BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Allah SWT meletakkan peraturan terhadap makhluk-Nya tidaklah sembarangan tanpa melihat latar belakang dan dasar-dasar makhluk-Nya. Setiap perintah dan larangan Allah SWT pastilah didasari dengan sebuah filsafat atau hikmat yang sangat kuat.
Seperti contoh keharaman meminum khamr tidaklah terjadi dengan tanpa alasan, melainkan karena khamr dapat membuat akal manusia terganggu atau malah hilang dan rusak. Dengan efek seperti ini, manusia tidak dapat berfikir secara normal sehingga dapat mengakibatkan kecelakaan terhadap dirinya sendiri maupun orang lain tanpa disengaja dan jelas tidak diingini. Begitu juga dengan konsep hukum Islam yang meletakkan predikat taklif sebagai batasan dalam peletakkan hukum. Seseorang yang belum mukallaf tidaklah terbebani oleh hukum-hukum yang taklifi. Tentu dasar hukum ini memiliki filsafat dibaliknya.
B. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang tersebut, dapat dirumuskan beberapa masalah sebagai berikut:
1. Apakah taklif itu serta objeknya?
2. Apakah mukallaf itu serta bagaimana gambarannya?
3. Apakah filsafat dibalik wujudnya taklif dan predikat mukallaf di dalam Islam?
C. Tujuan Pembahasan
Tujuan dalam pembahasan pada makalah ini antara lain:
ü Sebagai tambahan wawasan dalam materi tentang mukallaf dan perbuatannya
ü Sebagai nilai tambahan dalam pemenuhan tugas mata kuliah Ushul Fiqh
ü Sebagai media dalam berlatih menyusun karya tulis berupa makalah
BAB II
PEMBAHASAN
1. Taklif
Menurut Abdul Wahab Khallaf, hukum taklifi adalah hukum yang menghendaki dilakukannya suatu pekerjaan oleh mukallaf, atau melarang mengerjakannya, atau melakukan pilihan antara melakukan dan meninggalkannya.
Dalam Islam orang yang terkena taklif adalah mereka yang sudah dianggap mampu untuk mengerjakan tindakan hukum. Sebagian besar ulama ushul fiqh berpendapat bahwa dasar pembebanan hukum bagi seorang mukallaf adalah akal dan pemahaman.
Sebagimana sabda Rasulullah SAW.
Artinya: “Diangkat pembebanan hukum dari tiga jenis orang: orang itu sampai ia bangun, anak kecil sampai baligh, dan orang gila sampai ia sembuh” (HR. Bukhori, Turmudzi, Nasa’i, Ibn Majjah, dan Daru Quthni).
Berikut adalah beberapa syarat-syarat Taklif, yaitu:
v Orang itu telah mampu memahami kitab syar’i yang terkandung dalam Al Qur’an dan sunnah, baik secara langsung atau melalui orang lain.
v Seseorang harus mampu dalam bertindak hukum, dalam ushul fiqh disebut ahliyah syafe’i, 2007: 336-338).
2. Mahkum Fiih (Obyek Hukum)
a. Pengertian
Yang dimaksud dengan Mahkum Fih ialah perbuatan mukallaf yang menjadi obyek hukum syara’ (Syukur, 1990: 132). Mahkum fih ialah pekerjaan yang harus dilaksanakan mukallaf yang dinilai hukumnya (Sutrisno, 1999: 120). Sedangkan menurut ulama ushul fiqh yang dimaksud mahkum fih adalah objek hukum, yaitu perbuatan seorang mukallaf yang terkait dengan perintah syar’i baik yang bersifat tuntutan mengerjakan, tuntutan meninggalkan, memilih suatu pekerjaan, dan yang bersifat syarat, sebab, halangan, azimah, rukhsah, sah serta batal (Bardisi dalam Syafe’I, 2007: 317). Jadi, secara singkatnya dapat disimpulkan bahwa yang dimaksud dengan mahkum fih adalah perbuatan mukallaf yang berkaitan atau dibebani dengan hukum syar’i.
Syarat-Syarat Mahkum Fih
1. Mukallaf mengetahui perbuatan yang akan dilakukan, sehingga tujuannya jelas dan dapat dilaksanakan.
2. Mukallaf harus mengetahui sumber taklif, supaya mengetahui bahwa tuntutan itu dari Allah SWT, sehingga melaksanakannya berdasarkan ketaatan dengan tujuan melaksanakannya karena Allah semata.
3. Perbuatan harus mungkin untuk dilaksanakan atau ditinggalkan.dengan catatan:
a) Tidak sah suatu tuntutan yang dinyatakan musthil untuk dikerjakan atau ditinggalkan baik berdasarkan zatnya ataupun tidak.
b) Tidak sah hukumnya seseorang melakukan perbuatan yang ditaklifkan untuk dan atas nama orang lain.
c) Tidak sah tuntutanyang berhubungan dengan perkara yang berhubungan dengan fitrah manusia.
d) Tercapainya syarat taklif tersebut (Syafe’I, 2007: 320)
Disamping syarat-syarat yang penting diatas bercabanglah berbagai masalah yang lain sebagaimana berikut:
ü Sanggup mengerjakan, tidak boleh diberatkan sesuatu yang tidak sanggup dikerjakan oleh mukallaf.
ü Pekerjaan yang tidak akan terjadi, karena telah dijelaskan oleh Allah bahwa pekerjaan itu tidak akan terjadi, seperti jauhnya Abu Lahab terhadap rasa iman
ü Pekerjaan yang sukar sekali dilaksanakan, yaitu yang kesukarannya luar biasa, dalam arti sangat memberatkan bila perbuatan itu dilaksanakan; dan yang tingkatannya tidak sampai pada tingkat yang sangat memberatkan atau terasa lebih berat daripada yang biasa.
ü Pekerjaan-pekerjaan yang diijinkan karena menjadi sebab timbulnya kesukaran yang luar biasa (Sutrisno, 1999: 121-123).
b. Macam-Macam Mahkum Fih
Ditinjau dari keberadaannya secara material dan syara’:
i. Perbuatan yang secara material ada, tetapi tidak termasuk perbuatan yang terkait dengan syara’. Seperti makan dan minum.
ii. Perbuatan yang secara material ada dan menjadi sebab adanya hukum syara’, seperti perzinaan, pencurian, dan pembunuhan.
iii. Perbuatan yang secara material ada dan diakui syara’ serta mengakibatkan hukum syara’ yang lain, seperti nikah, jual beli, dan sewa-menyewa.
Sedangkan dilihat dari segi hak yang teerdapat dalam perbuatan itu, mahkum fih dibagi dalam empat bentuk, yaitu:
i. Semata-mata hak allah, yaitu segala sesuatu yang menyangkut kepentingan dan kemaslahatan umum tanpa kecuali.
ii. Hak hamba yang tetrkait dengan kepentingan pribadi seseorang, seperti ganti rugi harta seseorang yang dirusak.
iii. Kompromi antara hak allah dan hak hamba, tetapi hak Allah didalamnya lebih dominan, seperti hukuman untuk tindak pidana qadzaf (menuduh orang lain berbuat zina.
iv. Kompromi antara hak Allah dan hak hamba, tatapi hak hamba didalamnya lebih dominan, seperti dalam masalah qishas (Syafe’i: 2007: 331)
3. Mahkum ‘Alaih (Subyek Hukum)
a. Pengertian
Yang dimaksud dengan Mahkum Alaih adalah mukallaf yang menjadi obyek tuntunan hukum syara’ (Syukur, 1990: 138). Menurut ulama’ ushul fiqh telah sepakat bahwa mahkum Alaih adalah seseorang yang perbuatannya dikenai kitab Allah, yang disebut mukallaf (Syafe’I, 2007: 334). Sedangkan keterangan lain menyebutkan bahwa Mahkum Alaih ialah orang-orang yang dituntut oleh Allah untuk berbuat, dan segala tingkah lakunya telah diperhitungkan berdasakan tuntutan Allah itu (Sutrisno, 1999: 103).
Jadi, secara singkat dapat disimpulkan bahwa Mahkum Alaih adalah orang mukallaf yang perbuatannya menjadinya tempat berlakunya hukum Allah.
b. Syarat-syarat Mahkum Alaih
Ø Orang tersebut mampu memahami dalil-dalil taklif itu dengan sendirinya, atau dengan perantara orang lain
Ø Orang tersebut ahli bagi apa yang ditaklifkan kepadanya.
4. Ahliyyah
a. Pengertian Ahliyyah
Secara harfiah (etimologi) ahliyah berarti kecakapan menangani suatu urusan, misalnya orang yang memiliki kemampuan dalam suatu bidang maka ia dianggap ahli untuk menangani bidang tersebut. Adapun secara terminologi menurut para ahli ushul fiqh ahliyah adalah suatu sifat yang dimiliki seseorang yang dijadikan ukuran oleh syara’ untuk menentukan seseorang telah cakap dikenai tuntutan syara’.
Dari definisi tersebut dapat dipahami bahwa ahliyah adalah sifat yang menunjukkan bahwa seseorang telah sempurna jasmani dan akalnya, sehingga seluruh tindakannya dapat dinilai oleh syara’ (Syafe’i, 2007: 339).
b. Pembagian Ahliyah
Menurut para ulama’ ushul fiqh, ahliyah (kepantasan) itu ada dua macam yaitu:
Ø Ahliyatul Wujub (kecakapan untuk dikenai hukum) yaitu kepantasan seorang untuk menerima hak-hak dan dikenai kewajiban. Kecakapan dalam bentuk ini berlaku bagi setiap manusia, semenjak ia lahir sampai meninggal dalam segala sifat, kondisi, dan keadaannya.
Ø Ahliatul Ada’ (kecakapan untuk menjalankan hukum) yaitu kepantasan seseorang untuk diperhitungkan segala tindakannya menurut hukum. Hal ini berarti bahwa segala tindakannya, baik dalam bentuk ucapan atau perbuatan telah mempunyai akibat hukum (Sutrisno, 1999: 106-109)
c. Halangan Ahliyah
Ulama ushul fiqh menyatakan bahwa kecakapan bertindak hukum seseorang bias berubah berubah disebabkan hal-hal berikut:
a) Awaridh as-samawiyah, yaitu halangan yang datangnya Allah disebabkan perbuatan manusia.
b) Awaridh al-muktasabah, maksudnya halangan yang disebabkan perbuatan manusia. (Syafe’i, 2007: 340)
BAB III
PENUTUP
Kesimpulan
Kesimpulan yang dapat diambil dari keterangan pada bab-bab sebelumnya bahwa tuntutan taklif adalah mutlak bagi setiap manusia yang bernyawa, tetapi adakalanya taklif tersebut adalah bersifat humanistic atau bersifat fleksibel. Yakni, hukum taklif tersebut menuntut mukallaf adalah berdasar pada kemampuan yang ada padanya, artinya tuntutan taklif pada tiap manusia tidaklah sama yaitu tergantung pada tiap indifidunya.
Daftar Pustaka
Ø Koto, Alaiddin. 2006. Ilmu Fiqih dan Ushul Fiqih. PT. Raja Grafindo Persada:
Ø Syafe’i, Rachmat. 2007. Ilmu Ushul Fiqih. Pustaka Setia:
Ø Sutrisno. 1999. Ushul Fiqh. STAIN Press. Jember
Ø Syukur, Asywaedie. 1990. Ilmu Fiqih dan Ushul Fiqih. PT. Bina Ilmu:
Ø Khalaf, Abdul Wahab. 1997. Ilmu Ushulul Fiqh, ter. Masdar Helmy. Gema Risalah Press :
0 komentar :
Post a Comment
Terima kasih atas commentnya, Comment anda sangat bermanfaat bagi saya... Semoga bermanfaat.