فرض الكفاية هل يتعين باشروع ام لا ؟ ... فيه خلاف
Pendahuluan
Ritual ibadah dalam islam tidak hanya mencakup kewajiban personal (fardhu ‘ain), namun juga mencakup praktik ibadah kolektif (fardhu kifayah). Dengan kata lain, ada jenis ibadah yang diproyeksikan untuk setiap individu dan ada yang menekankan pada prinsip terlaksananya kewajiban semata dengan tanpa ada ketentuan individu mana yang harus melaksanakannya. Fardhu Kifayah, sebenarnya merupakan ranah yang lebih luas yang didesain syari’at agar kemeslahatan-kemaslahatan umat tercapai dengan konsep yang lengkap dan menyeluruh.
Pembangunan benteng pertahanan negara, infra struktur pertanian, yang tertata rapi, pembentukan pemerintahan yang berwibawa, menuntut ilmu, dan sebagainya adalah bagian kecil dari contoh yang bisa menjadi wilayah fardhu kifayah tidaklah sesempit pengertiannya.
Asumsi yang timbul bahwa pelaksanaan fardhu kifayah akan berhenti ketika ada sebagian orang sudah melaksanakannya akan menjadikan umat Isalm terjebak dalam kepentingan pribadi dan kepentingan golongan yang sempit, yaitu sekedar menggugurkan kewajiban kolektif. Mengutip pendapat Al-Isnawi dalam At-Tamhid-nya, beliau mengatakan bahwa fardhu kifayah lebih utama daripada fardhu ‘ain karena orang yang mengerjakan fardhu kifayah lebih layak disebut sebagai “pahlawan” bagi orang lain karena menyelamatkan dari jeratan dosa. Meski demikian, layaknya umat pilihan, hendaknya motif utama melaksanakan fardhu kifayah bukanlah sekedar pengguguran dosa saja, namun juga harus dilandasi dengan jiwa sosial yang tinggi. Al-Isnawi menambahkan bahwa keutamaan ini dilatarbelakangi karena secara tidak langsung, orang yang melaksanakan fardhu kifayah dalah orang-orang yang menempati dan melaksanakan pos-pos strategis dan penting yang menjadi kebutuhan vital umat.
Penjelasan
Kaidah ini mengupas fardhu kifayah ketika telah dikerjakan, apakah berubah menjadi fardhu ‘ain atau tidak. Yang dimaksud disini dengan menjadi fardhu ‘ain disini adalah kewajiban untuk melaksanakan fardhu kifayah himgga purna, sama seperti halnya fardhu ‘ain yang wajib untuk disempurnakan.
Fuqoha’ dalam menentukan status kewajiban kolektif tersebut ternyata bersilang pendapat. Menurut Ibnu Rif’ah dalam kitab Al-Mathlab-nya, fardhu kifayah bisa berubah menjadi fardhu ‘ain karena dikerjakan. Sebab kedua-duanya menurut Ibnu Rif’ah memiliki persamaan sifat sebagai fardhu. Dengan kata lain, keduanya sama-sama bersifat wajib, hanya saja titik tekan dan obyek pelaksanaannya yang sedikit berbeda.
Lain dengan Al-Barizi yang menegaskan bahwa semua fardhu kifayah tidak bisa diklaim menjadi fardhu ‘ain hanya dengan alasan sedang dikerjakan. Menurut beliau, fardhu kifayah bisa menjadi fardhu ‘ain setelah dikerjakan, hanya saja terbatas dalam beberapa permasalahan saja, seperti pelaksanaan jihad dan shalat jenazah. Oleh karenanya fardhu kifayah tidak bisa disamakan dengan fardhu ‘ain, mengingat terdapat perbedaan implementasi yang mendasar di antara keduanya. Yakni, seperti yang telah disebutkan di depan dalam fardhu kifayah yang lebih ditekankan adalah tujuan yang hendak dicapai bersifat kolektif. Sedangkan fardhu ’ain merupakan kewajiban yang dibebankan kepada setiap individu.
Sementara An-Nawawi dan Ar-Rifa’i tidak menganggap bahwa salah satu dari dua pendapat di atas lebih kuat, baik pendapat yang pertama ataupun yang kedua. Alasannya, karena substansi kaidah ini bersifat relatif-nisbi. Dalam artian, pada kasus-kasus tertentu status hukum fardhu kifayah bisa berubah menjadi fardhu ‘ain, namun dalam kesempatan lain tidak. Terbukti dalam masalah jihad dimana sesuai kesepakatan ulama’ ketika sedang dikerjakan maka statusnya berubah menjadi fardhu ‘ain.
Untuk contoh permasalahan yang di dalamnya terdapat perbedaan pendapat sebagaimana seorang pelajar yang telah berhasil menguasai beberapa bidang ilmu dan mempunyai potensi untuk menguasai materi lain secara lebih luas dan menyeluruh. Menurut pendapat yang lebih kuat, ia diperbolehkan untuk meninggalkan proses belajar yang sedang ia jalani. Masih menurut pendapat ini, ia tidak diwajibkan untuk meneruskan mempelajari bidang selain yang ia kuasai. Karena masing-masing disiplin ilmu yang sebenarnya mungkin ia kuasai mempunyai spesifikasi bidang sekaligus hukum sendiri-sendiri. Sehingga apabila ia sudah menguasai satu bidang ilmu, maka ia tidak wajib untuk mempelajari ilmu lain yang belum ia pelajari dan kuasai.
Untuk memudahkan pengkategorian ini, sesuai dengan apa yang disampaikan oleh Al-‘Ala’i yang mendahului Al-Ghazali bahwa selain shalat jenazah dan jihad, segala sesuatu yang termasuk fardh kifayah tidak akan menjadi fardh ‘ain jika telah dilakukan.
Menanggapi kaidah ini, As-Suyuthi mengusulkan agar kaidah ini menggunakan redaksi yang lebih umum, yakni :
فرض الكفاية هل يعطى حكم فرض العين او حكم النفل... فيه خلاف
"apakah dalam fardhu kifayah diterapkan hukum fardhu ‘ain atau hukum sunnah. Terjadi khilaf.”
Dengan redaksi di atas, akan dapat mencakup lebih banyak permasalahan dan perbedaan yang ada. Dengan adanya pertanyaan dalam kaidah ini, dapat memasukkan permasalahan penggabungan dua ibadah fardhu. Seperti terlihat dalam masalah satu kali tayammum yang digunakan untuk shalat
Disamping dapat memasukkan permasalahan di atas, statemen As-Suyuthi ini juga mampu merambah pada pertanyaan yang lebih substansial, yakni apakah ketika seseorang telah melakukan fardhu kifayah diperkenankan untuk memutusnya, seperti dalam redaksi kaidah yang pertama. Menjawab pertanyaan ini, Ibnu Hajar dalam At-Tuhfah mengungkapkan bahwa seseorang yang telah melakukan fardhu kifayah berupa jihad, shalat jenazah dan haji, diharamkan untuk memutusnya.
Dengan menghentikan jihad yang sedang dilakukan tentu akan menjadikan orang lain yang sama-sama melakukan jihad akan jatuh mentalnya dan akan mempengaruhi psikologi pejuang yang lain, dengan demikian jihad yang dilakukan haram untuk diputus.
Shalat jenazah haram diputus karena dengan memutusnya akan menjatuhkan harga diri si mayit yang akan dishalati. Sedangkan keharaman untuk memutus ibadah haji adalah karena haji yang berstatus fardhu kifayah ini mempunyai banyak kesamaan dengan haji yang fardhu ‘ain dalam segi niat, wajib membayar kafarot ketika hajinya rusak karena bersetubuh, dan kewajiban meneruskan hajinya ketika batal.
Masih berkaitan dengan pertanyaan yang terdapat dalam kaidah ini, akan muncul pertanyaan lanjutan : apakah shalat jenazah boleh dilakukan dengan duduk walaupun mampu untuk berdiri sebagaimana shalat sunnah? Dalam hal ini ulama’ berbeda pendapat. Namun menurut pendapat yang kuat tidak diperbolehkan. Alasannya, karena dengan tidak berdiri berarti ia telah meninggalkan rukun shalat yang paling penting dan dominant. Dalam bahasa Syaikh Yasin, karena berdiri adalah bagian pokok shalat jenazah, seperti kita ketahui bahwa di dalam shalat jenazahtidak ada gerakan ruku’ dan sujud. Jadi sangat pantas jika berdiri disebut bagiann pokok terpenting dalam shalat jenazah. Dengan melakukan duduk tentu akan menghilangkan shalat jenazah dari bentuk pokoknya
Referensi
ü Djazuli. 2006. Kaidah-kaidah Fikih. Kencana Prenada Media Group :
ü Muchlis, Usman. 1999. Kaidah-kaidah Ushuliyah dan Fiqhiyah Pedoman Dasar Dalam Istinbath Hukum Islam. PT. RajaGrafindo Persada : Jakarta.
ü Mas Rida, Muhyidin. 2008. Al-Wajiz : 100 Kaidah Fikih dalam Kehidupan Sehari-hari. Pustaka Al-Kautsar :
ü Dzuhaily, Muhammad Wahbah . 2004. Al-Qowaid Al-Fiqhiyyah ala Al-Madzhab Al-Hanafy wa As-Safi’I. Majlis Al-Nasr Al-’Ilmy :
0 komentar :
Post a Comment
Terima kasih atas commentnya, Comment anda sangat bermanfaat bagi saya... Semoga bermanfaat.