BAB I
A. Pendahuluan
Salah satu ciri yang membedakan Islam dan lainnya adalah penekanan yang difokuskan terhadap ilmu sedangkan Al- Qur’an dan hadits sering kali mengajak dan memberikan informasi terhadap kaum muslimin untuk mencari dan mendapatkan kedamainan, ketenangan,dan kebahagiaan.
Kemiskinan merupakan salah satu problem yang selalu melilit dan menyaring umat manusia disegala waktu dan tempat yang akhirnya terciptalah suatu persoalan yang tidak dikehendaki oleh Al-Qur'an dan Al-Hadits yakni adanya rasa dendam dengki sekaligus bermusuhan, lebih-lebih yang terjadi dalam keluarga sendiri, inilah yang dalam islam diistilahkan dengan mu’amalah yang di mana didalamnya termasuk persoalan wasiat yang sering dalam praktek dan pelaksanaannya tidak pernah dilakuklan secara adil dan bijaksana
Seab masalah yng mendapatkan perhatian secara serius dalam hukum fiqh ialah kajian mengenai wasit, karena dalam ketentuan fiqh bila mana seseorang itu wafat seluruh hartanya berpindah milik pada ahli waris yang ditinggalkan,dengan catatan ongkos pemakaman,untuk menutupi hutang,dan sejumlah harta yang di waqafkan,karena ketiga hal tersebut hak si mayit.
Kenapa persoalan wasiat penting untuk dikaji karena selama ini yang terjadi tidak sama rata hanya dalam pembagian dari suatu harta peninggalan, hal semacam ini mungkin timbul karena orang yang berwenang untuk melakukan wasiat tidak lagi memakai konsep yang tertera dalam Al-Qur'an dan Al-Hadits dalam arti tidak menelaah apa yang terkandung dalam sumber Hukum Islam dan Undang-undang yang sudha diberlakukan yakni dalam KHI.
Dari persoalan yang mendasar diatas penulis ingin mengkaji persoalan dalam hal ini mengenai Wasiat Wajibah dan tinjauan dalam Perspektif Hukum Islam. Dalam rangka terciptanya suatu tuntunan Hukum yang berlaku bagi Ummat Islam khususnya yang ada di Indonesia dan sekaigus agar suatu pelaksanaan dari suatu Wasiat tetap berpegang pada ajaran-ajaran yang telah di informasikan dalam Al-Qur'an dan Al-Hadist mengenai pembagian harta yang dimilikinya.
BAB II
WASIAT WAJIBAH DITINJAU DALAM PERSFEKTIF HUKUM ISLAM
A. Pengertian dan Hukum Wasiat Wajibah.
Wasiat adalah hak manusia dalam artian bahwa perbuatan itu akan dilaksanakan dengan kehendaknya sendiri, tidak boleh adanya tekanan dari pihak Eksternal atau Internal. Hal ini merupakan konsensus Ulama sebab pada dasarnya Hukum Wasiat itu adalah sunnat Mu’akaddah atau merupakan anjuran saja bukan suatu kewajiban, akan tetapi tujuan dari wasiat itu sendiri adalah untuk menambah amal baik saja.
Adapun hal yang menjadi suatu kewajiban wasiat itu disebabkan karena manusia itu sering menjadi makhluk pelupa atau karena adanya halangan yang menyebabkan kewajibannya tidak bisa terpenuhi, padahal ia sendiri mampu untuk melakukannya sewaktu ia masih dalam keadaan hidup, seperti contohnya terlupakannya masalah Zakat, Haji dan sebagainya. Hal yang demikian inilah yang timbul bukan dikarenakan adanya undang-undang, melainkan timbul dari Syari’at Islam itu sendiri.
Namun demikian karena manusia dalam masyarakat tidak bisa hidup dengan sendirian maka diperlukan adanya pertolongan orang antara lain termasuk aparat negara, maka secara otomatis manusia pun harus mempunyai rasa tunduk terhadap Undang-undang yang telah ditetapkan dalam hal ini ialah yang paling nyata adalah ketentuan dari adanya Wasiat Wajibah. Sebab Wasiat Wajibah yang biasanya ditetapkan oleh Pemerintah sebagai aparat teringgi yang mempunyai wewenang untuk memberikan putusan mengenai Wasiat Wajibah. Sebab hal yang demikian inilah dilakukan karena dalam rangka agar membawa suatu kemaslahatan yang sesuai dengan kaidah Syari’ah. Sekarang yang menjadi masalah adalah, apa pengertian dari Wasiat Wajibah itu.
Ada dua hal mengenai wasiat itu dimana dengan Wasiat Wajibah, pertama Hilangnya unsur Ikhtisariyah bagi si pemberi Wasiat dan munculnya unsur kewajiban melalui per Undang-undangan atau surat keputusan tanpa bergantung kerelaan orang yang berwasiat dan sekaligus persetujuan dari orang yang telah enerima Wasiat. Kedua adanya kemiripan dengan ketentuan pembagian harta pusaka.
Sedangkan Wasiat itu disebut dengan Wajib, karena didasarkan kepada beberapa pendapat Fukaqa yang berkaitan dengan hukum penentuan ayat Wasiat, untuk kedua orang tua dan kerabat dekat dengan ayat-ayat kewarisan, sedangkan Drs. Fathur Rahman, dalam bukunya menegaskan bahwa Wasiat Wajibah adalah merupakan suatu pewenangan penguasa atau Hakim yang posisinya sebagai aparat negara tertinggi berhak memberikan keseimbangan kepada orang tertentu dalam keadaan tertentu pula.
Oleh karena itu, dari kedua pengertian siatas mengenai Wasiat Wajibah bisa diambil suatu pemahaman bahwasanya suatu yang menjadi adanya Wasiat Wajibah disebabkan adanya Undang-undang karena faktor Ahli Waris yang terlebih dahulu meningal atau mungkin meninggalnya bersama-sama dan diantaranya sama-sama mempunyai keturunan, oleh karena itu Wasiat Wajibah merupakan pemecahan yang sangat cemerlang terhadap masalah yang tidak diberinya tirkah atas cucu yang orang tuanya meninggal lebih dahulu dari Mawaris (Kakek nenek) sehingga mereka tertutup dari orang yang lebih kuat atau utama dari mereka, disisi lain Wasiat Wajibah akan menjadi wajib berdasarkah pendapat para Fuqoha, yakni bahwasanya hubungan ayat waris dan ayat wasiat itu tetap berlaku terhadap Ahli Waris, walaupun menurut ketentuan perwarisan tidak mendapatkan warisan salah satu dari mereka.
Dan dengan adanyaWasiat Wajibah tidak akan ada pihak dari manapun yang dirugikan sebab pembagiannya hrus ada persyaratan artinya, wasiat tersebut bisa dilakukan asal tidak boleh lebih dari sepertiga. Karena merupakan batas maksimum yang tidak boleh dilampaui kecuali ada pertimbangan dan izin dari para Ahli waris. Dengan demikian maka karean Wasiat Wajibah tidak terlepas dari persoalan harta pusaka, maka dari itu sebagai dari diperolehkannya melakukannya Wasiat Wajibah, Al-Qur'an sendiri banyak memberi Informasi tentang Wasiat-wasiat pewaris bahwasanya harta pusaka menurut Al-Qur'an adlah pendapatan bersih yang dipersiapkan oleh pewaris untuk diberikan kepada para Ahli Waris. Yang disebut dengan pendapatan bersih karena harta pewaris merupakan harta baru yang dapat diserahkan kepada setiap ahli waris apabila sudah dikurangi biaya untuk penguburan, bayar utang, atau Wasiat pewaris.
Oleh karena itu Wasiat Wajibah itu didahului atas Wasiat-wasiat yang bisa dikatakan sebagai Alternatif dalam rangka rasa kemanusiaannya yang harus didominankan, bila mayit tidak mewasiatkan kepada orang lain, maka orang yang wajib diberi Wasiat Wajibah itu mengambil kadar bagiannya dari sisa sepertiga harta peninggalan. Bisa sisa itu cukup bisa juga tidak cukup, maka dari sepertiga dan sekaligus dari bagian yang diwasiatkan tidak lagi menggunakan Wasiat Wajibah.
B. Syarat Melakukan Wasiat Wajibah
Secara umum rukun dan syarat dari wasiat wajibah sebenarnya tidak jauh berbeda dari wasiat ikhtisariyah. Hanya saja dalam Wasiat Wajibah itu diperlukan adanya hubungan kekerabatan karena wasiat ini melindungi ahli waris yang terhalang oleh yang lebih utama dalam mendapatkan tirkah dari pewaris. Sedangkan persyaratan khusus didalam Wasiat Wajibah adalah :
- mereka sama sekali tidak mendapatkan warisan, seandainya memperoleh sekalipun sedikit maka tidak berhak mendapatkan warisan. Dalam hal ini Prof. Hasybi juga berpendapat bahwa dengan menyatakan, bahwasanya anak yang wajib di wasiati untuknya bukan ahli waris akan tetapi kalau ia berhak menerima pusaka walaupun sedikit, tidaklah wajib dibuat wasiat untuknya. Para Ulama sepakat bahwa wasiat yang wajib adalah yang dtujukan kepada kerabat atau kedua orang tua yang tidak bisa menerima harta tirkah karena terhalang oleh ahli waris yang lebih dekat.
- Simayyit tidak memberi mereka harta melalui bentuk pemberian lain seperti Hibah, Wakaf atau yang sepadan dengan Wasiat Wajibah. Prof. Hasbi menyatakan yang intinya sama yaitu orang yang meninggal baik kakek maupun nenek belum memberikan kepada anak yang wajib dibuat wasiat untukny dengan jalan lain. Pemberian dengan cara apapun bentuknya yang diberikan kepada orang yang sebetulnya berhak atas Wasiat Wajibah akan menghilangkan hak Wasiat Wajibah untuknya. Hanya saja pemberian itu adalah pemberian yang sudah mencapai sepertiga atau sudah melebihi bagian yang seharusnya diterima oleh orang yang seandainya masih hidup. Hal ini dikatakan oleh Abu Zahro dalam memberikan syarat yang harus dipenuhi sebagai berikut :
ويسترط ايضا ألا يكون الميتت أعطاهم بغير عوض طريق أخر كطريق الهبة أوالوقف ما يساوي الوصية لهم بمقدار ما يكمل نصيب أصلهم التى توفى فى حياة أحد أبويه أوالثلث ان كان نصيبة أكبر منها فان كان المية قد أعطي أصحاب الوصية الواجبة بالهبة أو غيرها مقدر نصيب أصلهم
“Disyaratkan juga apabila Mayit tidak memberikan wasiat kepada mereka (Ahli Waris) tanpa ada ganti dengan cara yang lain, seperti cara Hibah atau Wakaf yang disamakan dengan Wasiat Wajibah. Sekalipun mayit memberikan kepada mereka, wajib bagi mayit berwasiat kepada anaknya atau ahli waris dengan ketentuan yang sempurna yang menjadi bagian asli mereka, sednagkan yang ditinggal mati oleh salah seorang dari kedua orangtuanya mendapatkan sepertiga. Jika bagian itu lebih dari sepertiga dan mayit memberikan kepada ashabul wasiyat, wajib dengan cara hibah atau selain dengan cara tersebut dengan ketentuan bagian yang asli dari ahli waris.”
- Wasiat Wajibah tidak memperhatikan ada atau tidak adanya lafadz shighat karena dasar penetapan hukum wasiat ini berdasarkan kepada pengamdaian adanya lafadz oleh penguasa dan wajib dilaksanakan. Dengan demikian jelas bahwa syarat yang diperlukan dalam Wasiat Wajibah itu adalah orang yang berhak menerima Wasiat itu ahli waris yang berhak atas harta peninggalan walau sedikit dan belum menerima pemberian dengan jalan apapun yang melebihi bagian asalnya dan tidak melebihi pula kadar wasiat Ikhtisariyah yaitu sepertiga.
C. Hikmah Wasiat Wajibah
Kebanyakan ulama telah maklum dengan pendapatnya yaitu mewasiatkan sebagian hartanya pada kerabat baik yang jauh maupun yang dekat, tidak diwajibkan oleh syara’ kecuali oleh orang tertentu pulalah yang sering disebut dengan Wasiat Wajibah.
Hukum Waris mengenal adanya Hijab dan Mahjub, sedang penerapannya adalah bahwa ahli waris yang dekat akan menutupi ahli waris yang jauh kekerabatannya. Yang menimbulkan perhatian disini adalah apabila ada keturunan dari anak yang ditinggal mati lebih dahulu dari pada ahli Waris sedangkan ketentuan tersebut terhijab oleh anak yang lainnya sehingga orang keadaan demikian dapat menikmati harta peninnggalan dari muwaris. Dengan demikian bahwasanya dengan adanya Wasiat Wajibah itu karena semata-mata mendatangkan maslahah dari kekecewaan ahli waris yang tidak mendapat dengan menghilangkan kemadhorotannya. Jadi Wasiat Wajibah itu ada karena adanya perhatian pemerintah dengan melihat keadaan kerabat simayit yang tidak bisa menikmati harta peninggalan disebabkan karena adanya ahli waris yang lebih berhak.
Sesuai dengan ketentuan diatas bahwa orang yang bisa menerima Wasiat Wajibah adalah hanya Furu’ saja, baik dari garis laki-laki maupun garis perempuan. Furu’ yang menerima Wasiat Wajibah ini pada dasarnya adalah Ayah atau Ibunya, yang demikian ini pun berlaku sebagaimana hukum waris, dalam arti Furu’ yang lebih dekat akan menghijab Furu’ yang lebih jauh. Hal ini dapat diketahui dengan jalan melihat ahli waris yang diganti.
Selain kenyataan diatas Wasiat Wajibah terbentuk karena berdasarkan kepada kaidah syari’ah. Memang suatu kewajiban bagi orang yang beriman untuk ta’at kepada Allah, Rosul dan Ulil Amri, berlaku pula mentaati Undang-undang yang dibuat penguasa, hal ini tidak bertentangan dengan nash Al-Qur'an dan Al-Hadits.
D. Kesimpulan
Ulama sepakat bahwa Wasiat kepada selain ahli waris adalah tidak wajib, maka kewajiban wasiat ini hanya diwajibkan kepada kerabat yang tidak bisa menerima pusaka. Dengan demikian penyusun bisa menyimpulkan, adanya Wasiat Wajibah itu karena adanya Hijab yang menghalangi cucu yang dalam keadaan kecewa atau kacau karena ditinggal mati ayahnya yang mestinya bisa menerima waris seandainya masih hidup, dengan didukung adanay dasar ayat wasiat yang tidak di Mansukh oleh ayat waris.
Dari ketentuan Wasiat Wajibah ini hikmahnya adalah bahwa cucu yang semula tidak mendapatkan harta dalam keadaan kacau, dengan adanya yurisprodensi ini maka ia mendapatkan harta tirkah.
Meskipun pemecahan ini dirasa cemerlang terhadap kemanusiaan yang lebih tinggi dalam memperhatikan kepentingan cucu, namun Ijtihad ini merupakan pelanggaran terhadap ketentuan kewarisan yang disepakati oleh madzhab empat. Istilah Wasiat Wajibah itu sendiri mengandung keanehan karena wasiat itu secara konsepsional bersifat sukarela yang dilawankan dengan ketentuan kewarisan yang bersifat memaksa, selai itu juga dengan penerapan Wasiat Wajibah akan mengakibatkan rusaknya keseimbangan yang seksama yang telah dibuat oleh fiqh Islam diantara berbagai tingkatan Ahli Waris. Contohnya yaitu seseorang mati dengan meninggalkan Empat orang anak perempuan dan satu cucu perempuan pancar laki-laki (Anak perempuan dari anak laki-laki) yang ayahnya telah meninggal lenih dahulu dari simati tersebut, maka cucu perempuan itu mendapat sepertiga peninggalan, sementara masing-masing anak perempuan yang lebih dekat tingkatannya kepada sipewaris dari pada cucu mendapatkan tidak lebih dari seperenam.
Walaupun demikian,ijtihadinitelaah mendapatkan penerimaan yang lebih baik dikalanggan ulama’-ulama’ dalam lapangan kajian fiqh dan diangap sebagai contoh ijtihad fiqh modern paqling menarik dan berpengaruh.
DAFTAR PUSTAKA
Ø Drs. Faturrahman. Ilmu Waris. Al-Ma’arif Bandung. 1975.
Ø JH. Syamsul Anwar, Islam Negara dan Hukum, INIS Jakarta, 1993.
Ø Dr. Abdullah Sidiq. SH. Hukum Waris Islam, Wijaya Jakarta, 1980
Ø Prof. Hasbi As-Shidiqi, Fiqh Waris, jakarta, 1993.
0 komentar :
Post a Comment
Terima kasih atas commentnya, Comment anda sangat bermanfaat bagi saya... Semoga bermanfaat.