya, tetapi ia mengalami kesulitan yang tak terduga dalam memecahkan masalah. Tentu saja, salah satu dari kesalahannya yang terbesar sebagai presiden adalah ketidak mampuannya untuk mengenali perlunya pembinaan koalisi untuk mendukungnya.
- Gerakan reformasi yang terbelah
Pada saat yang sama, lawan-lawan gerakan reformasi berhasil memecah dan menguasai, baik masyarakat sipil pada umumnya dan gerakan reformasi politik pada khususnya. Dalam organisasi-organisasi sipil terdapat kekacauan dan kekurang jelasan mengenai bagaimana bergerak maju.
7. Kaum Islamis cenderung menjadi ujung tombak bagi oposisi
Ketika hubungan antara Gus Dur dengan Megawati memburuk, partai reformis yang utama lainnya di DPR, PAN, mulai menunjukkan tanda-tanda terpecah belah. Amien Rais dan AM. Fatwa mulai mendorong menjauhi agenda reformasi yang merupakan dasar awalnya, dan condong pada kebijakan ekslusif – Islamisme. Oleh karena itu, di dalam PAN, seperti Faisal Basri menjadi jengkel dan akhirnya bersama tokoh liberal kunci lainnya, meninggalkan PAN.
8. Tidak adanya konstitusi yang demokratik
Masa kepresidenan Gus Dur ditandai oleh menguatnya posisi DPR diatas eksekutif. Tentu saja, diperlukan DPR yang vokal dan terus terang agar demokrasi dapat berfungsi. Akan tetapi suatu DPR tanpa check dan balances konstitusional yang cukup, lewat kontrolnya yang efektif terhadap MPR akan berubah menjadi hukum itu sendiri.itulah yang terjadi pada UUD 1945, yang selama 4 dasa warsa memberikan pelayanan yang baik kepada presiden-presiden yang otoriter, tidak dapat menjamin bahwa seorang presiden yang demokratik, dalam batas-batas yang masuk akal, bebas melakukan pekerjaannya.
9. Sikap permusuhan aparatur negara
Jika saja Indonesia mempunyai tradisi demokrasi yang telah tertanam baik, khususnya dalam mesin pemerintahan, kelemahan dan kekurang jelasan dalam UUD 45 akan menjadi jauh berkurang pentingnya. Warisan rezim Soeharto adalah suatu birokrasi yang tidak bisa berfungsi baik dan yang mementingkan diri sendiri. Mereka menolak reformasi bukan karena adanya keyakinan ideologi tetapi oleh karena kepentingan sendiri.
10. Sistem hukum yang tidak berfungsi dengan baik
Masalah yang dihadapi oleh pemerintah yang baru itu yang paling penting adalah tidak adanya supremasi hukum bagi banyak orang. Kebanyakan hakim dan petugas pengadilan bersifat korup dan sukar bagi pejabat yang jujur untuk melakukan tugasnya. Maka, sementara sistem hukum belum sepenuhnya tidak berfungsi dengan baik, sedangkan dalam banyak bidang sudah mendekati demikian keadaannya.
11. Negara Rente yang bekerjasama dengan kejahatan yang terorganisasi
Keadaan menyedihkan sistem hukum di Indonesia merupakan peringatan bahwa rezim lama memandang sistem hukum terutama sebagai alat politik dan sarana untuk mempertahankan ketertiban sosial. Kejahatan itu sendiri tidak di lihat sebagai suatu masalah, asal berada dalam kendali rezim yang berkuasa. Bahkan usaha mencari rente dari rezim ini meluas keluar bisnis legal dan mencapai setiap usaha yang seharusnya menguntungkan di masyarakat.
12. Militer yang melawan
Kerjasama antara militer dan kejahatan yang terorganisasi mempunyai efek korosif yang meluas keluar kejahatan biasa. Kekrasan di Timor Timur pada tahun 1999 dan Timur Barat sejak itu, merupakan peringatan mengenai sejauh mana militer bertanggung jawab pada milisi yang bergantung pada kaum preman untuk melakukan kerja kotor pada mereka.
Dalam banyak hal usaha Gus Dur untuk menjinakkan militer merupakan salah satu dari suksesnya yag terbesar, tetapi dengan demikian ia menjadi bermusuhan dengan lebih banyak perwira yang berkuasa dan merupakan ancaman bagi kepentingan bisnis banyak perwira lain. Reformasi yang dilakukan Gus Dur dalam tubuh tentara mendapatkan perlawanan dari unsur-unsur keras di dalam tubuh militer dan Polri. Terlebih lagi, militer sayap ultra nasionalis menjadi marah oleh karena pendekatan kemanusiaan yang diambil oleh Gus Dur untuk memecahkan konflik di Aceh dan Irian Jaya. Tak ada lagi bagi banyak orang Megawati yang dikenal sebagai seorang nasionalis yang konservatif merupakan alternatif yang menarik untuk mengganti Gus Dur.[9]
D. Kesimpulan
Dapat diambil sebuah kesimpulan dari beberapa ekplorasi diatas mengenai karakter politik pemerintahan Gus Dur, bahwa ia adalah sosok yang begitu mengagumkan. Tak pelak lagi apa saja yang dikatakan mengenai Gus Dur, ia tetap intan yang belum diasah atau dalam bahasa jawa ia “kasar”, bukan halus.
Masih banyak hal mengenai Gus Dur dari apa yang bisa terlihat. Tetapi apa yang terlihat itu seringkali tidak menyenangkan. Teman-teman dan keluarganya berusaha sekuat tenaga untuk memolesnya agar ia sesuai dengan jabatan presiden yang disandangnya dan untuk berlaku adil kepadanya, ia berusaha keras, tetapi sayangnya selalu belum sepenuhnya berhasil.
Aspek kepribadian Gus Dur ini yang harus dibayarnya dengan mahal oleh karena hal ini membuat musuh-musuhnya dengan mudah menganggapnya sebagai seortang “tolol” dan mengalami waham, sehingga tidak dapat lagi dipercaya memerintah negeri ini. Sedihnya, hal ini membuat mereka tampak menjadi orang baik, jika tidak di mata orang Indonesia, paling tidak di mata komentator-komentator yang paling dipercaya di dunia. Khususnya, di mata unsur-unsur garis keras dalam tubuh militer orang-orang yang negara-negara demokrasi yang sudah mapan mungkin akan di penjara dalam waktu lama untuk kejahatan yang mereka lakukan terhadap kemanusiaan, di sini, di Indonesia justru sebagai para pembela demokrasi.
E. Referensi
Greg Barton, BIOGRAFI GUS DUR (The Authorized Biography of Abdurrahman Wahid), Yogyakarta : LkiS 2002
Mujamil Qomar, NU Liberal, Bandung : Mizan 2002
Drs. Hamdan Daulay, M.Si., Dakwah di Tengah Persoalan Budaya Politik dan Budaya, Yogyakarta : LESFI 2000
Greg Fealy & Greg Barton, Tradisionalisme Radikal (Persinggungan NU ~ Negara), Yogyakarta: LkiS 1997
0 komentar :
Post a Comment
Terima kasih atas commentnya, Comment anda sangat bermanfaat bagi saya... Semoga bermanfaat.