Perkawinan adalah merupakan ikatan lahir batin antara seorang pria dan seorang wanita sebagai suami isteri dengan tujuan untuk membentuk suatu keluarga (rumah tangga) yang kekal dan bahagia . dalam UU No 1 Tahun 1974 Pasal 1 disebutkan bahwa “tujuan perkawinan adalah membentuk keluarga (rumah tangga) yanng bahagia, kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa” senada pula dengan bunyi Pasal 3 KHI bahwa tujuan perkawinan adalah” untuk mewujudkan kehidupan rumah tangga yang sakinah, mawaddah, dan rahmah”.
Begitu indah dan mulia tujuan perkawina itu. Akan tetapi….ternyata untuk mencapai dan mewujudkan tujuan tersebut tidaklah segampang yang diucapkan, tidaklah semudah yang diangankan. Karena manakala setelah perkawinan itu dijalani, banyak onak dan duri menghalangi, kerikil dan karang terjal menghadang,ombak dan gelombang pasang menerjang, maka biduk yang bernama rumah tangga itupun kerap tenggelam dan ahirnya karam. Maka ketika sebuah biduk perkawinan telah usai, dan penumpangnya bercerai berai, yang tersisa tinggallah puing-puing permasalahan. dan yang paling menderita akibat karamnya sebuah biduk perkawinan adalah anak..!
A. Ketika perkawinan tak lagi dapat dipertahankan.
Sebuah perkawinan tidak selamanya baik-baik saja, tak selalu damai-damai saja, manakala ikatan cinta kasih sebagai fondasi penting dalam perkawinan itu sudah terurai dan tidak bisa dipertahankan lagi, maka perceraian adalah jalan yang kerap diambil suami atau isteri untuk menyelesaikan permasalahannya..
Perceraian adalah pemutusan ikatan perkawinan. Putusnya perkawinan adalah istilah hukum yang digunakan dalam UU Perkawinan untuk menjelaskan “ berahirnya hubungan perkawinan antara seorang pria dengan seorang wanita yang selama ini hidup dalam sebuah atap yang bernama rumah tangga.
Putusnya perkawinan secara yuridis adalah merupakan suatu peristiwa hukum yang akan membawa akibat-akibat hukum, baik hukum kekeluargaan maupun hukum kebendaan.
Dalam buku Hukum Perkawinan Islam di Indonesia ( Prof. DR. Amir Syarifuddin) dikatakan bahwa bila suatu ikatan perkawinan putus, maka ada hukum yang berlaku sesudahnya yaitu:
- Hubungan antara keduanya berlaku seperti antara dua orang yang saling asing. Putusnya perkawinan mengembalikan status halal yang tadinya didapat dari perkawinan melalui akad nikah menjadikan kembali pada status semula yaitu haram, tidak boleh berpandangan, bersentuhan, apalagi melakukan hubungan suami isteri yang sebutannya menjadi perbuatan zina.
- Adanya suatu keharusan bagi suami memberi mut’ah kepada isteri yang diceraikannya sebagai suatu konpensasi. Namun dalam kewajiban memberi mut’ah ini dikalangan ulama terjadi perbedaan pendapat. golongan Zahiriyah merpendapat bahwa mut.ah itu hukumnya wajib.dasar wajibnya adalah terdapat dalam ayat 241 surat Al-Baqarah, yang artinya “ Untuk isteri-isteri yang diceraikan itu hendaklah ada pemberian dalam bentuk mut’ah secara patut, merupakan hak atas orang yang bertaqwa”. Golongan ulama Malikiyah berpendapat hukumnya mut’ah itu adakah sunnah dengan alasan karena lafadz “haqqan “alal Muttaqien” itu tidak menunjukan wajib’. Golongan lain mengatakan bahwa kewajiban memberi mut’ah itu berlaku tergantung pada keadaan tertentu, dalam keadan tertentu itupun terdapat perbedaan pendapat. Ulama Hanafiyah mengatakan hukumnya wajib untuk suami yang akan menceraikan isterinya sebelum digauli dan maharnya belum ditentukan sebelumnya. Golongan ini mendasarkan pada surat Al-Baqarah ayat 236. Sedangkan Jumhur ulama berpendapat bahwa mut’ah itu hanya wajib diberikan oleh suami yang menghendaki perceraian, seperti thalak. Mungkin inilah yang mendasari pemberlakuan keharusan pemberian mut’ah bagi suami yang akan menceraikan isteri, yang berlaku dalam hukum perkawinan di Indonesia, yang tertuang dalam KHI Pasal 158 huruf a dan b sementara hanya sunnah saja bagi suami memberi mut’ah apabila tidak memenuhi syarat seperti yang tercantum dalam Pasal 158 tersebut.
- Melunasi utang yang yang wajib dibayarnya dan belum dibayar ketika sedang dalam ikatan perkawinan, berupa maskawin atau nafakah.
- Adanya iddah yang berlaku atas isteri yang diceraikan yang menjalani masa iddah itu adalah perempuan yang bercerai dari suaminya, baik cerai hidup ataupun cerai akibat ditinggalkan mati oleh suaminya, sedang dalam keadaan mengandung (hamil) ataupun tidak wajib menjalani masa iddah.
- Adanya akibat hukum bagi pemeliharaan anak atau hadlanah.
B. Ada hak isteri yang didapat pasca perceraian
1. Bila terjadi perceraian atas inisiatif suami, maka bekas isteri berhak mendapatkan nafkah lahir dari suami selama masa iddah.
Hal tersebut tercantum dalam pasal 149 KHI huruf (b). Dan dalam pasal 151KHI tersebut diwajibkan bahwa “bekas isteri yang sedang dalam masa iddah wajib menjaga dirinya, tidak menerima pinangan dan tidak menikah dengan laki-laki lain” maka konsekwensi logis dari kewajiban tersebut adalah bekas suami wajib memenuhi nafkah lahir, sebagai hak yang harus didapatkan akibat kewajibannya tersebut, kecuali isteri berlaku nusyuz, maka tak ada hak nafkah iddah baginya. Namun perlu diketahui pula bahwa hak nafkah yang diterimanya apakah secara penuh atau tida juga adalah tergantung dari pada bentuk perceraiannya, bukan pada lamanya masa iddahnya.
Hak isteri yang bercerai dari suaminya dihibungkan dengan hak yang diterimanya itu ada 3 (tiga), macam ( Prof.DR. Amir Syarifuddin) yaitu:
1). Isteri yang dicerai dalam bentuk talak Raj’I, dalam hal ini para ulama sepakat bahwa hak yang diterima bekas isteri adalah penuh, sebagaimana yang berlaku pada saat berumah tangga sebelum terjadi perceraian, baik sandang maupun pangan dan tempat kediaman.
2). Seorang isteri yang dicerai dalam bentuk Ba’in, apakah itu ba’in sughra atau ba’in kubra, dan dia sedang hamil berhak atas nafkah dan tempat tinggal. Dalam hal ini para ulama sepakat, dasar hukum yang diambil oleh golongan ini adalah Al-Qur’an surat At-Thalaq ayat 6. Tetapi bila isteri tersebut dalam keadaan tidak hamil, maka terdapat perbedaan pendapat seperti antara lain Ibnu Mas’ud, Imam Malik dan Imam Syafi’i bekas isteri tersebut hanya berhak atas tempat tinggal dan tidak berhak atas nafkah. Adapun Ibnu Abbas dan Daud Adzdzahiriy dan beberapa ulama lainnya berpendapat bahwa bekas isteri tersebut tidak mendapat hak atas nafkah juga tempat tinggal, mereka mendasarkan pendapatnya pada alasan bahwa perkawinan itu telah putus sama sekali serta perempuan itu tidak dalam keadaan mengandung.. Mungkin pendapat ini yang dipakai dasar dalam ketentuan KHI dalam hal istri dijatuhi dengan bain dan dalam keadaan tidak hamil tidak mendapatkan nafkah, maskan dan kiswah ( Pasal 149 huruf (b) KHI.
3). Hak istri yang ditinggal mati oleh suaminya. Bila si isteri tersebut dalam keadaan mengandung para ulama sepakat isteri itu berhak atas nafkah dan tempat tinggal, namun bila tidak dalam keadaan hamil para ulama terjadi perbedaan pendapat yaitu: al. Imam Malik. Imam Syafi’iy mengatakan “berhak atas tempat tinggal”, sedangkan sebagian ulama lainnya seperti Imam Ahmad berpendapat bila isteri tidak hamil maka tidak berhak atas nafkah dan tempat tinggal, karena ada hak dalam bentuk warisan.
2. Hak isteri atas harta bersama
Harta bersama dalam khazanah Fiqh Islam memang pada dasarnya tidak populer, sehingga tidak ada pembahasan khusus dalam fiqh.Namun di Indonesia harta sejenis ini memang dikenal dan ada dihampir semua daerah. sehingga lahirlah berbagai istilah yang ada di masyarakat. seperti antara lain di sunda dikenal dengan seburtan “ guna kaya atau tumpang kaya”, di Madura dikenal dengan sebutan”ghuna –ghana” istilah suku Jawa adalah” gono-gini. dan lain sebagainya. Mungkin atas dasar keadaan adat di Indonesia seperti inilah sehingga dalam UU No.1 Thun 1974 Tentang Perkawinann Pasal 35, 36 dan 37 serta tercantum pula dalam KHI mulai dari Pasal 85 sampai Pasal 97.
Berdasarkan kenyataan bahwa banyak suami isteri yang sama-sama membanting tulang dalam upaya memenuhi kebutuhan nafkah keluarga sehari-hari, dan fenomena kekinian yang justru banyak isteri yang mendapat penghasilan lebih banyak daripada suami. Saat ini peraturan mengenai harta bersama ini masih berlaku pembagian sama yang didapat oleh istri maupun suami dengan tanpa melihat apakah dan siapakah yang paling banyak menghasilkan income selama berumah tangga. Tetapi mungkin saat ini kita boleh mengharap dengan adanya RUU Hukum Terapan Peradilan Agama Bidang Perkawinan yang mudah2an dapat melahirkan aturan yang berkeadilan gender.
Dalam pembagian harta bersama ini mungkin diharapka lebih pada prinsip keadilan dan perlunya kesadaran dari kedua belah pihak agar tidak terjadi kezaliman yang berawal dari pelanggaran hak.
3. Hak atas Mut’ah
Menurut Fiqh Islam telah disinggung sebelumnya, sedangkan dalam KHI terdapat 3 (tiga) Pasal yang membicarakan tentang mut’ah ini, yaitu dalam Pasal 158, 159, dan Pasal 160, yang menyebutkan bahwa seorang suami yang hendak mencerai isterinya wajib memberi mut’ah dengan syarat:
a. Belum ditetapkan maharnya bagi isteri yang qobla dukhul;
b. Perceraian itu atas kehendak suami;
Tetapi pemberian mut’ah ini hanyalah sunnah diberikan oleh bekas suami bila tanpa syarat-syarat tersebut, dan besarnya mut’ah juga di isesuaikan dengan kepatutan dan kemampuan suami;
4. Hak atas hadlanah
Dalam istilah Fiqh hadlanah ini disebut juga dengan Kafalah yang pengertiannya sama yaitu ”pemeliharaan” atau “pengasuhan”. Seorang isteri yang bercerai dengan suaminya juga mempunyai hak atas pengasuhan anak yang belum mumayiz, kecuali ditentukan lain oleh UU yang membatalkan haknya tersebut.
Menurut Guru besar fiqh Islam dari suriyah Wahbah Az-Zuhaili: “Hak hadlanah adalah hak berserikat antara ibu, ayah dan anak, meski bila terjadi pertentangan hak yang diprioritaskan adalah hak anak.” Ketika penulis mengikuti kegiatan yang diadakan oleh Pusat Studi Wanita dalam kegiatan penyusunan best praktis hak-hak dalam keluarga, hak isteri atas hadlanah ini juga termasuk dibicarakan karena maraknya kasus seorang isteri yang dicerai oleh suaminya sangat alot dalam mempertahankan dan memperjuangkan keinginanya untuk memelihara anaknya yang masih belum mumayiz, yang oleh suaminya dipertahankan pula. dengan tanpa melihat kepentingan si anak yang masih sangat membutuhkan dekapan kasih sayang seorang ibu karena masih menyusu misalnya.
C. Ketika perspektif hukum kurang adil gender
Ketika seorang istri sudah tidak lagi dapat menahan beban tekanan fisik dan psikis, ekonomi bahkan seksual, yang ahirnya membawa langkah kakinya memohon pada pengadilan untuk bercerai dengan suaminya dan memohon atas haknya tersebut, namun apa mau dikata hukum dan keadilan yang diharapkannya kerap tidak berfihak padanya, meski di pengadilan terungkap fakta, bahwa dibalik alasan gugat cerainya itu adalah karena sudah sampai pada titik jenuh, muak dan benci atas prilaku suami yang sudah tak dapat lagi ia tanggung, justru harus gigit jari, karena hukum saat ini masih kurang pro gender.
Dinamika sosial baru yang terus didukung berbagai kalangan diharapkan dapat melakukan terobosan pembaharuan hukum yang adil gender sehingga melahirkan pembentukan peundang-undangan yang konstruktif bagi pemenuhan hak-hak perempuan. meski demikian spirit dari pemikiran berkeadilan gender saat ini telah dapat menginspirasi sebagian besar para hakim Pengadilan agama baik karena adanya tuntutan balik dari pihak istri atau pun atas dasar kewenangan hakim secara ex officio dapatlah memutus dengan adil gender yang memang sudah seharusnya menjadi hak seorang istri yang diceraikan oleh suami.
D. Manfaatkan peluang yang ada.
ahirnya pada sebuah pemahaman bahwa sesungguhnya isteri yang bercerai dengan suaminya mempunyai hak yang bisa diraihnya, namun keadaanlah yang memaksa sehingga masih banyak bekas istri yang tidak bisa mendapatkan hak-haknya tersebut, namun sesungguhnya ada banyak peluang yang bisa diambil oleh para hakim, dalam rangka setidaknya mengurangi ketimpangan relasi gender. Hanya diperlukan terobosan dan keberanian dalam membaca yang tersurat dan tersirat, baik dalam konteks sebuah aturan atau menoleh pada aspek philososi sosial dan nilai-nilai hukum yang dapat diambil untuk kita wujudkan dalam memenuhi rasa keadilan bagi suami ataupun istri.
Peluang itu antara lain adalah:
1. Mengoptimalkan Pasal 41 UU No. 1 Tentang Perkawinan dan Pasal 27 PP No. 9 Tahun1975
2. Menggunakan yurisprudensi Mahkamah Agung : isteri yang menggugat suami tetap memiliki hak atas nafkah terhadap kesalahan yang dilakukan oleh suami.
Mungkin ini hanya sebuah tulisan yang tidak bermakna apa2-apa tetapi dengan niat yang iklas semoga ada manfaatnya meskipun hanya sejumput debu. Dan mungkin pula terlalu banyak kekurangannya namun dari lubuk hati yang paling dalam tulisan ini diakui sangat jauh dari sempurna karena hanya Allah lah Sang pemilik Kesempurnaan.
Wassalam.
2 komentar :
bagus nih gan buat orang yang masih awam tentang perceraian..
salamk kenal ajj..:)
Pengetahuan ttg penceraian ini sedikit sebanyak membantu saya menyiapkan assignment di peringkat universiti...jutaaan terima kasihh kerana menyumbangkan info yang baik...
Post a Comment
Terima kasih atas commentnya, Comment anda sangat bermanfaat bagi saya... Semoga bermanfaat.