BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Ijtihad merupakan sebuah media elementer yang sangat besar peranannya dalam konstruksi hukum-hukum Islam (Fiqh). Tanpa peran ijtihad, mungkin saja konstruksi hukum Islam tidak akan pernah berdiri kokoh seperti sekarang ini, dan ajaran Islam tidak akan mampu menjawab tantangan zaman dengan berbagai problematikanya. Dengan demikian, ijtihad adalah sebuah keniscayaan dalam Islam.
Namun harus pula diakui bahwa ijtihad merupakan faktor utama pemicu perbedaan pendapat dan kontraiksi hukum (khilafiyyah) antar ulama. Pertentangan yang selama ini berlangsung dikalangan yuris Islam (fuqaha) misalnya, adalah akibat perbedaan metodologi ijtihad yang mereka gunakan. Tapi justru dari situlah khazanah keilmuan Islam terlihat begitu kaya dan anggun di tengah polemik intelektual yang variatif dan semarak. Dan hal itu tidak perlu disesalkan, sebab perbedaan metodologi yang diakibatkan oleh perbedaan pendapat mendapat legitimasi syariat.
Persoalannya, ketika ijtihad telah mendapat legitimasi, akankah produk hukum yang dicapai melalui proses ijtihad dapat dianulir oleh ijtihad lain, atau lebih mudahnya bisakah ijtihad “dirusak” oleh ijtihad yang lain.
Jika menilik konsep kaidah ini, maka prodk hkum yang dihasilkan ijtihad dinilai memiliki kekuatan hukum yang bersiat konstan. Sekali hukum itu terbangun ata landasan ijtihad, maka itelah diakui eksistensinya sehingga tidak dapat digusur oleh hasil ijtihad yang baru. Sebagai contoh kecil, orang yang hendak mendirikan shalat Zhuhur tapi tidak tahu arah kiblat, kemudian ia berupaya (berijtihad) untuk mengetahui arah kiblat, selanjutnya dari upaya tersebut ia memiliki persepsi yang kuat (zhan) pada salah satu arah mata angin sebagai arah kiblat yang benar. Dari hasil ini, dalam melakukan shalat tentunya dia menghadap kearah yang sesuai dengan hasil ijtihadnya.
Namun tatkala memasuki waktu shalat Ashar, ternyata zhannya berubah. Arah yang semula diasumsikan sebagai arah kiblat kini mulai diragukan. Dalam kondisi demikian ia dituntut melakukan ijtihad lagi. Nah, jika hasil ijtihad kedua ini betul-betul berubah, maka ia harus shalat ashar sesuai dengan hasil ijtihad yang kedua. Ia tidak boleh menghadap ke arah kiblat yang dihasilkan oleh ijtihad yang pertama. Akan tetapi perlu dicatat, meski terjadi “perubahan arah kiblat”, bukan berarti shalat zhuhur yang sudah dilaksanakan menjadi batal atau tidak sah. Akan tetapi, shalat zhuhurnya tetap sah, karena telah dilandaskan hasil ijtihad yang pertama. Namun untuk shalat ashar ia harus menghadap ke arah kiblat yang dihasilkan dari ijtihad yang kedua.[1]
Dari sini dapat disimpulkan bahwa, walaupun hasil ijtihad yang pertama secara de facto sudah tidak diberlakukan lagi (karena sudah ada hasil ijtihad yang kedua), namun secara de jure tetap diakui keabsahannya. Inilah yang dimaksud dengan “al-Ijtihad la yunqadl bi al-Ijtihad”.
Dari uraian diatas mungkin akan timbul kejanggalan; kenapa ijtihad yang kedua tidak dapat merubah hasil ijtihad pertama, padahal dari kedua proses ijtihad tersebut hasilnya jelas berbeda. Menurut fuqaha alasan yang paling utama adalah karena pembatalan ijtihad memantik ketidakpastian hukum.[2] Jika setiap ijtihad bisa bisa dihapus maka akan terjadi tasalsul; yakni mata rantai hukum yang tidak berujung pangkal. Hal ini tentunya akan mengakibatkan kesulitan baik bagi para pegiat hukum (fuqaha) maupun bagi masyarakat umum untuk mendapatkan hukum yang pasti. Berdasarkan premis ini pula, para ulama sepakat bahwa hukum ijtihadi hasil upaya seorang hakim. Tidak dapat dirubah dengan hasil ijtihad lain, walau-pun pada hakikatnya hukum yang benar itu hanyalah satu.
BAB II
PEMBAHASAN
A. Dasar Kaidah
Pada masa pemerintahan Khalifah Umar bin Khattab ra, selama sepuluh tahun masa pemerintahannya banyak menelorkan produk hukum yang “tidak sesuai” dari keputusan yang telah diambil pendahulunya, Abu Bakar al-Shidiq ra. Akan tetapi, Umar ra. bersikap sangat bijak dengan tidak menganulir hukum yang telah ditetapkan Abu Bakar. Bahkan, Umar juga pernah merubah keputusan hukum yang pernah diambilnya sendiri pada tahun pertama dengan keputusan baru pada tahun berikutnya. Saat dimintai tentang kejelasan sikapnya ini, Umar mengatakan:
“………………………………………………………..”
“Ketentuan hukum yang pernah aku cetuskan itu adalah atas keputusanku. Sementara ini (ketentuan hukum yang baru) adalah hal yang sekarang aku putuskan.”
Dari statemen ini, secara tidak langsung Umar ra. telah memberikan ketegasan bahwa segala keputusan yuridis yang sebelumnya telah diambil oleh pendahulunya, Abu Bakar ra. tetap dihukumi sah sebagaimana keputusan yang telah diambilnya lalu diubahnya sendiri . berangkat dari perspektif inilah, para ulama kemudian mengambil penafsiran hukum bahwa ijtihad Umar ra. tidak dapat mengubah ijtihad Abu Bakar. Dan dari sisi ini pula, tercetuslah sebuah konsensus (ijma’) sahabat, bahwa al-Ijtihad la yunqadlu bi al-Ijtihad, sebagaimana yang dilansir oleh al-Suyuthi.
Disamping landasan ijma’ yang telah dikemukakan diatas, alasan tiadanya penganuliran hasil adalah karena ijtihad kedua belum tentu lebih kuat dibandinkan ijtihad yang pertama , disamping karena keduanya sama-sama diperoleh dari proses ijtihad yang sulit dan berbelit-belit. Hal yang membedakan keduanya Cuma konteks waktu yang tidak bersamaan ketika diputuskan. Selain itu, jika sering terjadi penganuliran produk hukum, maka yang akan timbul adalah tiadanya kepastian hukum bagi masyarakat, sebagaimana yang telah dijelaskan di muka. Hal ini juga akan berdampak pada goyahnya tatanan lembaga peradilan yang menangani masalah-masalah yuridis.[3]
B. Definisi Ijtihad
Kata Ijtihad secara etimologi adalah merupakan bentuk mashdar dari konjugasi (tashrif) kata ijtahada-yajtahidu-ijtihadan yang mengandung pengertian usaha keras dan pengerahan segala kemampuan untuk mencapai maksud tertentu. Sedangkan secara terminologi, ijtihad adalah upaya pengerahan segala kemampuan dalam rangka menghasilkan satu kepastian hukum, dan hanya bisa dilakukan oleh seorang yang sudah berkapasitas mujtahid.[4]
Sebagai konsekuensi logis atas konsepsi ijtihad ini, terdapat dua kemungkinan yang akan timbul kemudian. Pertama, jika ijtihad tersebut sesuai dengan apa yang dikehendaki Allah; ijtihad yang benar (shawab), maka pelaku ijtihan akan memperoleh dua pahala, yakni pahala ijtihad dan pahala menggapai kebenaran. Kedua, jika ijtihad itu ternyata tidak sesuai dengan apa yang dikehendaki Allah swt; ijtihad yang salah (khatha’), maka hanya mendapat satu pahala, yakni pahala ijtihad saja. Hal ini sesuai dengan hadits Nabi saw:
“………………………………………………………………………………”
Artinya: “Barang siapa melakukan ijtihad dan benar, ia mendapat dua pahala. Dan jika ijtihadnya salah, maka ia mendapat satu pahala.”
C. Subjek Ijtihad
Ijtihad yang dimaksud dalam kaidah ini sebenarnya berlaku dalam skala yang sangat luas,baik bagi mujtahid maupun setiap muslim yang belum mencapai kapsitas mujtahid. Artinya, ijtihad dalam kaidah ini tidak hanya berlaku dalam pengertian secara terminologis yang hanya membatasi ladang ijtihad bagi para mujtahid. Ijtihad disini lebih mengarah pada makna ijithad secara leksikal (lughawi), yaitu usaha maksimal seseorang dalam menentukan status hukum bagi beragam masalah yang dihadapi, dimana setap orang mujtahid atu bukan bisa bisa melakukannya.[5]
Karena itu, para ulama dalam literatur fiqh membagi ijtihad dalam tiga kategori:[6]
1. Ijtihad seorang mujtahid dalam ranah masalah ijtihadiyyah untuk mencapai titik zhan (dugaan kuat) tentang status hukumnya. Dalam arti, tatkala seorang mujtahid mencetuskan sebuah produk hukum dalam masalah yang tidak ada nash qath’i yang memberikan justifikasi hukum, dan juga tidak berseberangan dengan al-Qur’an, Hadits, dan Ijma’, maka hukum yang dicetuskan dianggap legal, mengikat, dan tidak dapat dianulir oleh hasil ijtihad baru,baik dari dirinya sendiri maupun dari mujtahid lain.
2. Ijtihad seorang qadli yang masih taqlid (belum brpredikat mujtahid mutlaq) pada hal-hal yang termasuk wilayah ijtihadiyyah, atau dalam pengambilan keputusan hukum masih mengikuti instruksiatsannya (hakim). Seperti dalam poin yang pertama, hukum yang dicetuskan seorang qadli sama sekalitidak dapat dieliminir. Prinsip inilah yang kemudian memunculkan idiom :
“…………………………………………………………………………..”
“Pengakuan yang sudah djelaskan satu kali dan sudah sesuai dengan koridor syar’i tidak dapat digagalkan dan diulangi.”
3. Ijtihad yang belum sampai pada tataran sesungguhnya (substantif). Ijtihad disini cuma bernilai sebagai kesungguhan yang berhasil dilakukan si pelaku. Inilah ijtihad yang dimaksud dapat dilakukan oleh siapa saja. Seperti orang yang berubah hasil ijtihadnya dalam menentukan arah kiblat. Untuk meneruskan shalatnya, ia harus bersandar pada ijtihad yang kedua. Bahkan andailkan perubahan penentuan arah kiblat yang dilakukannya misalnya terjadi sampai empat kali dalam satu shalat, maka shalatnya tetap sah dan tidak wajib. Meng-qadla atau mengulangi.
D. Objek Ijtihad
Menurut Taqiyuddin al-Hishni, objek ijtihad terpilah menjadi dua bagian; pertama: ijtihad yang di dalamnya terdapat praduga yang kuat bahwa dalam hasil ijtihadnya tidak terdapat kesalahan; kedua: ijtihad yang memang keliru, kemudian dilakukan untuk yang kedua kalinya dalam rangka merevisi hasil ijtihad yang pertama. Bagian kedua ini terpilah menjadi dua bagian;[7]
1. Hasil ijtihad yang didasari praduga kuat, baik ijtihad yang ada kaitannya dengan hukum ataupun tidak. Ijtihad yang berkaitan dengan hukum sama sekali tidak dapat terkoyak oleh hasil ijtihad kedua, karena apabila hal ini diperbolehkan maka akan mengakibatkan blunder hukum yang tidak berujung dan secara tidak lansung akan mengurangi reputasi mujtahid yang pertama.
2. Mujtahid tidak menemukan sandaran hukum. Dalam hal ini akan memunculkan keragaman jawaban sesuai dengan kasus yang terjadi. Sebagai contoh apabila dalam permaslahan tertentu seorang mujtahid tidak mendapatkan dalil-dalil hukum, maka menurut satu pendapat (ashah), dia berkewajiban membuat keputusan hukum apapun (tawaqquf).[8]
E. Ijtihad Mujtahid Dalam Kasus Yang Sama
Apabila ada seorang mujtahidtelah menetapkan satu keputusan hukum, sementara pada saat yang lain ia menghadapi permasalahan yang sama, maka langkah yang ditempuhnya masih diperselisihkan oleh fuqaha;
Pertama, ia wajib mengulangi ijtihad secara mutlak. Kewajiban ini berdasarkan pertimbangan adanya kemungkinan perubahan hasil ijtihad, disamping kemungkinan permasalahan yang diteliti pada ijtihad pertama tidak sama persis seperti yang terjadi pada ijtihad yang kedua.
Kedua, tidak wajib mengulangi secara mutlak. Karena pada dasarnya mujtahid tidak akan menyandarkan penelitiannya pada kasus kedua terhadap sesuatu yang belum pernah ia lakukan pada tahap awal. Artinya, menurut pendapat kedua ini, ia telah lengkap melakukan observasi yang dapat dipertanggung jawabkan saat melakukan ijtihad yang pertama, sehingga ia tidak perlu melakukan ijtihad baru karena latarbelakangnya yang cenderung sama.
Ketiga, harus dirinci secara objektif. Rincian pertama, apabila mujtahid masih mengingat metode ijtihad yang pertama, maka ia tidak perlu mengulangi ijtihadnya, karena pada dasarnya ia tidak dikatakan sebagai orang yang pernah melakukan ijtihad. Pendapat ini didukung oleh Fakhr al-Din al-Razi, al-Amudiy, dan Taj al-Din al-Subuki.[9] Pendapat inilah yang paling sesuai dengan kaidah al-ijtihad la yunqadl bi al-ijtihad.[10]
F. Ijtihad Dalam Realitas Keseharian
Seperti telah dikemukakan diawal pembahasan, pertautan terma ijtihad tidak hanya berlaku bagi orang yang sudah berkapasitas mujtahid. Ijtihad sebenarnya juga bergumul akrab dalam kehidupan sehari-hari. Contoh kecil, seseorang yang telah bersusah payah mencari air tapi tidak menemukannya, kemudian ia melakukan tayamum dan shalat dengan perantara tayamum tersebut. Lalu ketika masuk waktu shalat yang lain, apakah ia wajib mencari air untuk yang kedua kalinya atau tidak. Dalam persoalan ini, ada dua pendapat fuqaha. Pendapat pertama menyatakan bahwa ia wajib mencari air lagi. Kewajiban ini berlaku ketika dalam asumsinya masih terdapat kemungkinan wujudnya air. Walaupun kemungkinan itu sangat kecil. Artinya, jika masih ada kemungkinan menemukan air bila berpindah tempat atau melihat sekelompok orang yang datang membawa air, maka ia wajib untuk berusaha mencari air.Tapi jika tidak ada kemungkinan seperti itu, dan ia sudah meyakini hasil pencarian yang pertama, maka ia wajib mencarinya di tempat lain. Hal ini harus didilakukan karena masih ada kemungkinan menemukan sumur, atau seseorang yang bisa menunjukkan tempat air. Akan tetapi perlu diperhatikan walaupun ia wajib mencari air, namun pencarian air yang kedua ini tidak dibebankan sebagaimana beban pencarian yang pertama. Sementara menurut pendapat yang kedua, ia tidak wajib mencari air karena sudah dicukupkan dengan hasil pencarian (ijtihad) yang pertama.
Dan masih banyak lagi contoh yang lainnya, contoh di atas adalah bukti bahwa kaidah al-Ijtihadu la yunqadlu bi al-Ijtihad dapat kita aplikasikandalam dinamika keseharian.
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Dari uraian di atas dapat diambil dua kesimpulan sebagai berikut:
Pertama: perubahan ijtihad yang dimaksud dalam kaidah ini adalah perubahan hasil ijtihad yang terjadi pada objek hkum yang sama, akan tetapi dalam waktu yang berbeda, baik ijtihad itu dilakukan oleh mujtahid, hakim, qadli, atau ijtihad yang bersifat individual seperti yang dialami seseorangyang berubah hasil ijtihadnya dalam menentukan arah kiblat.
Kedua, jika terjadi perubahan ijtihad pada obyek hukum yang berbeda, seperti contoh yang dialami seorang qadli, maka ijtihad yang kedua sebenarnya bukanlahperubahan ijtihad; ia hanya ijtihad baru yang tidak terkait dengan penganuliran ijtihad yang pertama.
DAFTAR PUSTAKA
Abdurrahman, Asjmuni, Qawa’id fiqhiyyah, Arti, Sejarah, dan Beberapa Kaidah Kulliyah. Jogjakarta: Penerbit Suara Muhammadiyyah, 2003.
Bisri, Muhammad Adib, Terjemah Al-Faraid Al-Bahiyyah Risalah Qawa’id Fiqh, Kudus : Menara Kudus, 1977.
Al-Fadani, Abu al-Faydl Muhammad Yasin ibn ‘Isa, Al-Fawa’id al-Janiyyah,
Al-Suyuthi, Jalal al-Din Abd al-Rahman bin Abu Bakr, al-Asybah wa al-Nazha’ir, ed. Muhammad al-Mu’tashim Billah, Dar al-Kitab al-‘Arabi, Beirut, cet. IV, 1998.
Al-Hishny, Taqiyuddin Abu Bakar Muhammad bin Abd al-Mu’min, Kitab al-Qawa’id, Maktabah Al-Rusydu, Riyadl, Cet. I, 1997.
Al-Burnu, Muhammad Shidqi, al-Wajiz fi Idlah al-Qawa’id, Mu’assasah al-Risalah, Riyadl,cet. I, 1983 M.
[1] Lihat Jalal al-Din Abd al-Rahman bin Abu Bakr al-Suyuthi, al-Asybah wa al-Nazha’ir, ed. Muhammad al-Mu’tashim Billah, Dar al-Kitab al-‘Arabi,
[2] Ibid, h. 202.
[3] Abu al-Faydl Muhammad Yasin ibn ‘Isa al-Fadani, Al-Fawa’id al-Janiyyah,
[4] Ibid h. 291.
[5] Mu’tashim Billah, Dirasah wa al-Tahqiq li al-Asybah wa al-Nazha’ir, Op.cit., h.201.
[6] Lihat Muhammad Shidqi al-Burnu, al-Wajiz fi Idlah al-Qawa’id, Mu’assasah al-Risalah, Riyadl,cet. I, 1983 M., h. 260.
[7] Taqiyuddin Abu Bakar Muhammad bin Abd al-Mu’min al-Hishny, Kitab al-Qawa’id, Maktabah Al-Rusydu, Riyadl, Cet. I, 1997, III/338.
[8] Al-Hishny, Ibid, III/340.
[9] Taqiyuddin Abu Bakar Muhammad bin Abd al-Mu’min al-Hishny, Kitab al-Qawa’id, Maktabah Al-Rusydu, Riyadl, Cet. I, 1997, III/344.
[10] Al-Hishny, Ibid.
0 komentar :
Post a Comment
Terima kasih atas commentnya, Comment anda sangat bermanfaat bagi saya... Semoga bermanfaat.