العادة محكمة
Adat kebiasaan dapat ditetapkan sebagai hokum
A. PENDAHULUAN
Manusia adalah makhluk sosial, karena itu dianjurkan kepada setiap manusia agar mempunyai rasa saling mengerti dan menghargai manusia lainnya baik dalam lingkup individu atau kelompok. Seperti dalam masalah adat kebiasaan, pastinya setiap individu atau kelompok mempunyai adat kebiasaan yang berbeda-beda, maka dari itu untuk setiap manusia harus mengerti dan menghargai adat kebiasaan masing-masing, karena adat kebiasaan bisa berubah menjadi aturan-aturan yang diberlakukan dalam individu atau kelompok tersebut. Dan dalam hal ini akan dibahas mengenai pengertian, tujuan, dasar, qaidah qaidah yang seimbang dengan kaidah tersebut, syarat, macam dan hukumnya.
B. PENGERTIAN
Dalam memberi pengertian tentang adat kebiasaan, para ulama berbeda pendapat. Ada yang menyatakan adat mempunyai arti yang sama dengan ‘urf, ada yang mengatakan sebaliknya bahwa adat berbeda dengan ‘urf, yaitu pendapat sebagian fuqoha. Misalkan pendapat Al-Jurjani bahawa :
· Adat adalah suatu perbuatan yang terus-menerus dilakukan manusia, karena logis dan dilakukan secara terus-menerus.
· ‘Urf adalah sesuatu yang telah ditetapkan dalam jiwa karena sejalan dengan akal sehat dan diterima oleh tabiat
Akan tetapi pendapat mayoritas yaitu jumhur mengatakan bahwa adat kebiasaan mempunyai arti yang sama dengan ‘urf. Di antara pendapat yang menyatakan bahwa adat sama dengan ‘urf adalah:
· Menurut Al- Ghazali dalam kitab Al-Mustashfa
العادة والعرف مااستقرفىالنفوس من
جهةالعقول وتلقته الطباع السليمةبالقبول
“Adat dan ‘Urf adalah sesuatu yang telah menjadi mantap atau mapan didalam jiwa dari segi-segi aqal dan diterima oleh tabiat yang benar”.
- Menurut ahli-ahli ushul fiqh
مايتعارفه الناس ويسيرون عليه من قول أوفعل والعرف والعادة فى لسان الشرع لفظان كترادفان معناهماواحد
“Sesuatu yang dikenal oleh manusia dan berlaku dikalangan mereka baik yang bersifat perkataan dan perbuatan. ‘Urf dan adat dalam bahasa syara’ adalah dua kalimat yang sinonim pengertiannya satu”.
Sebenarnya masih ada beberapa pendapat yang menyatakan bahwa adat dan ‘urf adalah mempunyai arti yang sama, dan kesemuanya mempunyai maksud dan tujuan yang sama akan tetapi konteks kalimatnya berbeda-beda. Selain itu ada juga sebuah pernyataan bahwa ‘Urf tidak hanya merupakan perkataan seperti pendapat yang pertama tetapi juga perbuatan atau meninggalkan sesuatu. Karena itu dalam terminology bahasa arab tiada beda.
Adat atau ‘urf mempunyai dua bentuk yaitu qouli (yang berhubungan dengan ucapan) dan fi’ly ( yang berhubungan dengan perbuatan). Contoh :
# Qouli : Kebiasaan manusia menyebut al Walad secara mutlak berarti anak laki-laki bukan anak perempuan, begitu pula dengan keadaan mereka.
# Fi’ly : Adat bahwa sesuatu yang diberikan oleh pelamar (calon suami) kepada calon istri, baik berupa pakaian maupun perhiasan adalah hadiah bukan termasuk mahar.
Kaidah pokok ini juga dapat diperinci antara lain:
1. Adat tidak bisa dianggap sebagai adat yang bisa dijadikan sebagai ketetapan jika adat itu tidak tetap
2. Adat yang jelas ('urf jaly) jika bertentangan dengan syara', hukumnya ditafsil maka jika syara' tidak ada hubungannya dengan hukum , yang dimenangkan adalah adat contoh: Sumpah seseorang untuk tidak memakan daging tapi makan ikan maka dia tidak melanggar sumpah sebab menurut adat, ikan bukan daging. Dan jika syara' berhubungan dengan hukum, maka syara' harus didahulukan
3. Adat apabila bertentangan dengan arti menurut bahasa, para ulama' berbeda pendapat antara lain:
· Qadli husain menyatakan :"Pengertian bahasa yang harus dimenangkan"
· Imam baghowy menyatakan :"pengertian adat yang dimenangkan"
· Imam Rofi'i menyatakan :"Jika pengertian bahasa sudah umum maka yang digunakan adalah pengertian bahasa"
4. Apabila adat umum ('Urf am) bertentangan dengan adat khusus ('urf khash) maka 'urf khash yang digunakan kecuali jika sangat terbatas
Contoh: Kata Dabbah arti bahasanya: "Semua hewan yang berjalan /merangkak"
Arti 'urf khash adalah "Kuda" sedangkan menurut 'urf am adalah "hewan berkaki empat".
5. Hal-hal yang tidak terdapat ketentuannya baik dalam syara' maupun dalam lughat, maka harus dikembalikan pada 'urf
Sedangkan tujuan adat adalah sebagai hukum yang ditetapkan untuk:
- Menyusun dan mengatur hubungan perorangan dan masyarakat
- Mewujudkan kemaslahatan dunia
- Hukum dapat dipahami maknanya dan selalu diperhatikan ‘urf-‘urfnya
C. DASAR, SYARAT, DAN KAIDAH YANG SEIMBANG
Di antara dasar-dasar nash qaidah yang digunakan adalah:
- Firman Allah surat Al-a’raf 199
خذالعفووأمربالعرف وأعرض عن الجاهلين
“ Jadilah engkau pemaaf, dan suruhlah orang mengerjakan yang ma’ruf serta berpalinglah dari orang-orang yang bodoh”
- Hadits Nabi Muhammad
ماراه المسلمون حسنافهوعندالله حسن ْ{رواه احمدعن ابن مسعودْ}
“ Apa yang dipandang baik oleh muslim maka baik pula di sisi Allah” ( HR. Ahmad dari ibnu Mas’ud
Sedangkan yang merupakan syarat-syarat diterimanya ‘urf atau adat, yaitu:
- Perbuatan yang dilakukan logis dan relevan menurut akal sehat. Sehingga menunjukkan bahwa perbuatan tersebut tidak mungkin berkenaan dengan perbuatan ma’siat.
- Perbuatan atau perkataan yang dilakukan secara berulang-ulang yang sudah mendarah daging pada perilaku masyarakat yang ada di daerah tersebut
- Tidak bertentangan dengan ketentuan nash. Karena urutan adat atau ‘urf adalah berada di bawah nash dan kekuatan hkum nash lebih tinggi dari pada adat atau ‘urf
- Tidak mendatangkan kemadlaratan serta sejalan dengan jiwa dan akal yang sejahtera.
Adapun kaidah yang seimbang, yang sejalan dengan kaidah induk bahwa adat kebiasaan dapat ditetapkan sebagai hukum antara lain:
- Pensyararah kitab Al-Asybah wa an-Nazhair mengatakan
الثابت بالعرف ثابت بدليل الشرعى
“ Diktum hukum yang ditetapkan berdasarkan ‘urf sama dengan dictum hukum yang ditetapkan berdasarkan dalil syar’i”.
- Imam As-sarkashi dalam kitab Al-mabsudh
الثابت بالعرف كالثابت بالنص
“ Apa yang ditetapkan berdasarkan ‘urf statusnya seperti yang ditetapkan berdasarkan nash”.
- Al-allamah al-Marhum Ibnu Abidin dalam kitabnya Nashrul ‘rafi fiimaa buniya minal ahkaami ‘alal ‘urfi
المعروف عرفاكالمشروط شرطاوالثابت بالعرف كالثابت بالنص
“ Yang dikenal menurut kebiasaan seperti halnya ditetapkan dalam syarat dan yang ditetapkan menurut syarat seperti ditetapkan menurut nash”
· المعروف عرفاكالمشروط شرعا
“ Sesuatu ma’ruf yang telah ditetapkan oleh ‘urf sama halnya dengan yang disyaratkan oleh syara’”
D. MACAM-MACAM ‘URF (ADAT) DAN HUKUMNYA
Ada dua macam pembagian Urf (adat) yaitu:
- Adat yang shohih ( baik/benar)
yaitu kebiasaan yang dilakukan oleh manusia, tidak bertentangan dengan dalil syara’, tidak menghalalkan yang haram dan tidak membatalkan kewajiban. Seperti adat meminta pekerjaan.
Adat ini harus selalu diperhatikan , karena apa yang sudah diketahui dan dibiasakan oleh manusia adalah kebutuhan mereka, disepakati, dan ada kemaslahatannya. Selama ia tidak bertentangan dengan syara’ maka harus tetap dijaga.
- Adat yang fasid (jelek/rusak)
Yaitu kebiasaan yang dilakukan oleh manusia tetapi bertentangan dengan syara’, menghalalkan yang haram, atau membatalkan kewajiban . Seperti kebiasaan mungkar di tempat kematian (sesajen).
Berbeda dengan yang pertama maka adat ini harus tidak boleh diperhatikan karena dengan memperhatikan adat ini berarti menentang dalil syara’ atau membatalkan hukum syara’. Akan tetapi kadang-kadang harus ditinjau dari sudut pandang yang lain, apakah itu dlarurat atau kebutuhan. Tentunya berlaku dalam keadaan yang memang benar-benar dlarurat. Jika tidak maka hukumnya batal dan tidak bisa dijadikan sebagai hukum.
Melihat dua macam adat atau ‘urf di atas, maka bagi hakim, mufti atau orang yang mempunyai wewenang dalam hukum harus selalu memperhatikan dan benar-benar mempertimbangkan setiap putusannya, tentunya harus bisa membedakan dengan baik hal-hal yang menyangkut adat shohih dan fasid sehingga mampu berlaku bijaksana dan adil bagi setiap permasalahan yang ditanganinya. Dan perlu diketahui bahwa hukum yang didasarkan pada adat akan berubah seiring perubahan waktu dan tempat
D. KESIMPULAN
Dari pemaparan di atas dapat diambil kesimpulan bahwa adat mempunyai arti yang sama dengan ‘urf yaitu suatu kebiasaan manusia baik ucapan, perbuatan, atau yang lainnya yang ahirnya bisa dijadikan sebagai hukum yang sesuai dengan kemaslahatan yang dapat berubah menurut perubahan masa, tempat, dan situasi. Tentunya kebiasaan yang dimaksud adalah kebiasaan yang tidak bertentangan dengan dalil syara’.
DAFTAR PUSTAKA
o Prof. Dr. Abdul Wahhab Khallaf, Ilmu Ushul Fiqih (Kaidah Hukum Islam), Pustaka amani, Jakarta, Apil 2003
o Drs. H. Muchlis Usman MA., Kaidah-kaidah Ushuliyah dan Fiqhiyah, Rajawali pers, Jakarta, November 1999
o Prof. Muhammad Abu Zahrah, Ushul Fiqih, Pustaka Firdaus, Jakarta, 2005
o Drs. Dahlan Idhamy, Karakteristik Hukum Islam, Al-Ikhlash, Surabaya, 1994
o M. Hasby Ash-shiddieqy, Pengantar Ilmu Fiqih, Bulan Bintang, Jakarta, 1967
o Prof. Drs. H. Masjfuk Zuhdi, Pengantar Hukum Syari’ah, CV Haji Masagung, Jakarta, 1990
o Drs. Moh Adib Bisri, Tarjamah Al-faraidul Bahiyyah (Risalah Qawaid Fiqh), Menara kudus, Rembang, 1977
0 komentar :
Post a Comment
Terima kasih atas commentnya, Comment anda sangat bermanfaat bagi saya... Semoga bermanfaat.